Jumat, 27 Desember 2013

MENANTI  KEADILAN  PERIMBANGAN  KEUANGAN
Oleh : Johny C. M. Lapuisaly, SE, MM
(Widyaiswara Muda BP4D Provinsi NTT)

Implementasi otonomi daerah secara simple dapat diidentikan dengan desentralisasi, adapun desentralisasi diartikan sebagai pelimpahan kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah yang ada di wilayahnya. Pembagian urusan tersebut, biasanya menggunakan konsep money follows function. Money follows function mengacu pada pembuatan perencanaan yang mementingkan efek yang diinginkan. Apa yang dianggap  efektif maka biayanya akan dicari.

Hal ini melahirkan dua pemahaman dalam keuangan daerah dan pusat.
Pertama, perlu adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah karena merupakan upaya mencari perimbangan akibat fungsi dan wewenang yang diemban daerah dengan sumber keuangan yang dimiliki. Pemahaman kedua tercermin dengan adanya implementasi hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Dalam  perimbangan keuangan, hubungan keuangan pusat dan daerah merupakan sebuah konsekuensi dari sebuah Negara. Negara membagi wilayahnya menjadi unit-unit yang lebih kecil sehingga kekuasaan utama berada pada pemerintah pusat. Jika kita membandingkan dengan perimbangan pada negara federal, konsep hubungan menjadikan daerah justru belum memiliki kewenangan sampai kewenangan itu terdesentralisasi. Kewenangan pemungutan pajak oleh daerah dapat dikatakan kuasa dari pemerintah pusat. Begitu pula penyelenggaraan administrasi lainnya. Sehingga konsep hubungan tersebut, banyak dipraktekkan oleh negara kesatuan. Lalu berdasarkan deskripsi di atas, apakah benar bahwa konsep hubungan keuangan yang selama ini diselenggarakan di Indonesia? Dan apakah konsep yang diterapkan telah memberikan keadilan bagi perimbangan keuangan   pemerintahan daerah ?
Kesempatan Ciptakan Kesenjangan
Semangat otonomi daerah yang melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini didukung pula dengan membuat Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, diubah dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, namun ketimpangan pembagian hasil untuk daerah belum memadai kalau dilihat dari hasil serta potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan (ditinjau dari hasil alam yang dimiliki).
Contoh; Sektor kehutanan pada pasal 14 huruf a UU No. 33 Tahun 2004 memberikan sedikit angin segar bagi daerah, yakni dengan pembagian 80 persen untuk daerah dari penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan provinsi dari Sumber Daya Hutan (PSDH). Sedangkan penerimaan dari Dana Reboisasi, yang diatur dalam pasal 14 huruf b, daerah hanya mendapatkan 40 persen saja.
Pembagian hasil ini sungguh amat jauh berbeda dengan dana bagi hasil untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan bagi hasil untuk Pajak Penghasilan (PPh). Untuk PBB dan BPHTB pemerintah daerah mendapatkan bagian bagian yang cukup besar dari pajak tersebut, yakni 90 persen untuk penerimaan dari PBB dan 80 persen BPHTB. Sedangkan untuk PPh pemerintah daerah hanya mendapat 20 persen.
Adanya pembedaan bagi hasil antara sumber penghasilan yang satu dengan sumber penghasilan yang lain memberikan kesempatan menciptakan kesenjangan yang berakibat  ketimpangan penerimaan daerah. Sebab sumber pendapatan sektor PBB atau BPHTB belum bisa dimaksimalkan dengan alasan SDM dan masih minimnya pemahaman masyarakat dalam membayar pajak, maka secara otomatis kebijakan ini akan menguntungkan daerah yang sudah tertib administrasi pertanahannya dan lebih menguntungkan daerah yang penduduknya padat seperti di Jakarta dan pulau Jawa, sedangkan daerah luar Jawa, belum bisa memaksimalkan potensi penerimaan dari sektor ini.
Perimbangan Keuangan Sesungguhnya
Sebelum menjelaskan tentang perimbangan keuangan, terlebih dahulu mengetahui apa itu desentralisasi. Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam desentralisasi unit pemerintah daerah dipandang sebagai wakil dari pemerintah pusat, sehingga oleh sebab itu, unit-unit kantor wilayah dibutuhkan sebagai perpanjagan tangan menteri yang memimpin departemen pemerintahan. Sementara itu, dalam sistem desentralisasi, tugas-tugas pemerintahan yang terkait dengan urusan tertentu dianggap telah sepenuhnya didelegasikan pelaksanaannya kepada pemerintah daerah, yang oleh karena itu memiliki kewenangan untuk mengurus hal itu sebagai urusan rumah tangganya sendiri.
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cars penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangan.
Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah ini ditandai dengan adanya dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pemerintah pusat yang dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari penerimaan pajak dan SDA.
The Liang Gie, desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan demi sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.
Menurut Mahmudi  (2008) Secara garis besar perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan dengan beberapa tujuan. Pertama, pembelanjaan daerah untuk melayani masyarakatnya. Kedua, mendorong upaya oleh pemerintah daerah untuk menjalankan program-program pembangunan yang disesuaikan dengan kebijaksanaan nasional. Ketiga, merangsang perumbuhan ekonomi daerah, baik untuk membantu pertumbuhan maupun untuk mengurangi ketimpangan antar wilayah. Keempat, mengendalikan pengeluaran regional, Kelima, memantapkan standar pelayanan atau pembangunan yang lebih adil. Keenam, mengembangkan wilayah-wilayah yang kapasitas fiskalnya rendah, dan Ketujuh adalah untuk membantu wilayah dalam mengatasi keadaan-­keadaan darurat.
Transfer dana dari pusat ke daerah seyogyanya memperhatikan beberapa hal penting, agar kebijakan ini tepat guna dan dapat bermanfaat bagi pemerintah pusat dan khususnya bagi daerah itu sendiri. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah penerimaan yang memadai bagi daerah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahannya.
Prinsip Keberadilan
Saya lebih memfokuskan penulisan tentang keadilan dalam perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Konsepsi tentang keadilan memang sangat luas, dan sangat tidak terbatas. Aristoteles lebih dari 2.000 tahun lalu menyatakan keadilan itu ialah apabila masing-masing mendapatkan apa yang memang berhak ia dapatkan. Selanjutnya Aristoteles mengatakan, bahwa orang yang adil adalah orang yang tidak mengambil lebih banyak dari bagiannya. Sebaliknya, orang yang tidak adil adalah orang yang mengambil lebih banyak dari pada haknya. Persolan yang muncul kemudian adalah bagaimana menentukan bagian atau hak dari masing-masing pihak tersebut, menentukan standart keadilan tersebut. Apakah bertolak belakang dari kebutuhan masing-masing individu atau berdasarkan apa yang telah ia lakukan atau yang ia capai, mungkin juga berdasarkan potensi yang dimiliki.
Dana Bagi Hasil yang diterapkan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, yakni belum adil dan terkesan masih diskriminasi, khususnya pada pertambangan minyak dan gas, emas dan batubara. Ketidakadilan ini bisa dilihat dari sedikitnya hasil yang harus diterima oleh daerah sebagai tempat di mana hasil tambang itu berada, padahal daerah tersebut juga yang nantinya akan menerima segala resiko misalkan kerusakan lingkungan akibat pertambangan.
Sudah selayaknya pemerintah yang mempunyai tujuan mensejahterakan masyarakat sampai pelosok tanah air, betul-betul diwujudnyatakan dan bukan slogan semata, harus mereview kembali prosentase perimbangan keuangan pusat dan daerah khususnya besaran pertambangan bagi pemerintah pusat sudah selayaknya 30-40 %, mengingat yang memiliki kekayaan pertambangan adalah daerah yang bersangkutan apalagi dampak dari eksploitasi dan eksplorasi tambang sangat dirasakan oleh masyarakat pada daerah tambang tersebut, oleh karenanya prosentase keuangan 60-70 % pantas dan sangat layak diperoleh daerah pemilik tambang tersebut.. Semoga.



PENUTUP

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya adalah suatu sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian kewenangan serta tata cars penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk pengelolaan dan pengawasan keuangan.

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah selama ini masih dianggap sebagai pemerasan pusat terhadap daerah, di mana daerah yang kaya sumber daya alam belum bisa menikmati secara maksimal hasil alam yang ada di daerahnya. Realita ini perlu diubah, agar keutuhan Negara Indonesia tetap terjaga dan terciptanya suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat (daerah) Indonesia, bukan keadilan yang terkonsentrasi pada elit penguasa saja, keadilan yang mensejahterakan beberapa golongan saja, atau kesejahteraan yang semu yang hanya menjadi janji manis para elit agar rakyat daerah tetap loyal pada NKRI padahal kebijakan untuk kesejahteraan rakyat di daerah tersebut hanya utopia dan janji semu belaka.
Upaya untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia harus menjadi suatu tujuan bersama seluruh element bangsa, sekat-sekat primordial atau perasaan superioritas atas pihak lain mutlak dihilangkan. Berikan kesempatan yang lebih luas dan sama kepada setiap daerah dalam mengelola sumber keuangannya..

DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007;

Mahmudi Ahmad, Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta, 2008

Undang-undang  Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan Pemerintahan daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar