Minggu, 13 Agustus 2017

Pancasila Dari Nusa Bunga Untuk Indonesia

Drs. P. Pieter Djoka, MT

NTT Province Human Resource Development Bureau Regional
Jalan Fetor Foenay Kolhua Kec. Maulafa Kota Kupang NTT
(Diterima 30-07-2017; Diterbitkan 12-08-2017)
Corresponding author: Drs.P. Pieter Djoka, MT, E-mail djokapp24@gmail.com
Tel: +6285239171133 / WA :+6281276662446.

Pengantar
            Puji dan syukur kehadirat Tuhan YMK, karena atas perkenannya saya boleh menyelesaikan artikel sederhana ini dengan judul : Pancasila Dari Nusa Bunga Untuk Indonesia.
            Permohonan maaf, kalau dalam penyajian materi ini terdapat banyak kekurang sempurnaan, karena dari 20 penulis artikel yang dipercayakan Dinas Perpustakaan NTT, saya merupakan pendatang baru, dengan batas waktu tidak lebih dari 2 minggu, namun kepercayaan dimaksud sebagai warga Kupang, kelahiran Detusoko Ende Flores, tempat lahirnya Pancasila, saya mencoba menyampaikan beberapa hal.
            Terimakasih berlimpah kepada Kepala Dinas Perpustakaan Provinsi NTT, juga Bapak Very Guru,S.Sos, yang telah mempercayakan kami, walau saya sendiri belum tahu kriteria kalau saya sebagai salah satu penulis buku Pancasila lahir dari bumi NTT, dari perspektif sosial, politik dan kultural (Tokoh Etnis Ende).
             
Pendahuluan

"Suatu kekuatan gaib menyeretku ke tempat itu hari demi hari. Di sana, dengan pemandangan laut lepas tiada yang menghalangi, dengan langit biru yang tak ada batasnya dan mega putih yang menggelembung, di sanalah aku duduk termenung berjam-jam. Aku memandangi samudera bergolak dengan hempasan gelombangnya yang besar memukuli pantai dengan pukulan berirama. Dan kupikir-pikir bagaimana laut bisa bergerak tak henti-hentinya. Pasang surut, namun ia tetap menggelora secara abadi. Keadaan ini sama dengan revolusi kami, kupikir. Revolusi kami tidak mempunyai titik batasnya. Revolusi kami, seperti juga samudra luas, adalah hasil ciptaan Tuhan, satu-satunya Maha Penyebab dan Maha Pencipta. Dan aku tahu di waktu itu bahwa semua ciptaan dari Yang Maha Esa, termasuk diriku sendiri dan tanah airku, berada di bawah aturan hukum dari Yang Maha Ada."
            Pancasila adalah dasar filsafat Negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam berita Republik Indonesia Tahun II 07 bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945.
            Dalam perjalanan sejarah, eksistensi Pancasila sebagai dasar filsafat NKRI mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung dibalik legitimasi ideologi Negara Pancasila. Dengan lain perkataan dalam kedudukan yang seperti ini, Pancasila tidak lagi diletakan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan politik penguasa pada saat itu.               
            Jikalau jujur sebenarnya dewasa ini banyak tokoh serta elit politik yang kurang memahami filsahat hidup serta pandangan hidup bangsa kita Pancasila, namun bersifat seakan-akan memahaminya. Akibatnya dalam proses reformasi diartikan kebebasan memilih ideologi di negara kita, kemudian pemikiran apapun yang dipandang menguntungkan demi kekuasaan dan kedudukan  dipaksakan untuk diadopsi dalam sistem kenegaraan kita.
            Oleh karena itu kiranya merupakan tugas berat kalangan intelektual untuk mengembalikan persepsi rakyat yang keliru tersebut kearah cita-cita bersama bagi bangsa Indonesia dalam hidup bernegara.         

            Munculnya berbagai gerakan radikalisme dan ekstremisme yang cenderung mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, menuntut kita untuk kembali menggali aka keberadaan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Paling tidak ada lima (5) alasan mendasar mengapa Pancasila hingga kini masih sangat dibutuhkan dan relevan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pertama, Pancasila merupakan sistem filsafat terbaik yang dimiliki bangsa. Kedua, Pancasila merupakan sistem nilai fundamental. Ketiga, Pancasila adalah dasar negara. Keempat, Pemerintah harus bertanggung jawab memelihara, mengembangkan, dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila. Dan Kelima, negara harus bertanggung jawab  membudayakan Pancasila melalui pendidikan secara sadar, terencana dan terlembaga.

Perspektif Sosial, Politik dan Kultural

1.      Perspektif Sosial

Ende, ibu kota Kabupaten Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), tidak bisa dipisahkan dari Bung Karno dan Pancasila. Kepada Cyndi Adams, penulis buku otobiografi "Bung Karno : Penyambung Lidah Rakyat Indonesia", Presiden pertama Republik Indonesia ini mengaku mendapatkan inspirasi-ilham melahirkan dasar negara Pancasila saat diasingkan penjajah Belanda ke Ende. Sang Proklamator berujar, "Di kota ini kutemukan lima butir mutiara, di bawah pohon Sukun ini pula kurenungkan nilai-nilai luhur Pancasila". Selama empat tahun, yakni 1934-1938 diasingkan ke Ende, Bung Karno memiliki banyak waktu untuk merenung dan memikirkan falsafah negara Pancasila. Ia sadar, Indonesia merdeka membutuhkan dasar negara sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ketajaman nalar Bung Karno makin diasah lewat banyak diskusinya dengan para Pastor Katolik berkebangsaan Belanda. Para Pastor dengan latar belakang pendidikan Eropa yang baik, dan nota bene ahli filsafat dan ilmu humaniora menjadi "sparing-partner" Bung Karno dalam dialektika dan diskursus. Hidup menyatu dengan warga Muslim dan Katolik, serta menyerap berbagai pemikiran Pastor Katolik mengenai isme besar dunia yang berkembang kala itu membuat spiritualitas dan intelektualitas Bung Karno makin diperkaya. Pengasingannya ke Ende tidak mematikan nyala api perjuangan kemerdekaan Indonesia, justru makin memacunya melahirkan gagasan besar mengenai ideologi Pancasila.
Pohon Sukun dalam bahasa daerah setempat disebut "Pu'u Pire", yang artinya "Pohon Pantangan" atau "Pohon Keramat". Maksudnya, akar Pancasila menancap kuat di bumi Nusantara dan pantang dicabut dari bumi Nusantara. Ende, Sa'o Ria Bhewa Pancasila, Rumah Besar Pancasila, sekaligus rahim dan ibu Pancasila. Ende sungguh kota Pancasila. Saking kuatnya ikatan emosional-historis antara Bung Karno dan Ende, rute jalan yang biasa dilaluinya dari rumah pengasingan milik Haji Abdullah Ambuwaru menuju Gereja Katolik Kristo Regi untuk bertemu sahabatnya Pastor Paroki Ende, Pater Gerardus Huijtink,SVD lalu dinamakan Jalan Soekarno. Ende, Soekarno dan Pancasila memang tak bisa dipisahkan.
Meditasi menenangkan pikiran dan menyingkirkan pikiran-pikiran yang mengganggu. Ini adalah keadaan tertinggi dari kedamaian pikiran. Cobalah dan alami sendiri. Jika kita bermeditasi secara teratur setengah jam sehari, pikiran dan hati kita akan menjadi lebih tenang dalam dua puluh tiga setengah jam sisanya. Pikiran dan hati kita menjadi tidak mudah terganggu seperti sebelumnya. Kita akan makin mendapat manfaat jika kita meningkatkan waktu untuk meditasi secara teratur. Kita mungkin akan berpikir hal ini bisa mengganggu pekerjaan kita sehari-hari. Justru sebaliknya, hal ini akan meningkatkan efisiensi dan kita akan bisa memproduksi hasil yang lebih baik dalam waktu yang lebih singkat.
Dalam hening, Bung Karno tertarik lebih dalam belajar soal Islam. Ia juga secara seksama memerhatikan praktek hidup berdampingan secara damai antara penganut Muslim dan umat Katolik lokal di Ende. Ende memberi pesan, keberagaman bukan beban, melainkan aset yang menyatukan-menguatkan Indonesia. Di Ende Bung Karno menyaksikan pergaulan akrab masyarakat pesisir pantai yang Islam dan orang gunung yang Katolik. Tak ada prasangka buruk di antara mereka. Gereja Katolik bahkan dibangun di atas tanah milik keluarga Muslim Ende yang dihibahkan ke misionaris Katolik. Demikian pula, pembangunan Mesjid juga dibantu umat Katolik. Berbeda dalam persatuan, bersatu dalam perbedaan, itulah Indonesia, itulah Ende yang Bung Karno lihat pada masa itu. Sama dengan Bung Karno yang berayahkan Jawa Muslim dengan ibu berlatar belakang Bali Hindu, identitas Indonesia adalah heterogen, pluralis, beragam, bukan seragam. Di Ende, Bung Karno menjadi lebih relijius dan memaknai pluralisme secara lebih mendalam. Ia sungguh sosok nasionalis-pluralis sejati.
Beberapa catatan  ketika Soekarno mendarat di Pelabuhan Ende (1934) Soekarno menemukan fakta bahwa Ende sebagai kota kecil dengan penduduk sekitar 30.000 orang saat itu, sangat berbeda dengan apa yang Ia tahu dan membaca selama di pulau Jawa. Ternyata di Ende sudah ada cendekiawan( para pastor SVD yang selama ini bertugas di Flores dan Timor).
            Bagi Soekarno, Ende selain sebuah kampung kecil juga ada nilai-nilai lain yang Ia temukan antara lain nilai gotong royong dan kebersamaan dalam masyarakat Ende. Bahkan selama 4 tahun di Ende, Soekarno sudah bisa berbicara bahasa Ende, karena setiap hari ia berkomunikasi dan bergaul dengan masyarakat kecil yang lugu seperti penjual ikan, sayur dan beberapa orang lainnya.
 Kalau ada kedukaan di sekitar rumahnya Soekarno juga ikut pengajian. Bahkan Ia tidak segan menukarkan pisang goreng masakan isterinya  Inggit Ganarsih  dengan sayur mayur dari masyarakat kecil disekitar kediamannya di Ende. Inilah nilai-nilai gotong royong ala orang kecil yang diserap oleh Soekarno.
Kalau selama di Pulau Jawa, Soekarno tenggelam dalam berbagai kegiatan pergerakan dan diskusi sehingga tidak sempat belajar agama Islam secara mendalam. Ketika di Ende, Soekarno lebih banyak belajar agama Islam dan melakukan korespondensi dengan para ulama di Bandung , Surabaya dan Jogyakarta. Jadi di Ende lah Soekarno mendalami agama Islam .
            Justru di Ende lah Soekarno memberi contoh dalam kehidupan beragama. Ia menjadi seorang muslim yang taat dan saleh dengan mengerjakan kewajiban sholat lima waktu. Namun di Ende lah Soekarno pelan-pelan masuk kembali ke dalam dunia cendekiawan baru yakni melakukan diskusi dengan para pastor SVD di Biara Misi Jalan Katedral Ende.
            Selama di Ende, Soekarno juga menyenangi budaya Ende Lio dgn mengenakan sarung Ende. Selama pembuangan , juga menyusun cerita tonil (drama) dan mendirikan Kelimoeteo Toneel Club bersama kawan-kawannya . Kegiatan cendekiawan pertama adalah studi Islam. Dengan gurunya Haji Oemar Said Tjokroaminonto, Soekarno mengenal Islam lebih mendalam.
            Selain mendalami Islam, di Ende Soekarno mendapat kawan diskusi yang seimbang seperti dengan Pater Johannes van der Hijden,SVD, yang menjadi teman diskusi soal agama-agama dan memperkenalkan  agama katolik kepadanya.
            Kawan diskusi Soekarno yang kain adalah Pater Huijtink SVD,  pater ini ditugaskan Belanda untuk mengedit naskah drama Soekarno tetapi akhirnya menjadi kawan diskusi yang baik. Inilah kelompok yang paling terdidik yang bisa mendampingi Soekarno selama di Ende. Terdapat Pater Bouma,SVD, yang mampu meladeni debat dengan Soekarno. Selain itu Pater Van Stiphout SVD sekaligus ahli filsafat.yang baru selesai studi dari Roma
            Menurut Dr Daniel Dhakidae, bahwa Soekarno tampaknya menemukan kawan setara untuk diskusi. Dalam diskusi itu membahas berbagai masalah mulai dari berbagai ragam pengetahuan kita tahu pula ada istilah Vivere pericoloso dan demokrasi terpimpin  yang sebetulnya istilah ini diambil dari perkataan Musolini dari Italia seperti yang diceritakan oleh Pastor Van Stiphout SVD  yang sangat paham tentang Musolini di Italia.

2.      Perspektif Politik

Bung  Karno seorang politikus, seorang insinyur, seorang pemimpin, seorang Presiden, juga seorang suami dan seorang ayah, serta masih ada sebutan-sebutan lainnya. Namun ada satu sebutan yang sejak ia muda hingga wafat tetap melekat pada dirinya, Bung Karno seorang seniman. Seni mengalir deras dalam jiwanya, dan sedikit atau banyak selalu turut mempengaruhi setiap tingkah dan lakunya. (Sewindu Dekat Bung Karno, Bambang Widjanarko 2010 hal.34)
Disamping mempunyai koleksi lukisan yang indah-indah, Bung Karno sendiri memang mengerti dan dapat melukis. Salah satu lukisan buah karyanya adalah yang dibuatnya sewaktu ia dibuang di Flores ketika jaman penjajahan Belanda. (Sewindu Dekat Bung Karno, Bambang Widjanarko 2010 hal.37)
Bung Karno dilahirkan di Jawa Timur dari seorang ayah Jawa dan Ibu Bali. Bung Karno juga dibesarkan  di Jawa Timur. Dengan latar belakang itu, wajar sekali jika Bung Karno menyenangi wayang dan tembang Jawa. (Sewindu Dekat Bung Karno, Bambang Widjanarko 2010 hal.40)
Konon, dikucilkan jauh dari keramaian membuat Bung Karno yang biasa dikerumuni dan dielu-elukan massa saat berpidato, sempat mengalami  frustrasi. Selain "melarikan diri" dengan berkontemplasi, Bung Karno juga mengekspresikan bakat seninya dengan melukis, juga menulis naskah drama dan bermain tonil bersama masyarakat lokal. Beberapa kali Bung Karno mementaskan drama di Gedung Pertunjukan Katolik Santa Maria Immaculata. Ia rajin mendatangi kampung-kampung di Ende, menyapa warga dan mengunjungi Danau Kelimutu sehingga lahirlah naskah drama berjudul "Rahasia Kelimutu".
Kemudian timbul pertanyaan  lain mengapa Soekarno harus dibuang ke Ende Flores NTT bukan ke Pulau atau daerah lain yang sudah lebih maju ? alasan dipilih tempat terpencil yang jauh dari kegiatan politik pergerakan di pulau Jawa.
Dengan mengasingkan Soekarno ke Ende Flores yang terpencil dan tidak ada hubungan komunikasi yang cukup baik saat itu, tujuan Belanda adalah agar gelora jiwa Sioekarno yang berjuang bersama kawan-kawannya di Pulau Jawa terutama Jakarta, Surabaya, akan hilang ditelan waktu.
Mengutip Dr Daniel Dhakidae, Prisma vol 32, No 2 &No 3 2013,  pembuangan Soekarno ke Ende sama sekali tidak menarik perhatian para petinggi Belanda saat itu. Bahkan kolonial Belanda berkeyakinan dengan berada di tempat terpencil Ende Pulau Flores yang terkenal dengan nyamuk malaria, lama kelamaan Soekarno akan sakit dan mati dan tidak lagi memperjuangkan kemerdekaan Negeri ini.
Jauh dari teman-temannya pejuang kemerdekaan, para loyalisnya dan hiruk-pikuk pergerakan politik, Bung Karno lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merenung. Dengan demikian, buah pemikiran Soekarno tentang Pancasila tidak muncul tiba-tiba. Pancasila hadir sebagai hasil dari proses perenungan diri Bung Karno, kontemplasi dan refleksinya secara mendalam selama hidup di Ende. Dikutip dari buku "Bung Karno dan Pancasila, Ilham dari Flores untuk Nusantara", dikisahkan saat di Ende, Bung Karno menjadi lebih banyak berpikir daripada sebelumnya. Ia lebih reflektif-kontemplatif saat di Ende sebab tak banyak aktivitas politik yang bisa ia lakukan di kota kecil nan sunyi yang jauh dari ibu kota dan pusat pergerakan.

3.      Perspektif Kultural

Nilai-nilai kultural yang dimiliki bangsa Indonesia melalui proses refleksi filosofis para pendiri negara seperti Soekarno, M. Yamin, M.Hatta, Soepomo serta para tokoh pendiri negara lainnya.
                    
Kebudayaan Ende-Lio masih sangat dipengaruhi/ ditentukan oleh nilai-nilai kepercayaan yang merupakan simbiose animisme bernafaskan spiritualisme. Jauh di masa lampau, kebudayaan yang tergelar disepanjang padang berbukit pernah digagahi oleh berbagai kebudayaan asing dalam rentang waktu yang cukup lama. Namun berbagai kebudayaan luar itu ternyata tidak mampu membawa perubahan yang berarti terhadap kebudayaan Lio.

            Hingga saat ini, kebudayaan Lio pada semua tatarannya tetap tampil tegar dengan sosoknya yang asli.Berbagai wujud kebudayaan modern yang kian kuat diwarnai dan ditentukan oleh pola pikir nasional memang telah menjejakkan kakiknya di Lio, namun getaran pengaruhnya terbatas dalam kehidupan perkotaan saja. Sementara di pedalaman keseluruhan wujud dan sistem nilai kebudayaan “DU’A NGGA’E” masih tetap hidup utuh dan menjadi pegangan hidup pada masyarakat Lio. Lembaga-lembaga pendidikan formal memang telah masuk menjangkau hampir seluruh pelosok Lio, namun pola pikir analis rasional yang diintrodusirnya ternyata tidak bisa menggeser pola pokir tradisional yang bercorak sintetis dan mitismagis.

            Ikatan primordial masih terjalin amat erat dan keseluruhan lingkup kehidupan dan penghidupan masih tetap diatur oleh Hukum Adat yang mendapatkan legitimasinya dari kekuatan supernatural.

Sistem Religi
            Secara turun-temurun orang Lio percaya akan adanya suatu wujud Ilahi tertinggi, roh-roh (spirits) dan kepercayaan akan adanya kehidupan setelah kematian. Dan orang Lio menyebut wujud tertinggi sebagai DU’A NGGA’E.
            Du’a berarti yang tua atau yang berumur dan Ngga’e berarti keindahan atau berbudi luhur atau bermurah hati.
            Wujud ilahi tertinggi sebenarnya ada sebuah nama yang panjang yaitu: DU’A GHETA LULU WULA, NGGA’E GHALE WENA TANA artinya yang tinggal jauh diatas dibalik bulan yang berbudi luhur, yang tinggal jauh dibawah, didalam Bumi.
            Dengan nama itu orang Lio mau mengungkapkan hakekat dan sifat khas utama ilahi tertinggi itu antara lain, bahwa wujud ilahi tertinggi itu mirip seorang tua yang berbudi luhur, yang hanya mengenal kebaikan dan tak mengenal kejahatan sedikitpun.
            Namun demikian wujud ilahi tertinggi itu melebihi sosok manusia yang paling perkasa. Sebab DU’A NGGA’E terutama dialami sebagai Pencipta, Penyelenggara, dan Penguasa segala sesuatu, baik yang berada di Bumi maupun di langit.
            Dengan demikian jelas orang Lio mengalami DU’A NGGA’E sebagai suatu misteri iman yang harus dilaksanakan dalam setiap peristiwa, baik Kelahiran, Perkawinan, Kematian maupun pada saat Panen dan Kelaparan.
            Dari theologi ini tercermin pandangan orang Lio tentang Dunia dan Manusia. Bagi orang Lio, Dunia dan Manusia adalah ciptaan DU’A NGGA’E oleh karenanya keberadaan Dunia dan Manusia bergantung pada DU’A NGGA’E dan tidak boleh dirubah.
            Selain percaya pada DU’A NGGA’E orang Lio juga percaya akan adanya Nitu/roh-roh halus. Menurut sifatnya Nitu dibedakan dalam dua kelompok yakni, Nitu Molo dan Nitu Ree.
            Nitu Molo yaitu roh yang terdapat pada setiap makhluk atau benda sebagai pelindung dari benda atau makhluk tersebut, misalnya:

-          Nitu Dai Sao (Roh Pelindung Rumah)
-          Nitu Nua (Roh Pelindung Kampung)
-          Nitu Ae (Roh Penjaga Sungai dan Mata Air)
-          Nitu Ngebo (Roh Penjaga Kebun)

Sedangkan Nitu Ree adalah roh jahat yang berkeliaran disekitar tempat tinggal manusia seperti:
-          Nitu Fengge Ree (Roh Perusak Tanaman dan Manusia)
-          Nitu Longgo Mbenga (Roh Wanita yang suka mencelakakan anak-anak)
-          Ule Ree (Roh yang menggoda kaum pria dan wanita untuk melakukan hubungan sex yang tidak terpuji)

Orang Lio juga berkeyakinan bahwa kematian bukan merupakan ketidakhadiran radikal melainkan perpindahan tempat saja setelah kematiannya, manusia tetap hadir dalam wujud Roh atau Ana Mae, yang tetap diperlukan sebagai warga suku dan mempunyai peran terhadap sukunya.
Lebih lanjut dikatakan, semua Ana Mae yang juga disebut Nitu Ata, tempat berkumpulnya di puncak gunung Kelimutu.
Kelimutu sesungguhnya berasal dari keyakinan tersebut:
-          Keli berarti gunung.
-          Mutu berarti berkumpul.
Tetapi keyakinan tersebut, Ana Mae yang berkumpul di Kelimutu, hanyalah roh nenek moyang atau Embu Babo/ Embu Mamo. Roh-roh manusia yang baru meniggal dianggap masih berkeliaran disekitar kampung.
Keyakinan akan adanya kekuatan tersebut membangkitkan iman setiap warga, yang ditandai dengan beberapa sikap penyerahan diri – dimana dapat dilihat pada kejadian-kejadian alam yang dahsyat.
Dalam peristiwa semacam ini orang Lio menyatakan sikap kepatuhannya kepada DU’A NGGA’E melalui Doa dan Paa Loka serta persembahan. Secara spatial kebaktian itu dilakukan di Wisu Lulu yakni diruang sudut kanan belakang dari ruang dalam (ONE) sebuah rumah adat (SAO NGGUA) atau SAO RIA.Saga yang terletak dihalaman diluar rumah kebaktian terutama dilakukan di Tubu Kanga/ Tubu Saga yang terletak dihalam depan SAO NGGUA/SAO RIA.Kebaktian untuk DU’A NGGA’E dan Embu Babo selain dilakukan sejalan karena orang Lio selalu membutuhkan EMBU BABO untuk menjadi pengantara menghadap DU’A NGGA’E.Wisu Lulu dan Tubu Kanga dibaktikan hanya untuk menghadap DU’A NGGA’E, sedangkan untuk Nitu Kebaktian dilakukan ditempat-tempat lainnya. Persebahan untuk DU’A NGGA’E, Embu Babo dan Nitu Molo berbeda dengan bentuk Nitu Ae.
Masyarakat Ende Lio ditinjau dari segi sosiologis, termasuk kelompok masyarakat yang memiliki prinsip-prinsip solidaritas dan reprositas, dimana prinsip-prinsip solidaritas terlihat pada pranata-pranata perkawinan, kematian maupun bercocok tanam-sedangkan prinsip-prinsip resiprositas yang bisa terlihat pada hubungan struktur diantara kelompok suku yang ada.
Patut diakui kehadiran agama Katolik-sebagai pemeluk mayoritas Ende Lio mampu memperkuat dan mempertebal semangat dan nilai-nilai sosial yang dimiliki masyarakat.Dilihat dari segi psikologis-budaya, Ende Lio memperlihatkan tipe pergaulan terbuka apalagi mendapat pendekatan yang baik, bersedia mengungkapkan secara terbuka perasaanya dalam berhubungan dengan sesamanya maupun dengan kelompok luar. Sikap ramah-tamah dengan tamunya diperlihatkan dengan jelas, selain itu sikap menghargai dan patuh kepada pimpinan sangat besar, sehingga tidak sulit apabila diberi pembinaan.Meskipun nilai-nilai feodal masih sedikit terasa, namun setiap warga secara individual memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuannya menjadi besar.
Dalam proses permenungannya melahirkan gagasan Pancasila, terdapat satu tempat keramat bernilai historis yang rajin didatangi Bung Karno untuk berkontemplasi.  Tempat itu adalah di bawah pohon Sukun yang tumbuh menghadap langsung ke Pantai Ende. Kini, di lokasi itu telah dibangun Monumen dan Patung Permenungan Soekarno. Letak pohon Sukun itu berjarak 700 meter dari kediamannya. Secara rutin Bung Karno seorang diri datang ke tempat itu setiap Jumat malam. Ia bisa menghabiskan waktu berjam-jam berada di bawah pohon Sukun itu. Di tempat itu, Bung Karno mengaku buah pemikiran Pancasila tercetus sebagaimana dikisahkan nya :

Penutup
            Bung Karno sebagai proklamator dan Bung Karno sebagai tokoh politik nasional dan internasional telah banyak ditulis orang.
Soekarno, sang Proklamator kemerdekaan Indonesia (bersama dengan Mohamad Hatta), yang menggali Pancasila dan dikenal diseluruh negeri sebagai Presiden pertama RI yang berkharisma.
            Setiap orang dilahirkan dengan banyak segi, yang terlihat maupun yang tidak terlihat, ada baiknya ada pula buruknya, mempunyai kelebihan dan juga kekurangan. Begitu pula Bung Karno atau Soekarno, Pahlawan, Proklamator, dan Presiden RI pertama. Dengan segala keadaannya , positif maupun negatif, Bung Karno akan terus dikenang dan dibicarakan orang.
Bung Karno telah memberikan dan mengorbankan segala-galanya yang beliau miliki bagi Nusa dan Bangsa Indonesia yang beliau cintai. Di media sosial, ada foto Bung Karno dengan tulisan sebagai berikut : Bangga Ja’o (saya) jadi ata (orang) Ende. Dari kota kecil Ende ini, Pancasila dicetuskan untuk Indonesia. 
Semoga tulisan ini lebih dapat menguatkan jiwa kebangsaan didalam diri kita.












DAFTAR PUSTAKA


1.      80 th Bung Karno, Penerbit Sinar Harapan
2.      Bambang Wijanarko, Sewindu Dekat Bung Karno, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Juli 2010.
3.      Ben Mboy, dr., MPH., ; Biografi.
4.      Bung Karno di Kata Dunia Baru,Kenangan 100 tahun Bung Karno – Grasindo
5.      Bung Karno, Ilham dari Flores untuk Nusantara, Penerbit Nusa Indah.
6.      Cindy Adams: Dibawah Bendera Revolusi.
7.      Cindy Adams: Soekarno Penyambung Lidah Rakyat Jili Pertama
8.      Daniel Dhakidae, Dr., Prisma, Vol. 32, No 2 & 3, 2013.
9.      Djon Pakan. Kembali ke Jatidiri Bangsa Indonesia.
10.  Frans Seda, Dr.,: Symfony Tanpa Henti
11.  Garuda Emas Pancasila Sakti,Yayasan Pembela Tanah Air Pusat (PETA)
12.  H. Mangil Martowidjoyo. Kesaksian Tentang Bung Karno,1945-1967,– Grasindo
13.  Kaelau, Dr., MS., Pendidikan Pancasila, Fakutas Filsafat UGM, Paradigma Yogyakarta, 2004.
14.  Pancasila suatu orientasi singkat, Penerbit Aries Lima – Jakarta.
15.  Pieter Djoka, Karakteristik DTW Ende-Lio, Buletin Lintasan Wisata, Edisi ke 2, 92/93.
16.  Prisma: Edisi 32, Vol 2 & Vol 3 2013
17.  Roso Daras: Total Bung Karno.
18.  Rozali Abdulah, SH., Pancasila Sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa.
19.  Soedjono dr., Monumen Pancasila Sakti, PT.Rosda Jayaputra – Jakarta, 1984.
20.  Soeharto: Ucapan, Tindakan Saya, Otobiografi – G Dwipayana
21.  Soekarno Ir., Membangun Dunia yang Baru (To Build The World A New), Media Presindo, Sagan GK V/979 Yogyakarta, 55223, Cet. I-Des 2000.
22.  Suara Syuradikara. Pancasila Dari Nusa Bunga Untuk Indonesia, Surat Kabar 2013
23.  Willemijn De Jong, Prof. Dr., Luka, Lawo, Ngawu, Kekayaan Kain Tenunan dan Belis di Wilayah Lio, Flores Tengah, Penerbit Ledalero, Agustus 2015.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar