REFORMASI BIROKRASI PELAYANAN
PUBLIK
Ondy
Ch. Siagian
Widyaiswara
BP4D Provinsi NTT
PENDAHULUAN
Pelayanan publik dapat dinyatakan
sebagai segala bentuk pelayanan di sektor publik, yang dilaksanakan aparatur
pemerintah, dalam bentuk penyediaan barang dan atau jasa sesuai kebutuhan
masyarakat, berdasarkan aturan-aturan hukum perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hubungan ini salah satu fungsi penting dan utama instansi pemerintah
adalah sebagai perangkat pemberi pelayanan. Sebagus itu rencana dan
idiologinya, tetapi pelaksanaan kewajiban untuk menyediakan dan memberikan jasa
pelayanan oleh berbagai instansi pemerintah kepada masyarakat, dalam
kenyataannya masih belum bisa memberikan kepuasan kepada warga masyarakat. Dan
sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi pelayanan publik di Indonesia masih
dinilai buruk oleh masyarakat pengguna pelayanan publik.
Berbagai keluhan dan kritik banyak
disuarakan masyarakat kepada lembaga pemerintah penyelenggara pelayanan berkait
dengan kondisi pelayanan kepada masyarakat baik di tingkat pusat maupun di
daerah. Kasus demi kasus dalam berbagai sektor pelayanan terjadi, sementara
praktek pelayanan publik masih dirasakan
gamang dan hanya sekedar memenuhi tuntutan tugas dan peraturan.
PERMASALAHAN
PELAYANAN PUBLIK
1. Kurangnya Sosialisasi Peraturan
Semua urusan sebenarnya sudah ada
peraturannya, tapi sayangnya, peraturan-peraturan itu kurang disosialisasikan. Informasi
mengenai kejelasan mengenai peraturan dan prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) yang berlaku masih sangat kurang.
Padahal, ini sangat penting, terutama di pos-pos pelayanan masyarakat yang
strategis. Misalnya perihal pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP,
Sertifikat Tanah, Paspor, atau Surat Nikah. Akibatnya, informasi yang sampai ke
masyarakat umum menjadi terbatas dan terkesan simpang-siur. Banyak masyarakat
yang tidak tahu mengenai prosedur baku (SOP-Standart
Operating Procedure) suatu layanan. Celakanya, hal ini lantas dimanfaatkan
oleh segelintir oknum tidak bertanggung jawab atau orang-orang oportunis yang duduk
di birokrasi, untuk menjalankan praktek yang tidak prosedur demi keuntungan
pribadi.
2. Kinerja Pegawai Rendah
Sudah menjadi rahasia umum, kalau etos
kerja pegawai pelayanan publik buruk. Ini termasuk masalah kedisiplinan yang
rendah, attitude dalam memberikan pelayanan yang kurang baik, maupun
kurang tegasnya sanksi bagi pegawai yang berkinerja buruk. Seperti petugas
pelayanan yang tidak ramah saat memberikan pelayanan, tidak tepat waktu,
lambat, kebanyakan bercerita yang tidak terkait dengan pekerjaan, sering tidak
masuk kantor, dan lain sebagainya. Jadi bagaimana pelayanan publik bisa
maksimal kalau pegawai-nya tidak disipilin, berkinerja rendah, dan tidak takut
berbuat kesalahan karena tidak adanya sanksi yang tegas.
3. Penempatan Pegawai yang Kurang Tepat
Sarjana Tekhnik Kimia sebagai pegawai
administrasi, Sarjana Hukum sebagai pranata komputer, Sarjana Informasi dan Teknologi
sebagai front officer, Sarjana Pertanian sebagai Kepala Dinas Kependudukan dan
Catatan Sipil. Carut marut rekrutmen dan penempatan pegawai sudah menjadi
cerita lama, dan hamper dijumpai diseluruh instansi pemerintah mulai dari pusat
sampai ke daerah.
Sederhana saja. Bagaimana mungkin mengharapkan kinerja
maksimal dari seseorang, ketika yang bersangkutan diberi pekerjaan yang
kurang/tidak sesuai dengan bidang keahliannya?
4. Menjamurnya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Dalam kesempatan ini, penulis tertarik
untuk menyorot korupsi dari sisi lain, yaitu dari sisi melemahkan kinerja
birokrasi, yang dalam hal ini, akan berimbas pada buruknya pelayanan publik.
Lemahnya penindakan korupsi, membuat para pejabat dan pegawai yang melakukan korupsi
bebas merajalela menggerogoti sistem dari dalam. Hal ini kemudian mebuat para pegawai
yang bersih, jujur, dan berintegritas tinggi mengalami demoralisasi tingkat
akut. Semangat kerja menurun, karena merasa prestasinya tertutupi dengan borok
Korupsi di instansinya. Hasilnya, yang bobrok makin bobrok, yang jujur dan
bersih menjadi “malas” untuk bertindak karena kerusakan sistem telah akut.
5. Maraknya Suap/Gratifikasi
Selalu saja ada sebagian orang yang
mencoba untuk “bypass” segala prosedur baku agar urusannya bisa
selesai lebih cepat dan mudah. Tidak ada bentuk iming-iming yang lebih ampuh dari pada
uang. Praktek suap-menyuap ini mulanya sedikit dan terselubung, lama-lama
menjadi marak, dan kemudian malah menjadi semacam “Industri Baru” yang lantas
juga ikut melibatkan oknum-oknum lain di luar birokrasi, yang lantas terkenal
dengan istilah “Calo”.
Akibatnya, seperti sekarang ini. Urusan yang ada uangnya
akan lebih didahulukan. Celakanya, karena sudah menjadi “Industri”, permintaan
mengalir terus, tanpa henti. Jadi, permohonan maaf bagi yang tidak punya uang, harus
bersedia antre dan sabar lebih lama, atau datang aja besok lagi, atau minggu
depan saja toh orang miskin sudah terlatih untuk sabar. Sampai-sampai
muncul istilah ”orang miskin dilarang sakit”.
6. Kurangnya komitmen untuk berubah?
Berdasarkan pandangan penulis,
sepertinya masih banyak pihak yang tidak mau sistem berjalan baik. Mengapa? kalau
sistem berjalan dengan baik, maka “celah-celah” yang biasanya dipakai untuk
mengeruk uang negara akan makin mengecil, dan bukan mustahil akan tertutup
rapat. Kalau seperti ini, maka oknum-oknum tidak lagi bisa leluasa menjalankan
praktek kotor dalam pelayanan publik. Tentu mereka tidak rela sumber pendapatan
yang akan digunakan untuk membiayai gaya hidupnya menguap begitu saja.
Kalau sistem berjalan dengan baik,
maka tidak akan ada lagi pegawai yang mulai bekerja jam 10.00 pagi, Tidak akan
ada lagi yang
berkeliaran di Mall dan pasar pada jam kerja. Tidak akan ada lagi
buka facebook dan main game komputer seharian penuh.
REFORMASI DAN
REVITALISASI PELAYANAN PUBLIK
Oleh karena itu reformasi kebijakan
bidang penyelenggaraan pelayanan publik, harus dilakukan secara menyeluruh,
agar tidak terfragmentasi secara sektoral dan tanpa koherensi yang logis, serta
terselenggara bersesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Reformasi didefinisikan sebagai perubahan radikal untuk perbaikan di berbagai
bidang dalam suatu masyarakat atau negara..
Revitalisasi dan
pembangunan sektor publik perlu dilakukan untuk mewujudkan birokrasi publik
yang mampu mengelola tugas pemerintahan dan pembangunan secara efisien,
efektif, responsif dan bertanggungjawab, serta demokratis dalam menjalankan
tata pemerintahan secara terbuka terhadap kritik dan kontrol dari masyarakat. Sehinga
kondisi birokrasi publik yang diidentikan dengan kinerja yang berbelit-belit,
berpola patron klien, tidak memiliki standar pelayanan yang jelas/pasti, tidak
kreatif, struktur yang gemuk, penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme perlu
segera dilakukan perbaikan kearah perubahan.
KESIMPULAN
Dari penjabaran
di atas dapat disimpulkan bahwa birokrasi pemerintah mulai dari pusat sampai ke
daerah harus semakin terbuka dan fleksibel dalam hubungannya dengan kepentingan
publik sehingga dapat lebih mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan
keadaan. Untuk itu perlu pembinaan kualitas birokrasi secara terus menerus agar
dapat diciptakan sosok birokrasi atau aparatur yang professional dan
berkarakter.
DAFTAR PUSTAKA
Osborne, David & Ted Gaebler,
1996. Reiventing Governmet
(Mewirausahakan Birokrasi), Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Siagian, S.P. 1994. Patologi Birokrasi Identifikasi dan
Terapinya, Ghalia Indonsia. Jakarta.
Thoha, M. 2002. Birokrasi dan
Politik di Indonesia. Jakarta. Rajawali Pers.
Zauhar, S. 1996. Reformasi Administrasi
: Konsep, Dimensi dan Strategi. Jakarta. Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar