Jumat, 11 Januari 2013

Artikel


Pelayanan Prima sudahkah menjadi realita?
Drs. Alexander B. Koroh, MPM
 Daud Dara, S.Sos

Memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan merupakan  tujuan utama dari pelayanan prima. Pelayanan prima juga dapat dikatakan sebagai  muara dari seluruh aktifitas pada organisasi sektor publik, dimana penyedia dan pemberi layanan bersentuhan langsung dengan penerima layanan (baca: client/costumer). Dinas, Badan, Biro, Kantor secara substansial tidak hanya memiliki core business  yang jelas tetapi juga client/costumer yang tepat. Dengan demikian masing-masing instansi memiliki karakter dan keunikan tersendiri dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggannya. Mengetahui dan menetapkan jumlah pelanggan yang akan dilayani perlu dilakukan secara tepat karena instansi memiliki keterbatasan sumber daya baik, SDM, dana, waktu, dan perlengkapan pendukung, sehingga akan dapat memberikan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan.

Motivasi yang tulus untuk melayani, dapat membantu terwujudnya tutur kata dan perilaku yang sopan dan ramah dalam melayani. Keterbukaan hati dan senyum yang ramah akan membuat pelanggan merasa nyaman dalam menerima pelayanan. Nilai stewardship (kepelayanan) merupakan landasan etis yang tertanam dan terpelihara dengan baik dalam kalbu aparatur akan membantunya untuk memberikan pelayanan yang prima. Akan tetapi elemen etika saja tidak cukup karena kecendrungan manusia (baca: aparatur) yang dapat berubah sewaktu-waktu sehingga dapat menyebabkannya untuk gagal memberikan pelayanan prima.
Seiring dengan penjelasan di atas, penetapan Standar Pelayanan Minimum (SPM) juga membantu  apraratur dan penerima layanan untuk dapat menjaga standar mutu pelayanan. Hal ini penting sehingga kualitas layanan dapat mencakup ranah yang luas dengan standar mutu yang sama. Artinya,  pelayanan kesehatan di DKI Jakarta mesti tidak ada kesenjangan dibandingkan dengan pelayanan kesehatan di Provinsi NTT. Demikian pula halnya standar mutu pelayanan kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup dan bidang pelayanan lainnya juga harus menampilkan standar mutu pelayanan yang sama antara satu Kabupaten/Kota dengan yang lainnya.
Selain aspek etika, regulasi yang mengatur implementasi pelayanan prima perlu dilakukan, sehingga pelayanan prima dapat senantiasa terwujud. Contohnya, di New Zealand, setelah seorang bidan begitu menyelesaikan sift pelayanannya, ia akan memberikan format evaluasi tentang kepuasan pasien yang dilayani untuk dievaluasi pasien. Hasil evaluasi tersebut kemudian dikirim ke pusat kebidanan via post yang akan dinilai secara objektif oleh evaluator pusat. Dengan demikian tutur kata, bahasa tubuh, tingkah laku penyedia layanan akan diusahakan olehnya untuk senantiasa baik dari pada akan memperoleh sanksi jika melakukan sebaliknya. Contoh lainnya di Jerman, agar tidak terjadi kesenjangan antara aparatur dan penerima layanan, maka aparatur tidak berseragam, mereka menggunkan pakaian bebas rapi, ide besarnya adalah dengan demikian ada kesetaraan dan kesederajatan antara kedua pihak; pelanggan tidak merasa terasing atau berbeda karena melihat seragam aparatur.
Bila kita menilik secara mendalam kelihatannya pelayanan prima pada sebagian besar sektor kehidupan kita belum menjadi kenyataan. Pernyataan sinis yang menggambarkan pelayanan aparatur seperti “kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah” secara faktual masih menggambarkan suasana pelayanan kita yang pada umumnya  masih jauh dari prima. Realita juga menunjukkan masih banyak pasien yang mengeluh tentang pelayanan kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit yang buruk. Banyak pula pengguna jalan yang mengenluh tentang kondisi jalan yang berlubang dan tergenang air di musim hujan. Demikian pula halnya, dalam sektor perhubungan, kondisi terminal bis dan terminal pelabuhan laut yang tidak nyaman dan berbau; pada bidang tata kota, taman kota yang sangat terbatas jumlahnya, kondisi toilet umum yang belum memenuhi persyaratan kuantitas dan standar higenis; pelayanan air minum yang baru mencapai sebagian kecil dari keluarga di NTT, menunjukkan bahwa pelayanan pemerintah belum dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan individu dan masyarakat NTT.
Kondisi pelayanan prima yang belum prima hendaknya tidak mematahkan hasrat dan semangat kita untuk mewujudkan pelayanan prima. Etika dan regulasi yang dijalankan dengan baik dapat membantu kita untuk mewujudkan pelayanan prima. Terwujudnya pelayanan prima oleh aparatur dalam berbagai sector kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, perhubungan, pertanian dan perkebunan, perikanan dan kelautan dan bidang kehidupan lainnya, tidak hanya akan mewujudkan rasa trust (percaya) masyarakat pada pemerintah, tetapi lebih dari itu membantu mewujudkan kesejahteraan bagi individu dan masyarakat NTT. Mari kita berlomba mewujudkan pelayanan prima pada bidang kerja kita masing-masing. Pasti bisa.