Pelayanan Prima sudahkah menjadi realita?
Drs. Alexander B. Koroh, MPM
Daud Dara, S.Sos
Memenuhi kebutuhan dan kepuasan
pelanggan merupakan tujuan utama dari
pelayanan prima. Pelayanan prima juga dapat dikatakan sebagai muara dari seluruh aktifitas pada organisasi
sektor publik, dimana penyedia dan pemberi layanan bersentuhan langsung dengan
penerima layanan (baca: client/costumer).
Dinas, Badan, Biro, Kantor secara substansial tidak hanya memiliki core business yang jelas tetapi juga client/costumer yang tepat. Dengan demikian masing-masing instansi
memiliki karakter dan keunikan tersendiri dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan
pelanggannya. Mengetahui dan menetapkan jumlah pelanggan yang akan dilayani
perlu dilakukan secara tepat karena instansi memiliki keterbatasan sumber daya
baik, SDM, dana, waktu, dan perlengkapan pendukung, sehingga akan dapat
memberikan pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan.
Motivasi yang tulus untuk
melayani, dapat membantu terwujudnya tutur kata dan perilaku yang sopan dan
ramah dalam melayani. Keterbukaan hati dan senyum yang ramah akan membuat
pelanggan merasa nyaman dalam menerima pelayanan. Nilai stewardship (kepelayanan) merupakan landasan etis yang tertanam dan
terpelihara dengan baik dalam kalbu aparatur akan membantunya untuk memberikan
pelayanan yang prima. Akan tetapi elemen etika saja tidak cukup karena
kecendrungan manusia (baca: aparatur) yang dapat berubah sewaktu-waktu sehingga
dapat menyebabkannya untuk gagal memberikan pelayanan prima.
Seiring dengan penjelasan di
atas, penetapan Standar Pelayanan Minimum (SPM) juga membantu apraratur dan penerima layanan untuk dapat
menjaga standar mutu pelayanan. Hal ini penting sehingga kualitas layanan dapat
mencakup ranah yang luas dengan standar mutu yang sama. Artinya, pelayanan kesehatan di DKI Jakarta mesti
tidak ada kesenjangan dibandingkan dengan pelayanan kesehatan di Provinsi NTT.
Demikian pula halnya standar mutu pelayanan kesehatan, pendidikan, lingkungan
hidup dan bidang pelayanan lainnya juga harus menampilkan standar mutu
pelayanan yang sama antara satu Kabupaten/Kota dengan yang lainnya.
Selain aspek etika, regulasi yang
mengatur implementasi pelayanan prima perlu dilakukan, sehingga pelayanan prima
dapat senantiasa terwujud. Contohnya, di New Zealand, setelah seorang bidan
begitu menyelesaikan sift pelayanannya, ia akan memberikan format evaluasi
tentang kepuasan pasien yang dilayani untuk dievaluasi pasien. Hasil evaluasi
tersebut kemudian dikirim ke pusat kebidanan via post yang akan dinilai secara
objektif oleh evaluator pusat. Dengan demikian tutur kata, bahasa tubuh,
tingkah laku penyedia layanan akan diusahakan olehnya untuk senantiasa baik
dari pada akan memperoleh sanksi jika melakukan sebaliknya. Contoh lainnya di
Jerman, agar tidak terjadi kesenjangan antara aparatur dan penerima layanan,
maka aparatur tidak berseragam, mereka menggunkan pakaian bebas rapi, ide
besarnya adalah dengan demikian ada kesetaraan dan kesederajatan antara kedua
pihak; pelanggan tidak merasa terasing atau berbeda karena melihat seragam
aparatur.
Bila kita menilik secara mendalam
kelihatannya pelayanan prima pada sebagian besar sektor kehidupan kita belum
menjadi kenyataan. Pernyataan sinis yang menggambarkan pelayanan aparatur
seperti “kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah” secara faktual masih
menggambarkan suasana pelayanan kita yang pada umumnya masih jauh dari prima. Realita juga
menunjukkan masih banyak pasien yang mengeluh tentang pelayanan kesehatan di
Puskesmas dan Rumah Sakit yang buruk. Banyak pula pengguna jalan yang mengenluh
tentang kondisi jalan yang berlubang dan tergenang air di musim hujan. Demikian
pula halnya, dalam sektor perhubungan, kondisi terminal bis dan terminal
pelabuhan laut yang tidak nyaman dan berbau; pada bidang tata kota, taman kota
yang sangat terbatas jumlahnya, kondisi toilet umum yang belum memenuhi
persyaratan kuantitas dan standar higenis; pelayanan air minum yang baru mencapai
sebagian kecil dari keluarga di NTT, menunjukkan bahwa pelayanan pemerintah belum
dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan individu dan masyarakat NTT.
Kondisi pelayanan prima yang
belum prima hendaknya tidak mematahkan hasrat dan semangat kita untuk
mewujudkan pelayanan prima. Etika dan regulasi yang dijalankan dengan baik
dapat membantu kita untuk mewujudkan pelayanan prima. Terwujudnya pelayanan
prima oleh aparatur dalam berbagai sector kehidupan seperti pendidikan,
kesehatan, perhubungan, pertanian dan perkebunan, perikanan dan kelautan dan
bidang kehidupan lainnya, tidak hanya akan mewujudkan rasa trust (percaya) masyarakat pada pemerintah, tetapi lebih dari itu
membantu mewujudkan kesejahteraan bagi individu dan masyarakat NTT. Mari kita
berlomba mewujudkan pelayanan prima pada bidang kerja kita masing-masing. Pasti
bisa.