Minggu, 27 Januari 2013

Artikel



BAGAIMANA MEWUJUDKAN WIDYAISWARA
PROVINSI NTT SEBAGAI AGENT OF CHANGE

(Mariance Pellokila ,Spt, MSi)

Sebagai Widyaiswara patut melakukan  refleksi ataupun introspeksi, evaluasi diri, apa yang telah kita lakukan selama ini. Bagi Pembangunan aparatur sumber daya manusia, barangkali baik pula melakukan refleksi dan evaluasi itu untuk sekali lagi melihat apa yang telah dilakukan, paling tidak perjalanan kita sejak tahun lalu hingga tahun ini, sesuai dengan peran, tugas dan pengabdian Widyaiswara, baik kepada diri sendiri, ataupun kepada Institusi kediklatan yang menaungi elemen utama widyaiswara terhadap pembangunan kediklatan itu sendiri maupun peningkatan aparatur  sumber daya manusia.

Dengan evaluasi dan refleksi itu, pastilah muncul semangat dan tekad yang baru untuk melakukan perbaikan, untuk meningkatkan hal - hal yang dirasa belum maksimal dilaksanakan menuju hasil yang lebih baik lagi, dengan melakukan refleksi dan introspeksi menuju ke kinerja yang lebih baik  di masa depan, dalam upaya bersama mewujudkan Widyaiswara Provinsi NTT sebagai organisasi yang benar-benar memberikan dan membawa manfaat bagi kediklatan itu sendiri, maupun Aparatur sumber daya manusia  oleh sebab itu hal-hal yang perlu dilaksanakan yaitu :
·           Pertama adalah Bagaimana Badan Diklat Provinsi NTT dapat meningkatkan perannya yang lebih konstruktif  kepada seluruh elemen widyaiswara yang ada.
·           Kedua, bagaimana widyaiswara dapat berkontribusi dalam membina, memberdayakan dan memajukan sistim kediklatan dalam pembangunan bangsa dan negara secara menyeluruh, khususnya di Provinsi NTT.
Terkait peran-peran  tersebut diatas, saya mau mencoba meletakkan peran widyaiswara dalam konteks pembangunan aparatur sumber daya manusia yang kita lakukan saat kini secara tepat, secara proporsional, secara wajar, dengan demikian, sekali lagi, upaya untuk memberdayakan dan memajukan sistim kediklatan, bukan hanya dilakukan oleh pihak pemerintah, tetapi yang terutama mestilah berangkat dari tekad yang kuat dan upaya yang nyata yang dilakukan oleh aparatur kediklatan itu sendiri, agar peran kediklatan yang menaungi elemen penting yaitu widyaiswara lebih professional dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya dalam mendidik dan membina aparatur pegawai negeri sipil kearah yang lebih baik.
Dari uraian diatas, dapatlah dirumuskan beberapa permasalahan yaitu :
1.     Belum maksimalnya peran diklat sebagai suatu badan yang menaungi elemen penting dari pada widyaiswara itu sendiri.
2.     Peran dan fungsi dari pada widyaiswara belum didukung dengan sarana dan prasarana yang sesuai dengan standar yang dibutuhkan.



Apa Itu Agen Of Chenges

Widyaiswara sebagai Agen perubahan (Agent of Change) adalah orang yang bertugas mempengaruhi orang lain (klien) agar mau menerima inovasi sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh agen  perubahan (Agent Of Chage). Pekerjaan ini mencakup berbagai macam pekerjaan seperti widyaiswara, guru, konsultan, penyuluh kesehatan, penyuluh pertanian, peternakan  dan sebagainya. Semua agen perubahan bertugas membuat jalinan komunikasi antara pengusaha perubahan (sumber inovasi) dengan sistem klien (sasaran inovasi).

Tugas utama agen perubahan adalah melancarkan jalannya arus inovasi kepada klien. Proses komunikasi ini akan efektif jika inovasi yang disampaikan ke klien harus dipilih sesuai dengan kebutuhannya atau sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Keberhasilan agen perubahan dalam melancarkan proses komunikasi antara pengusaha perubahan dengan klien, merupakan kunci keberhasilan proses difusi inovasi. Selain itu agen perubahan melakukan seleksi informasi untuk dapat disesuaikan dengan masalah dan kebutuhan klien.




 Fungsi dan Tugas Widyaiswara Sebagai Agen Of Changes

Fungsi utama agen of change dalam hal ini widyaiswara adalah sebagai penghubung antara pengusaha perubahan (change agency) dalam hal ini badan diklat , tujuannya agar  inovasi dapat diterima atau diterapkan oleh badan diklat sesuai dengan keinginan pengusaha perubahan. Kunci keberhasilan diterimanya inovasi oleh klien terutama terletak pada komunikasi antara agen perubahan dengan badan diklat. Jika komunikasi lancar dan efektif proses penerimaan inovasi akan lebih cepat dan makin mendekati tercapainya tujuan yang diinginkan. Sebaliknya jika komunikasi terhambat makin tipis harapan diterimanya inovasi. Oleh karena tugas utama yang harus dilakukan agen perubahan adalah memantapkan hubungan dengan klien. Kemantapan hubungan antara agen perubahan dengan klien, maka komunikasi akan lebih lancar.

Rogers, mengemukakan ada tujuh langkah kegiatan agen perubahan dalam pelaksanaan tugasnya inovasi pada sistem klien, sebagai berikut.

1.     Membangkitkan kebutuhan untuk berubah.
Biasanya agen perubahan/widyaiswara pada awal tugasnya diminta untuk membantu  masyarakat/ aparatur pemerintahan  agar mereka sadar akan perlunya perubahan. Agen perubahan mulai dengan mengemukakan berbagai masalah yang ada, membantu menemukan masalah yang penting dan mendesak, serta meyakinkan masyarakat/aparatur pemerintahan bahwa mereka mampu memecahkan masalah tersebut. Pada tahap ini agen perubahan menentukan kebutuhan klien dan juga membantu caranya menemukan masalah atau kebutuhan dengan cara konsultatif.
2.     Memantapkan hubungan pertukaran informasi. Sesudah ditentukannya kebutuhan untuk berubah, agen perubahan /widyaiswara harus segera membina hubungan yang lebih akrab dengan klien. Agen perubahan dapat meningkatkan hubungan yang lebih baik kepada klien dengan cara menumbuhkan kepercayaan masyarakat/ aparatur pemerintahan pada kemampuannya, saling mempercayai dan juga agen perubahan harus menunjukan empati pada masalah dan kebutuhan klien .
3.     Mendiagnosa masalah yang dihadapi. Agen perubahan/widyaiswara  bertanggung jawab untuk menganalisa situasi masalah yang dihadapi klien, agar dapat menentukan berbagai alternatif jika tidak sesuai kebutuhan klien. Untuk sampai pada kesimpulan diagnosa agen perubahan harus meninjau situasi dengan penuh empati. Agen perubahan melihat masalah dengan kacamata masyarakat/ aparatur pemerintahan , artinya kesimpulan diagnosa harus berdasarkan analisa situasi dan psikologi aparatur pemerintahan, bukan berdasarkan pandangan pribadi agen perubahan.
4.     Membangkitkan kemauan masyarakat dalam hal ini aparatur pemerintahan untuk berubah. Setelah agen perubahan menggali berbagai macam cara yang mungkin dapat dicapai oleh aparatur pemerintahan  untuk mencapai tujuan, maka agen perubahan bertugas untuk mencari cara memotivasi dan menarik perhatian agar aparatur pemerintahan timbul kemauannya untuk berubah atau membuka dirinya untuk menerima inovasi. Namun demikian cara yang digunakan harus tetap berorientasi pada aparatur pemerintahan, artinya berpusat pada kebutuhan aparatur pemerintahan
5.     Mewujudkan kemauan dalam perbuatan. Agen perubahan berusaha untuk mempengaruhi tingkah laku klien dengan persetujuan dan berdasarkan kebutuhan klien jadi jangan memaksa. Dimana komunikasi interpersonal akan lebih efektif kalau dilakukan antar teman yang dekat dan sangat bermanfaat kalau dimanfaatkan pada tahap persuasi dan tahap keputusan inovasi. Oleh kerena itu dalam hal tindakan agen perubahan yang paling tepat menggunakan pengaruh secara tidak langsung, yaitu dapat menggunakan pemuka masyarakat agar mengaktifkan kegiatan kelompok lain.
6.     Menjaga kestabilan penerimaan inovasi . Agen perubahan harus menjaga kestabilan penerimaan inovasi dengan cara penguatan kepada aparatur pemerintahan yang telah menerapkan inovasi. Perubahan tingkah laku yang sudah sesuai dengan inovasi dijaga jangan sampai berubah kembali pada keadaan sebelum adanya inovasi.
7.     Mengakhiri hubungan ketergantungan. Tujuan akhir tugas agen perubahan adalah dapat menumbuhkan kesadaran untuk berubah dan kemampuan untuk merubah dirinya, sebagai anggota sistem sosial yang selalu mendapat tantangan kemajuan jaman. Agen perubahan harus berusaha mengubah posisi aparatur pemerintahan dari ikatan percaya pada kemampuan agen perubahan menjadi bebas dan percaya kepada kemampuan sendiri.

Orientasi Teoritik Tentang Agent of Change

Hakikat pembelajaran adalah ’suatu proses perubahan tingkah laku seseorang (Wuryani, 2002; Sagala, S. 2006), yaitu perubahan dari tidak baik menjadi baik, dari tidak bisa mengerjakan sesuatu menjadi bisa mengerjakan sesuatu. Persoalan yang muncul adalah, faktor apakah yang paling menentukan bagi setiap individu mampu melakukan suatu perubahan dalam hidupnya ?
Beragam teori telah dikemukakan oleh para ahli untuk menjawab persoalan tersebut, baik teori-teori yang berorientasi pada paham positivisme maupun idealisme (Lauer, R., 1978). Dalam tulisan ini lebih ditekankan pada teori-teori yang berorientasi pada pandangan idealisme atau konstruktivisme, yang menempatkan faktor pikiran dan jiwa individu sebagai penentu terjadinya perubahan sosial-budaya (Sztompka. 2004), sedangkan teori-teori yang berorientasi positivis tidak dijelaskan atau tidak dijadikan sebagai topic bahasan dalam tulisan ini .

Diantara teori yang berorientasi idealisme dalam memandang makna, penyebab dan agen pendorong perubahan sosial-budaya adalah :
1.  Teori ’kepribadian kreatif’ oleh Everette Hagen. Diantara asumsi dasar teori ini adalah:
(a)   Faktor kunci terjadinya perubahan sosial-budaya ditentukan oleh kondisi psikologi atau kepribadian kreatif individu;
(b)   Kepribadian individu yang selalu mendorong ke arah perubahan adalah kepribadian kreatif atau inovatif; dan
(c)   Ciri kepribadian kreatif atau inovatif adalah menjunjung tinggi pengetahuan, otonomi, keteraturan hidup, humanis dan disiplin nurani serta tegas atau adil (Hagen, E., 1962).
       
Jadi, menurut teori ini faktor kunci terjadinya perubahan sosial-budaya, adalah berkembangnya kepribadian kreatif pada diri widyaiswara

2.   Teori ‘kebutuhan berprestasi’ yang dikenal ‘need for achievement atau n-Ach’ oleh David Mc. Cleeland. Diantara asumsi pokok teori ini adalah:
(a) Faktor utama penyebab terjadinya perubahan sosial-budaya adalah adanya     dorongan dari dalam individu (pikiran dan jiwanya) untuk berkarya secara maksimal;
(b)  Sikap  mental  selalu  ingin  berkarya   (semangat berprestasi menjadi kebutuhan dasar hidupnya) yang berkembang di masyarakat akan menjadi penyebab perubahan kearah kemajuan.

Jadi, sejatinya yang menjadi dasar penyebab atau agen perubahan adalah faktor kualitas mental seseorang untuk selalu ingin berkarya dan berprestasi sepanjang usia hidupnya, kebutuhan untuk berkarya bagaikan darah yang mengalir dalam tubuh.

3.  Teori ‘mentalitas modern’ oleh Alex Inkeles dan David Smith. Diantara ciri mentalitas modern yang mendorong terjadinya perubahan adalah:
(a)    Cinta pada perkembangan Iptek;
(b)    Selalu menjalin kontak dengan pihak lain;
(c)    Mentalitas kompetitif dan inovatif;
(d)   Orientasi hidup ke masa depan dan menghargai harkat martabat orang lain     (Budiman, A,. 1995 ).

Berdasarkan ketiga teori tersebut dapat disimpulkan, bahwa yang menjadi agen perubahan (agent of change) dalam proses kehidupan adalah para individu yang mempunyai kualitas jiwa, pikiran atau mentalitas positif dalam proses-proses sosialnya. Diantara sikap mental positif yang akan menjadi penggerak perubahan sosial budaya antara lain:
(a) Cinta pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
(b) Selalu menjalin kontak-komunikasi dengan orang lain atau dunia luar;
(c) Menjunjung tinggi prestasi orang lain dan pandangan karya untuk karya;
(d) Menghargai harkat dan martabat orang lain atau bersikap demokratis-humanis;
(e) Menghargai waktu dan berorientasi hidup ke masa depan;
(f)   Melakukan sesuatu pekerjaan berdasarkan perencanaan yang matang;
(g) Merasa tidak puas terhadap karya budaya yang telah ada, dan selalu ingin membaharuhi hidup; dan
(h) Menjunjung tinggi nilai atau prinsip, bahwa upah sesuai dengan karya (Budiman, A,. 1995; Sztompka. 2004).

Jadi, ketika seseorang memiliki ciri-ciri: kepribadian kreatif, mentalitas untuk berprestasi, dan mentalitas modern tersebut di atas, maka dia akan mampu berperan sebagai agen perubahan (agent of change) dalam kehidupan kelompoknya (Lauer, R., 1978).

Menyimak beragam teori tentang agen perubahan yang telah diuraikan di atas, kemudian dikomperasikan dengan beragam kompetensi yang harus dimiliki oleh widyaiswara), maka kesimpulan yang dapat diambil adalah :

(a)   widyaiswara termasuk salah satu faktor kunci dalam menentukan kualitas dan   keberhasilan proses pemberdayaan masyarakat pada umumnya.
(b)   widyaiswara memiliki kualitas  kompetensi mengajar  yang  baik,   memiliki   kepribadian, kepedulian sosial yang teruang dalam program-program rutinnya tentu akan mampu berperan sebagai salah satu agen perubahan (agent of change).
(c)   widyaiswara diharapkan tetap konsisten dalam mensukseskan program-program pemerintah mendorong potensi mengajar, membimbing dan mendidik masyarakat dalam hal ini aparatur pemerintahan untuk mengembangkan kualitas intelektual, emosional dan spiritualnya dengan prinsip tut wuri handayani, ing madya mangun karsa, ing ngarso sung tulodo.


Strategi Meningkatkan Widyaiswara Sebagai Agent of Change

Mencermati perjalanan badan diklat Prov NTT secara makro, harus diakui masih belum terberdayakan secara maksimal, dan diantara faktor kunci penyebabnya adalah kondisi mentalitas, motivasi atau dorongon internal aparatur  untuk terus belajar, berinovasi dan terus mengikuti perkembangan IPTEK terkini relatif masih rendah (Oemar, H., 2002; Tilaar, 2002; Wahab, A.A., 2007).

Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam meningkatkan peran widyaiswara sebagai agen perubahan (agent of change) antara lain:

Pertama, membangun kualitas mentalitas positif widyaiswara melalui kegiatan pelatihan yang bermotivasi untuk berprestasi’ dan sejenisnya secara periodik, dimana seorang widyaiswara harus tetap memerlukan penyegaran orientasi dan wawasan hidup dalam  prespektif ini, widyaiswara Prov NTT harus tetap menjadi motivator dalam menghadapi beragam persoalan pekerjaannya.
Dalam hal ini fokus pelatihan lebih ditekankan pada upaya membangun konsistensi diri sebagai seorang motivator agar dapat mengembangkan hal-hal yg berkaitan dengan  :

(a)   Prinsip selalu belajar (learning principle);
(b)   Prinsip kebutuhan untuk berprestasi (need achievement principle);
(c)   Prinsip kepemimpinan (leadership principle);
(d)   Prinsip orientasi hidup ke depan (vision principle); dan
(e) Prinsip menjadi pencerah dalam kehidupan kelompok (well organized principle) (Agustian, A.G. 2005; Seligman, M. 2005).

Ketika lima prinsip tersebut terinternalisasi dengan baik pada diri setiap anggota widyaiswara Provinsi NTT, maka kehadiran widyaiswara diharapkan akan mampu bertindak sebagai agent of change dari aspek pemberdayaan aparatur Pemerintah sebagai focus pelayanan kemasyarakatan baik pada aspek emosional, kepribadian dan pengetahuan-ketrampilan aparatur pemerintahan. Demikian juga sebaliknya, ketika kelima prinsip tersebut tidak menyatu dan tidak berkembang pada diri setiap Widyaiswara maka kehadiran widyaiswara dalam pelayanan kemasyarakatan pasti kehadirannya kurang berfungsi dalam mewujudkan Visi provinsi NTT yaitu “Terwujudnya masyarakat yang Cerdas, Berbudaya, Sejahtera dan Berdaya saing” dalam menghadapi beragam tantangan hidup di era globalisasi.

Kedua, membangun mentalitas kerjasama sebagai team work yang kokoh yang mempunyai tekat kerja yaitu kerja iklas,kerja cerdas , kerja keras dan kerja tuntas . Semua widyaiswara dalam proses pemberdayaan masyarakat harus menyatu bagaikan satu bangunan kokoh (kesatuan sistem). Dalam membangun kualitas mental anggota sebagai suatu team work untuk melaksanakan keenam konsep tersebut, kedudukan dan peran widyaiswara sangat sentral. Widyaiswara harus mampu memainkan peran baru (new rules), ketrampilan baru (new skills), dan mampu mengaplikasikan sarana baru dari permasalahan yang timbul (new tools).

Untuk itu widyaiswara harus:
(a) Berperan sebagai perancang (designer) kebijakan strategis terhadap aplikasi keenam konsep tersebut;
(b) Berfikir integral dalam mencermati tantangan pendidikan ke depan (visioner).
(c)   Mampu membangkitkan learning organization;
(d) Mendorong setiap anggota untuk mengembangkan potensi profesinya secara maksimal; dan
(e)  Terbuka pada kritik dan saran yang konstruktif; transparan dan bertanggungjawab dalam pengelolaan sumber daya widyaiswara yang ada.

Ketika widyaiswara Provinsi NTT mampu menjalin kerjasama dalam mewujudkan keenam konsep tersebut, maka diasumsikan mereka akan mampu berperan sebagai agent of change pemberdayaan anggota masyarakat pada umumnya dan khususnya aparatur pemerintahan. Pakar psikologi Seligman, M. (2005), mengatakan ketika individu mampu membangun mentalitas positif, misalnya sanggup menjalin komunikasi humanis di setiap kehidupan kelompok, maka individu tersebut akan mampu meraih kebahagiaan dan keberhasilan puncak dalam hidupnya’.

Sebagaimana yang telah diura
ikan di atas, pada hakikatnya gambaran seorang widyaiswara Provinsi NTT yang mampu berperan aktif sebagai agen perubahan bagi proses pemberdayaan masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi widyaiswara Provinsi NTT antara lain :

(a) Mempunyai wawasan yang cukup luas tentang beragam teori psikologi perkembangan atau teori pembelajaran, dan mampu menerapkan secara ‘bijak’ dalam proses pemberdayaan masyarakat dalam hal ini aparatur pemerintahan sebagai pelayanan public.
(b) Mempunyai sikap mental positif terhadap perkembangan IPTEK  dan selalu berusaha mewujudkan proses pemberdayaan aparatur dalam nuansa demokratik, humanis dan multikultural;
(c)   Selalu menjadi contoh teladan terbaik bagi masyarakat umumnya dan lingkungan dalam segala pola aktivitas hidupnya, baik menyangkut aspek mentalitas, aspek pola prilaku sehari-hari dan pola berpenampilan;
(d) Selalu melakukan pemantauan perkembangn akhir program kerja yang telah dilakukan dengan menggunakan sistem evaluasi yang baik dan integral yang menyangkut tujuh aspek yaitu: penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap (afektif), penilaian proyek, penilaian produk yang dihasilkan pada kelompok sasaran pembinaan dan penilaian diri (self assessment).