BAGAIMANA MEWUJUDKAN WIDYAISWARA
PROVINSI NTT SEBAGAI AGENT OF CHANGE
(Mariance Pellokila ,Spt, MSi)
Sebagai Widyaiswara patut melakukan refleksi ataupun introspeksi, evaluasi diri,
apa yang telah kita lakukan selama ini. Bagi Pembangunan aparatur sumber daya
manusia, barangkali baik pula melakukan refleksi dan evaluasi itu untuk sekali
lagi melihat apa yang telah dilakukan, paling tidak perjalanan kita sejak tahun
lalu hingga tahun ini, sesuai dengan peran, tugas dan pengabdian Widyaiswara,
baik kepada diri sendiri, ataupun kepada Institusi kediklatan yang menaungi
elemen utama widyaiswara terhadap pembangunan kediklatan itu sendiri maupun
peningkatan aparatur sumber daya
manusia.
Dengan evaluasi dan refleksi itu, pastilah
muncul semangat dan tekad yang baru untuk melakukan perbaikan, untuk
meningkatkan hal - hal yang dirasa belum maksimal dilaksanakan menuju hasil
yang lebih baik lagi, dengan melakukan refleksi dan introspeksi menuju ke
kinerja yang lebih baik di masa depan,
dalam upaya bersama mewujudkan Widyaiswara Provinsi NTT sebagai organisasi yang
benar-benar memberikan dan membawa manfaat bagi kediklatan itu sendiri, maupun
Aparatur sumber daya manusia oleh sebab
itu hal-hal yang perlu dilaksanakan yaitu :
·
Pertama
adalah Bagaimana Badan Diklat Provinsi NTT dapat meningkatkan perannya yang
lebih konstruktif kepada seluruh elemen
widyaiswara yang ada.
·
Kedua,
bagaimana widyaiswara dapat berkontribusi dalam membina, memberdayakan dan
memajukan sistim kediklatan dalam pembangunan bangsa dan negara secara
menyeluruh, khususnya di Provinsi NTT.
Terkait peran-peran tersebut diatas, saya mau mencoba meletakkan
peran widyaiswara dalam konteks pembangunan aparatur sumber daya manusia yang
kita lakukan saat kini secara tepat, secara proporsional, secara wajar, dengan
demikian, sekali lagi, upaya untuk memberdayakan dan memajukan sistim
kediklatan, bukan hanya dilakukan oleh pihak pemerintah, tetapi yang terutama
mestilah berangkat dari tekad yang kuat dan upaya yang nyata yang dilakukan
oleh aparatur kediklatan itu sendiri, agar
peran kediklatan yang menaungi elemen penting yaitu widyaiswara lebih
professional dalam menjalankan fungsi dan tanggung jawabnya dalam mendidik dan
membina aparatur pegawai negeri sipil kearah yang lebih baik.
Dari uraian diatas, dapatlah dirumuskan beberapa
permasalahan yaitu :
1.
Belum maksimalnya peran diklat
sebagai suatu badan yang menaungi elemen penting dari pada widyaiswara itu
sendiri.
2.
Peran dan fungsi dari pada
widyaiswara belum didukung dengan sarana dan prasarana yang sesuai dengan
standar yang dibutuhkan.
Apa
Itu Agen Of Chenges
Widyaiswara sebagai Agen perubahan (Agent of Change) adalah orang yang bertugas mempengaruhi orang lain (klien) agar mau menerima inovasi sesuai
dengan tujuan yang diinginkan oleh agen
perubahan (Agent
Of Chage). Pekerjaan ini mencakup berbagai macam
pekerjaan seperti widyaiswara, guru, konsultan, penyuluh kesehatan,
penyuluh pertanian, peternakan dan sebagainya. Semua agen perubahan bertugas membuat jalinan komunikasi antara pengusaha perubahan (sumber inovasi) dengan sistem klien
(sasaran inovasi).
Tugas utama agen perubahan adalah melancarkan jalannya arus inovasi kepada klien. Proses komunikasi ini akan efektif jika
inovasi yang disampaikan ke klien harus dipilih sesuai dengan kebutuhannya atau
sesuai dengan masalah yang dihadapinya. Keberhasilan agen perubahan dalam melancarkan proses komunikasi antara pengusaha
perubahan dengan klien, merupakan kunci
keberhasilan proses difusi inovasi. Selain itu agen perubahan melakukan seleksi informasi untuk dapat disesuaikan
dengan masalah dan kebutuhan klien.
Fungsi dan Tugas Widyaiswara Sebagai Agen Of
Changes
Fungsi utama agen of change dalam
hal ini widyaiswara adalah sebagai penghubung antara
pengusaha perubahan (change
agency) dalam hal
ini badan diklat , tujuannya agar inovasi dapat diterima atau
diterapkan oleh badan
diklat sesuai dengan keinginan pengusaha perubahan. Kunci keberhasilan diterimanya inovasi
oleh klien terutama terletak pada komunikasi
antara agen perubahan dengan badan
diklat. Jika
komunikasi lancar dan efektif proses penerimaan inovasi akan lebih cepat dan
makin mendekati tercapainya tujuan yang diinginkan. Sebaliknya jika komunikasi
terhambat makin tipis harapan diterimanya inovasi. Oleh karena tugas utama yang
harus dilakukan agen perubahan adalah memantapkan hubungan dengan
klien. Kemantapan hubungan antara agen perubahan dengan klien, maka komunikasi akan
lebih lancar.
Rogers, mengemukakan ada tujuh
langkah kegiatan agen perubahan dalam pelaksanaan tugasnya inovasi
pada sistem klien, sebagai berikut.
1.
Membangkitkan kebutuhan untuk berubah.
Biasanya agen perubahan/widyaiswara pada awal tugasnya diminta untuk
membantu masyarakat/ aparatur pemerintahan agar mereka sadar akan perlunya
perubahan. Agen perubahan mulai dengan mengemukakan berbagai masalah yang ada, membantu menemukan masalah yang penting dan mendesak,
serta meyakinkan masyarakat/aparatur pemerintahan bahwa mereka mampu memecahkan masalah
tersebut. Pada tahap ini agen perubahan menentukan kebutuhan klien dan juga
membantu caranya menemukan masalah atau kebutuhan dengan cara konsultatif.
2.
Memantapkan hubungan pertukaran informasi. Sesudah ditentukannya kebutuhan untuk
berubah, agen perubahan /widyaiswara harus segera membina hubungan yang
lebih akrab dengan klien. Agen perubahan dapat meningkatkan hubungan yang lebih
baik kepada klien dengan cara menumbuhkan kepercayaan masyarakat/ aparatur pemerintahan pada kemampuannya, saling mempercayai
dan juga agen perubahan harus menunjukan empati pada masalah
dan kebutuhan klien .
3.
Mendiagnosa masalah yang dihadapi. Agen perubahan/widyaiswara bertanggung jawab
untuk menganalisa situasi masalah yang dihadapi klien, agar dapat menentukan
berbagai alternatif jika tidak sesuai kebutuhan klien. Untuk sampai pada
kesimpulan diagnosa agen perubahan harus meninjau situasi dengan penuh
empati. Agen perubahan melihat masalah dengan kacamata masyarakat/ aparatur pemerintahan , artinya kesimpulan diagnosa harus
berdasarkan analisa situasi dan psikologi aparatur
pemerintahan, bukan
berdasarkan pandangan pribadi agen perubahan.
4.
Membangkitkan kemauan masyarakat dalam hal ini aparatur pemerintahan untuk berubah. Setelah agen perubahan menggali berbagai macam cara yang mungkin dapat dicapai
oleh aparatur pemerintahan untuk mencapai tujuan, maka agen perubahan bertugas untuk mencari cara memotivasi dan menarik
perhatian agar aparatur pemerintahan timbul kemauannya untuk berubah atau
membuka dirinya untuk menerima inovasi. Namun demikian cara yang digunakan
harus tetap berorientasi pada aparatur
pemerintahan, artinya
berpusat pada kebutuhan aparatur pemerintahan
5.
Mewujudkan kemauan dalam perbuatan. Agen perubahan berusaha untuk mempengaruhi tingkah laku klien dengan
persetujuan dan berdasarkan kebutuhan klien jadi jangan memaksa. Dimana
komunikasi interpersonal akan lebih efektif kalau dilakukan antar teman yang
dekat dan sangat bermanfaat kalau dimanfaatkan pada tahap persuasi dan tahap
keputusan inovasi. Oleh kerena itu dalam hal tindakan agen perubahan yang paling tepat menggunakan pengaruh secara tidak
langsung, yaitu dapat menggunakan pemuka masyarakat agar mengaktifkan kegiatan
kelompok lain.
6.
Menjaga kestabilan penerimaan inovasi . Agen perubahan harus menjaga kestabilan penerimaan inovasi dengan cara
penguatan kepada aparatur pemerintahan yang telah menerapkan inovasi.
Perubahan tingkah laku yang sudah sesuai dengan inovasi dijaga jangan sampai
berubah kembali pada keadaan sebelum adanya inovasi.
7.
Mengakhiri hubungan ketergantungan. Tujuan akhir tugas agen perubahan adalah dapat menumbuhkan kesadaran untuk berubah dan
kemampuan untuk merubah dirinya, sebagai anggota sistem sosial yang selalu
mendapat tantangan kemajuan jaman. Agen perubahan harus berusaha mengubah posisi aparatur pemerintahan dari ikatan percaya pada kemampuan agen perubahan menjadi bebas dan percaya kepada kemampuan sendiri.
Orientasi Teoritik Tentang Agent of
Change
Hakikat pembelajaran adalah ’suatu proses perubahan tingkah laku seseorang (Wuryani, 2002; Sagala, S. 2006), yaitu perubahan dari
tidak baik menjadi baik, dari tidak bisa mengerjakan sesuatu menjadi bisa
mengerjakan sesuatu. Persoalan yang muncul adalah, faktor apakah yang
paling menentukan bagi setiap individu mampu melakukan suatu perubahan dalam
hidupnya ?
Beragam teori telah dikemukakan oleh para ahli untuk menjawab persoalan
tersebut, baik teori-teori yang berorientasi pada paham positivisme maupun
idealisme (Lauer, R., 1978). Dalam tulisan
ini lebih ditekankan pada teori-teori yang berorientasi pada pandangan idealisme
atau konstruktivisme, yang menempatkan faktor pikiran dan jiwa
individu sebagai penentu terjadinya perubahan sosial-budaya (Sztompka.
2004), sedangkan teori-teori yang berorientasi positivis tidak dijelaskan atau
tidak dijadikan sebagai topic bahasan dalam tulisan
ini .
Diantara teori yang berorientasi idealisme dalam memandang makna, penyebab
dan agen pendorong perubahan sosial-budaya adalah :
1. Teori
’kepribadian kreatif’ oleh Everette Hagen. Diantara asumsi dasar teori
ini adalah:
(a) Faktor kunci terjadinya perubahan sosial-budaya ditentukan
oleh kondisi psikologi atau kepribadian kreatif individu;
(b) Kepribadian individu yang selalu mendorong ke
arah perubahan adalah kepribadian kreatif atau inovatif; dan
(c) Ciri kepribadian kreatif atau inovatif adalah menjunjung
tinggi pengetahuan, otonomi, keteraturan hidup, humanis dan disiplin nurani
serta tegas atau adil (Hagen, E., 1962).
Jadi, menurut teori ini faktor kunci
terjadinya perubahan sosial-budaya, adalah berkembangnya kepribadian kreatif
pada diri widyaiswara
2. Teori
‘kebutuhan berprestasi’ yang dikenal ‘need for achievement atau
n-Ach’ oleh David Mc. Cleeland. Diantara asumsi pokok teori ini adalah:
(a) Faktor utama penyebab terjadinya
perubahan sosial-budaya adalah adanya dorongan dari dalam individu (pikiran dan jiwanya) untuk
berkarya secara maksimal;
(b) Sikap mental selalu ingin berkarya (semangat berprestasi menjadi kebutuhan dasar hidupnya)
yang berkembang di masyarakat akan menjadi penyebab perubahan kearah kemajuan.
Jadi, sejatinya yang menjadi dasar
penyebab atau agen perubahan adalah faktor kualitas mental seseorang untuk
selalu ingin berkarya dan berprestasi sepanjang usia hidupnya, kebutuhan untuk
berkarya bagaikan darah yang mengalir dalam tubuh.
3. Teori
‘mentalitas modern’ oleh Alex Inkeles dan David Smith. Diantara ciri
mentalitas modern yang mendorong terjadinya perubahan adalah:
(a)
Cinta pada perkembangan Iptek;
(b)
Selalu menjalin kontak dengan pihak lain;
(c)
Mentalitas kompetitif dan inovatif;
(d) Orientasi hidup ke masa depan dan
menghargai harkat martabat orang lain (Budiman, A,. 1995 ).
Berdasarkan ketiga teori tersebut dapat
disimpulkan, bahwa yang menjadi agen perubahan (agent of change)
dalam proses kehidupan adalah para individu yang mempunyai kualitas jiwa,
pikiran atau mentalitas positif dalam proses-proses sosialnya. Diantara sikap mental positif yang akan menjadi penggerak
perubahan sosial budaya antara lain:
(a) Cinta pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
(b) Selalu menjalin kontak-komunikasi dengan orang lain atau
dunia luar;
(c) Menjunjung tinggi prestasi orang lain dan pandangan karya
untuk karya;
(d) Menghargai harkat dan martabat orang lain atau bersikap
demokratis-humanis;
(e) Menghargai waktu dan berorientasi hidup ke masa depan;
(f) Melakukan sesuatu pekerjaan berdasarkan perencanaan yang
matang;
(g) Merasa tidak puas terhadap karya budaya yang telah ada,
dan selalu ingin membaharuhi hidup; dan
(h) Menjunjung tinggi nilai atau prinsip, bahwa upah sesuai
dengan karya (Budiman, A,. 1995; Sztompka. 2004).
Jadi, ketika seseorang memiliki
ciri-ciri: kepribadian kreatif, mentalitas untuk berprestasi, dan mentalitas
modern tersebut di atas, maka dia akan mampu berperan sebagai agen perubahan
(agent of change) dalam kehidupan kelompoknya (Lauer, R., 1978).
Menyimak beragam teori tentang agen
perubahan yang telah diuraikan di atas, kemudian dikomperasikan dengan beragam
kompetensi yang harus dimiliki oleh widyaiswara), maka kesimpulan yang dapat diambil
adalah :
(a) widyaiswara termasuk salah satu faktor kunci dalam
menentukan kualitas dan keberhasilan proses pemberdayaan
masyarakat pada umumnya.
(b) widyaiswara
memiliki
kualitas kompetensi mengajar yang
baik, memiliki kepribadian, kepedulian
sosial yang teruang dalam program-program rutinnya tentu akan mampu berperan sebagai salah satu
agen perubahan (agent of change).
(c) widyaiswara diharapkan tetap konsisten dalam mensukseskan program-program pemerintah mendorong potensi mengajar, membimbing dan mendidik masyarakat dalam hal ini aparatur pemerintahan untuk mengembangkan kualitas
intelektual, emosional dan spiritualnya dengan prinsip tut wuri handayani, ing
madya mangun karsa, ing ngarso sung tulodo.
Strategi Meningkatkan Widyaiswara Sebagai Agent of Change
Mencermati perjalanan badan diklat
Prov NTT secara makro, harus diakui masih belum terberdayakan secara maksimal, dan diantara faktor
kunci penyebabnya adalah kondisi mentalitas, motivasi atau dorongon
internal aparatur untuk terus belajar, berinovasi dan terus
mengikuti perkembangan IPTEK terkini relatif masih rendah (Oemar, H., 2002; Tilaar, 2002; Wahab,
A.A., 2007).
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan dalam meningkatkan peran widyaiswara sebagai agen perubahan (agent of change) antara lain:
Pertama, membangun kualitas mentalitas positif widyaiswara melalui kegiatan pelatihan yang
bermotivasi untuk berprestasi’ dan sejenisnya secara periodik, dimana seorang widyaiswara harus tetap memerlukan penyegaran orientasi
dan wawasan hidup dalam prespektif ini,
widyaiswara Prov NTT harus tetap menjadi motivator dalam menghadapi beragam persoalan pekerjaannya.
Dalam hal ini fokus pelatihan lebih ditekankan pada upaya membangun
konsistensi diri sebagai seorang motivator agar dapat mengembangkan hal-hal yg berkaitan dengan
:
(a) Prinsip selalu belajar (learning principle);
(b) Prinsip kebutuhan untuk berprestasi (need achievement
principle);
(c) Prinsip kepemimpinan (leadership principle);
(d) Prinsip orientasi hidup ke depan (vision principle); dan
(e) Prinsip menjadi pencerah dalam kehidupan
kelompok (well organized principle) (Agustian, A.G. 2005; Seligman, M. 2005).
Ketika lima prinsip tersebut terinternalisasi dengan baik pada diri setiap anggota widyaiswara Provinsi NTT, maka kehadiran
widyaiswara diharapkan akan mampu bertindak sebagai agent of change dari
aspek pemberdayaan aparatur Pemerintah sebagai focus pelayanan kemasyarakatan baik pada aspek emosional, kepribadian dan pengetahuan-ketrampilan aparatur pemerintahan. Demikian juga sebaliknya, ketika
kelima prinsip tersebut tidak menyatu dan tidak berkembang pada diri setiap Widyaiswara maka kehadiran widyaiswara
dalam pelayanan kemasyarakatan pasti kehadirannya kurang berfungsi dalam mewujudkan Visi provinsi NTT yaitu “Terwujudnya masyarakat
yang Cerdas, Berbudaya, Sejahtera dan Berdaya saing” dalam menghadapi beragam tantangan hidup di
era globalisasi.
Kedua, membangun mentalitas kerjasama sebagai team work yang kokoh yang mempunyai tekat kerja yaitu
kerja iklas,kerja cerdas , kerja keras dan kerja tuntas . Semua widyaiswara
dalam proses pemberdayaan masyarakat harus menyatu bagaikan satu bangunan
kokoh (kesatuan sistem). Dalam membangun kualitas mental anggota sebagai suatu team work untuk melaksanakan keenam konsep
tersebut, kedudukan dan peran widyaiswara sangat sentral. Widyaiswara
harus mampu
memainkan peran baru (new rules), ketrampilan baru (new skills), dan mampu
mengaplikasikan sarana baru dari permasalahan yang timbul (new tools).
Untuk itu widyaiswara harus:
(a) Berperan sebagai perancang (designer)
kebijakan strategis terhadap aplikasi keenam konsep tersebut;
(b) Berfikir integral dalam mencermati tantangan pendidikan ke
depan (visioner).
(c) Mampu membangkitkan learning organization;
(d) Mendorong setiap anggota untuk mengembangkan potensi profesinya secara maksimal;
dan
(e) Terbuka pada kritik dan saran yang
konstruktif; transparan dan bertanggungjawab dalam pengelolaan sumber
daya widyaiswara yang ada.
Ketika widyaiswara Provinsi NTT mampu menjalin kerjasama dalam
mewujudkan keenam konsep tersebut, maka
diasumsikan
mereka akan mampu berperan sebagai agent of change pemberdayaan anggota masyarakat pada umumnya dan khususnya aparatur
pemerintahan. Pakar psikologi
Seligman, M. (2005), mengatakan ’ketika
individu mampu membangun mentalitas positif, misalnya sanggup menjalin
komunikasi humanis di setiap kehidupan kelompok, maka individu tersebut akan
mampu meraih kebahagiaan dan keberhasilan puncak dalam hidupnya’.
Sebagaimana yang telah diuraikan di atas, pada hakikatnya gambaran seorang widyaiswara Provinsi NTT yang mampu berperan aktif sebagai agen perubahan bagi proses pemberdayaan masyarakat pada umumnya dan khususnya bagi widyaiswara Provinsi NTT antara lain :
(a) Mempunyai wawasan yang cukup luas
tentang beragam teori psikologi perkembangan atau teori pembelajaran, dan mampu
menerapkan secara ‘bijak’ dalam proses pemberdayaan
masyarakat dalam hal ini aparatur pemerintahan sebagai pelayanan public.
(b) Mempunyai sikap mental positif terhadap
perkembangan IPTEK dan selalu berusaha mewujudkan proses pemberdayaan aparatur dalam nuansa demokratik, humanis dan
multikultural;
(c) Selalu menjadi contoh teladan terbaik
bagi masyarakat umumnya dan lingkungan dalam segala pola aktivitas hidupnya,
baik menyangkut aspek mentalitas, aspek pola prilaku sehari-hari dan pola berpenampilan;
(d) Selalu melakukan pemantauan perkembangn akhir program kerja yang telah dilakukan dengan menggunakan sistem evaluasi yang
baik dan integral yang menyangkut tujuh aspek yaitu: penilaian unjuk kerja
(performance), penilaian sikap (afektif), penilaian proyek, penilaian produk yang dihasilkan pada kelompok sasaran pembinaan dan penilaian diri (self assessment).