DESA SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PEMBANGUNAN
Ondy Ch. Siagian
Widyaiswara BP4D Provinsi NTT
Desa harus jadi kekuatan ekonomi, agar warganya tak hijrah kekota
Sepinya desa adalah modal utama, untuk bekerja dan mengembangkan diri
Walau lahan sudah menjadi milik kota, bukan berarti desa lemah tak berdaya
Desa adalah kekuatan sejati, Negara harus berpihak pada para petani
Entah bagaimana caranya, Desalah masa depan kita
Keyakinan ini datang begitu saja, karena aku tak mau celaka
(lirik lagu karya Iwan Fals berjudul ”Desa”)
(lirik lagu karya Iwan Fals berjudul ”Desa”)
Memberdayakan atau Memperdayakan
Untuk
menjamin terselenggaranya kehidupan publik yang lebih demokratis, maka perlu
dibangun masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis, terbuka, berbudaya dan
jujur. Untuk mewujudkannya perlu diupayakan proses penyadaran yang terus
menerus melalui penyadaran kritis dan latihan menganalisis tentang realitas
kehidupan dalam berbagai bidang baik sosial, politik, ekonomi, dll. Pendidikan
kritis untuk rakyat menjadi kebutuhan yang mendesak apabila ingin warga desa
menjadi cerdas dan kritis, karena selama ini masyarakat desa hanyalah “obyek”
dari kegiatan pembangunan termasuk penyelenggaraan pemilu/pilkada dan selanjutnya dilupakan.
Yang
perlu dilakukan dalam rangka penguatan dan pemberdayaan masyarakat desa adalah
1) Penyadaran kritis rakyat; 2) Penguatan organisasi rakyat; 3) Pengaliran dan
penyediaan informasi secara terus menerus yang mudah dicerna oleh rakyat; 4)
Membangun sistem kontrol rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan
(khususnya aparat desa); 5) Peningkatan kemampuan ekonomi melalui kegiatan
usaha produktif dan pengelolaan SDA yang nyata, lestari
dan berkelanjutan.
Gagalnya
keberlanjutan sebuah pembangunan desa melalui pendekatan top down dan proyek pada masa lalu seharusnya menjadi cermin, bahwa tanpa partisipasi dan
kesadaran masyarakat untuk membangun dirinya sendiri dan memelihara hasil-hasil
pembangunannya, maka keberlanjutan pembangunan sulit diharapkan. Pembangunan
dalam bentuk “proyek” ternyata telah menjauhkan masyarakat dari rasa memiliki
dan ketika kualitas/mutu proyek semakin jelek, maka kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah jadi semakin berkurang dan masyarakat menjadi apatis,
meskipun kenyataannya masyarakatpun menikmati dengan tidak dikembalikannya dana
kredit lunak bahkan tanpa bunga/hibah
yang disediakan pemerintah untuk mereka.
Singkat kata, Desa masih sering
dianggap sebagai obyek lahan untuk melaksanakan proyek dan belum dianggap
sebagai suatu wilayah otonom yang memiliki otoritas untuk menentukan sendiri
apa yang ingin dibangun dari apa yang dimiliki, dan bantuan yang disediakan
semata-mata hanya sebagai stimulan yang mempercepat proses pengembangan
masyarakat.
Pihak luar seperti pemerintah, LSM,
Akademisi dll, seharusnya hanya sebagai fasilitator, motivator dan konsultan
bagi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program. Saat ini sebagian
besar desa hanya menjadi semacam “tempat penampungan pembangunan”, dimana semua
sektor dengan gaya egosektoral masing-masing masih bertindak menjadi semacam
”sinterklas” yang membagi-bagi hadiah kepada masyarakat. Bukan saatnya lagi
proyek-proyek dipaksakan di desa karena dikejar target dan waktu, kemudian
masyarakat dengan aparat desa menjadi pelengkap penderita dari sebuah
pembangunan.
Otonomi Desa
Dalam UU
Nomor 32 tahun 2004 disebutkan bahwa pengertian desa, adalah kesatuan
masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan
adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan
Nasional dan berada di kabupaten/kota. Selanjutnya disebutkan bahwa landasan
pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi,
otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.
Oleh
karena itu otonomi daerah merupakan wujud untuk mengakhiri dari pembangunan
desa yang berwajah sentralistik, penyeragaman, ketakberdayaan (depowering), alat mobilisasi dan mengedepankan
kekuasaan menuju pembangunan desa yang terdesentralisasi, memberi ruang untuk
keanekaragaman budaya, pemberdayaan (empowering),
partisipatif dan mengedepankan kesejahteraan masyarakat.
Penempatan
desa secara otonom akan memberi peluang bagi desa untuk tumbuh secara wajar,
menampung aspirasi dan kepentingan rakyat
banyak. Kedaulatan rakyat menjadi realitas, dan rakyat semakin ditumbuhkan
dalam daya nalar, daya analitis sehingga menjadi cerdas dan kritis. Rakyat
diberi kesempatan yang luas untuk mengemukakan dan memutuskan apa yang akan
dibangun, swadaya apa yang dapat disiapkan, teknologi apa yang sesuai dan akan
dipilih.
Desa bukan lagi menjadi daerah
kekuasaan para birokrat, tetapi sebaliknya para birokrat menjadi fasilitator,
konsultan, mediator dan motivator, sehingga mampu mempercepat kesejahteraan
warga desa. Hal ini sesuai dengan semboyan pegawai negeri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang
bukan hanya retorika belaka, tapi diwujudkan dalam pengabdian melaksanakan
tugasnya. Maka sudah bukan jamannya lagi jika masih ditemui birokrat yang
arogan dan hanya mau dilayani, karena saat ini lebih dibutuhkan birokrat yang
mau melayani dan rendah hati yang mampu melihat warga desa bukan sebagai
abdi/bawahan yang lebih rendah derajad sosialnya, melainkan memandang
masyarakat sebagai mitra yang membutuhkan uluran tangan dan pemikirannya untuk
dapat hidup lebih bermartabat dan manusiawi, sejahtera lahir dan batin.
Yang diperlukan saat ini adalah
kebersamaan untuk membangun sehingga semua potensi desa baik SDM maupun SDA
dapat dioptimalkan pengelolaannya yang pada akhirnya akan memberi sumbangan
bagi PAD (Pendapata Asli Desa) yang dengan sendirinya akan memperkuat otonomi
daerah karena akan meningkatkan PAD melalui peningkatan produktifitas dan
perputaran ekonomi di tingkat desa. Maka otonomi daerah tidak diartikan
peningkatan penarikan pajak kepada warga, namun dipahami sebagai upaya mengoptimalkan
semua potensi yang dimiliki dengan bekerja secara profesional yang berdasarkan
prinsip efisien dan efektivitas.
Pemerintahan
Desa
Harus
ada prioritas bagi pemerintahan desa sebagai aparat negara yang paling dekat
dengan rakyat di desa untuk diberdayakan terlebih dahulu, karena seperti
diketahui bahwa masyarakat masih bersifat paternalistik dan sangat bergantung
pada tokoh adat dan tokoh agama. Pengelola pemerintahan desa harus memegang
prinsip partisipatif, bottom up dan
memfasilitasi aspirasi masyarakat, dan bukan menjadi bawahan Camat maupun
Bupati tapi tidak berarti keluar dalam frame
kesatuan.
Yang harus dipikirkan oleh
pemerintahan desa adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui
peningkatan pendapatan berdasarkan pada potensi lokal yang ada tanpa
merusaknya, menjamin rasa aman, mewujudkan keadilan dan perdamaian bagi
warganya. Pemerintah desa juga harus transparan dalam hal kebijakan yang diambil,
penggunaan keuangan dan mampu mempertanggungjawabkan kepada warga sebagai wujud
tanggungjawabnya kepada publik dan yang pasti kepada Sang Pencipta. Dengan
demikian setiap kebijakan yang diambil merupakan representasi dari aspirasi
masyarakat dan selalu memihak pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan
birokrat maupun kalangan bisnis dari luar.
Pengembangan
Ekonomi Desa
Perekonomian
merupakan denyut nadi dalam pengembangan pedesaan. Peningkatan taraf hidup
masyarakat desa sangat tergantung pada tingkatan pendapatan yang mempengaruhi
dalam kemampuan mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tabungan untuk
investasi/modal usaha.
Masalah
utama yang dilihat dalam pedesaan sebenarnya bukan masalah modal berupa uang
untuk modal usaha, namun yang lebih utama adalah masih lemahnya jiwa
ketrampilan berbisnis/berusaha, kurangnya kemampuan mengelola ekonomi skala rumah
tangga,
tergerusnya asset/kekayaan karena biaya sosial yang tinggi mengatasnamakan adat
yang bertubi-tubi. Tapi bukan berarti meniadakan adat/budaya melainkan
bagaimana nilai-nilai luhur tetap terpelihara dan diterapkan namun terjadi
rasionalisasi dalam pembiayaannya.
Dalam
kaitannya dengan kebijakan makro, maka sebenarnya kebijakan pembangunan telah
mengorbankan sektor pertanian dimana sebagian besar warga desa merupakan petani
sehingga berakibat sulitnya meningkatkan harkat dan martabat warga desa yang
petani guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Ironisnya begitu banyak
birokrat yang “menjadi orang” karena jerih payah orang tuanya yang petani
namun setelah menduduki jabatan lupa
membangun infrastruktur di desa dan membantu warganya yang berprofesi sebagai
petani.
Memandang
desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi haruslah menjadi paradigma baru
dalam program pembangunan ekonomi daerah saat ini. Perubahan kondisi internal
dan eksternal yang terjadi menuntut kebijakan yang tepat dan matang dari para
pembuat kebijakan dalam upaya pengembangan potensi wilayah pedesaan. Desa adalah
kekuatan sejati seperti dalam lirik lagu Iwan Fals diatas, sudah saatnya menjadikan desa
sebagai pusat-pusat pembangunan dan menjadikannya sebagai motor utama penggerak
roda perekonomian melalui sektor-sektor unggulan yang ada di desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar