Selasa, 19 Februari 2013

Artikel


DESA SEBAGAI MOTOR PENGGERAK PEMBANGUNAN

Ondy Ch. Siagian
Widyaiswara BP4D Provinsi NTT


Desa harus jadi kekuatan ekonomi, agar warganya tak hijrah kekota
Sepinya desa adalah modal utama, untuk bekerja dan mengembangkan diri
Walau lahan sudah menjadi milik kota, bukan berarti desa lemah tak berdaya
Desa adalah kekuatan sejati, Negara harus berpihak pada para petani
Entah bagaimana caranya, Desalah masa depan kita
Keyakinan ini datang begitu saja, karena aku tak mau celaka
(lirik lagu karya Iwan Fals berjudul ”Desa”)

Memberdayakan atau Memperdayakan
            Untuk menjamin terselenggaranya kehidupan publik yang lebih demokratis, maka perlu dibangun masyarakat yang mempunyai kesadaran kritis, terbuka, berbudaya dan jujur. Untuk mewujudkannya perlu diupayakan proses penyadaran yang terus menerus melalui penyadaran kritis dan latihan menganalisis tentang realitas kehidupan dalam berbagai bidang baik sosial, politik, ekonomi, dll. Pendidikan kritis untuk rakyat menjadi kebutuhan yang mendesak apabila ingin warga desa menjadi cerdas dan kritis, karena selama ini masyarakat desa hanyalah “obyek” dari kegiatan pembangunan termasuk penyelenggaraan pemilu/pilkada dan selanjutnya dilupakan.


            Yang perlu dilakukan dalam rangka penguatan dan pemberdayaan masyarakat desa adalah 1) Penyadaran kritis rakyat; 2) Penguatan organisasi rakyat; 3) Pengaliran dan penyediaan informasi secara terus menerus yang mudah dicerna oleh rakyat; 4) Membangun sistem kontrol rakyat terhadap penyelenggaraan pemerintahan (khususnya aparat desa); 5) Peningkatan kemampuan ekonomi melalui kegiatan usaha produktif dan pengelolaan SDA yang nyata, lestari dan berkelanjutan.

            Gagalnya keberlanjutan sebuah pembangunan desa melalui pendekatan top down dan proyek pada masa lalu seharusnya menjadi cermin, bahwa tanpa partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk membangun dirinya sendiri dan memelihara hasil-hasil pembangunannya, maka keberlanjutan pembangunan sulit diharapkan. Pembangunan dalam bentuk “proyek” ternyata telah menjauhkan masyarakat dari rasa memiliki dan ketika kualitas/mutu proyek semakin jelek, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah jadi semakin berkurang dan masyarakat menjadi apatis, meskipun kenyataannya masyarakatpun menikmati dengan tidak dikembalikannya dana kredit lunak bahkan tanpa bunga/hibah yang disediakan pemerintah untuk mereka.

Singkat kata, Desa masih sering dianggap sebagai obyek lahan untuk melaksanakan proyek dan belum dianggap sebagai suatu wilayah otonom yang memiliki otoritas untuk menentukan sendiri apa yang ingin dibangun dari apa yang dimiliki, dan bantuan yang disediakan semata-mata hanya sebagai stimulan yang mempercepat proses pengembangan masyarakat.

Pihak luar seperti pemerintah, LSM, Akademisi dll, seharusnya hanya sebagai fasilitator, motivator dan konsultan bagi masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program. Saat ini sebagian besar desa hanya menjadi semacam “tempat penampungan pembangunan”, dimana semua sektor dengan gaya egosektoral masing-masing masih bertindak menjadi semacam ”sinterklas” yang membagi-bagi hadiah kepada masyarakat. Bukan saatnya lagi proyek-proyek dipaksakan di desa karena dikejar target dan waktu, kemudian masyarakat dengan aparat desa menjadi pelengkap penderita dari sebuah pembangunan.

Otonomi Desa
            Dalam UU Nomor 32 tahun 2004 disebutkan bahwa pengertian desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yurisdiksi, berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan/atau dibentuk dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di kabupaten/kota. Selanjutnya disebutkan bahwa landasan pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat.

            Oleh karena itu otonomi daerah merupakan wujud untuk mengakhiri dari pembangunan desa yang berwajah sentralistik, penyeragaman, ketakberdayaan (depowering), alat mobilisasi dan mengedepankan kekuasaan menuju pembangunan desa yang terdesentralisasi, memberi ruang untuk keanekaragaman budaya, pemberdayaan (empowering), partisipatif dan mengedepankan kesejahteraan masyarakat.

            Penempatan desa secara otonom akan memberi peluang bagi desa untuk tumbuh secara wajar, menampung aspirasi dan kepentingan rakyat banyak. Kedaulatan rakyat menjadi realitas, dan rakyat semakin ditumbuhkan dalam daya nalar, daya analitis sehingga menjadi cerdas dan kritis. Rakyat diberi kesempatan yang luas untuk mengemukakan dan memutuskan apa yang akan dibangun, swadaya apa yang dapat disiapkan, teknologi apa yang sesuai dan akan dipilih.

Desa bukan lagi menjadi daerah kekuasaan para birokrat, tetapi sebaliknya para birokrat menjadi fasilitator, konsultan, mediator dan motivator, sehingga mampu mempercepat kesejahteraan warga desa. Hal ini sesuai dengan semboyan pegawai negeri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat yang bukan hanya retorika belaka, tapi diwujudkan dalam pengabdian melaksanakan tugasnya. Maka sudah bukan jamannya lagi jika masih ditemui birokrat yang arogan dan hanya mau dilayani, karena saat ini lebih dibutuhkan birokrat yang mau melayani dan rendah hati yang mampu melihat warga desa bukan sebagai abdi/bawahan yang lebih rendah derajad sosialnya, melainkan memandang masyarakat sebagai mitra yang membutuhkan uluran tangan dan pemikirannya untuk dapat hidup lebih bermartabat dan manusiawi, sejahtera lahir dan batin.

Yang diperlukan saat ini adalah kebersamaan untuk membangun sehingga semua potensi desa baik SDM maupun SDA dapat dioptimalkan pengelolaannya yang pada akhirnya akan memberi sumbangan bagi PAD (Pendapata Asli Desa) yang dengan sendirinya akan memperkuat otonomi daerah karena akan meningkatkan PAD melalui peningkatan produktifitas dan perputaran ekonomi di tingkat desa. Maka otonomi daerah tidak diartikan peningkatan penarikan pajak kepada warga, namun dipahami sebagai upaya mengoptimalkan semua potensi yang dimiliki dengan bekerja secara profesional yang berdasarkan prinsip efisien dan efektivitas.

Pemerintahan Desa
            Harus ada prioritas bagi pemerintahan desa sebagai aparat negara yang paling dekat dengan rakyat di desa untuk diberdayakan terlebih dahulu, karena seperti diketahui bahwa masyarakat masih bersifat paternalistik dan sangat bergantung pada tokoh adat dan tokoh agama. Pengelola pemerintahan desa harus memegang prinsip partisipatif, bottom up dan memfasilitasi aspirasi masyarakat, dan bukan menjadi bawahan Camat maupun Bupati tapi tidak berarti keluar dalam frame kesatuan.

Yang harus dipikirkan oleh pemerintahan desa adalah peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pendapatan berdasarkan pada potensi lokal yang ada tanpa merusaknya, menjamin rasa aman, mewujudkan keadilan dan perdamaian bagi warganya. Pemerintah desa juga harus transparan dalam hal kebijakan yang diambil, penggunaan keuangan dan mampu mempertanggungjawabkan kepada warga sebagai wujud tanggungjawabnya kepada publik dan yang pasti kepada Sang Pencipta. Dengan demikian setiap kebijakan yang diambil merupakan representasi dari aspirasi masyarakat dan selalu memihak pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan birokrat maupun kalangan bisnis dari luar.

Pengembangan Ekonomi Desa
            Perekonomian merupakan denyut nadi dalam pengembangan pedesaan. Peningkatan taraf hidup masyarakat desa sangat tergantung pada tingkatan pendapatan yang mempengaruhi dalam kemampuan mencukupi kebutuhan sehari-hari dan tabungan untuk investasi/modal usaha.

            Masalah utama yang dilihat dalam pedesaan sebenarnya bukan masalah modal berupa uang untuk modal usaha, namun yang lebih utama adalah masih lemahnya jiwa ketrampilan berbisnis/berusaha, kurangnya kemampuan mengelola ekonomi skala rumah tangga, tergerusnya asset/kekayaan karena biaya sosial yang tinggi mengatasnamakan adat yang bertubi-tubi. Tapi bukan berarti meniadakan adat/budaya melainkan bagaimana nilai-nilai luhur tetap terpelihara dan diterapkan namun terjadi rasionalisasi dalam pembiayaannya.

            Dalam kaitannya dengan kebijakan makro, maka sebenarnya kebijakan pembangunan telah mengorbankan sektor pertanian dimana sebagian besar warga desa merupakan petani sehingga berakibat sulitnya meningkatkan harkat dan martabat warga desa yang petani guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Ironisnya begitu banyak birokrat yang “menjadi orang” karena jerih payah orang tuanya yang petani namun  setelah menduduki jabatan lupa membangun infrastruktur di desa dan membantu warganya yang berprofesi sebagai petani.

            Memandang desa sebagai basis potensial kegiatan ekonomi haruslah menjadi paradigma baru dalam program pembangunan ekonomi daerah saat ini. Perubahan kondisi internal dan eksternal yang terjadi menuntut kebijakan yang tepat dan matang dari para pembuat kebijakan dalam upaya pengembangan potensi wilayah pedesaan. Desa adalah kekuatan sejati seperti dalam lirik lagu Iwan Fals diatas, sudah saatnya menjadikan desa sebagai pusat-pusat pembangunan dan menjadikannya sebagai motor utama penggerak roda perekonomian melalui sektor-sektor unggulan yang ada di desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar