Selasa, 19 Februari 2013

Artikel


NETRALITAS  UNTUK MENGUKUR KUALITAS PNS


IR. MARDIANA KALUMBANG, MM
WIDYAISWARA BP4D PROP. NTT



Menjelang Pemilihan Gubernur Provinsi tanggal 18 Maret 2013, maka birokrat di provinsi NTT dihadapkan pada satu ujian terkait dengan peran, posisi dan tanggung jawabnya sebagai PNS. Dikatakan ujian, karena pada momen pilkada,  sering PNS dijadikan obyek bargaining bagi kandidat, terutama incumbent. Bagi yang telah  dipercayakan mengemban  jabatan, untuk mempertahankannya terpaksa PNS tersebut harus rela menjadi bagian dari otoritas penguasa.

Ancaman mutasi, non job, tempat kering, serta iming-iming jabatan dan tempat basah merupakan dilema yang harus dihadapi PNS yang ada dalam pusaran proses pilkada. Jabatan bukan lagi berdasarkan kualitas dan kompetensi PNS.

Bagi PNS berkualitas dan bukan “penjilat”, yang makin sedikit saat ini, politisasi terhadap PNS sangatlah tidak nyaman, mereka sadar bahwa mereka telah menjadi alat dalam merebut atau mempertahankan kekuasaan, PNS menjadi tidak lagi dapat menjalankan tugasnya sebagai pelayan publik dan instrument pelaksana kebijakan.

Sinyalemen yang mengatakan bahwa jabatan saat ini, bukan lagi berdasarkan Daftar urut Kepangkatan tetapi daftar Urut Kedekatan, merupakan hal yang sangat merendahkan jati diri PNS,karena kompetensi dan kapabilitas PNS dikebiri dan direndahkan oleh pendapat dan oleh PNS itu sendiri. Karena jabatan yang diperoleh hanya karena menjadi tim sukses atau kedekatan bagi saya, bukan menjadi kebanggaan tetapi hanya sebagai sarana mencari uang. Apalagi  kalau perolehan jabatan tersebut diiringi oleh konsekwensi menjadi “ATM” untuk membiayai dan mengganti biaya pilkada kandidat yang didukung.

ATURAN NETRALITAS PNS (PP NO 53)
        Penegasan tentang larangan bagi PNS memberi dukungan kepada Calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) dalam Pilkada ditegaskan kembali dalam PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Pasal 4 angka 15 sebagai berikut :
“Setiap PNS dilarang angka 15 ‘memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, dengan cara :
  •  Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
  • Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
  • Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
  • Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.


Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut Pasal 4 angka 15 di atas, dikenakan sanksi sebagai berikut :
  •     Hukuman Disiplin Sedang sebagaimana diatur dalam Pasal 12 angka 9 yang berbunyi “memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud Pasal 4 angka 15 huruf a dan huruf d.
  •          Hukuman Disiplin Berat sebagaimana diatur dalam Pasal 13 angka 13 yang berbunyi “memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye, dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf b dan huruf c”.


MODUS POLITISASI PNS
Modus pelanggaran yang banyak dilakukan oleh oknum PNS dan pejabat pemerintah dalam pelaksanaan pilkada diantaranya :
·               Penyalahgunaan wewenang yang dimiliki, dengan mengerahkan atau mengkondisikan bawahan agar memilih salah satu calon kepala daerah. Penggunaan bantuan pemerintahuntuk kampanye terselubung, mengubah biaya perjalanan dinas, memaksa bawahan membantu pembiayaan kampanye kandidat, baik kampanye terselubung maupun tidak.
·               Menggunakan fasilitas Negara secara langsung misalnya kendaraan dinas, fasilitas dinas untuk keperluan kandidat.
·               Pemberian bantuan lain, seperti Bantuan/sumbangan, kampanye terselubung, menghadiri kegiatan kampanye baik terselubung maupun tidak dengan menggunakan pakaian dinas, mobil dinas, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas Negara dan perlakuan tidak adil dan diskriminatif.
·               Diskriminasi dalam pelayanan publik. Masyarakat/wilayah yang bukan menjadi basis kandidat yang didukungnya tidak memperoleh akses untuk mendapatkan bantuan sosial, dll. Walaupun program-program tersebut berasal dari APBN yang merupakan program pemerintah pusat, tetapi proses penetapan penerima bantuan sangat ditentukan oleh propinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Diskriminasi ini sangat mudah ditelusuri dengan melihat presentase pilihan dan keberpihakan kelompok penerima terhadap kandidat tertentu di setiap SKPD.

Dari begitu beragamnya modus keberpihakan Birokrasi, diharapkan PNS sebagai pelayan masyarakat, harus dapat lebih menghargai jati dirinya yang begitu mulia, sebagai aparatur Negara yang merangkak dari bawah, dari CPNS hingga menjadi pejabat, ubahlah pola pikir dari orientasi jabatan dan harta, menjadi orientasi Harga Diri, nama baik dan prestasi. Dan lebih dari itu bekerjalah sebagai IBADAH, dan sebagai pengabdian pada TUHAN, yang mempercayakan kita sebagai pelayan/pengelola umatnya di dunia. Biarlah kita sebagai PNS menjadi “Gembala yang Baik” yang dapat dirasakan masyarakat untuk kehidupan yang lebih baik.

Mengharapkan Banwaslu atau Sekda NTT sebagai Pembina birokrasi menindak ketidak netralan PNS, akan jauh dari harapan, padahal dari birokrat yang netral, dapat menghasilkan pimpinan daerah yang mampu mengangkat “pembantu”/ birokrat yang berkualitas tanpa daftar urut kedekatan, tetapi mampu membawa NTT menjadi lebih baik dengan makin meningkatnya posisi NTT dalam peningkatan Index Pembangunan Manusia, Menurunkan Posisi NTT sebagai propinsi nomor 1 dalam korupsi dan prestasi lainnya.

NETRALITAS PNS, MENDUKUNG PEMIMPIN TERPILIH MEMILIH PNS BERKUALITAS DAN BERKAPABILITAS UNTUK  MEMBANTUNYA MEREALISASIKAN  PROGRAMNYA KETIKA KAMPANYE  TANPA TERIKAT BALAS JASA. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar