NETRALITAS UNTUK MENGUKUR KUALITAS PNS
IR.
MARDIANA KALUMBANG, MM
WIDYAISWARA BP4D PROP. NTT

Ancaman mutasi, non
job, tempat kering, serta iming-iming jabatan dan tempat basah merupakan
dilema yang harus dihadapi PNS yang ada dalam pusaran proses pilkada. Jabatan
bukan lagi berdasarkan kualitas dan kompetensi PNS.
Bagi PNS berkualitas dan bukan “penjilat”, yang makin sedikit saat ini, politisasi terhadap PNS
sangatlah tidak nyaman, mereka sadar bahwa mereka telah menjadi alat dalam
merebut atau mempertahankan kekuasaan, PNS menjadi tidak lagi dapat menjalankan
tugasnya sebagai pelayan publik dan instrument pelaksana kebijakan.
Sinyalemen yang mengatakan bahwa jabatan saat ini,
bukan lagi berdasarkan Daftar urut Kepangkatan tetapi daftar Urut Kedekatan,
merupakan hal yang sangat merendahkan jati diri PNS,karena kompetensi dan
kapabilitas PNS dikebiri dan direndahkan oleh pendapat dan oleh PNS itu
sendiri. Karena jabatan yang diperoleh hanya karena menjadi tim sukses atau
kedekatan bagi saya, bukan menjadi kebanggaan tetapi hanya sebagai sarana
mencari uang. Apalagi kalau perolehan
jabatan tersebut diiringi oleh konsekwensi menjadi “ATM” untuk membiayai dan
mengganti biaya pilkada kandidat yang didukung.
ATURAN NETRALITAS PNS (PP NO 53)
Penegasan
tentang larangan bagi PNS memberi dukungan kepada Calon Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) dalam Pilkada ditegaskan kembali dalam
PP 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil Pasal 4 angka 15 sebagai
berikut :
“Setiap
PNS dilarang angka 15 ‘memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil
Kepala Daerah, dengan cara :
- Terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah;
- Menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye;
- Membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye; dan/atau
- Mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat.
Pelanggaran
terhadap ketentuan tersebut Pasal 4 angka 15 di atas, dikenakan sanksi sebagai
berikut :
- Hukuman Disiplin Sedang sebagaimana diatur dalam Pasal 12 angka 9 yang berbunyi “memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara terlibat dalam kegiatan kampanye untuk mendukung calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah serta mengadakan kegiatan yang mengarah kepada keberpihakan terhadap pasangan calon yang menjadi peserta pemilu sebelum, selama, dan sesudah masa kampanye meliputi pertemuan, ajakan, himbauan, seruan, atau pemberian barang kepada PNS dalam lingkungan unit kerjanya, anggota keluarga, dan masyarakat sebagaimana dimaksud Pasal 4 angka 15 huruf a dan huruf d.
- Hukuman Disiplin Berat sebagaimana diatur dalam Pasal 13 angka 13 yang berbunyi “memberikan dukungan kepada calon Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dengan cara menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatan dalam kegiatan kampanye, dan/atau membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 angka 15 huruf b dan huruf c”.
MODUS POLITISASI PNS
Modus pelanggaran yang banyak dilakukan oleh oknum
PNS dan pejabat pemerintah dalam pelaksanaan pilkada diantaranya :
·
Penyalahgunaan
wewenang yang dimiliki, dengan mengerahkan atau mengkondisikan bawahan agar
memilih salah satu calon kepala daerah. Penggunaan bantuan pemerintahuntuk
kampanye terselubung, mengubah biaya perjalanan dinas, memaksa bawahan membantu
pembiayaan kampanye kandidat, baik kampanye terselubung maupun tidak.
·
Menggunakan
fasilitas Negara secara langsung misalnya kendaraan dinas, fasilitas dinas
untuk keperluan kandidat.
·
Pemberian
bantuan lain, seperti Bantuan/sumbangan, kampanye terselubung, menghadiri
kegiatan kampanye baik terselubung maupun tidak dengan menggunakan pakaian
dinas, mobil dinas, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan
menggunakan fasilitas Negara dan perlakuan tidak adil dan diskriminatif.
·
Diskriminasi
dalam pelayanan publik. Masyarakat/wilayah yang bukan menjadi basis kandidat
yang didukungnya tidak memperoleh akses untuk mendapatkan bantuan sosial, dll.
Walaupun program-program tersebut berasal dari APBN yang merupakan program
pemerintah pusat, tetapi proses penetapan penerima bantuan sangat ditentukan
oleh propinsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Diskriminasi ini
sangat mudah ditelusuri dengan melihat presentase pilihan dan keberpihakan
kelompok penerima terhadap kandidat tertentu di setiap SKPD.
Dari begitu beragamnya modus keberpihakan Birokrasi,
diharapkan PNS sebagai pelayan masyarakat, harus dapat lebih menghargai jati
dirinya yang begitu mulia, sebagai aparatur Negara yang merangkak dari bawah,
dari CPNS hingga menjadi pejabat, ubahlah pola pikir dari orientasi jabatan dan
harta, menjadi orientasi Harga Diri, nama baik dan prestasi. Dan lebih dari itu
bekerjalah sebagai IBADAH, dan sebagai pengabdian pada TUHAN, yang
mempercayakan kita sebagai pelayan/pengelola umatnya di dunia. Biarlah kita
sebagai PNS menjadi “Gembala yang Baik” yang dapat dirasakan masyarakat untuk
kehidupan yang lebih baik.
Mengharapkan Banwaslu atau Sekda NTT sebagai Pembina
birokrasi menindak ketidak netralan PNS, akan jauh dari harapan, padahal dari
birokrat yang netral, dapat menghasilkan pimpinan daerah yang mampu mengangkat
“pembantu”/ birokrat yang berkualitas tanpa daftar urut kedekatan, tetapi mampu
membawa NTT menjadi lebih baik dengan makin meningkatnya posisi NTT dalam peningkatan
Index Pembangunan Manusia, Menurunkan Posisi NTT sebagai propinsi nomor 1 dalam
korupsi dan prestasi lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar