Netralitas PNS dalam Pilkada dan
Hak Prerogatif Kepala Daerah
Oleh :
Drs. Alexander B. Koroh, MPM (Widyaiswara pada BP4D Provinsi NTT)
Baswara Anindita, ST (Widyaiswara pada BP4D Provinsi NTT)
Hiruk pikuk
sosialisasi Pilgub NTT sedang meramaikan arena public bahkan sampai
memasuki ruang privat. Hal ini tampak
dari berbagai aktivitas pemerintah, asosiasi masayarakat sipil, dan individu
yang baik secara sengaja ataupun tidak melibatkan diri dalam keberpihakan pada
aktifitas sosialisasi diri paket tertentu. Hal ini sebernarnya lumrah saja,
bahkan pada kadar yang tidak berlebihan menunjukkan adanya animo dan antusiasme
yang tinggi dari warga Negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik
terkini dalam juridiksi di mana ia berada. Dari perspektif demokrasi hal ini
sehat karena ada ruang yang sangat memadai bagai warga Negara untuk secara
aktif menentukan sendiri preferensi politik yang tertuju pada figur tertentu.
Akan tetapi hal ini menjadi suatu pelanggaran terhadap aturan ketika elemen
organisasi sektor publik yakni Pengawai Negari Sipil (PNS) Peraturan Pemerintah
Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Keberadaan PNS dalam Pilkada
PNS sejatinya
adalah pelayan public yang mesti memenuhi tidak hanya kebutuhan tetapi lebih
jauh juga kepuasan individu dan masyarakat. Itulah sebabnya setiap PNS harus
memiliki roh dan karakter stewardship (kepelayanan) dalam
menjalankan tugasnya sehari-hari. Hal memenuhi kebutuhan dan kepuasan public
adalah sangat serius dan harus diwujudkan setiap saat. Oleh karena itu tidak
boleh terjadi kevakuman ataupun stagnasi dalam mengimplementasi dan memberikan
pelayanan baik dalam bentuk jasa dan barang publik pada konsumen/klien oleh
setiap dinas/instansi. Aktifitas "kepilguban"
misalnya tidak boleh mengganggu atau bahkan menghambat proses pelayanan yang
dijalankan oleh dinas/instansi. Jika hal ini terjadi maka ada kesalahan besar
yang sedang terjadi karena Pemerintah Daerah sedang mengangkangi kepentingan
publik dan atau lebih jauh lagi sedang menghambat terwujudnya common
good (kesejahteraan bersama) yang secara substantive merupakan tujuan
akhir dari setiap pemerintahan. Robert A. Dahl dalam bukunya Democracy and Its Critics menegaskan governments ought to govern on behalf of
the common good…, the common good is the good of all…all means for everyone in
the particular nation, state/province and district (1989, hal.280,281,284).
Secara bebas dapat diterjemahkan bahwa pemerintah seyogianya memirantah untuk
mewujudkan kesejahteraan bersama…, kesejahteraan bersama adalah kesejahteraan
untuk semua…semua berarti setiap orang pada Negara, Negara bagian/provinsi dan
Kabupaten/Kota tertentu.
Secara kasat
mata saat ini, menjelang Pilgub NTT medio Maret nanti, tampak bahwa sebagian
besar PNS Provinsi NTT terlibat langsung
maupun tidak langsung dalam upaya memenangkan paket tertentu. Hal ini juga
diperparah lagi dengan adanya keterlibatan oknum PNS dari Kabupaten/Kota yang
memiliki kepentingan tertentu, misalnya keinginan untuk memperoleh jabatan
tertentu ketika paket yang diusungnya memenangkan Pilgub dimaksud. Akan tetapi,
keadaan yang buruk ini, selain karena adanya keinginan untuk memperoleh jabatan
pada periode kepemerintahan mendatang, juga diperburuk oleh lemahnya evaluasi
dan penilaian kinerja serta tidak adanya sanksi yang jelas bila dinas/instansi
memiliki kinerja yang buruk. Oleh karena aktifitas implementasi program dan
kegiatan yang telah ditetapkan menjadi kabur, bermakna ganda, sehingga
keberadaannya menjadi ada dalam ketiadaan. Hal ini sangat menyedihkan karena
kita tampaknya tidak tahu apa yang sedang kita lakukan.
Seiring dengan
itu, PNS juga mendapat ruang untuk berpihak dan bekerja untuk paket pilihannya
karena, control publik yang lemah. Kelihatannya, individu and masyarkat NTT
secara umum acuh tak acuh dengan tindakan keberpihakkan dimaksud yang tidak
hanya menyalahi peraturan tetapi juga secara substantive mereduksu mutu pelayanan
public yang dijalankan Pemerintah Provinsi NTT.
Pada saat yang sama para kandidat gubernur juga memberikan ruang bahkan
mungkin menghimbau dan mengajak PNS lewat berbagai cara untuk mendukungnya. Hemat
kami seyogianya semua pihak dapat menahan diri untuk tidak melibatkan PNS dalam
keseluruhan proses pemenangan paket tertentu. Misalnya, para kandidat Kepala
Daerah harus dengan tegas harus berani menolak setiap PNS yang datang
menawarkan bantuannya dalam memenangkan mereka.
Demikian pula halnya individu dan masyarakat
NTT juga perlu mengambil sikap yang jelas yang mengatakan bahwa PNS yang
melakukan hal demikian tidak perlu diapresiasi karena ia sedang mereduksi
kapasitasnya dalam memberikan pelayanan yang optimal bagi publik. Karena sumber
daya yang dipakai oknum PNS yang melakukan politik praktis untuk pemenangan
kandidat tertentu adalah berasal dari sumber daya publik yang berasal dari
individu dan masyarakat NTT (dipungut melalui pajak). Oleh karena itu individu
dan warga masyarakat NTT memang berhak melarang PNS untuk tidak berpihak dan
bekerja untuk pemenganan figur tertentu. Hemat kami, dari perspektif etika
pemerintah, PNS perlu menyadari bahwa sebaiknya ia perlu kembali pada posisi
netral sebagai pelayan publik yang tidak berpihak pada siapa saja, tetapi
senantiasa dengan tekun memberikan pelayanan optimal pada setiap warga Negara.
Inilah hal terpenting yang tidak boleh diganggu oleh kepentingan elitis para
kandidat Kepala Daerah.
Implementasi Hak Prerogative
John Locke
(1632-1704) seorang filosof dan penulis terkenal Inggris, dalam bukunya The
Second Treatise of Government menegaskan bahwa hak prerogative dimiliki
dan dieksekusi oleh pihak eksekutiv semata-mata dijalankan untuk public good (kebaikan/kesejahteraan public) bukan
untuk kepentingan yang lainnya oleh karena itu ia harus berada pada tangan
pemimpin yang paling bijak(1980, hal.86). Dalam banyak Negara demokrasi
pendapat Locke di atas selalu menjadi rujukan. Indonesia pada tataran nasional
dan local yang kini telah berada dalam system politik demokrasi, tentunya juga
sangat wajar untuk mengadopsi pendapat philosopik di atas. Hal ini berarti
bahwa setiap pejabat public pada eselon berapa saja adalah orang-orang terbaik
yang dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan public bukan kebutuhan elit atau
kelompok tertentu saja. Pada aras Pemerintah Provinsi, kelihatannya hal ini
masih jauh dari harapan, misalnya, saat ini pada jabatan-jabatan structural
yang strategis didominasi oleh pejabat dari etnis tertentu dengan kompetensi
dan kualitas pribadi yang diragukan karena mereka menduduki jabatan tertentu
tidak melalui tes kepatutan dan kelayakan, lebih karena sebagai tim sukses dan
kedekatannya dengan pemegang kekuasaan dan kroninya. Dengan demikian PNS
tertentu yang memiliki kompetensi dan kualitas lebih justru tidak terpilih
menduduki posisi yang tepat. Dengan sendirinya maka kinerja SKPD, bidang, dan bagian
yang dipimpin oknum pejabat seperti di atas biasanya memiliki kinerja yang
kabur dan tidak terukur bahkan cenderung ngawur. Pencapain kinerjanya rendah
dan tidak mengarah pada indikator makro Pemerintah Provinsi NTT pada RPJMD
2009-2013.
Oleh karena itu,
dapat dikatakan bahwa ongkos yang dibayar sangat mahal, yakni terabaikan
kuantitas dan kualitas pelayanan public, sebagai konsekwensi dari penggunaan
hak prerogative yang menyalahi substansi hak prerogative itu sendiri. Oleh
karenanya, kondisi buruk di atas harus segera diperbaiki oleh pemerintahan yang
baru nanti. Pembukaan lamaran pada jabatan public pada birokrasi yang dapat
diikuti oleh setiap PNS yang memunihi criteria, kemudian diikuti dengan uji
kepatutan dan kelayakan yang dilakukan oleh tim independent akan menjadi
pilihan yang terbaik. Dengan demikian berbagai dampak buruk pengangkangan
kepentingan/kebutuhan public oleh pejabat public yang tidak jelas kompetensi
dan kualitasnya dapat dihindari. Pada saat yang sama dengan berhasilnya kita
menempatkan PNS yang tepat pada tempat yang tepat melalui prosedur dan
mekanisme objektif di atas maka mutu dan kualitas pelayanan PNS baru akan dapat
meningkat secara siginifikan. Dengan demikian maka harapan kita untuk setiap
program dan kegiatan Pemerintah Provinsi NTT dapat bergerak kearah terwujudnya common
good di bumi NTT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar