Selasa, 26 Februari 2013

Artikel

Netralitas PNS dalam Pilkada dan 
Hak Prerogatif Kepala Daerah

Oleh :
Drs. Alexander B. Koroh, MPM (Widyaiswara pada BP4D Provinsi NTT)
Baswara Anindita, ST (Widyaiswara pada BP4D Provinsi NTT)


Hiruk pikuk sosialisasi Pilgub NTT sedang meramaikan arena public bahkan sampai memasuki  ruang privat. Hal ini tampak dari berbagai aktivitas pemerintah, asosiasi masayarakat sipil, dan individu yang baik secara sengaja ataupun tidak melibatkan diri dalam keberpihakan pada aktifitas sosialisasi diri paket tertentu. Hal ini sebernarnya lumrah saja, bahkan pada kadar yang tidak berlebihan menunjukkan adanya animo dan antusiasme yang tinggi dari warga Negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan politik terkini dalam juridiksi di mana ia berada. Dari perspektif demokrasi hal ini sehat karena ada ruang yang sangat memadai bagai warga Negara untuk secara aktif menentukan sendiri preferensi politik yang tertuju pada figur tertentu. Akan tetapi hal ini menjadi suatu pelanggaran terhadap aturan ketika elemen organisasi sektor publik yakni Pengawai Negari Sipil (PNS) Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.



Keberadaan PNS dalam Pilkada
PNS sejatinya adalah pelayan public yang mesti memenuhi tidak hanya kebutuhan tetapi lebih jauh juga kepuasan individu dan masyarakat. Itulah sebabnya setiap PNS harus memiliki roh dan karakter stewardship (kepelayanan) dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Hal memenuhi kebutuhan dan kepuasan public adalah sangat serius dan harus diwujudkan setiap saat. Oleh karena itu tidak boleh terjadi kevakuman ataupun stagnasi dalam mengimplementasi dan memberikan pelayanan baik dalam bentuk jasa dan barang publik pada konsumen/klien oleh setiap dinas/instansi. Aktifitas "kepilguban" misalnya tidak boleh mengganggu atau bahkan menghambat proses pelayanan yang dijalankan oleh dinas/instansi. Jika hal ini terjadi maka ada kesalahan besar yang sedang terjadi karena Pemerintah Daerah sedang mengangkangi kepentingan publik dan atau lebih jauh lagi sedang menghambat terwujudnya common good (kesejahteraan bersama) yang secara substantive merupakan tujuan akhir dari setiap pemerintahan. Robert A. Dahl dalam bukunya Democracy and Its Critics menegaskan governments ought to govern on behalf of the common good…, the common good is the good of all…all means for everyone in the particular nation, state/province and district (1989, hal.280,281,284). Secara bebas dapat diterjemahkan bahwa pemerintah seyogianya memirantah untuk mewujudkan kesejahteraan bersama…, kesejahteraan bersama adalah kesejahteraan untuk semua…semua berarti setiap orang pada Negara, Negara bagian/provinsi dan Kabupaten/Kota tertentu.
Secara kasat mata saat ini, menjelang Pilgub NTT medio Maret nanti, tampak bahwa sebagian besar PNS Provinsi NTT  terlibat langsung maupun tidak langsung dalam upaya memenangkan paket tertentu. Hal ini juga diperparah lagi dengan adanya keterlibatan oknum PNS dari Kabupaten/Kota yang memiliki kepentingan tertentu, misalnya keinginan untuk memperoleh jabatan tertentu ketika paket yang diusungnya memenangkan Pilgub dimaksud. Akan tetapi, keadaan yang buruk ini, selain karena adanya keinginan untuk memperoleh jabatan pada periode kepemerintahan mendatang, juga diperburuk oleh lemahnya evaluasi dan penilaian kinerja serta tidak adanya sanksi yang jelas bila dinas/instansi memiliki kinerja yang buruk. Oleh karena aktifitas implementasi program dan kegiatan yang telah ditetapkan menjadi kabur, bermakna ganda, sehingga keberadaannya menjadi ada dalam ketiadaan. Hal ini sangat menyedihkan karena kita tampaknya tidak tahu apa yang sedang kita lakukan.

Seiring dengan itu, PNS juga mendapat ruang untuk berpihak dan bekerja untuk paket pilihannya karena, control publik yang lemah. Kelihatannya, individu and masyarkat NTT secara umum acuh tak acuh dengan tindakan keberpihakkan dimaksud yang tidak hanya menyalahi peraturan tetapi juga secara substantive mereduksu mutu pelayanan public yang dijalankan Pemerintah Provinsi NTT.  Pada saat yang sama para kandidat gubernur juga memberikan ruang bahkan mungkin menghimbau dan mengajak PNS lewat berbagai cara untuk mendukungnya. Hemat kami seyogianya semua pihak dapat menahan diri untuk tidak melibatkan PNS dalam keseluruhan proses pemenangan paket tertentu. Misalnya, para kandidat Kepala Daerah harus dengan tegas harus berani menolak setiap PNS yang datang menawarkan bantuannya dalam memenangkan mereka.

 Demikian pula halnya individu dan masyarakat NTT juga perlu mengambil sikap yang jelas yang mengatakan bahwa PNS yang melakukan hal demikian tidak perlu diapresiasi karena ia sedang mereduksi kapasitasnya dalam memberikan pelayanan yang optimal bagi publik. Karena sumber daya yang dipakai oknum PNS yang melakukan politik praktis untuk pemenangan kandidat tertentu adalah berasal dari sumber daya publik yang berasal dari individu dan masyarakat NTT (dipungut melalui pajak). Oleh karena itu individu dan warga masyarakat NTT memang berhak melarang PNS untuk tidak berpihak dan bekerja untuk pemenganan figur tertentu. Hemat kami, dari perspektif etika pemerintah, PNS perlu menyadari bahwa sebaiknya ia perlu kembali pada posisi netral sebagai pelayan publik yang tidak berpihak pada siapa saja, tetapi senantiasa dengan tekun memberikan pelayanan optimal pada setiap warga Negara. Inilah hal terpenting yang tidak boleh diganggu oleh kepentingan elitis para kandidat Kepala Daerah.

Implementasi Hak Prerogative
John Locke (1632-1704) seorang filosof dan penulis terkenal Inggris, dalam bukunya The Second Treatise of Government menegaskan bahwa hak prerogative dimiliki dan dieksekusi oleh pihak eksekutiv semata-mata dijalankan untuk  public good (kebaikan/kesejahteraan public) bukan untuk kepentingan yang lainnya oleh karena itu ia harus berada pada tangan pemimpin yang paling bijak(1980, hal.86). Dalam banyak Negara demokrasi pendapat Locke di atas selalu menjadi rujukan. Indonesia pada tataran nasional dan local yang kini telah berada dalam system politik demokrasi, tentunya juga sangat wajar untuk mengadopsi pendapat philosopik di atas. Hal ini berarti bahwa setiap pejabat public pada eselon berapa saja adalah orang-orang terbaik yang dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan public bukan kebutuhan elit atau kelompok tertentu saja. Pada aras Pemerintah Provinsi, kelihatannya hal ini masih jauh dari harapan, misalnya, saat ini pada jabatan-jabatan structural yang strategis didominasi oleh pejabat dari etnis tertentu dengan kompetensi dan kualitas pribadi yang diragukan karena mereka menduduki jabatan tertentu tidak melalui tes kepatutan dan kelayakan, lebih karena sebagai tim sukses dan kedekatannya dengan pemegang kekuasaan dan kroninya. Dengan demikian PNS tertentu yang memiliki kompetensi dan kualitas lebih justru tidak terpilih menduduki posisi yang tepat. Dengan sendirinya maka kinerja SKPD, bidang, dan bagian yang dipimpin oknum pejabat seperti di atas biasanya memiliki kinerja yang kabur dan tidak terukur bahkan cenderung ngawur. Pencapain kinerjanya rendah dan tidak mengarah pada indikator makro Pemerintah Provinsi NTT pada RPJMD 2009-2013.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ongkos yang dibayar sangat mahal, yakni terabaikan kuantitas dan kualitas pelayanan public, sebagai konsekwensi dari penggunaan hak prerogative yang menyalahi substansi hak prerogative itu sendiri. Oleh karenanya, kondisi buruk di atas harus segera diperbaiki oleh pemerintahan yang baru nanti. Pembukaan lamaran pada jabatan public pada birokrasi yang dapat diikuti oleh setiap PNS yang memunihi criteria, kemudian diikuti dengan uji kepatutan dan kelayakan yang dilakukan oleh tim independent akan menjadi pilihan yang terbaik. Dengan demikian berbagai dampak buruk pengangkangan kepentingan/kebutuhan public oleh pejabat public yang tidak jelas kompetensi dan kualitasnya dapat dihindari. Pada saat yang sama dengan berhasilnya kita menempatkan PNS yang tepat pada tempat yang tepat melalui prosedur dan mekanisme objektif di atas maka mutu dan kualitas pelayanan PNS baru akan dapat meningkat secara siginifikan. Dengan demikian maka harapan kita untuk setiap program dan kegiatan Pemerintah Provinsi NTT dapat bergerak kearah terwujudnya common good  di bumi NTT.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar