Minggu, 14 April 2013



 Paradigma Organsasi Sektor Publik dan Prospek
Reformasi Birokrasi di NTT

Drs. Alexander B. Koroh, MPM*
*Alumni Victoria University of Wellington, New Zealand

Secara historis reformasi birokrasi dapat berlangsung secara sendiri atau didahului dengan reformasi system politik suatu bangsa. Negara-negara seperti Inggris, Amerika, New Zealand dan Australia serta bebarapa Negara skandanavia adalah Negara yang melakukan reformasi birokrasinya tanpa mereformasi system politiknya. Pada bagian lain, Indonesia adalah salah satu Negara yang mereformasi birokrasinya dengan terlebih dahulu mereformasi system politiknya. Dalam hal ini bangsa ini, meninggalkan system politik otoritarian dan masuk pada system politik demokrasi. Menjadi demokrasi tidak secara otomatis menyebabkan  Indonesia sebagai Negara demokrasi yang terkonsilidasi tetapi negeri ini harus melalui masa transisi terlebih dahulu. Ilmuan ilmu politik Juan J. Linz dan Alfred Stepan (1997) dalam tulisannya “Toward Consolidated Democracy” (menuju demokrasi yang mantap/terkonsilidasi) menegaskan bahwa pada masa transisi harus diikuti dengan salah satu syarat yakni adanya useable bureaucracy  (birokrasi yang berguna). Birokrasi dimaksud adalah birokrasi yang secara efisien dapat mengelola sumber daya public dalam menjawab kebutuhan dan kepuasan warga Negara. Jika hal ini tidak terwujud maka dikuatirkan masa transisi akan gagal dan akan ada arus balik yang memukul demokratisasi sehingga dapat menyebabkan kemunduran bahkan kegagalan yakni kembali kepada system politik yang tidak demokratis. Tentunya hal ini sangat berbahaya.


Paradigma dalam Organisasi Sektor Publik
Cendikiawan menejemen public biasanya sepakat bahwa ada tiga paradigm dalam organisasi sector public. Pertama, the classical model atau biasanya dikenal dengan Model Birokrasi Weber. Model ini diperkenalkan oleh Max Weber (baca: Max Veber) seorang sosiolog German. Dalam konteks global model ini deterapkan dalam organisasi sector public mulai tahun 1920 sampai dengan tahun 1980an awal. Dengan kata lain model ini teraplikasi dalam berbagai organisasi sector public di seluruh dunia sekitar 60 tahun. Kelemahan utama dari model ini adalah sangat procedural administrative, oleh karenanya cenderung berbelit-belit, kaku, tidak responsive terhadap kebutuhan dan kepuasan costumer,client, dan warga Negara. Dengan demikian maka model ini biasanya lebih berorientasi pada input (masukan).
 Kedua, New Public Management (NPM), paradigma mulai diterapkan sejak tahun 1980an. Di Amerika Serikat model ini biasanya disebut dengan Reinventing Government (mewirausahakan birokrasi). Krisis financial yang mendera Negara-negara Baratpada tahun 1980an memaksa pemerintah mereka untuk melakukan efisiensi dalam pemanfaatan anggaran Negara. Efisiensi pada birokrasi harus dilakukan. Seiring dengan itu, berkembang pula gagasan besar bahwa Negara yang baik adalah Negara yang sedikit mengurus kehidupan warga Negara. Yang terpenting adalah Negara mengatur dan memfasilitasi kehidupan warga dengan baik. Banyak urusan pemerintah yang hasilnya akan lebih baik jika dilaksanakan oleh pihak swasta dan atau sector non-profit. Kedua hal inilah yang mendorong Negara-negara di atas untuk mereformasi birokrasi mereka. Reformasi dimaksud bertujuan untuk menciptakan organisasi sector public yang efisien. Artinya Negara lebih dapat mengarahkan sumber daya pulik demi mewujudkan kesejahteraan warganya. Singkatnya model ini cukup menjawab berbagai kekurangan yang terjadi pada model birokrasi Weber. NMP satu langkah lebih maju ketimbang model Weber karena telah berorientasi pada outputs (keluaran). Bersamaan dengan ini, NPM mengutamakan pemenuhan dan kepuasan palanggan/klien, mendorong adanya kompetisi, membuat organisasi sector public lebih flat (tidak banyak struktur), dan banyak pekerjaan penyediaan layanan dan barang public yang diserahkan/dikontrakan pada sector swasta dan sector nirlaba. Akan tetapi, hasil penerlitian yang dilakukan oleh Prof. Alan Sick pada tahun 1996, terhadap implementasi NPM di New Zealand menunjukkan bahwa model ini adalah “efficient but insufficient” (efisien tapi tidak memadai). Artinya model ini belum mendorong para manager untuk berupaya mencapai tujuan-tujuan strategis dalam tataran outcomes (hasil). Oleh karenanya setelah itu dipikirkan bagaimana mewujudkan model yang dapat mencapai indikator kinerja sampai pada level hasil.
Dengan demikian sejak pertengahan tahun 1990an muncul model ketiga yakni, public governance dalam praktek terbaiknya biasa disebut good governance (kepemerintahan yang baik), jika penerapan terbaiknya terjadi dalam lingkup juridiksi pemerintah daerah maka pemerintah menjadi outcome oriented government (pemerintah yang berorientasi pada hasil). Karenanya model ini tidak lagi mengutamakan kompetisi tetapi lebih pada colaborasi atau kerjasama suka rela antar semua actor kepemerintahan public. Artinya pemerintah tidak lagi menempatkan diri sebagai actor dominan tetapi lebih sebagai mediator dan fasilitator diantara actor lainnya. Dengan demikian maka akan hadir kerjasama yang erat dan kuat dengan pertanggungjawaban yang jelas dalam mewujudkan desired outcomes. Secara teoritis hal ini wajar Karena sifat dari outcome adalah uncontrollable (tak terkendali) berbeda dengan output yang controllable. Outcome hanya baru dapat dicapai melalui kerjasama dan kontribusi positif semua stakeholders (pemangku kepentingan).
Realita  Birokrasi Pemerintah Provinsi NTT
Sejatinya dari ketiga model organisasi sector public di atas, organisasi sector public kita belum menerapkan salah satu model secara persis. Bila dilihat dari banyaknya struktur pada birokrasi kita tampak bahwa kita mengarah pada Birokrasi Weber. Akan tetapi model Weber mengutamakan rasionalitas dan impersonal dalam  memenej organisasi sector public dan semua sumber daya public yang ada. Dalam konteks birokrasi di NTT saat ini, sebagian besar pejabat ditempatkan secara tidak rasional dan sangat personal. Penetapan pejabat pada jabatan tertentu sangat tertutup, dan tentunya tim sukses dan orang dekat yang menduduki jabatan khususnya jabatan strategis, padahal ada orang lain yang memiliki kompentensi lebih.  Hal ini tidak berlaku dalam birokrasi Weber. Secara jelas dan tegas karakter birokrasi Indonesia ditunjukkan oleh Rohdehwohld dalam bukunya Decentralization and the Indonesian Bureaucracy, Many academics argue that there exists in the public organizations in Indonesia a lack of sensitivity and responsiveness from the civil service to the needs and interests of the people. There is also a lack of public accountability, and a hierarchical and patron client atmosphere (2003, hal.264). (Banyak akademisi mendebat bahwa yang ada pada organisasi public Indonesia adalah kurangnya kepekaan dan ketanggapan dari pegawai negeri terhadap kebutuhan dan kepentingan rakyat. Ada juga akuntabilitas public yang buruk, dan atmosfir patron-klien hirarkis). Dengan demikian terlihat jelas bahwa karakter yang dimiliki oleh birokrasi kita adalah berbeda dengan yang ada pada birokrasi model Weber.
Oleh karenanya, jika performa organisasi sector public di NTT ingin diperbaiki secara siknifikan maka reformasi birokrasi harus dilakukan. Merujuk pada kompleksitas permasalahan birokrasi kita, paling kurang ada tiga elemen utama yang perlu diterapkan dalam reformasi birokrasi Provinsi NTT. Pertama, memilih salah satu paradigm organisasi sector public, kedua, merubah perspektif pelayanan public, ketiga, merubah proses rekruitmen dan promosi, dan keempat, mengurangi struktur yang ada kedalam jumlah yang lebih kecil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar