Paradigma
Organsasi Sektor Publik dan Prospek
Reformasi Birokrasi di NTT
Drs.
Alexander B. Koroh, MPM*
*Alumni Victoria University of Wellington, New Zealand
Secara historis reformasi birokrasi dapat berlangsung secara
sendiri atau didahului dengan reformasi system politik suatu bangsa. Negara-negara
seperti Inggris, Amerika, New Zealand dan Australia serta bebarapa Negara
skandanavia adalah Negara yang melakukan reformasi birokrasinya tanpa
mereformasi system politiknya. Pada bagian lain, Indonesia adalah salah satu
Negara yang mereformasi birokrasinya dengan terlebih dahulu mereformasi system
politiknya. Dalam hal ini bangsa ini, meninggalkan system politik otoritarian
dan masuk pada system politik demokrasi. Menjadi demokrasi tidak secara
otomatis menyebabkan Indonesia sebagai
Negara demokrasi yang terkonsilidasi tetapi negeri ini harus melalui masa
transisi terlebih dahulu. Ilmuan ilmu politik Juan J. Linz dan Alfred Stepan
(1997) dalam tulisannya “Toward Consolidated Democracy” (menuju
demokrasi yang mantap/terkonsilidasi) menegaskan bahwa pada masa transisi harus
diikuti dengan salah satu syarat yakni adanya useable bureaucracy (birokrasi yang berguna). Birokrasi dimaksud
adalah birokrasi yang secara efisien dapat mengelola sumber daya public dalam
menjawab kebutuhan dan kepuasan warga Negara. Jika hal ini tidak terwujud maka
dikuatirkan masa transisi akan gagal dan akan ada arus balik yang memukul
demokratisasi sehingga dapat menyebabkan kemunduran bahkan kegagalan yakni
kembali kepada system politik yang tidak demokratis. Tentunya hal ini sangat
berbahaya.
Paradigma dalam
Organisasi Sektor Publik
Cendikiawan menejemen public biasanya sepakat bahwa ada tiga
paradigm dalam organisasi sector public. Pertama, the classical model atau
biasanya dikenal dengan Model Birokrasi Weber. Model ini diperkenalkan oleh Max
Weber (baca: Max Veber) seorang sosiolog German. Dalam konteks global model ini
deterapkan dalam organisasi sector public mulai tahun 1920 sampai dengan tahun
1980an awal. Dengan kata lain model ini teraplikasi dalam berbagai organisasi
sector public di seluruh dunia sekitar 60 tahun. Kelemahan utama dari model ini
adalah sangat procedural administrative, oleh karenanya cenderung
berbelit-belit, kaku, tidak responsive terhadap kebutuhan dan kepuasan
costumer,client, dan warga Negara. Dengan demikian maka model ini biasanya
lebih berorientasi pada input (masukan).
Kedua, New Public
Management (NPM), paradigma mulai diterapkan sejak tahun 1980an. Di Amerika
Serikat model ini biasanya disebut dengan Reinventing Government (mewirausahakan
birokrasi). Krisis financial yang mendera Negara-negara Baratpada tahun 1980an
memaksa pemerintah mereka untuk melakukan efisiensi dalam pemanfaatan anggaran
Negara. Efisiensi pada birokrasi harus dilakukan. Seiring dengan itu,
berkembang pula gagasan besar bahwa Negara yang baik adalah Negara yang sedikit
mengurus kehidupan warga Negara. Yang terpenting adalah Negara mengatur dan
memfasilitasi kehidupan warga dengan baik. Banyak urusan pemerintah yang
hasilnya akan lebih baik jika dilaksanakan oleh pihak swasta dan atau sector
non-profit. Kedua hal inilah yang mendorong Negara-negara di atas untuk
mereformasi birokrasi mereka. Reformasi dimaksud bertujuan untuk menciptakan
organisasi sector public yang efisien. Artinya Negara lebih dapat mengarahkan
sumber daya pulik demi mewujudkan kesejahteraan warganya. Singkatnya model ini
cukup menjawab berbagai kekurangan yang terjadi pada model birokrasi Weber. NMP
satu langkah lebih maju ketimbang model Weber karena telah berorientasi pada outputs
(keluaran). Bersamaan dengan ini, NPM mengutamakan pemenuhan dan
kepuasan palanggan/klien, mendorong adanya kompetisi, membuat organisasi sector
public lebih flat (tidak banyak struktur), dan banyak pekerjaan penyediaan
layanan dan barang public yang diserahkan/dikontrakan pada sector swasta dan
sector nirlaba. Akan tetapi, hasil penerlitian yang dilakukan oleh Prof. Alan
Sick pada tahun 1996, terhadap implementasi NPM di New Zealand menunjukkan
bahwa model ini adalah “efficient but insufficient” (efisien
tapi tidak memadai). Artinya model ini belum mendorong para manager untuk
berupaya mencapai tujuan-tujuan strategis dalam tataran outcomes (hasil). Oleh
karenanya setelah itu dipikirkan bagaimana mewujudkan model yang dapat mencapai
indikator kinerja sampai pada level hasil.
Dengan demikian sejak pertengahan tahun 1990an muncul model
ketiga yakni, public governance dalam praktek terbaiknya biasa disebut good
governance (kepemerintahan yang baik), jika penerapan terbaiknya
terjadi dalam lingkup juridiksi pemerintah daerah maka pemerintah menjadi outcome
oriented government (pemerintah yang berorientasi pada hasil).
Karenanya model ini tidak lagi mengutamakan kompetisi tetapi lebih pada
colaborasi atau kerjasama suka rela antar semua actor kepemerintahan public.
Artinya pemerintah tidak lagi menempatkan diri sebagai actor dominan tetapi
lebih sebagai mediator dan fasilitator diantara actor lainnya. Dengan demikian
maka akan hadir kerjasama yang erat dan kuat dengan pertanggungjawaban yang
jelas dalam mewujudkan desired outcomes. Secara teoritis
hal ini wajar Karena sifat dari outcome adalah uncontrollable (tak
terkendali) berbeda dengan output yang controllable. Outcome hanya baru
dapat dicapai melalui kerjasama dan kontribusi positif semua stakeholders
(pemangku kepentingan).
Realita Birokrasi
Pemerintah Provinsi NTT
Sejatinya dari ketiga model organisasi sector public di atas,
organisasi sector public kita belum menerapkan salah satu model secara persis.
Bila dilihat dari banyaknya struktur pada birokrasi kita tampak bahwa kita
mengarah pada Birokrasi Weber. Akan tetapi model Weber mengutamakan rasionalitas
dan impersonal dalam memenej organisasi
sector public dan semua sumber daya public yang ada. Dalam konteks birokrasi di
NTT saat ini, sebagian besar pejabat ditempatkan secara tidak rasional dan
sangat personal. Penetapan pejabat pada jabatan tertentu sangat tertutup, dan
tentunya tim sukses dan orang dekat yang menduduki jabatan khususnya jabatan
strategis, padahal ada orang lain yang memiliki kompentensi lebih. Hal ini tidak berlaku dalam birokrasi Weber.
Secara jelas dan tegas karakter birokrasi Indonesia ditunjukkan oleh
Rohdehwohld dalam bukunya Decentralization and the Indonesian
Bureaucracy, Many academics argue
that there exists in the public organizations in Indonesia a lack of
sensitivity and responsiveness from the civil service to the needs and
interests of the people. There is also a lack of public accountability, and a
hierarchical and patron client atmosphere (2003, hal.264). (Banyak
akademisi mendebat bahwa yang ada pada organisasi public Indonesia adalah
kurangnya kepekaan dan ketanggapan dari pegawai negeri terhadap kebutuhan dan
kepentingan rakyat. Ada juga akuntabilitas public yang buruk, dan atmosfir
patron-klien hirarkis). Dengan demikian terlihat jelas bahwa karakter yang
dimiliki oleh birokrasi kita adalah berbeda dengan yang ada pada birokrasi
model Weber.
Oleh karenanya, jika performa organisasi sector public di NTT
ingin diperbaiki secara siknifikan maka reformasi birokrasi harus dilakukan.
Merujuk pada kompleksitas permasalahan birokrasi kita, paling kurang ada tiga
elemen utama yang perlu diterapkan dalam reformasi birokrasi Provinsi NTT.
Pertama, memilih salah satu paradigm organisasi sector public, kedua, merubah perspektif
pelayanan public, ketiga, merubah proses rekruitmen dan promosi, dan keempat,
mengurangi struktur yang ada kedalam jumlah yang lebih kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar