Minggu, 14 April 2013



REFORMASI BIROKRASI PELAYANAN PUBLIK
Ondy Ch. Siagian
Widyaiswara BP4D Provinsi NTT

PENDAHULUAN
Pelayanan publik dapat dinyatakan sebagai segala bentuk pelayanan di sektor publik, yang dilaksanakan aparatur pemerintah, dalam bentuk penyediaan barang dan atau jasa sesuai kebutuhan masyarakat, berdasarkan aturan-aturan hukum perundang-undangan yang berlaku. Dalam hubungan ini salah satu fungsi penting dan utama instansi pemerintah adalah sebagai perangkat pemberi pelayanan. Sebagus itu rencana dan idiologinya, tetapi pelaksanaan kewajiban untuk menyediakan dan memberikan jasa pelayanan oleh berbagai instansi pemerintah kepada masyarakat, dalam kenyataannya masih belum bisa memberikan kepuasan kepada warga masyarakat. Dan sudah menjadi rahasia umum bahwa kondisi pelayanan publik di Indonesia masih dinilai buruk oleh masyarakat pengguna pelayanan publik.
Berbagai keluhan dan kritik banyak disuarakan masyarakat kepada lembaga pemerintah penyelenggara pelayanan berkait dengan kondisi pelayanan kepada masyarakat baik di tingkat pusat maupun di daerah. Kasus demi kasus dalam berbagai sektor pelayanan terjadi, sementara praktek  pelayanan publik masih dirasakan gamang dan hanya sekedar memenuhi tuntutan tugas dan peraturan.


PERMASALAHAN PELAYANAN PUBLIK
1. Kurangnya Sosialisasi Peraturan
Semua urusan sebenarnya sudah ada peraturannya, tapi sayangnya, peraturan-peraturan itu kurang disosialisasikan. Informasi mengenai kejelasan mengenai peraturan dan prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) yang berlaku masih sangat kurang. Padahal, ini sangat penting, terutama di pos-pos pelayanan masyarakat yang strategis. Misalnya perihal pengurusan administrasi kependudukan, seperti KTP, Sertifikat Tanah, Paspor, atau Surat Nikah. Akibatnya, informasi yang sampai ke masyarakat umum menjadi terbatas dan terkesan simpang-siur. Banyak masyarakat yang tidak tahu mengenai prosedur baku (SOP-Standart Operating Procedure) suatu layanan. Celakanya, hal ini lantas dimanfaatkan oleh segelintir oknum tidak bertanggung jawab atau orang-orang oportunis yang duduk di birokrasi, untuk menjalankan praktek yang tidak prosedur demi keuntungan pribadi.

 

2. Kinerja Pegawai Rendah

Sudah menjadi rahasia umum, kalau etos kerja pegawai pelayanan publik buruk. Ini termasuk masalah kedisiplinan yang rendah, attitude dalam memberikan pelayanan yang kurang baik, maupun kurang tegasnya sanksi bagi pegawai yang berkinerja buruk. Seperti petugas pelayanan yang tidak ramah saat memberikan pelayanan, tidak tepat waktu, lambat, kebanyakan bercerita yang tidak terkait dengan pekerjaan, sering tidak masuk kantor, dan lain sebagainya. Jadi bagaimana pelayanan publik bisa maksimal kalau pegawai-nya tidak disipilin, berkinerja rendah, dan tidak takut berbuat kesalahan karena tidak adanya sanksi yang tegas.

3. Penempatan Pegawai yang Kurang Tepat

Sarjana Tekhnik Kimia sebagai pegawai administrasi, Sarjana Hukum sebagai pranata komputer, Sarjana Informasi dan Teknologi sebagai front officer, Sarjana Pertanian sebagai Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Carut marut rekrutmen dan penempatan pegawai sudah menjadi cerita lama, dan hamper dijumpai diseluruh instansi pemerintah mulai dari pusat sampai ke daerah.
Sederhana saja. Bagaimana mungkin mengharapkan kinerja maksimal dari seseorang, ketika yang bersangkutan diberi pekerjaan yang kurang/tidak sesuai dengan bidang keahliannya?

4. Menjamurnya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme

Dalam kesempatan ini, penulis tertarik untuk menyorot korupsi dari sisi lain, yaitu dari sisi melemahkan kinerja birokrasi, yang dalam hal ini, akan berimbas pada buruknya pelayanan publik. Lemahnya penindakan korupsi, membuat para pejabat dan pegawai yang melakukan korupsi bebas merajalela menggerogoti sistem dari dalam. Hal ini kemudian mebuat para pegawai yang bersih, jujur, dan berintegritas tinggi mengalami demoralisasi tingkat akut. Semangat kerja menurun, karena merasa prestasinya tertutupi dengan borok Korupsi di instansinya. Hasilnya, yang bobrok makin bobrok, yang jujur dan bersih menjadi “malas” untuk bertindak karena kerusakan sistem telah akut.

5. Maraknya Suap/Gratifikasi

Selalu saja ada sebagian orang yang mencoba untuk “bypass” segala prosedur baku agar urusannya bisa selesai lebih cepat dan mudah. Tidak ada bentuk iming-iming yang lebih ampuh dari pada uang.  Praktek suap-menyuap ini mulanya sedikit dan terselubung, lama-lama menjadi marak, dan kemudian malah menjadi semacam “Industri Baru” yang lantas juga ikut melibatkan oknum-oknum lain di luar birokrasi, yang lantas terkenal dengan istilah “Calo”.
Akibatnya, seperti sekarang ini. Urusan yang ada uangnya akan lebih didahulukan. Celakanya, karena sudah menjadi “Industri”, permintaan mengalir terus, tanpa henti. Jadi, permohonan maaf bagi yang tidak punya uang, harus bersedia antre dan sabar lebih lama, atau datang aja besok lagi, atau minggu depan saja toh orang miskin sudah terlatih untuk sabar.  Sampai-sampai muncul istilah ”orang miskin dilarang sakit”.

6. Kurangnya komitmen untuk berubah?

Berdasarkan pandangan penulis, sepertinya masih banyak pihak yang tidak mau sistem berjalan baik. Mengapa? kalau sistem berjalan dengan baik, maka “celah-celah” yang biasanya dipakai untuk mengeruk uang negara akan makin mengecil, dan bukan mustahil akan tertutup rapat. Kalau seperti ini, maka oknum-oknum tidak lagi bisa leluasa menjalankan praktek kotor dalam pelayanan publik. Tentu mereka tidak rela sumber pendapatan yang akan digunakan untuk membiayai gaya hidupnya menguap begitu saja.
Kalau sistem berjalan dengan baik, maka tidak akan ada lagi pegawai yang mulai bekerja jam 10.00 pagi, Tidak akan ada lagi yang berkeliaran di Mall dan pasar pada jam kerja. Tidak akan ada lagi buka facebook dan main game komputer seharian penuh.

REFORMASI DAN REVITALISASI PELAYANAN PUBLIK
Oleh karena itu reformasi kebijakan bidang penyelenggaraan pelayanan publik, harus dilakukan secara menyeluruh, agar tidak terfragmentasi secara sektoral dan tanpa koherensi yang logis, serta terselenggara bersesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Reformasi didefinisikan sebagai perubahan radikal untuk perbaikan di berbagai bidang dalam suatu masyarakat atau negara..
Revitalisasi dan pembangunan sektor publik perlu dilakukan untuk mewujudkan birokrasi publik yang mampu mengelola tugas pemerintahan dan pembangunan secara efisien, efektif, responsif dan bertanggungjawab, serta demokratis dalam menjalankan tata pemerintahan secara terbuka terhadap kritik dan kontrol dari masyarakat. Sehinga kondisi birokrasi publik yang diidentikan dengan kinerja yang berbelit-belit, berpola patron klien, tidak memiliki standar pelayanan yang jelas/pasti, tidak kreatif, struktur yang gemuk, penuh dengan kolusi, korupsi dan nepotisme perlu segera dilakukan perbaikan kearah perubahan.

KESIMPULAN
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa birokrasi pemerintah mulai dari pusat sampai ke daerah harus semakin terbuka dan fleksibel dalam hubungannya dengan kepentingan publik sehingga dapat lebih mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan keadaan. Untuk itu perlu pembinaan kualitas birokrasi secara terus menerus agar dapat diciptakan sosok birokrasi atau aparatur yang professional dan berkarakter.


DAFTAR PUSTAKA
Osborne, David & Ted Gaebler, 1996. Reiventing Governmet (Mewirausahakan Birokrasi), Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.
Siagian, S.P. 1994. Patologi Birokrasi Identifikasi dan Terapinya, Ghalia Indonsia. Jakarta.
Thoha, M. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta. Rajawali Pers.
Zauhar, S. 1996. Reformasi Administrasi : Konsep, Dimensi dan Strategi. Jakarta. Bumi Aksara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar