Sabtu, 15 Juni 2013



Meneropong Proyek Pembangun Bendungan Kolhua
dari Perspektif governance

Oleh : Drs. Alexander B. Koroh, MPM
Widyaiswara Muda pada BP4D NTT

Bovaird dan Loffer (2003) dalam bukunya Public Management dan Governance menegaskan bahwa semenjak tahun 1990an pengelolaan organisasi sector publik pada banyak Negara telah masuk pada paradigma governance. Seiring dengan trend tersebut,  Pemerintah sejak tahun 2000 melalui Peraturan Pemerintah No.101 mengatur bahwa pengelolaan semua sumber daya public yang dikelolah oleh pemerintah dan pemerintah daerah dijalankan dalam perspektif Good Governance atau outcome oriented government (pemerintah yang berorientasi pada hasil). Hal ini berarti bahwa setiap program dan kegiatan yang dijalankan pemerintah (pusat dan daerah) harus mencapai output (keluaran) dan outcome (hasil) yang bermanfaat bagi kesejahteraan individu dan masyarakat dalam yuridiksinya. Oleh karena itu, Pemerintah Kota Kupang juga sejatinya dalam implementasi program dan kegiatannya juga berada dalam paradigm pemerintah yang berorientasi pada hasil. Dengan demikian adalah hal tepat jika konflik yang sementara berlangsung antara Pemerintah Kota (baca Walikota Kupang) dengan para pemilik lahan dan pendukungnya ditinjau secara mendalam dari perspektif governance.


Pemerintah sebagai Mediator
Secara teoritis, pemerintah yang berorientasi pada hasil sesungguhnya sama dengan governance (kepemerintahan) yang dalam praktek terbaiknya biasa disebut good governance. Prinsip utama dalam konsep ini adalah bahwa pemerintah bukanlah satu-satunya actor dan atau actor  dominan dalam implementasi tugas pokok pemerintahan yakni pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan, tetapi sebagai mediator dan fasilitator di antara aktor-aktor lainnya yang juga biasanya diistilahkan sebagai stakeholder (pemangku kepentingan). A. Gray dalam tulisannya yang berjudul ‘Integrated service delivery and regional coordination’ menggarisbawahi bahwa dalam ranah governance kolaborasi antara semua pemangku kepentingan menjadi sangat krusial. Kolaborasi dalam good governance adalah suatu bentuk kerja sama antara seluruh pemangku kepentingan yang dilakukan secara tulus, iklas, jujur, dan dalam kesederajatan dalam rangka mencapai desired outcome (hasil yang diinginkan). Itulah sebabnya, tidak boleh ada pemangku kepentingan yang menetapkan suatu tujuan strategis tanpa keterlibatan pemangku kepentingan yang lain.
Paling tidak terdapat tiga gagasan besar yang mendasari kolaborasi dimaksud yakni pertama, sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang mengakomodir dan mendorong  equality (kesetaraan). Kedua, desired outcome tidak mungkin akan tercapai apabila hanya pemerintah sendiri yang bekerja. Atau dengan kata lain, hasil yang diinginkan baru dapat tercapai melalui kontribusi dari semua pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, setiap actor sudah harus ikut berkontribusi mulai sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi setiap program dan kegiatan pembangunan. Pada kasus kegiatan pembangunan Bendungan Kolhua, kelihatannya tahap perencanaan tidak dilaksanakan sesuai dengan scenario kepemerintahan yang baik; dimana setiap pemangku kepentingan duduk bersama dan menyampaikan apa saja kontribusi yang dapat ia berikan bagi tercapainya outcome dari kegiatan pembangunan bendungan tadi.  Jika tahap ini telah dilakukan dengan baik, maka pada tahap pelaksanaan kegiatan pembangunan bendungan tidak akan ada pihak yang berkeberatan karena ia dengan sadar telah menyetujuinya pada tahap sebelumnya. Selanjutnya pada tahap evaluasi ketika kegiatan sedang berlangsung maupun setelah dilaksanakan setiap pemangku kepentingan tetap harus dilibatkan. Pelibatan semua pemangku kepentingan dalam kegiatan pembangunan bendungan dimaksud tidak hanya untuk mendapatkan aspirasi mereka tetapi lebih dari itu juga untuk menciptakan rasa memiliki.
Ketiga, sumber daya publik yang dimiliki pemerintah baik berupa sumber daya manusia (aparatur) terbatas tidak hanya dari aspek kuantitas tetapi juga dari aspek kualitas. Seiring dengan itu sumber daya financial yang dimiliki pemerintah juga terbatas, baik yang bersumber dari APBD maupun APBN. Keterbatasan dimaksud juga terjadi pada aspek perlengakpan/peralatan yang dimiliki pemerintah maupu terikat pemerintah pada batasan rentang waktu tertentu. Dengan demikian kontribusi dari setiap pemangku kepentingan dapat menutupi kekurangan yang dimiliki oleh pemerintah. Akan tetapi hal ini tidak berarti bahwa jika pemerintah memiliki seluruh sumber daya publik di atas termasuk uang yang berlimpah lalu menjadi arogan dan mengabaikan aspirasi dan kepentingan pemangku kepentingan lainnya.

Merujuk pada konsep di atas, tampak jelas bahwa Pemerintah Kota Kupang (dalam arti sempit: Eksekutif Kota Kupang) telah mengambil langkah-langkah yang keliru, yakni cenderung arogan, memaksakan kehendak, dan meremehkan eksistensi para pemilik lahan, dan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini juga tampak jelas pada perbedaan pendapat yang tajam antara Walikota Kupang dan Ketua DPRD dalam pembangunan bendungan dimaksud. Sejatinya dalam konteks pemerintah dalam arti luas mereka merupakan satu kesatuan, mereka adalah internal stakeholder. Pemerintah Kota Kupang tidak boleh jalan sendiri dalam pembangunan proyek dimaksud. Karena jika itu terjadi, maka Pemerintah Kota mencederai makna pengelolaan kepemerintahan yang baik. Pernyataan Walikota Kupang waktu lalu, bahwa “Saya akan tanam kepala” menunjukkan  sempitnya pengetahuan dan pemahaman yang bersangkutan tentang konsep pemerintah yang berorientasi pada hasil. Sangat disayangkan.

Solusi
Dari perspektif governance, Walikota Kupang dapat mengambil beberapa langkah konstruktif. Pertama, cooling down (mendinginkan suasana), jauhkan pernyataan, sikap dan tindakan yang menimbulkan kesan arogan dan mau menang sendiri dalam pembangunan Bendungan Kolhua. Berpikirlah jernih, sabar, rendah hati, dan jangan berorientasi pada uang, uang bukan segalanya. Kedua, perbaiki kembali relasi yang telah memburuk dengan pemangku kepentingan lain seperti Ketua DPRD Kota Kupang, asosiasi masyarakat sipil yang mendukung penolakan para pemilik lahan, dan tentunya yang paling utama adalah para pemilik lahan sendiri. Perbaikan dimaksud dapat dilakukan melalui diskusi, percakapan mendalam, dialog yang setara, persuasive, dan informal. Hindari pendekatan formal yang cenderung menciptakan kekakuan  dan kebuntuan yang dapat mempertajam konflik. Ketiga, Perlu memperhatikan kembali secara saksama karakteristik/prinsip-prinsip good governance dan mengaplikasikannya dengan baik. Prinsip-prinsip dimaksud adalah partisipasi, aturan hukum, transparansi, daya tanggap, berorientasi pada konsensus, berkeadilan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, bervisi strategis, dan saling keterkaitan (PKKOD-LAN, 2001).
Keempat, lakukan analisis kebutuhan pendidikan dan pelatihan tentang good governance dan akuntabilitas bagi aparatur Pemerintah Kota Kupang. Karena minimnya pengetahuan dan pemahaman terhadap konsep dimaksud mungkin menyebabkan mereka memberikan masukan yang keliru kepada Walikota Kupang. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman aparatur tentang materi di atas diyakini dapat membantu mereka untuk berperan secara positif dalam memberikan masukan yang tepat sehingga implementasi program dan kegiatan yang salah dapat dicegah sejak awal. Dengan demikian maka jalinan hubungan Pemerintah Kota dan para pemangku kepentingan serta  Masyarakat Kota Kupang tetap harmonis dan langgeng.

Arus jaman saat ini, memang menghendaki pola pengelolaan kepemerintahan yang seirama dengan denyut nadi demokrasi dan kepemerintahan yang baik. Kerendahan hati merupakan salah satu nilai esensial dalam berdemokrasi dan berkepemerintahan patut menjadi pijakan bersama, untungnya sebagian besar dari kita, Pemerintah dan Warga Kota Kupang, sejak kecil telah diajarkan bahwa “Barangsiapa meninggikan diri dia akan direndahkan, dan yang direndahkan justru akan ditinggikan.” Mari kita melakukannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar