Sabtu, 15 Juni 2013



Pemimpin Pelayan: Teladan Paus Fransiskus bagi Pejabat Publik NTT
Oleh : Drs. Alexander B. Koroh, MPM
Widyaiswara Muda pada BP4D NTT

Konsep the servant leader (pemimpin pelayan) adalah suatu pola hubungan pemimpin dan pengikut di mana pemimpin hadir untuk melayani pengikutnya dengan tulus. Dalam model kepemimpinan ini, pemimpin lebih mengutamakan kepentingan dan kebutuhan pengikutnya ketimbang kepentingannya dan kroninya. Pemimpin peka dan tanggap terhadap setiap persoalan public yang dihadapi pengikutnya.

Teladan Paus Fransiskus
Keputusan Paus Fransiskus untuk menolak menggunakan mobil mewah Kepausan, dan tinggal di Istana Apolistik yang megah, adalah suatu tindakan bijak dan mulia. Tindakan outside the box (di luar kotak (aturan, tradisi, dan kebiasaan)) kepausaan di atas hemat penulis dilandasi atas nilai cinta kasih yang sangat dalam terhadap sang Pencipta dan sesamanya. Kerelaan beliau melepaskan hak-hak istimewa di atas adalah suatu tindakan luar biasa yang layak dikagumi tidak hanya karena hal dimaksud telah mentradisi selama beberapa decade tetapi juga menggambarkan secara sangat jelas keberpihakkan Paus kepada sesamanya, khususnya bagi kaum miskin, terbuang, dan terpinggirkan. Ia mau menunjukkan suatu hidup yang sederhana. Pada titik tertentu tindakan di atas menunjukkan bahwa kewibawaan dan kemuliaan Paus  bukanlah terletak pada kemewahan dan kemegahan tetapi lebih pada suatu mutu  pribadi yang memiliki kasih, kerendahan hati, dan roh kepelayanan. Hal ini juga memperlihatkan bahwa Paus telah makin mendekatkan diri pada sesamanya melalui memperpendek disparitas antara singgasana Kepausan dengan relitas kehiduan sesamanya. 

 

Pemimpin Kita
Ranah kepemerintahan dalam lingkup NTT secara kasat mata,  belum terlihat adanya pemimpin daerah (Gubernur, Bupati/Walikota dan wakilnya) yang menampilkan hidup sederhana . Keberpihakkan kepada warga apalagi kaum miskin, terbuang, dan termarjinalkan hanya sebatas retorika belaka, belum menjadi kenyataan. Hemat penulis, belum ada pejabat di daerah ini yang menolak menggunakan mobil dinasnya yang mewah (dalam konteks NTT yang miskin) seperti Toyota Fortuner, Mistsubishi Pajero sport,  Toyotah Inova, dan Honda New CRV, untuk ditukar dengan kendaraan roda empat yang lebih murah. Contohnya, Gubernur, Wakil Gubernur, dan Walikota Kupang dan para pejabatnya untuk kegiatan sehari-hari  dalam lingkup Kota Kupang sebenarnya sudah cukup nyaman dengan menggunakan mobil sekelas Avanza dan Xenia, namun ini belum terjadi. Kelihatannya para pemimpin di daerah ini masih melihat kewibawaan dan jati diri kepemimpinannya melekat dengan kemewahan kendaraan dinas, kemegahan rumah jabatan, dan banyaknya supir dan ajudan. Sebenarnya tindakan para pemimpin ini berlebihan dan memalukan. Di banyak Negara, sebut saja Australia dan New Zealand para pejabat setingkat Walikota biasanya menyetir kendaraan dinasnya sendiri tanpa supir dan ajudan, mereka juga membawa leptop dan perlengkapan lainnya sendiri. Para pemimpin kita pada sisi lain, untuk memegang tas, berkas, dan kaca matanya harus dibawa oleh para ajudan, kemudian ajudan yang harus membuka dan menutup pintu kendaraan dan pintu ruang kerjanya. Mungkin karena sangat kurang bergerak, sebagian besar pejabat mengalami stroke setelah tidak lagi menjabat.
Diskripsi singkat di atas, mengilustrasikan secara jelas bahwa sebagian besar pemimpin di daerah ini belum menampilkan model kepemimpinan “pemimpin pelayan”. Oleh karenanya, dapat dikatakan mereka belum memiliki kepekaan dan ketanggapan yang memadai dalam menjawab permasalahan yang dihadapi para pengikutnya. Tarik ulur pembangunan proyek Bendungan Kolhua misalnya, juga menggambarkan  pola hubungan pemimpin dan pengikut yang belum masuk pada pola pemimpin pelayan.

Harapan Kita
Teladan Paus Fransiskus di atas, jika dapat diterapkan secara meluas pada kalangan pemimpin daerah dan pimpinan SKPD di NTT, maka akan terdapat penghematan dana public secara signifikan. Pola hidup yang sederhana dan mau melayani warganya dengan sungguh tidak hanya akan meningkatkan kewibawaan mereka di hadapan public tetapi lebih dari itu akan sangat mendorong terwujudnya peningkatan mutu hidup inividiu dan masyarakat NTT. Karena efisiensi dana public dimaksud dapat digunakan untuk peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan kesehatan, pendidikan, infrastruktur dan perhubungan. Oleh karena itu, adalah wajar apabila kita berharap bahwa ke depan Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati/Walikota dan pejabat public lainnya mau menolak untuk menggunakan kendaraan dinas yang mewah dan menggantikannya dengan mobil yang lebih murah,  tinggal di rumah dinas yang sederhana dan senantiasa menampilkan model kepemimpinan “Pemimpin Pelayan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar