Strategi Pembentukan Unit Layanan Pengadaan (ULP)
Oleh: Ondy Ch. Siagian, SE., M.Si
Widyaiswara BP4D Provinsi NTT
Pendahuluan
Pengadaan barang/jasa secara umum dapat didefinisikan
sebagai suatu proses untuk mendapatkan barang atau jasa mulai dari kegiatan perencanaan,
penentuan standar, pengembangan spesifikasi, pemilihan penyedia, negosiasi
harga, manajemen kontrak, pengendalian, penyimpanan dan pelepasan barang serta
fungsi-fungsi lainnya yang terkait dalam proses tersebut, untuk memenuhi
kebutuhan pengguna dalam suatu organisasi.
Peraturan
Presiden Nomor 54 tahun 2010 jo Peraturan Presiden Nomor 70 tahun 2012 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah mengamanatkan dibentuknya suatu unit
permanen, yaitu suatu Unit Layanan Pengadaan (ULP) yang dapat berdiri sendiri
atau melekat pada unit yang ada, khusus untuk melayani dan melaksanakan
keseluruhan proses pengadaan barang/jasa pemerintah. 
Dalam pasal
130 ayat (1) Perpres 54/2010 diamanatkan bahwa Unit Layanan Pengadaan (ULP)
wajib dibentuk paling lambat pada tahun anggaran 2014, namun dari sudut pandang
kebutuhan pelayanan terhadap sistem dan aparatur pemerintahan dengan hasil
akhir pelayanan terhadap masyarakat, pembentukan ULP dalam organisasi
pemerintah sudah tidak dapat ditunda lagi. Pengadaan barang/jasa harus
dilakukan dengan perencanaan yang berkualitas dan proses pemilihan yang sesuai
dengan prinsip dan kebijakan pengadaan yang tidak mungkin dilaksanakan oleh
panitia adhoc yang masing-masing mempunyai tupoksi sendiri di instansinya.
Dengan pembentukan ULP yang mandiri, para Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang
mempunyai kompetensi pengadaan dapat terhimpun dalam suatu unit kerja dengan
tupoksi khusus dan fokus melayani pelaksanaan pengadaan barang/jasa pada pemerintah,
serta tidak terganggu oleh aktifitas lainnya di luar pengadaan barang/jasa.
Permasalahan Organisasi Pengadaan
Pengadaan barang/jasa pemerintah merupakan fungsi yang sangat penting
dalam organisasi pemerintahan. Apabila pengadaan tidak diatur dengan baik akan
dapat berpotensi untuk:
•    
Menjauhnya
penyedia barang/jasa, karena tidak memiliki kesempatan cukup untuk dapat
mengkuti pemilihan penyedia,
•    
Menghasilkan
penyedia yang tidak tepat  akibat ketidaksesuaian target bidang usaha
pemasok dengan struktur pasar, 
•    
Tingkat
persaingan yang rendah akibat persyaratan spesifikasi yang tidak sesuai ,
•    
Sanggahan
dan tuntutan akibat ketidakmampuan untuk melakukan keputusan yang benar atau
keputusan yang dibuat bukan atas dasar nilai terbaik,
•    
Ketidakjelasan
prosedur akan menyebabkan keputusan yang dapat dipengaruhi oleh kepentingan
lain,  sehingga timbul pelanggaran terhadap peraturan yang dapat
mengakibatkan denda, klaim dan terbuangnya waktu, uang, sumber daya, material
dan akan menurunkan secara drastis motivasi guna melakukan perubahan untuk
perbaikan.
Anggapan terhadap Unit Layanan Pengadaan (ULP):
1.  Pemahaman
terhadap ketentuan yang berlaku mengenai pengadaan barang/jasa di kalangan
pegawai dan Pejabat dilingkungan Pemerintah masih sangat rendah.
2.  SKPD
menganggap apabila proses pengadaan barang/jasanya dilakukan oleh ULP maka
kontrol terhadap hasil pengadaan tidak dapat dilakukan, sehingga SKPD lebih nyaman
apabila proses pengadaan barang/jasanya dilakukan oleh Panitia Pengadaan di
SKPD masing masing.
3.  Saat
ini Panitia terdiri dari pegawai pada beberapa SKPD di lingkungan Pemerintah,
mereka memiliki beban tugas secara struktural dimasing masing SKPDnya sehingga
perlu kebijakan apabila Panita secara penuh bekerja pada ULP. 
Analisis Pembentukan ULP
Perubahan selalu membawa konsekuensi
ketidaknyamanan. Ketidaknyamanan  yang
harus dicermati adalah ketidaknyamanan yang bermuara pada  potensi masalah. Semua yang bersifat  potensi 
(kemungkinan)  mengandung  unsur 
ketidakpastian.  Ketidakpastian
merupakan  sebuah definisi  yang umum dari risiko. Risiko  terkait 
dengan  perubahan  aturan pengadaan
barang/jasa adalah potensi masalah yang kemungkinan
timbul pada implementasi aturan tersebut di masa yang akan datang yang akan menghambat pencapaian tujuan pengadaan barang/jasa,
yaitu efisien, efektif dan ekonomis.
Terkait dengan arah perubahan  diatas ada beberapa  potensi risiko  yang 
perlu  dicermati yang  ada 
di  seputar  ULP terkait dengan
kelembagaan :
1.   
Di era Keppres 80/2003, pihak yang
melaksanakan pengadaan disebut dengan panitia 
pengadaan.  Panitia  ini 
berkedudukan  dibawah  Pejabat 
Pembuat  Komitmen (PPK)  dan 
bersifat   incidental   atau   ad  hoc
.  Anggota  panitia 
pengadaan  merupakan PNS  yang 
telah  memiliki  porsi 
pekerjaan  dan  posisi/jabatan  tertentu 
di  unit  kerja, baik 
sebagai  staf  biasa 
atau  jabatan  struktural/fungsional  tertentu. 
Tugas  sebagai anggota panitia
merupakan tugas tambahan.  
2.   
Ditinjau dari beban kerja, maka seorang
panitia pengadaan mempunyai peran ganda. 
Hal  ini  sangat 
potensial  terjadi   overload  
beban  kerja.  Jika 
demikian,  maka berlaku hukum “prioritas”. Menjadi sebuah keniscayaan, jika dihadapkan pada 2 (dua) hal dalam
saat yang sama, orang cenderung akan mengutamakan yang lebih berimbas secara  permanen dari 
pada yang   incidental.
Ditinjau  dari  sisi 
risiko,  posisi  panitia sangat rawan  dengan intervensi. Hal ini akan menjadi
hambatan  bagi  tujuan panitia pengadaan 
untuk  memperoleh  penyedia 
yang  akuntabel  secara 
transparan,  adil  dan tidak diskiriminatif. 
3.   
Perpres 
54  tahun  2010  jo Perpres 70 tahun 2012 menjadi  solusi 
terobosan untuk  mengatasi
kerawanan  diatas.  Perpres 
dimaksud menyatakan  bahwa 
ULP  adalah  unit 
organisasi pemerintah  yang  berfungsi 
melaksanakan  Pengadaan  Barang/Jasa 
di  K/L/D/I  yang bersifat 
permanen,  dapat  berdiri 
sendiri  atau  melekat 
pada  unit  yang 
sudah  ada.
K/L/D/I diwajibkan mempunyai ULP yang dapat memberikan
pelayanan/ pembinaan dibidang pengadaan
barang/jasa pemerintah.  ULP pada K/L/D/I dibentuk oleh
Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi. Dari sumber-sumber yang diperoleh penulis ditemukan alternative
kelembagaan ULP yang ditawarkan kedalam 2 (dua) pilihan model
ULP, yaitu :  
Dari  gambar  tersebut 
tercermin  bahwa  kegiatan 
pengadaan barang/jasa  dilakukan  oleh 
ULP  yang kedudukannya masih
berada dibawah tiap kepala unit/satker/SKPD. 
ULP dengan model  seperti  ini
dapat dilakukan bagi instansi pemerintah yang unit
kerjanya tersebar dibanyak wilayah seperti Kementerian Luar atau juga Kemterian
Keuangan, namun hal itu tidaklah efisien apabila diberlakukan bagi Pemerintah Daerah
dimana keberadaan SKPD tersentral diwilayahnya saja, untuk itu cukup membangun dan
memiliki 1 (Satu) ULP, disamping itu ULP model pertama
mempunyai  risiko  mudah 
diintervensi  oleh  pimpinan unit/satker/SKPD.  Untuk 
mencegah  hal  itu, 
maka  pembentukan  ULP 
dapat menggunakan model yang kedua. 
Dari gambar 
tersebut tercermin  bahwa ULP  terpusat 
di K/L/D/I. Kedudukannya berada 
dibawah Menteri/Kepala/Gubernur/Bupati/Walikota  yang berposisi  setara 
dengan  unit/satker/SKPD.  Kegiatan 
pengadaan barang/jasa yang  ada  di 
seluruh unit/satker/SKPD dilaksanakan oleh ULP. Jika pembentukan ULP
diproyeksikan untuk permanen dan  berdiri
sendiri, maka model pembentukan ULP yang kedua ini merupakan model yang  ideal. 
KESIMPULAN
1.    
Fungsi
manajemen strategis ULP menjadi lebih signifikan dan lebih menguatkan prinsip
pengadaan (efektif, efisien, terbuka, transparan, bersaing, adil dan
akuntabel), diikuti dengan dijitalisasi proses pengadaan melalui LPSE yang memperkuat
sistem manajemen pengadaan pemerintah. 
2.    
Disamping
mempersiapkan ULP, Pemerintah juga perlu memberikan bimbingan dan pembinaan kepada
para Penyedia tentang penggunaan aplikasi LPSE, karena pengguna utama dari
aplikasi LPSE adalah ULP dan Penyedia Jasa, sehingga kedua belah pihak wajib
memiliki kemampuan dalam mengoperasikan aplikasi pengadaan barang secara
elektronik yang dikelola LPSE.
3.    
Pada
akhirnya dengan pelayanan pengadaan yang kredibel dari ULP dapat diperoleh
proses pelaksanaan pengadaan yang sesuai dengan aturan, prinsip serta kebijakan
pengadaan sehingga kebutuhan pengguna akan barang/jasa dapat dipenuhi sesuai
dengan kebutuhannya. Barang/jasa yang sesuai dengan kebutuhan pengguna akan meningkatkan
tingkat pelayanan masyarakat dan dapat memberikan perlindungan hukum untuk
meminimalkan resiko bagi organisasi. Dengan pentingnya peranan dan besarnya
kebutuhan akan pembentukan ULP.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar