Minggu, 08 September 2013



PENGELOLAAN KEKAYAAN/ASSET DESA

Oleh : Ondy Ch. Siagian, SE., M.Si
(Widyaiswara – BP4D Provinsi NTT)

A.      SELAYANG PANDANG TENTANG KEKAYAAN DAN SUMBER-SUMBER PENDAPATAN DESA
            Kekayaan dan sumber-sumber pendapatan desa, pada dasarnya adalah merupakan sumber daya desa. Secara umum sumber daya biasa dipahami dalam bentuk tanah, tenaga kerja dan modal. Ada juga yang berpendapat bahwa sumber daya identik dengan aset, karena disamping meliputi property juga termasuk didalamnya unsur manusia atau penduduk desa (SDM).
            Berbicara tentang aset desa, maka biasanya telah dibatasi pada aset yang bersifat tangible atau yang berwujud, seperti tanah kas desa, pasar desa, pasar hewan desa, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan desa dan lain sebagainya. Sedangkan apabila kita berbicara tentang pengelolaan aset desa, maka pemerintah desa sebagai pengelola harus secara rasional mengarahkan pada upaya peningkatan kesejahteraan desa secara umum. Artinya, konsep pengelolaan harus diarahkan pada kesejahteraan masyarakat bukan kelompok-kelompok tertentu, terlebi-lebih pejabat pengelolanya.

1.        Tanah sebagai sumber utama
            Dalam rangka optimalisasi potensi desa, pengelolaan tanah kas desa (TKD), sebaiknya mendapat perhatian yang cukup mendalam sehingga diharapkan tanah desa sebagai aset utama yang ada di desa dapat dikelola dengan baik. Beberapa pengertian TKD dan terminologi lainnya masih hidup di masyarakat dan diakui dalam Hukum Pertanahan/UU Agraria. Namun demikian, kenyataan di lapangan, pemahaman dari para Kepala Desa maupun Perangkat Desa terhadap TKD semakin berkurang sehingga menimbulkan permasalahan tersendiri di tingkat desa. Oleh karena itu dalam fasilitasi dan supervisi yang berkaitan dengan Manajemen Kekayaan Desa perlu selalu diberikan materi yang berkaitan dengan pengelolaan TKD dan optimalisasinya.
            TKD pada hakekatnya merupakan salah satu kekayaan desa berupa tanah, yang digunakan untuk biaya peneyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan desa. Sumber-sumber pendapatan desa yang selama ini dikenal di daerah Jawa pada umumnya dengan nama tanah bengkok, titisara, bondo desa, pangonan, dan sejenisnya, yang pemanfaatannya diarahkan untuk menunjang upaya mewujudkan kemandirian desa.
Ada bermacam-macam istilah dari tanah bengkok ini seperti tanah lungguh, tanah pangarem-arem, dan tanah bercatu. Tanah bengkok ini adalah tradisi yang diterapkan untuk menggaji Kepala Desa yang telah berjalan lama sekali dan tanah bengkok ini sebagai bentuk pengkaryaan atau kontra prestasi atau imbalan jasa orang yang menjadi Kepala Desa dan aparat desa lainnya, yang diharapkan dengan adanya tanah ini Kepala Desa dan perangkatnya mempunyai motivasi yang luas dalam membina dan mengurus kepentingan maayarakat Desa umumnya.
            Tanah bengkok, menurut Hukum Adat merupakan tanah jabatan kepala desa. Di era sekarang dimana secara normatif perangkat desa diberi penghasilan tetap melalui APBDesa, mestinya tanah bengkok sudah mulai dialihkan statusnya menjadi tanah desa, sehingga hasilnya bukan semata-mata manjadi hak kepala desa atau pamong desa, tetapi dapat dimanfaatkan untuk keperluan lain, yang berhubungan dengan penyelenggaraan Pemerintahan Desa.
            Di dalam Hukum Adat dikenal ada hak keuntungan jabatan, ialah hak dari seorang pamong desa untuk memetik hasil atas tanah jabatannya, selama ia memegang jabatan di suatu desa. Ia atau anak turunannya tidak boleh menjual atau menggadaikan tanah itu. Hak itu berakhir jika ia turun dari jabatannya atau selesai masa tugasnya dan jika ini terjadi, maka tanah itu kembali ke hak peraturan desa, tegasnya, berpindah ke tangan penggantinya.
Sedangkan tanah titisara adalah TKD yang seluruh hasilnya dimasukkan dalam kas desa, dengan kata lain seluruh hasil dari tanah ini menjadi penghasilan desa dan pemanfaatannya dikhususkan untuk membiayai penyelenggaraan pembangunan dan Pemerintah Desa. Tanah tersebut dikerjakan oleh warga desa dengan system bagi hasil atau peruntukan pemakaian lain yaitu melaui sistem lelang.
Di samping tanah bengkok dan titisara, di beberapa desa masih dijumpai tanah pangangonan, yaitu sebidang tanah desa yangdiperuntukan guna tempat mengembala ternak milik penduduk desa. Tanah pengangonan ini juga termasuk TKD.
Kebijaksanaan TKD sesuai dengan ketentuan UU 32/2004, PP 72/2005 dan Permendagri 4/2007 pada dasarnya diharapkan benar-benar dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Desa yang dapat menunjang APBDesa sehingga penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan pembangunan/pemberdayaan masyarakat dalam rangka mewujudkan kemandirian masyarakat dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
            Pada masa berlakunya UU 5/1979, pengurusan dan pengendalian TKD diatur dalam Permendagri 1/1982, yang menegaskan bahwa tanah-tanah Desa berupa Tanah Kas Desa, Bengkok/Lungguh, Titisara, Pengangonan, kuburan dan lain-lain yang sejenis (tambak, empang, kebun) yang dikuasai dan merupakan kekayaan desa dilarang untuk dilimpahkan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk kepentingan proyek-proyek pembangunan yang ditetapkannya melalui Keputusan desa, jika desa yang bersangkutan telah memperoleh ganti tanah yang senilai dengan tanah yang dilepaskan, penggantian berupa uang yang digunakan untuk membeli tanah lain yang senilai dan Ijin tertulis dari Gubernur yang bersangkutan.
Pada era otonomi daerah sekarang, dengan berlakunya UU 32/2004 dan PP 72/2005, maka berdasarkan Permendagri 4/2007 pada prinsipnya pengendalian tanah-tanah kas desa masih sama. Pengendalian yang sedemikian rupa diharapkan mampu menjaga agar tanah-tanah kas desa tidak semakin berkurang, namun akan semakin berkembang dan dapat dimanfaatkan secara optimal.

2.        Pasar Desa Untuk Kemakmuran Desa
            Disamping tanah desa, keberadaan pasar desa kiranya perlu mendapatkan perhatian dan fasilitasi dari Pemerintah, tanpa adanya upaya mengambil alih kepemilikannya menjadi pasar milik Daerah atau Pihak ke-3 lainnya. Pasar desa adalah pasar yang berada di wilayah desa, bersifat historis dan tradisional serta yang ditumbuhkembangkan oleh Pemerintah Desa. Oleh karena itu pasar desa mempunyai kedudukan dan peran yang sangat strategis dalam rangka mewujudkan kemandirian desa, sehingga pasar desa perlu tetap dipertahankan, dan apabila Desa dalam pengelolaannya tidak optimal untuk dapat difasilitasi dan dikerjasamakan dengan Pemerintah Daerah atau Pihak ke-3.
Tujuan utama pengelolaan pasar desa adalah sebagai sarana untuk memasarkan hasil produksi desa; mendorong masyarakat desa agar mampu/berproduksi dan mengolah hasil produksi desa; menciptakan lapangan kerja; meningkatkan pendapatan asli desa; mendorong kehidupan perekonomian Desa; serta mendorong kehidupan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dan Koperasi Unit Desa (KUD).
            Desa dapat membangun satu pasar melalui kerjasama antar desa, kerjasama Pemerintah Desa dengan Pemerintah Kabupaten atau kerjasama dengan Pihak ke-3. Dengan demikian pembiayaan pembangunannya dapat berasal/diperoleh dari swadaya dan partisipasi masyarakat desa, APBDesa, Bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten serta bantuan pihak ke-3 yang sah dan tidak mengikat.
Dalam hubungannya dengan pengelolaan Pasar Desa, dapat dikelola oleh Pengelola Pasar Desa yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Desa, misalnya Pelaksana Teknis Lapangan (PTL) atau dikerjasamakan dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten atau pihak ke-3.
            Dalam hal Pengelolaan Pasar Desa oleh PTL Pasar, maka PTL tersebut hendaknya ditegaskan tugas pokoknya, yaitu melaksanakan kegiatan pelayanan, keamanan, dan ketertiban, kebersihan, administrasi, pemungutan dan pelaporan. Di samping itu juga melakukan dan mengelola pungutan-pungutan kios, los/tempat berjualan lainnya, dan perparkiran kendaraan bermotor di lingkungan Pasar Desa.

3.        Sumber-Sumber Pendapatan Desa Lainnya
            Karena desa mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya sendiri, maka setiap desa idealnya harus dapat mengembangkan potensi sumber pendapatan desa secara proporsional, tidak memberatkan masyarakat dan tidak mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Sumber-sumber pendapatan desa lain yang mungkin dikembangkan antara lain: pengelolaan lumbung desa yang diharapkan mampu untuk berperan sebagai “dolog”-nya desa; pengelolaan obyek wisata desa (misalnya makam keramat, upacara adat desa), pemanfaatan bangunan milik desa dan kekayaan desa lainnya; hasil swadaya dan partisipasi masyarakat; hasil gotong royong masyarakat; dan pungutan/retribusi desa.
            Khusus yang berkaitan dengan pungutan/retribusi perijinan adalah berasal dari urusan yang dikelola desa, misalnya : Ijin Bangunan Rumah Non Permanen atau Permanen dengan luasan tertentu, Ijin Menutup Jalan Desa, Ijin Hiburan Rakyat di tingkat Desa, Ijin Usaha, Sewa Bangunan Desa, Kesaksian Sewa-menyewa, Kesaksian Jual Beli Tanah, Pengesahan Surat Keterangan, Pungutan atas hasil tanah produktif, dan sebagainya.

4.        Penerapan Best Practice Pemberdayaan Desa
            Cukup banyak referensi yang dapat dijadikan sebagai best practice untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan Pemerintahan Desa, misalnya Peraturan Desa yang mengatur tentang kerja-sama Desa; pengelolaan kekayaan desa; Swadaya, Partisipasi dan Gotong Royong Desa; serta Peraturan Desa tentang Pungutan/Retribusi Desa. Namun demikian, suatu desa yang mengadopsi best practice dari desa lain juga menyesuaikan dengan kondisi masyarakat desa itu sendiri.
            Pemanfaatan kekayaan desa ada beberapa bentuk/sistem, misalnya dengan cara sewa, pinjam pakai, kerja-sama pemanfaatan, bangun serah guna dan bangun guna serah. Hasil dari pengelolaan kekayaan desa seperti tersebut di atas, dengan sendirinya harus menjadi penerimaan desa, sehingga wajib seluruhnya disetorkan ke kas desa. Yang paling penting, dalam pengelolaan kekayaan desa harus berdaya guna dan berhasil guna untuk meningkatkan pendapatan desa

B.       PENGELOLAAN TANAH DESA DAN PROBLEMATIKANYA
Pada umunya kita mempunyai bayangan tentang daerah  sebagai wilayah yang terdiri atas pusat-pusat permukiman dengan beraneka ragam sebutan, seperti desa, kampong, lembang, marga, nagari, gampong yang didiami oleh petani-petani dengan segala karakteristiknya. Dalam hal ini hubungan kekeluargaan (keakraban, tolong-menolong atau gotong royong, dan keterikatan) sebagai sifat mempengaruhi hubungan-hubungan lain  secara kuantitatif relatif lebih tinggi apabila dibandingkan dengan perkotaan. 
Perlu disadari oleh kita semua, bahwa pengertian desa adalah istilah atau pengertian yang beranekaragam. Pembagian secara administratif wilayah Negara Indonesia terdiri atas wilayah yang  meliputi provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa.  Disamping desa dalam pengertian administratif, dapat dijumpai juga jenis desa dengan menerapkan  kriteria yang lain, misal berdasarkan topografi: desa pegunungan, desa dataran rendah, desa dataran tinggi, desa pantai;  Kemungkinan juga dapat didasarkan pada kriteria jenis usahannya, yaitu kampong peladang berpindah-pindah, desa perkebunan rakyat, desa nelayan, dll.
            Secara historis, Menurut S.M.P. Tjondronegoro Pemerintah Indonesia  lebih banyak mengandalkan pada desa dalam pengertian administratif.  Hal ini dapat kita telusuri sejak Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1906 yang menfokuskan pada Desa Jawa (Inlandsche Gemeente Ordonnantie). Studi Desa pada Jaman Pemerintahan Hindia Belanda, dapat dirujuk beberapa tulisan/hasil karya R. Soepomo, J.H. Boeke, DH. Burger., E de Vries dan J. C. Breman. Sebagai contoh karya tulis tentang Desa di Makasar (A.A. Cense), Batak (J.H. Neumann), Ambon (J. Keuning), Bali (R. Goris), dan Minangkabau (BJO Shrieke). Kemudian setelah Indonesia merdeka, dapat dirujuk karya ilmiah Soetardjo Kartohadikoesoemo (1953)  yang orientasinya ke Pedesaan Jawa dengan topik: 1) bentuk desa, 2) masyarakat penduduk hukum asli; 3) pemerintah desa; 4) rumah tangga desa; dan 5) desa sebagai daerah otonom. Pada jaman setelah Orde Baru, terdapat studi tentang desa  oleh Koentjaraningrat (1964), Sajogyo (1973), Bayu Suryaningrat (1981), Dorojatun Kuntjorojskti (1982), Loekman Soetrisno (1988), SMP Tjondronegoro  (1996),  Mubyarto (1996), Philip H. Combs dan Manzor Ahmed (1984).
            Secara kronologis, pada jaman Pemerintahan Kolonial Belanda (1906) otonomi pada pemerintahan desa diatur dengan (IGO untuk desa di Jawa dan IGOB untuk desa di Luar Jawa); selanjutnya pada tahun 1958-1965  dengan UU Nomor 19 Tahun 1965  mencabut Ordonantie Nomor 212 Tahun 1907 ada usaha untuk mendirikan pemerintahan tingkat tiga dengan nama “Desapradja”. Namun, upaya tersebut tidak sempat terlaksana karena adanya beberapa Instruksi Menteri Dalam Negeri yang  melarang pelaksanaannya.
Setelah diundangkan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa, dikenal adanya desa keturunan (geneologis) dan desa teritorial.  Berdasarkan UU itu pula, secara administratif di tingkat bawah dikenal dua bentuk , yaitu “Kelurahan dan Desa” yang merupakan titik puncak dari kecenderungan “formalisasi desa”.  Dengan diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut, cirri-ciri birokrasi mulai terasa, lambat laun atau secara bertahap mengurangi otonomi desa, sehingga  dalam jangka panjang pengertian desa geneologis (keturunan) akan hilang dan tingal tersisakan desa territorial administratif saja.

1.        Wujud Otonomi dan/atau Pemberdayaan (Partisipasi) Warga Desa
UU Nomor 5 Tahun 1979 yang mulai berlaku terhitung 1 Desember 1979 ini, mengisyaratkan suatu kebijakan Pemerintah, agar diadakan penyatuan dan/atau penyeragaman istilah persekutuan masyarakat hukum adat yang berupa “Kampong (Papua), Marga (Palembang), Nagari (Sumatera Barat),  Pertuanan/wewengkon (Jawa), Kampung (Sanggau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan), Lembang  (Toraja),  Gampong (Nangroe Aceh Darussalam/NAD) serta Negeri (Maluku) sebagainya menjadi “Desa”. 
Secara tidak lansung dengan diberlakukannya substansi UU tersebut,  mempunyai 3 (tiga) akibat penting terhadap otonomi desa dan/atau masyarakat hukum adat atau daerah dengan nama lain yang setingkat, yaitu: 1) melemahkan posisi pemerintahan informal yang dalam hal ini dipegang oleh para Kepala Marga, Lembang dll., sehingga tinggal tersisa untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang bersifat ritual upacara adat, bahkan dijadikan sebagai ajang komoditi pariwisata belaka; 2) wilayah Hak Ulayat, marga, Kampong dll., terbagi ke dalam beberapa desa dengan satu pucuk pimpinan (otoritas tunggal) pada Kepala Desa; 3) Kekuasaan pemimpin masyarakat hukum adat, Marga atau lebang, dll., apalagi dengan dihapuskannya Peradilan Adat/Inheemse Rectspraak  (UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka otoritas untuk menyelesaikan perkara yang berkaitan dengan tanah menjadi kewenangan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri).
            Kebijakan Pemerintah sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut, dengan berjalannya Era Reformasi yang tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian di gantikan dengan UU Nomolr 32 Tahun 2004 jo. Perpu Nomor 3 Tahun 2005 dilakukan peninjauan kembali mengenai eksistensi desa. Wujud otonomi desa yang partisipatif tersebut tercermin  dalam: Pertama,  Pasal 200, ayat (1) yaitu Susunan Pemerintahan Desa yang terdiri  dari Pemerintah Desa  dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). [Badan Permusyawaratan Desa (BPD)  adalah sebutan nama  Badan Perwakilan Desa sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pemnentukan Peraturan :Perundang-undangan]; Kedua, Pasal 200 ayat (2) dan ayat (3) yaitu bahwa pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa  dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat, termasuk dalam hal ini perubahan status desa menjadi Kalurahan  didasarkan pada usul dan prakarsa pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa;  Ketiga,  Pasal 203 ayat (1) yang menyatakan bahwa  Kepala Desa dipilih lansung oleh dan dari penduduk desa warga negara RI yang memenuhi syarat; Keempat, Pasal 203 ayat (3) pengakuan eksistensi/keberadaan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya berlaku ketentuan “hukum adat  setempat”  yang ditetapkan dalam Perda dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah;  Kelima, Pasal 206 huruf a yang berkaitan dengan kewenangan desa salah satunya  didasarkan pada urusan pemerintahan yang sudah ada  sesuai asal-usul desa; Keenam, Pasal  209 ayat (1) tentang keanggotaan BPD disyaratkan wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan musyawarah dan mufakat; Ketujuh, Pasal 215 ayat (1) berkaitan dengan pembangunan kawasan perdesaan baik yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan BPD; Kedelapan, Pasal 216 yang mengisyaratkan bahwa pengaturan tentang desa yang akan dituangkan dalam Perda  wajib mengakui dan menghormati  hak, asasl-usul, dan adat istiadat desa   Kemudian dengan  dikeluarkannya PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Penjelasan Umum PP Nomor 72 Tahun 2005 yaang menyatakan bahwa prinsip dasar yang dianut, 1) keanekaragaman yang memiliki  makna bahwa desa dapat disesuaikan dengan asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat; 2) Partispasi; 3) Otonomi asli; 4) Ddemokrasi; 5) Pemberdayaan masyarakat.
Satu hubungan kekuasaan yang direorganisasi melalui kedua UU tersebut adalah penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi yang berarti penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat kepada  pemerintah daerah dengan berbagai harapan agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah demi kesejahteraan rakyat  menjadi lebih sesuai dengan “hajat hidup rakyat”. Otonomi seharusnya  menempatkan masyarakat sebagai  jantung dari  segala tujuan pembangunan. Apa yang dikatakan oleh Mohammad Hatta sebagaimana dimuat dalam Majalah Keng Po, 27 April 1927, perlu dimaknai secara dalam. Beliau menyatakan bahwa Otonomi masyarakat  tak hanya melaksanakan  demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya prakarsa dalam bentuk pelaksanaan  kebijakan untuk kepentingan masyarakat lokal. Termasuk dalam hal ini adalah regulasi (tataran normatif) dan/atau kebijakan (tataran implementasi) yang bagaimana serta hal-hal apa  yang akan dilakukan Pemerintah Kab/Kota dalam mengelola  kekayaan daerah, dan/atau  Pemerintah Desa dalam mengelola kekayaan Desa, khususnya tanah kas desa.  Lalu bagaimana realisasinya ?. 

2.        Dasar Hukum Pengelolaan Tanah (Kas)  Desa
            Secara garis besar dasar hukum pengelolaan tanah (kas) desa, berdasarkan hirarkhi peraturan perundang-undangan, didasarkan pada: Pertama,  UU Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004, khususnya pada Pasal 212-216  ayat (1) tentang Keuangan Desa yang menyatakan bahwa Keuangan desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik desa berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah ini  merupakan tindak lanjut dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.  PP Nomor 72 Tahun 2005. PP ini menggantikan keberadaan PP Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 Pada Pasal 68 PP Nomor 72 Tahun 2005 tersebut menyatakan bahwa Sumber Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah. Dstnya.. Selanjutnya dalam Pasal 69 lebih ditegaskan lagi bahwa kekayaan desa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a menyebutkan: kekayaan desa terdiri atas, tanah kas desa, pasar desa, pasar hewan, tambatan perahu, bangunan desa, pelelangan ikan yang dikelola oleh desa, dan lain-lain kekayaan milik desa. Lebih lanjut dalam Pasal 106  ayat (2) PP tersebut memerintahkan kepada  Menteri (Dalam Negeri)  mengatur mengenai Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa, Administrasi Desa, Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Desa, Asosiasi/Paguyuban/Forum Komunikasi Badan Permusyawaratan Desa, dan Pemerintah Desa, serta tanah kas desa. Ketiga, Peratutan Menteri Dalam Negeri  Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa yang mulai berlaku pada tanggal 31 Januari 2007. Keempat, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 16 PMDN Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Tanah Kas Desa, maka  seharusnya tata cara pengelolaan kekayaan desa diatur/dituangkan dalam produk hukum  berbentuk Peraturan Bupati/Walikota. 

3.        Istilah Tanah Kas Desa
            Jika kita telusuri secara seksama, dalam peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum pengelolaan tanah (kas) desa sebagaimana telah uraikan di atas, maka diketemukan istilah “tanah kas desa”. Peraturan perundang-undangan tersebut  menggunakan sebutan “tanah kas desa” sebagai bagian dari kekayaan desa yang berupa benda tidak begerak, yaitu tanah.  Kekayaan  desa  adalah barang milik Desa  yang berasal dari kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh  atas beban  Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) atau perolehan hak lainnya yang sah (Pasal 1 butir 9 PMDN Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa. Tanah kas desa merupakan bagian dari “tanah desa” yang penggunaan atau pemanfaatannya digunakan untuk pembiayaan kelangsungan pelaksanaan pemerintahan desa.
Pendapat lain dikemukakan oleh Gunawan Wiradi dalam kaitannya dengan bentuk atau status penguasaan tanah tradisional, yang terdiri atas: a. tanah yasan, yasa, atau yoso, yaitu tanah di mana hak seseorang atas tanah itu berasal dari kenyataan bahwa dia atau leluhurnya yang pertama-tama membuka atau mengerjakan tanah tersebut. Hak atas tanah ini memperoleh status yuridis dalam UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960) dikonversi menjadi tanah milik;  b. Tanah norowito, gogolan, pekulen, pelayangan, kesikepan, dan sejenisnya adalah tanah pertanian milik bersama, yang daripadanya para warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap, dengan syarat-syarat teretntu. Untuk memperoileh hak garap ini, pada umunya diperlukan syarat bahwa si calon itu statusnya menjadi tanah milik bagi penggarapnya yang terakhir. Hal ini dalam Ketentuan UUPA dikonversi menjadi Hak Pakai untuk tanah yang sifatnya bergiliran, dan yang sifatnya tetap menjadi hak milik;  c. Tanah Titisoro, bondo deso, kas desa, adalah tanah milik desa yang biasanya disewakan, diskapkan, dengan cara dilelang kepada siapa yang mau menggarapnya. Hasilnya dipergunakan sebagai anggaran rutin ataupun pemeliharaan desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, masjid, dll. Hal yang sama berlaku juga untuk tanah sanggan, yaitu berupa tanah sawah di Jawa milik/kepunyaan Desa yang hasilnya untuk memperkuat Kas Desa. Seorang yang menggunakan tanah dengan Hak Sanggan mempunyai wewenang pemilikan yang sifatnya sementara, misalnya menyewa dari Desa. Sesuai ketentuan UUPA, hak seseorang tersebut dikonversi menjadi Hak Pakai; d. Tanah bengkok, yaitu tanah yang diperuntukan bagi pejabat desa terutama lurah, yang hasilnya dianggap sebagai gaji selama mereka menduduki jabatan itu.  
Pengertian tanah pada huruf d, yang berupa bengkok tersebut sejalan dengan pengertian  tanah desa sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 butir 10 yang menyebutkan bahwa Tanah Desa adalah barang milik desa berupa tanah bengkok, kuburan, dan titisoro. Dari beberapa pengertian penguasaan tanah secra tradisional sebagaimana dikemukakan oleh Sdr. Gunawan Wiradi tersebut, maka tanah (milik) desa dapat dikelompokan men jadi 2 (dua) jenis, Pertama, yaitu tanah kas desa atau biada disingkat dengan sebuitan TKD; Kedua, yaitu Tanah Bengkok.
Tanah Kas Desa (TKD) berdasarkan Instruksi  Mendagri No. 12 Tahun 1996 tentang Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Kas Desa, adalah suatu lahan yang dimiliki oleh Pemerintah Desa dan dikelola untuk kegiatan usaha desa, sehingga menjadi salah satu sumber pendapatan desa yang bersangkutan. Dengan pengertian itu dapat disimpulkan bahwa TKD adalah merupakan kekayaan desa dan juga merupakan sumber pendapatan asli desa di samping sumber-sumber pendapatan lainnya.
Pengertian tanah kas desa dapat juga diketemukan rumusannya dalam SKB Nomor  157 Tahun 1997/2 Tahun 1997 antara Mendagri dengan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN tentang Pengurusan Hak Dan Penyelesaian Sertipikat Tanah Kas Desa. Pada  Pasal 1 huruf b, disebutkan bahwa  Tanah Kas Desa adalah suatu bidang tanah yang dimiliki oleh Pemerintahan Desa dan dikelola untuk kegiatan usaha desa sehingga menjadi salah satu sumber pendapatan Desa yang bersangkutan.
Tanah Kas Desa (TKD) secara umum diketemukan di Pulau Jawa, namun ada juga di daerah-daerah tertentu, seperti di Bali. Menurut Darmayuda sesuai ketentuan UUPA tanah TKD dikenal dengan sebutan tanah druwe desa. Tanah druwe desa terdiri dari: a. tanah kas desa; b. tanah laba pura, tanah ini adalah tanah untuk kepentingan Pura dan sesuai SK Mendagri Nomor SK. 555/DJA/1986 tentang Penunjukan Pura sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat mempunyai Hak Milik Atas tanah ; c. tanah pekarangan desa (PKD); d. tanah ayahan desa (AYD).  Secara garis besar tanah PKD dan AYD merupakan tanah milik desa yang telah dikuasai oleh anggota desa dan telah disertipikatkan menjadi milik pribadi.

C.      PROSPEK BADAN USAHA MILIK DESA (BUMDes) SEBAGAI LOKOMOTIF EKONOMI DESA
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai lembaga ekonomi desa lahir ketika negeri ini memasuki era reformasi. Hadirnya lembaga ini bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Di mana disebutkan, desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Diketahui, keberadaan desa-desa di Indonesia, kini bukan lagi sebagai unsur pelaksana daerah, tetapi sudah menjadi kesatuan masyarakat hukum, di mana dengan undang-undang tersebut, telah memberikan keleluasaan bagi desa-desa di Indonesia untuk mengatur kehidupan masyarakatnya dengan semangat desentrali-sasi.
Dalam hal lembaga ekonomi desa, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 melakukan perubahan mendasar, seperti yang dinyatakan pada Pasal 213 ayat (1) bahwa desa dapat mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Dapat dimaknai bahwa badan usaha yang didirikan di desa merupakan milik bersama antara pemerintah desa dan masyarakat (bersifat komunal), bukan dimiliki oleh orang perorangan atau pribadi. BUMDes lebih mencerminkan unsur kebersamaan dalam menjalankan usaha, karena lebih sesuai untuk kehidupan masyarakat di pedesaan yang umumnya memiliki kultur, gotong royong, persaudaraan, rasa sosial yang tinggi, dan tidak sekedar memuja kehidupan kebendaan (materialism). Oleh karenanya, BUMDes sebagai lembaga ekonomi desa, dapat diartikan sebagai lembaga ekonomi alternatif untuk meningkatkan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat perdesaan.

1.        BUMDes Sesuai Kebutuhan
Pendirian BUMDes sebagai suatu usaha yang mencari keuntungan, harus didasarkan pada kebutuhan obyektif di lapangan. Artinya, inisiasi pendirian BUMDes bisa dari siapapun. Namun, apakah BUMDes perlu didirikan di suatu desa, harus didasarkan pada potensi usaha yang prospektif di desa tersebut.
Makna potensi adalah terdapat permintaan dari produk (barang atau jasa) yang akan ditawarkan melalui BUMDes. Pendekatan pasar atau melihat dari sisi permintaan lebih disarankan dari pada menciptakan pasar baru atau melihat dari sisi penawaran karena risikonya sangat besar.
Dimaklumi bahwa BUMDes merupakan lembaga ekonomi tergolong baru yang kemungkinan akan dijalankan dan dikelola oleh orang-orang yang masih minim pengalaman (less sense of business) dalam menjalankan usaha yang berorientasi mencari keuntungan. Oleh karena itu, informasi pasar perlu dicari dan disepakati terlebih dahulu sebelum BUMDes didirikan. Dengan demikian, jawaban kapan BUMDes didirikan adalah tergantung dari akurasi informasi pasar yang menunjukkan adanya peluang usaha dalam melayani kebutuhan masyarakat terhadap barang atau jasa. Jika memang belum ditemukan peluang usaha yang dapat dijalankan BUMDes, maka pendiriannya perlu dipertanyakan. Melalui cara seperti itu, BUMDes diharapkan akan mampu beroperasi secara mandiri dan kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai suatu badan usaha yang mencari keuntungan atas dasar orientasi pasar, perlu diciptakan permintaan yang memungkinkan dapat dikelola BUMDes. Ini merupakan peluang (opportunity). Namun harus tetap memperhatikan sumberdaya yang dimiliki, seperti permodalan, tenaga kerja, peralatan mesin, dan ketersediaan bahan baku. Secara umum BUMDes dapat mengelola usaha antara lain di bidang pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan, dan jasa (persewaan, transportasi, keuangan). Singkatnya, jenis usaha yang dapat dijalankan BUMDes adalah didasarkan pada permintaan pasar dengan mempertimbangkan sumberdaya yang dimiliki.
Namum, sistem pengelolaan BUMDes tidak seharusnya mengadopsi begitu saja gaya manajemen bisnis di perkotaan yang cenderung hanya mengejar maksimalisasi keuntungan dan meminimalkan biaya (costs). Sebab praktek bisnis seperti itu seringkali mengabaikan nilai-nilai lokal demi pencapaian target penjualan. Karena itu, wujud yang tampak paling dominan dari BUMDes adalah dimiliki desa dan dikelola oleh masyarakat desa bersama tradisi dan budaya lokalnya. Untuk menjadikan pengelolaan BUMDes terwarnai tradisi dan budaya lokal diperlukan “kesepakatan bersama” banyak pihak untuk mencari titik temu dari berbagai kepentingan yang ada selanjutnya dikemas menjadi satu nilai bersama (shared values). Hal ini menjadi sangat penting, karena kontribusi mereka akan mengikat secara psikologis terhadap kesepakatan-kesepakatan yang dibuat kemudian.

2.        BUMDes dan Budaya Lokal
Istilah budaya lokal atau apapun namanya intinya adalah gambaran perilaku masyarakat yang berakar dari budaya setempat yang merupakan ke khasan dari gaya hidup masyarakat desa yang dapat dilihat, diketahui dan diterima bersama di kalangan mereka sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Suatu falsafah bisnis yang berakar dari budaya lokal adalah mengekspresikan prinsip dasar organisasi (core principles of organization) yang memberikan kepada pengelola dan semua anggota pedoman yang jelas bagaimana seharusnya bersikap dan berperilaku dalam kaitannya dengan usaha yang dijalankan. Dengan demikian, budaya lokal yang mewarnai pengelolaan BUMDes akan bervariasi antara desa satu dengan yang lain, terutama desa-desa di luar Pulau Jawa. Keragaman itu justru akan menggambarkan kebhinnekaan dari kekayaan budaya bangsa Indonesia yang diterima bersama sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
Pernyataan falsafah bisnis menunjukkan bagian yang penting dan permanen dari organisasi. Setiap organisasi kemungkinan akan menggunakan cara yang berbeda bagaimana mensosialisasikan falsafah tersebut. Tidak ada satu metode yang dipandang terbaik yang terpenting falsafah yang disepakati difahami dan dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku.
Bentuk dari falsafah bisnis biasanya adalah kata-kata yang sederhana (a few simpel words), namun memiliki arti penting bagi pelaku-pelaku maupun anggota organisasi. Kata-kata itu akan secara efektif menjadi landasan (cornerstone) dari suatu bangunan di mana orang-orang bekerja dan memperoleh pelayanan. Kata-kata itu akan menjelaskan kepada setiap orang apa yang diperlukan berkenaan dengan sikap dan perilakunya dalam menjalankan organisasi dan berhubungan dengannya agar kelangsungan hidupnya terjamin dan berkembang secara signifikan.

3.        Pengelolaan Aset Desa melalui BUMDes
BUMDes merupakan lembaga usaha yang bergerak dalam bidang pengelolaan aset-aset dan sumberdaya ekonomi desa dalam kerangka pemberdayaan masyarakat desa. Pengaturan BUMDes diatur didalam  pasal Pasal 213 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004, bahwa Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Selain itu juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang didalamnya mengatur tentang BUMDes, yaitu pada Pasal 78 – 81, Bagian Kelima tentang Badan Usaha Milik Desa, serta yang terakhir dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa. 
Tujuan BUMDes yaitu mengoptimalkan pengelolaan aset-aset desa yang ada, memajukan perekonomian desa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Sifat usaha BUMDes adalah berorientasi pada keuntungan. Sifat pengelolaan usahanya adalah keterbukaan, kejujuran, partisipasif dan berkeadilan. Dan fungsi BUMDes adalah : sebagai motor penggerak perekonomian desa, sebagai lembaga usaha yang menghasilkan Pendapatan Asli Desa (PADes), serta sebagai sarana untuk mendorong percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
Sebenarnya secara tersirat semangat untuk melembagakan BUMDes telah di amanatkan dan dipayungi dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Bab VII bagian Kelima yang menyatakan Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa dengan harapan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa.
Sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan pendirian BUMDes, maka berdasarkan pasal 78 PP 72 Tahun 2005 Tentang Desa, dijelaskan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota perlu menetapkan Peraturan Daerah (PERDA) Tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Ketentuan mana meskipun agak terlambat juga diakomodir dalam peraturan teknis yang dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri melalui pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010. Namun kenyataannya niat baik dari amanat Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah maupun pengaturan secara teknis melalui Permendagri tersebut belum disambut baik oleh Pemerintah kabupaten/Kota dengan indikasi belum adanya Perda yang mengatur tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan, kalaupun sudah ada Perda tersebut seringkali belum mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar