Minggu, 08 September 2013



Mengatakan Tidak Bukanlah Hal yang Tabu Dalam Pemerintahan yang Baik
(Proyek Pembangunan Bendungan Kolhua)

Oleh : Alexander B. Koroh
Widyaiswara Muda BP4D NTT

Aparatur negara (baca: birokrat) adalah elemen negara yang sejatinya berada pada posisi netral dalam melayani individu dan masyarakat, sesuai area pelayanannya. Netralitas ini dimiliki aparatur karena keberadaannya yang tidak berafiliasi pada suatu partai politik tertentu. Oleh karenanya aparatur, dapat dikatakan, tidak memiliki beban politik untuk memenuhi kepentingan konstituen tertentu. Hal ini sangat berbeda dengan mereka yang duduk pada jabatan politik seperti, Presiden, Gubernur, Walikota/Bupati, meskipun secara teoritis kesetiaan mereka pada partai politik harus berakhir pada saat dilantik menjadi pejabat publik, namun pada prakteknya  sulit dilaksanakan. Hal ini tidak hanya terjadi  pada negara berkembang saja tetapi juga pada negara maju namun dengan kadar yang berbeda. Di sinilah posisi aparatur (pejabat karir) menjadi krusial karena ikut membantu menahan laju dan menyeimbangkan kecendrungan pejabat politik untuk berupaya memenuhi kepentingan konstituennya sambil mengabaikan kepentingan publik. Pada poin inilah, pejabat karir (Sekda, Asisten, Kepala Dinas, Camat, Lurah, dll) dapat mengatakan tidak kepada pejabat di atasnya di saat ada pengangkangan atau pengabaian pada kepentingan publik.

Dilema yang bukan Dilema
            Surat kabar Victory News (VN) tanggal 13 Agustus 2013 memuat informasi menarik tentang posisi dilematis yang disampaikan Camat Maulafa, Corinus Tuan dalam menjalankan perintah Walikota Kupang. Posisi dilematis dimaksud adalah bahwa pada satu sisi ia dan Lurah Kolhua harus memenuhi perintah Walikota Kupang untuk mensukseskan proses pembangunan proyek bendungan Kolhua, pada sisi lain, merekapun harus memenuhi aspirasi dan kepentingan warga Kolhua pemilik lahan yang hingga saat ini menolak proyek pembangunan dimaksud. Dari perspektif hukum dan etika pada sektor publik situasi di atas bukanlah suatu dilema melainkan suatu posisi bingung dan ragu-ragu karena kurangnya (mungkin) pengetahuan dan pemahaman tentang posisi aparatur kepada atasannya;sesungguhnya Camat dan Lurah boleh mengatakan tidak kepada Walikota jika itu disampaikan secara jujur dan terus terang. Artinya bahwa hal yang disampaikan adalah objektif dan benar dan tidak mengangkangi kepentingan publik. Dengan kata lain menolak perintah atasan sambil memenuhi kepentingan publik sangat diperbolehkan.Merujuk pada asas-asas umum pemerintahan sebagaimana tertera dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, terdapat ruang yang memadai bagi aparatur untuk menolak perintah atau keputusan atasannya jika salah.
            Pertama, bila ditelaah dari asas Kepentingan Umum, asas ini mengharuskan penyelenggara pemerintahan untuk mengutamakan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Dalam konteks Kota Kupang, hal ini berarti bahwa pemerintah Kota tidak boleh memaksakan kehendaknya untuk membangun Bendungan Kolhua jika hal tersebut bertentangan dengan aspirasi, kepentingan warga pemilik lahan di Kolhua. Pemerintah Kota juga mesti memperlancar dan mendukung dan menolong pencapaian aspirasi dan kepentingan warga pemilik lahan bukan sebaliknya menekan dan memaksa mereka. 
            Kedua, asas Keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, bersikap jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia negara. Secara jelas asas ini mengatur bahwa setiap pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk Pemerintah Kota Kupang, harus memberikan informasi yang jujur, benar dan tidak mengabaiakan pemilik lahan di Kolhua, bahkan harus melindungi kepentingan mereka. Besarnya jumlah uang (hampir ½ triliun rupiah) pendukung pembangunan Proyek Bendungan Kolhua tidak boleh menyilaukan mata Pemerintah Kota Kupang (baca: Walikota Kupang), untuk tidak memberikan informasi yang lengkap pada masyarakat Kota Kupang pada umumnya, dan lebih khusus warga pemilik lahan. Kekuatiran ini perlu disampaikan karena kelihatannya Walikota Kupang sangat ngotot untuk melaksanakan kegiatan (proyek) tersebut, padahal masih banyak pula kegiatan penting lainnya yang harus dilakukan Pemerintah Kota dan perlu mendapat perhatian sama besarnya dengan proyek bendungan karena berdampak besar bagi kehidupan publik Kota ini, Contohnya, perbaikan kinerja Rumah Sakit Umum Kota Kupang, pengelolaan kebersihan Kota yang masih amburadul,  penataan Kota yang cenderung tidak terkendali, pasar yang berbau dan semraut, harusnya Walikota juga mengatakan “Tanam Kepala” untuk hal-hal ini.
            Ketiga, asas Proporsionalitas, yaitu prinsip yang menjunjung tinggi keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara. Secara eksplisit prinsip ini mangatur bahwa penyelenggara negara termasuk Pemerintah Kota harus bertindak sesuai porsi dan dosis, jangan berlebihan. Sebagaimana jika kita minum obat berlebihan maka kita sedang menghilangkan manfaat obat dimaksud bahkan ia sedang membunuh kita, kita keracunan akibat kelebihan dosis, demikian halnya maksud baik Pemerintah Kota juga akan kehilangan manfaatnya dan berubah menjadi hilangnya kepercayaan publik Kota pada kapabilitas Pemerintah Kota dalam mencapai berbagai tujuan strategis Kota karena kengototan yang melampaui porsi. Hal ini berbahaya, karena Pemerintah Kota akan kehilangan dukungan pemangku kepentingan dalam menjalankan Good Governance di Kota ini.
            Keempat, asas Profesionalitas, yaitu asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan Kode etik dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggaraan berbagai aktifitas kepemerintahan sejatinya dilandaskan pada etika pemerintahan dan berbagai regulasi yang ada. Etika Pemerintahan mengajarkan bahwa penyelenggara negara termasuk Pemerintah Kota harus memiliki virtue(kebajikan) untuk mencapai common good(kesejahteraan bersama). Dalam perspektif ini kesejahteraan bersama dibedakan dari general welfare(kesejahteraan umum). Jika kesejahteraan umum hanya mengutamakan ide the greatest happiness for the greatest number(kebahagiaan tertinggi untuk jumlah terbesar), hal ini dapat berimplikasi pada tercapainya kebahagiaan sebagian besar warga namun kesejahteraan kelompok minoritas, termarjinalkan, miskin, terabaikan. Gagasan kesejahteraan bersama justru dimulai dengan mengangkat kelompok-kelompok yang terabaikan dan tertindas. Pemerintah Kota perlu merenungkan, memang saudara-saudara kita pemilik lahandi Kolhua adalah mereka yang hidupnya masih sederhana kalau tidak mau dikatakan miskin, mereka adalah sebgian besar para petani kecil, penulis berpikir mereka termasuk dalam kategori wong cilik, namun justru dalam kondisi kehidupan yang demikian itulah Pemerintah Kota harus mengangkat mutu hidup mereka bukan malah memanfaatkan keterbatasan mereka dan kemudian menekannya untuk kepentingan tertentu. Seiring dengan ini, berbagai regulasi juga telah ada sebagai pengarah dan pemandu penyelenggara negara untuk bekerja secara tepat sehingga tidak merugikan warga negara.
Kelima, asasAkuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan PenyelenggaraNegara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (rakyat) sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks ini Pemerintah Kota perlu menyadari bahwa warga Kota termasuk warga Pemilik lahan adalah tuannya, jangan dibalik.Informasi yang dilansir surat kabar ini sebagaimana telah disampaikan di atas (pada halaman yang berbeda dari Pernyataan Camat), masih menggambarkan arogansi Pemerintah Kota. Penulis kuatir Wali Kota kurang memahami asas ini, kemudian mungkin saja ia merasa atmosfir kerjanya masih sama ketika masa Alm. S.K.Lerik, di mana ia berada pada posisi Sekda yang karena ketaatannya memperlancar proses pembangunan Rumah Jabatan Walikota yang mengambil lahan Ruang Terbuka Hijau yang dengan sendirinya mengangkangi Perda yang telah ada, dan juga menyetujui upaya penghapusan Rumah Jabatan Walikota untuk Alm. S.K. Lerik di akhir masa jabatannya, untungnya Pemerintah Provinsi NTT saat itu menganulirnya. Dengan kata lain Sekda saat itu tidak dapat berkata tidak pada atasannya. Tampak jelas kedua hal demaksud sangat bertentangan dengan kepentingan Publik Kota ini.

Berani Katakan Tidak
Merujuk pada uraian di atas kelihatan bahwa Camat dan Lurah berada pada posisi yang kuat untuk menolak perintah atasanya jika bertentangan dengan etika dan regulasi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Posisi ragu dan bingung bukanlah suatu dilema tetapi menunjukkan lemahnya karakter dalam menghadapi hal yang salah karena merugikan anggota masyarakat. Ketaatan yang buta selain menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap prinsip-prinsip umum penyelenggaraan pemerintahan juga pada gilirannya akan merugikan kepentingan publik.
Akan atetapi perlu diperhatikan bahwa ketika mengatakan tidak atau menolak perintah atasan yang mengangkangi kepentingan publik perlu disampaikan secara terus terang, jujur, dan sesuai prosedur yang ada. Penolakan disampaikan secara santun melalui telaahan staf, dalam telaahan dimaksud tentunya terdapat alasan yang logis, rasional, dan realistis dengan rujukan yang jelas tidak hanya pada teori dan konsep tata kelola kepemerintahan yang baik, tetapi juga pada etika dan reguasi yang mendukungnya. Telaahan staf yang baik dan benar tentunya akan diterima atasan karena sejatinya menyelamatkannya dari kesalahan fatal yang akan terjadi. Camat Maulafa dan Lurah Kolhua saat ini jika memandang ada kekeliruan atau ketidakpantasan dari perintah atasannya katakanlah tidak jangan ragu-ragu, warga Kota Kupang yang cerdas dan kritis terus mengikuti perkembangan ini dan ikut menilai kinerja anda dan atasan anda sebagai elemen penyelenggara negara. Jika anda berani mengatakan tidak pada hal yang benar menurut publik anda akan dihargai dan dihormati, hal yang sama juga berlaku bagi atasan yang mau menerima penolakan yang konstruktif dari bawahannya dengan jiwa besar. Tentunya hal ini berlaku bagi semua penyelenggara negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar