Senin, 30 Desember 2013



MENJADI PEMIMPIN YANG DEMOKRATIS:
(SEBUAH TRANSFORMASI KEKUASAAN YANG OTORITER MENURUT KONSEP MACHIAVELLI DAN REZIM ORDE BARU MENUJU KEKUASAAN YANG DEMOKRATIS)

Oleh : Benediktus Belang Niron.SS.M.Si
          Widyaiswara Diklat propinsi NTT

DEMOKRASI DAN KEKUASAAN YANG DEMOKRATIS DALAM NEGARA HUKUM
Istilah demokrasi dalam kamus umum bahasa indonesia berarti: ”politik pemerintahan rakyat; (bentuk) pemerintahan negara yang segenap rakyat serta memerintah dengan perantaraan wakil-wakilnya. Konsep dan pemahaman kita tentang demokrasi ini bisa dirunut dari makna etiomologis kata demokrasi (demokrasi dibentuk dari dua kata bahasa Yunani yakni demos artinya rakyat dan kratia artinya pemerintahan)” Ketika menguraikan arti dan makna demokrasi, saya berusaha mempersempit pembahasan tentang demokrasi ini dalam dua bidang bahasan. Pertama, demokrasi sebagai sistem menegara yang mendasarkan diri pada esensi pentingnya mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Kedua, demokrasi menyoroti prasyarat kualitas warga negara (rakyat) macam mana yang dibutuhkan dan kendala budaya mana yang menghambatnya. ”Ketika masyarakat yang bermartabat hendak mendirikan negara, persoalan sejarah yang mereka hadapi adalah bagaimana negara itu tidak menjadi totaliter dan otoriter sehingga menindas warga-warga dan bagaimana mekanisme kekuasaan bisa dikontrol oleh para warganya?” Karena itu, logika berpikir yang diolah adalah penggarapan mengenai berdaulatnya warga negara atau rakyat. Bila negara itu merupakan perwujudan dari kehendak rakyat, maka bisa dijamin kesejahteraan bersama yang menjadi cita-cita rakyat dalam bernegara. Di sini muncul pertanyaan; bagaimana mekanismenya?

Dalam politik yang demokratis, kedaulatan rakyat menjadi pengabsah berdirinya negara. Hemat saya, wewenang sebuah negara untuk menjalankan sistem pemerintahan diberikan oleh rakyat, dengan tujuan menjaga ketertiban bersama, kesejahteraan umum, dan hak-hak individual rakyat. Karena itu, wewenang negara demokrasi itu terbatas, yaitu sejauh mandat diberikan rakyat melalui pemilu dan sejauh praktis pencapaian kesejahteraan bersama menjadi tujuannya. Bagaimana mekanisme rakyat untuk mengontrol pelaksanaan wewenang ini? Menurut saya, wewenang atau kekuasaan ini dikontrol melalui mekanisme pembagian kekuasaan antara eksekutif sebagai pelaksana harian kekuasaan, yudikatif sebagai pelaksana peradilan yang taat asas untuk menyelesaikan konflik kepentingan hukum secara adil, serta legislatif sebagai badan perwakilan rakyat yang meminta pertanggungjawaban atas pelaksanaan kekuasaan. Dalam sistem menegara yang demokratis, wewenang untuk ”mengatur hidup bersama masyarakat” harus berdasarkan penugasan dan konsensus para warga masyarakat sendiri.36 Inilah visi rakyat yang berdaulat atau kedaulatan rakyat.
Praktek sistem pemerintahan, baik yang dilakukan eksekutif atau para menteri maupun lembaga-lembaga birokrasi pemerintahan, berlangsung dan bisa dikontrol oleh masyarakat lewat media massa atau mekanisme kritik sosial yang ada. Ini terjadi karena wewenang pemerintah berasal dari dan bertindak atas nama warga masyarakat, maka seluruh masyarakat punya hak untuk mengetahui apa yang dilakukan pemerintah. Persoalan menjadi kritis bila jalur mekanisme kritik lewat media massa dihambat dalam menjalankan fungsi kontrolnya.
Oleh karena yang dasariah dari demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat, dengan intinya yang pokok yaitu mekanisme kontrol pemakaian kekuasaan, maka mesti ada pembagian kekuasaan agar kekuasaan itu tidak absolut dan otoriter. Di sini muncul hukum sebagai norma objektif yang mengikat rakyat dan pemerinta. Dalam sistem hukum ini, ditegaskan kewajiban negara, wewenang yang dimandatkan rakyat, dan sekaligus juga hak rakyat untuk meminta kembali wewenangnya bila pertanggungjawaban praksis kekuasaan tidak adil. Hemat penulis, di sini ada kaitan yang erat antara sistem menegara hukum dengan demokrasi, di mana pemakaian wewenang kekuasaan hanya legitim atau absah bila berdasarkan persetujuan warga masyarakat dan dapat dikontrol oleh mereka. Dan ini berarti kekuasaan negara dijalankan secara legitim bila berdasar pada hukum dan dalam batas-batas hukum. Dengan mekanisme kontrol hukum ini, kekuasaan yang totaliter dan otoriter dapat dicegah.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa di satu pihak, ”sistem negara demokratis membutuhkan penataan kelembagaan sebagai mekanisme pembagian kekuasaan demi kesejahteraan masyarakat. Di lain pihak, bila mekanisme kelembagaan sudah dibuat dan terus berproses, jelas pula bahwa tidak otomatis bisa dikatakan demokratis kalau tujuan rakyat mendirikan negara belum tercapai”. Menurut saya, tujuan itu ialah kesejahteraan masyarakat, yang secara hukum berarti terjaminnya hak hidup dan martabat masing-masing warga di negara tersebut.

JENIS-JENIS DEMOKRASI
Walaupun baru seusia bayi, namun demokrasi yang kita hidupi di Indonesia dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pertama, demokrasi pinjaman. Hal ini terjadi bila ada suasana kebebasan, semua warga masyarakat bebas berpendapat, berorganisasi, mengkritik dan lainnya. Semua ini bisa terwujud bilah pemerintah telah kuat dan masyarakat sipil lemah. Pemerintah akan membiarkan demokrasi bertumbuh, namun suatu saat bila kritiknya terlalu keras dan mengancam pemerintah, demokrasi itu dapat ditarik kembali. Jadi, demokrasi ini bersifat sementara. Kedua, demokrasi terbatas. Demokrasi model ini bisa terjadi bila ada pluralisme di tingkat elite, misalnya terjadi konflik di antara mereka. Kalau masyarakat mengkritik pihak yang satu, pasti akan dibela oleh pihak yang lain. Demokrasi jenis ini juga bersifat sementara. Dua jenis demokrasi ini adalah bentuk demokrasi yang semu, karena yang terjadi adalah penguasa yang kuat berhadapan dengan masyarakat yang lemah. Ketiga, demokrasi yang asli. Dalam demokrasi jenis ini masyarakat bersatu dan menjadi kuat untuk kemudian dapat mengimbangi kekuasaan. Jadi, untuk memperjuangkan demokrasi kita tidak perlu meminta-minta kepada penguasa. Straegi yang paling tepat dalam memperjuangkan demokrasi adalah memperkuat civil society, sehingga nantinya ada keseimbangan antara pemerintah dengan masyarakat sipil.
Pertanyan yang muncul adalah mengapa demokrasi yang sebenarnya belum terjadi di Indonesia. Menurut saya, hal ini disebabkan karena masyarakat sipil di Indonesia, khususnya pada kelas menengahnya, terpecah. Alasannya, bahwa biasanya yang menjadi pilar kekuatan masyarakat sipil di suatu negara adalah kelas menengah (oleh karena kekuatan ekonominya). Kalau kelas menengah menjadi semakin kaya dan semakin kuat, maka ia bisa menjadi salah satu pilar kekuatan dalam negara. Demokrasi yang didasarkan pada kekuatan kelas menengah ini disebut ”demokrasi borjuis”. Di sisi lain, berkembang demokrasi jenis lain yaitu ”demokrasi kerakyatan”. Demokrasi ini berakar pada rakyat untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, seperti hak-hak buruh, wanita, petani dan sebagainya. Jika demokrasi borjuis dan demokrasi rakyat bersatu, maka masyarakat sipil akan semakin kuat. Namun penulis menemukan bahwa yang terjadi di Indonesia adalah kelas menengah terpecah-pecah, antara pribumi dan Cina. Keduanya tidak bersatu; malah kelompok Cina cenderung menguat. Kalau keadaannya seperti ini, sulit sekali berharap akan adanya perjuangan demokrasi dari kelas menengah. Sebagai minoritas, orang cina pasti akan takut sekali berpolitik, sebab bisa kehilangan perlindungan dari negara terhadap mayoritas pribumi. Sehingga mereka lebih senang bila ada kekuatan otoriter yang dapat melindungi mereka. Hal-hal seperti ini mengindikasikan bahwa penguatan civil society membutuhkan waktu yang lama justru karena secara ke dalam belum terintegrasinya kelompok-kelompok sipil dalam masyarakat.

MENJADI PEMIMPIN YANG DEMOKRATIS
Locke berpendapat bahwa: ”terbentuknya dunia politik atau negara didahului oleh keberadaan individu-individu yang memiliki hak-hak kodrati atau keadaan alamiah. Keadaan alamiah ini adalah keadaan kebebasan, tetapi bukan keadaan di mana orang berbuat sekehendaknya. Individu tersebut terikat oleh kewajiban kepada Allah dan diatur oleh ”hukum kodrat” Saya sependapat dengan Locke bahwa kekuasaan tertinggi yaitu kedaulatan yang tetap menjadi milik rakyat sedangkan negara absolut dan penggunaan kekuasaan penguasa yang semena-mena tidak sesuai dengan tujuan masyarakat. Hemat saya, kewajiban pemerintah dalam politik yang demokratis adalah memberlakukan hukum dan ketertiban di dalam negara dan melindungi agresi dari luar. Apabila rakyat bebas dari tirani, otoriter penguasa, maka rakyat bisa menikmati kekuasaan yang memuaskan untuk mewujudkan kepentingan mereka sendiri, yaitu dengan usahanya sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan mengembangkan kemampuannya. Negara dalam hal ini pemimpin perlu menjadi pengatur dan pelindung masyarakat.
   Untuk menjalankan tugas ini maka di sini saya menguraikan empat kewajiban dari pemerintah yang harus dipegang untuk menjamin fungsi pemerintahan yang demokratis demi kepentingan rakyat. Pertama, kekuasaan legislatif tidak boleh digunakan untuk mengatur hidup dan nasib rakyat secara sembarangan. Hal ini bisa terjadi demikian karena hukum kodrat menurut Locke masih berlaku. Kedua, kekuasaan tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan. Artinya bahwa dalam pelaksanaan politik pemerintah perlu membuat pertimbangan yang bijaksana dalam pengambilan suatu keputusan menyangkut kepentingan bersama. Ketiga, pemerintah tidak boleh mengambil hak milik orang tanpa persetujuan. Ini berarti pemerintah perlu menghargai hak milik orang lain seperti orang lain menghargai otoritas kepemimpinannya. Keempat, kekuasaan legislatif tidak dapat dialihkan kepada orang lain dan harus tetap berada pada kelompok yang menjadi wakil rakyat.
   Pemimimpin menjadi tidak sah karena melanggar kepercayaan masyarakat dan hukum kodrat yang menjurus pada tirani dan otoriter, dengan akibat pemberontakan dan pembubaran pemerintahan. Negara berhak membuat hukum (kekuasaan legislatif) dan untuk membuatnya dilaksanakan (kekuasaan eksekutif). Batas-batas kekuasaan negara ditetapkan ole hak-hak warga negar. Negara dibentuk untuk membela hak-hak itu. Karena itu, warga negara juga berhak memberontak terhadap kekuasaan negara bila negara bertindak otoriter dan bertentangan dengan tujuan pembentukannya.
Menurut saya, orang menjadi pemimpin yang demokratis berawal dari kesediaan individu untuk bersedia dipilih oleh rakyat untuk masuk dalam jaringan kekuasaan. Tugas utama pemimpin di sini adalah hadir dan ada untuk mengatasnamakan perjuangan rakyat. Konsekuensinya, pemimpin yang demokratis ini mesti bersuara, berkiblat komitmen dan melaksanakan sepak terjangnya dengan mengandalkan senjata aspirasi rakyat. Menjadi pemimpin demokratis yang berkualitas ini yang merupakan harapan dan kerinduan rakyat. Kepercayaan rakyat terhadap pemimpin yang demokratis akan semakin tinggi jika di dalam diri figur pemimpin itu tereksplisitasi jelas kriteria-kriteria ideal masyarakat itu sendiri. Figur pemimpin demokratis ideal identik dengan konsep politisi merakyat. Konsekuensinya, pemimpin yang demokratis ini harus bertarung dalam kancah politik secara fair dan elegan dengan tetap beropsi untuk pro kepentingan rakyat. Untuk tujuan ini, senjata yang bisa diandalkan adalah dunia politik. Politik ini dapat membawa keteraturan. Tiada apapun yang berjalan teratur dalam hidup manusia tanpa politk. Mustahil suatu kemajuan yang signifikan dalam hidup manusia tanpa politik. ”Politiklah yang mengatur berbagai dimensi hidup manusia. Maka makna dasar politik sebagai pengelolaan negara dan masyarakat selalu dimengerti sebagai kepandaian, seni dan teknik mengelola dan menyelenggarakan kehidupan bersama dalam masyarakat dan kelompok.”

TRANSFORMASI KEKUASAAN DARI YANG OTORITER MENUJU KEKUASAAN YANG DEMOKRATIS
Pada masa Orde Lama aliran demokrasi ditandai oleh tersentralisasinya kekuasaan pada elite-elite partai politik. Masyarakat berada pada posisi terasing dan berada di pinggir arus garis proses politik. Situasi ini membawa konsekuensi kehancuran serta memungkinkan terjadinya konflik dan banyak perpecahan antarelite partai. Pertentangan ini merupakan sebuah langkah strategis merebaknya pertentangan politik dan kepentingan yang tidak dikendalikan lagi. Hal ini semakin diperkuat oleh sistem perpolitikan dalam masa Orde Baru. Masa Orde Baru ditandai oleh monopoli kekuasaan para penguasa. Partisipasi politik sebatas dilakukan oleh para elite dan militer. Negara menunjukkan peranan yang dominan. Inisiatif dan partisipasi rakyat tidak mendapat ruang pengekspresiannya yang terbuka. Strategi politik bertopang pada kekuatan negara sementara itu rakyat ditempatkan sebagai instrumen dan objek politik.
Dalam masyarakat majemuk dengan pembagian kekuasaan tertentu, konflik menjadi bagian yang tak terpisahkan bila pembagian itu tidak mengedepankan asas keadilan. Pelbagai posisi yang ada di dalam masyarakat memiliki otoritas atau kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-beda. Kekuasaan atau otoritas itu tidak terdapat secara intrinsik di dalam pribadi-pribadi melainkan dalam posisi yang mereka tempati. Kekuasaan atau otoritas selalu mengandung dua unsur, yakni penguasa dan orang yang dikuasai. Mereka yang menduduki posisi sebagai penguasa sebenarnya bertugas mengontrol orang-orang yang dikuasai. Namun, Apabila kita menoleh pada catatan sejarah, selama tiga dasawarsa, ”Indonesia bagaikan kamar gelap di Asia Tenggara; penguasanya adalah diktator militer”. Begitu pula dengan situasi politik Itali zaman machiavelli. Tiba-tiba pecah reformasi dan terjadilah suatu transformasi yang baru. Hemat saya, Orde Baru telah menciptakan pelbagai krisis dan problem dengan rezim Otoriternya Soeharto, namun krisis ini tidak mampu bertahan lama karena ada perjuangan melawan praktik politik yang demikian. Akan tetapi, karena kontrol dan kritik yang diperjuangkan tidak pernah diberi tempat, maka keruntuhan system menjadi akut lantaran pikiran-pikiran alternatif dan kritik-kritik transformatif  untuk pembaharuan bermunculan.
Situasi konflik yang di alami Machiavelli di Italia pada zaman otoriter dan rakyat Indonesia pada rezim Soeharto ini cenderung menghantar individu-individu kepada situasi tertekan antara keinginan untuk bertahan dalam konflik rezim otoriter atau keluar dari konflik rezim tersebut. Di Italia, Machiavelli menasihati para pemimpinnya untuk lebih memperhatikan stabilitas negara yang riil dengan membaharui politik dan pasukan perang. Sedangkan di Indonesia telah terjadi reformasi dan peralihan kekuasaan rezim otoriter menjadi  yang lebih demokratis. Hal ini terbukti dengan berbagai gerakan mahasiswa pada tahun 1998 yang mengundang kekaguman, tidak hanya bagi publik dalam negeri tetapi juga di luar negeri. Agenda transformasi yang diperjuangkan adalah penghapusan terhadap militerisme, supermasi hukum dengan mengadili Soeharto, para koruptor dan pelaku pelanggaran HAM menuju suatu sistem politik yang lebih demokratis.
Tak dapat diingkari bahwa perjuangan transformasi dari otoriter menuju demokrasi merupakan usaha yang tidak gampang, sekaligus membutuhkan konsentrasi yang serius. Cita-cita nasional untuk membawa seluruh rakyat kepada politik yang lebih demokratis, kemakmuran dan kesejahteraan sudah saatnya direalisasikan. Dengan demikian, ada beberapa agenda demokrasi yang diperjuangkan di sini yang sebenarnya bersandar pada tujuh prinsip ”demokrasi”. Pertama, mengembalikan nilai dasar kedaulatan rakyat pada tempatnya semula. Kedua, memberikan ruang perlindungan kepada rakyat untuk tidak mengalami kemerosotan hidup dan sekaligus jalan mulus untuk mencapai derajad hidup yang lebih baik. Ketiga, adanya pembatasan kekuasaan dengan jalan memberikan jaminan bagi keberlangsungan proses peralihan kekuasaan secara demokratis dan berkala dengan menggunakan jalur perwakilan yang efektif. Keempat, bekerjanya mekanisme kontrol dari masyarakat melalui peluang yang besar bagi terbentuknya kelompok-kelompok kepentingan atau partai oposisi yang memungkinkan check and balance. Kelima, terbentuknya ruang kebebasan berpendapat, baik lisan maupun tulisan, kebebasan pers dan mengakui serta menghormati prinsip perbedaan pendapat. Keenam, adanya penghormatan hak-hak minoritas atas individu sebagai bagian yang patut diperhatikan. Ketujuh, berpegang teguh pada prinsip penghormatan atas hak-hak asasi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar