Sabtu, 08 Februari 2014



Layakkah Jokowi Maju Pada Pilpres 2014?

Alexander B. Koroh
 Widyaiswara Diklat Prov. NTT


Pada bulan Mey tahun lalu, Ruhut Sitompul politisi partai Demokrat dengan lantang mengatakan bahwa Jokowi tidak pantas maju dalam Pemilihan Presiden (pilpres) tahun 2014. Menurut Ruhut, latar belakang Jokowi sebagai pengusaha mebel dan Walikota di Kota Solo tidak memberikan bekal pengetahuan dan pengalaman yang memadai baginya untuk menjadi RI.1, oleh karena itu ia tidak layak menjadi calon presiden dalam pilpres 2014 (Jakarta Post, 24 May 2013). Tentunya, alasan ketidaklayakan Jokowi untuk maju dalam pilpres 2014 di atas berlebihan, tendensius, dan picik. Tulisan ini akan mengulas beberapa potensi “keberlayakan” Jokowi untuk menjadi Presiden RI tahun 2014-2018, ditinjau dari aspek demokrasi dan aspek kepemimpinan.


Aspek demokrasi
Sejak tahun 2006 hingga 2013, Freedom House masih tetap memberikan skor yang rendah terhadap hak-hak politik dan dan kebebasan sipil, bahkan untuk kebebasan sipil mengalami sedikit penurunan. Hal ini mengindikasikan bahwa pertumbuhan demokrasi Indonesia mengalami stagnasi. Atau dengan kata lain tranisisi demokrasi bangsa ini untuk masuk dalam suatu demokrasi yang terkonsolidasi/matang/mantap belum terjadi. Bersamaan dengan itu jumlah pemilih yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu terus meningkat dengan tajam. Seiring dengan itu, masalah kronis korupsi masih terus menggurita pada semua level birokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, negeri ini membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menyehatkan dan menguatkan demokrasi bangsa ini, dan terbebas dari rintangan-rintangan peninggalan rezim Soeharto.
Pada tataran ini, Jokowi adalah sosok yang tepat karena bebarap hal. Pertama, ia tidak terkait dengan rezim Soeharto, karena sejak ia memasuki pentas politik lokal dan kepemimpinan pemerintahan serta bahkan dalam pengembangan binis mebelnya ia terbebas dari pengaruh rezim Soeharto. Hal ini sangat berbeda dengan Prabowo yang tidak saja pernah menjadi anak mantunya Soeharto tetapi juga lebih dari itu karir militernya meroket pada era Soeharto. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa keterikatannya pada pola, pendekatan, dan gaya Orde Baru yang otoritarian masih sangat kuat. Dengan demikian, jika kita ingin menumbuhkembangkan nilai-nilai demokrasi secara sehat sehingga kita dapat memasuki pada ranah demokrasi yang matang maka Jokowi adalah orang yang tepat untuk mewujudkannya (Jakarta Post, 24 January 2014).
Kedua, Jokowi adalah satu-satunya Gubernur di Indonesia yang telah melakukan salah satu elemen reformasi birokrasi yang krusial yakni ‘lelang jabatan terbuka’ pada birokrasi Pemerintah Provinsi DKI. Hal ini tetntunya berangkat dari pemahamannya yang tepat mengenai pentingnya a useable bureaucracy (suatu birokrasi yang dapat berguna) dalam menjalankan berbagai program dan kegiatan yang dapat menjawab kebutuhan dan kepuasan publik, sebagaiman ditegaskan oleh  Ilmuanilmupolitik Juan J. Linz dan Alfred Stepan (1997) dalamtulisan merekaToward Consolidated Democracy” (menujudemokrasi yang mantap/terkonsilidasi). Hal ini sangat penting karena demokrasi dapat kehilangan makna dikala organisasi sektor publik tidak dapat memenuhi kebutuhan publik. Pada kondisi dapat terjadi ketidakpercayaan kepada demokrasi dan akan muncul arus anti demokrasi yang dapat memukul dan melululantahkan demokrasi yang telah terbangun.
Jika Jokowi terpilih menjadi presiden maka gelombang reformasi birokrasi dapat berjalan dengan baik dan berlangsung secara massive pada selurh level birokrasi. Tidak seperti pada saat ini, dalam era kepemimpinan SBY dimana reformasi birokrasi hanya baru sebatas grand design dan road map, mungkin ini salah satu titik lemah SBY, pada hal ia telah menjabat selama 10 tahun, dan reformasi birokrasi sudah mulai didengungkan beriringan dengan reformasi system politik bangsa ini.

Perspektif Kepemimpinan
Kepemimpinan sangat menentukan keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuannya. Dalam konteks negara Presiden sebagai pemimpin tertinggi harus memiliki kualitas kepemimpin yang mumpuni. Pendapat Ryaas Rasyid tentang karakter/sifat dasar yang harus dimiliki seorang pemimpin pemerintahan dapat membantu kita untuk menakar mutu kepemimpinan Jokowi. Pertama, seorang pemimpin harus memiliki sensitivitas. Kepekaan adalah sifat pemimpin yang secara dini memahami apa yang terjadi pada dan dialami oleh para pengikutnya. Ia tidak hanya bersimpati tetapi juga berempati dengan tulus terhadap suasana hati, perasaan, dan kehidupan pengikutnya kemudian memcahkan berbagai masalah yang sedang dihadapi pengikutnya. Karakter kepemimpinan ini, tampak jelas dimiliki oleh Jokowi. Kemampuannya untuk memindahkan para pedagang/penjual pasar Klewer ke pasar baru dengan tanpa kekerasan di Solo adalah salah satu bukti nyata ia memiliki kepekaan yang sangat baik. Demikian pula, keberhasilannya membuat pasar Tanah Abang menjadi aman dan nyaman, memulihkan daerah aliran sungai kemudian memindahkan penduduk di areal bantaran sungai ke rumah susun yang telah disiapkan pemerintah Provinsi DKI, adalah hasil nyata yang patut diapresiasi. Hemat penulis, kualitas Jokowi dalam hal kepekaan ini, jauh lebih baik dibandingkan dengan kandidat lain seperti Prabowo, Wiranto, Aburizal Bakrie dan kandidat lainnya.
Kedua, seorang pemimpin harus memiliki karakter responsif. Karakter kepemipinan ini hampir sama dengan karatker sensitif. Perbedaannya adalah, jika pada karater kepekaan, pemimpin lebih berinisiatif dan kreatif dalam mengamati dinamika kehidupan pengikutnya kemudian memberikan pemecahan terbaik terhadap berbagai permasalahan publik yang dihadapi, pada karakter resoponsif pemimpin menempatkan diri sebagai pendengar yang baik. Ia dengan rendah hati dan tulus mendengar semua keluh kesah dan permasalahan pengikutnya. Kemudian menggunakan seluruh sumberdaya publik yang ada untuk menjawab kebutuhan dan tuntutan pengikutnya. Aktivitas “blusukan”Jokowi yang turun langsung bertemu dengan warga Jakarta adalah bentuk nyata terinternalisasinya karakter ‘ketanggapan’ ini dalam dirinya. Hemat penulis, dari tutur kata, mimik dan bahasa tubuh ketika ia melakukan setiap kunjungan pada warganya tampak tidak dibuat-buat, dilakukan secara informaldan terkesan sederhana, lugu dan apa adanya. Oleh karenanya adalah tidak tepat bila perkunjugan dimaksud diklaim sebagi tindakan untuk pencitraan’.
Masih menurut Rasyid, ada dua karakter kepemimpinan lainnya yakni defensif dan represif. Kedua karakter ini bersifat negatif dan destruktif yang akan melahirkan kepemimpinan pemerintahan yang otoriter bahkan totaliter. Mungkin kita sepakat bahwa rekam jejak Jokowi tidak mengindikasikan bahwa ia memiliki dua karakter buruk ini. Sebaliknya mungkin rekam jejak kandidat lainnya mengindikasikan mereka memiliki karakter buruk dimaksud. Kejadian Mei berdarah 1998, pertumpahan darah saat berpisahnya provinsi Timor Timur dari Indonesia, dan kasus Lapindo, menunjukkan bahwa para kandidat Presiden yang mewakilii kejadian-kejadian tersebut pernah memiliki salah satu atau mungkin kedua-duanya karakter buruk di atas, yang mungkin akan muncul kembali saat mereka menjadi Presiden. Tentunya hal tersebut sangat berbahaya bagi  demokratisasi bangsa Indonesia.
Merujuk pada analisa ringkas di atas, tampak jelas bahwa pendapat tentang ‘ketidakberlayakan Jokowi’ untuk mengikuti pilperes 2014 adalah tidak tepat. Bahkan bila ditinjau dari perspektif demokraratisasi dan kepemimpinan pemerintahan di Indonesia, tampak jelas bahwa adalah baik bagi bangsa Indonesia apabila ia menjadi Presiden RI paska pemerintahan SBY. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar