Sabtu, 08 Februari 2014



ETIKA LINGKUNGAN:
SOLUSI PENCEGAHAN BENCANA BANJIR

Oleh   : Gregorius Mau Tae, S. Fil
(Widyaiswara Badan Diklat Provinsi NTT)


Pendahuluan           
Bulan Januari 2014 telah berlalu tetapi sulit dilupakan karena telah menyisakan kisah pilu seputar bencana banjir. Kisah ini didasarkan pada kenyataan bahwa sepanjang bulan Januari kita disuguhkan dengan berita tentang bencana banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya serta wilayah lainnya di negeri ini. Koran dan televisi merupakan dua media yang  paling santer memberitakan warta tragis tersebut. Juga internet sebagai media online senantiasa meng-update  bencana yang satu ini. Anehnya, barangkali lantaran telah dekat dengan pemilu pada April mendatang sehingga banjir dijadikan ajang politik orang-orang atau partai tertentu. Ada yang menjadikan banjir sebagai kesempatan untuk mengangkat nama dengan kemasan sumbangan kepada para korban banjir, atau juga sebagai alat untuk menohok lawan politik.

Terlepas dari semua fakta tersebut, tiada seorang pun yang mendambakan banjir, tetapi bila banjir datang, siapa yang bisa membendungnya. Satu yang pasti, orang akan berharap moga-moga banjir segera berhenti, dan semua orang bisa segera beraktivitas dengan normal kembali. Misalnya, sebagai ibu kota negara, Jakarta memang  sarat dengan berbagai persoalan. Salah satu persoalan yang dari dulu sampai sekarang belum tertangani dengan baik adalah masalah banjir. Hampir setiap tahun, terutama di musim penghujan pada periode Oktober-Pebruari, warga Jakarta tidak pernah merasa tenang. Bencana ini selalu datang meskipun tidak pernah diundang. Bagi masyarakat yang tinggal di pinggir sungai-sungai yang membelah Jakarta, masalah banjir ini sudah menjadi agenda rutin di musim penghujan. Dan kini banjir melanda wilayah lebih luas memasuki jalan-jalan utama. Menurut Dan satgas Banjir Korps Marinir Mayor Afin Dudun dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Sabtu (25/1), ada lima titik banjir di Jakarta,  yakni Kapuk Muara, Penjaringan, Teluk Gong, Kampung Pulo dan Daan Mogot arah Cengkareng. Meskipun belum ada korban jiwa, hingga hari Kamis, 30 Januari 2014 jumlah korban yang mengungsi di sejumlah posko mencapai 16.866 jiwa (metronews.com).
            Di Manado, Sulawesi Utara bencana banjir bandang terjadi di enam kabupaten/kota (Kota Menado, Minahasa Utara, Kota Tomohon, Minahasa, Minahasa Selatan, dan kepulauan Sangihe) secara bersamaan (regional.kompas.com). Menurut Sutopo P. Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB,  bencana ini terjadi akibat bencana alam dan antropogenetik yang memicu bencana banjir bandang dan longsor di Sulawesi Utara, merenggut nyawa 13 orang, 2 orang hilang, 40.000 orang mengungsi.
            Mengingat curah hujan cukup tinggi, Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) lewat Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTT mengeluarkan ultimatum siaga banjir untuk beberapa kabupaten yang sering menjadi langganan banjir, seperti Malaka, TTU, Sumba Barat dan Manggarai. Menurut beberapa media masa lokal, seperti Pos Kupang, dan Timor Express, belum ada korban jiwa, namun banjir telah menyebabkan ribuan hektar areal persawahan di NTT khususnya TTU gagal tanam. Pemberitaan tersebut juga terangkum oleh metronews.com dan kompas.com, bahwasanya banjir telah mengenangi rumah penduduk di Desa Ponu, Kabuapten Timor Tengah Utara, dan menghanyutkan bus jurusan Kefa-Oepoli yang berpenumpang 30 orang.

Perlunya Pergeseran Paradigma 
            Berdasarkan fakta empiris di atas, upaya penanggulangan harus dilakukan. Mengingat bencana banjir merupakan bencana tahunan yang terjadi setiap tahun, berbagai upaya penanggulan telah dilakukan lewat pembenahan dan pembangunan infrastruktur. Tetapi sejauhmanakah keberhasilan dari pembangunan tersebut? Bila belum berhasil, lantas kita berpasrah pada nasib? 
Hemat penulis, untuk mengatasi banjir tidak hanya sekedar melakukan pembenahan infrastruktur. Persoalan banjir, dan persoalan lingkungan (termasuk persoalan sosial) lainnya tidak bisa diatasi dengan sains atau teknologi. Persoalan banjir di Jakarta dan daerah-daerah lain selalu coba diatasi dengan teknologi: membuat banjir kanal, sodetan, ruang terbuka hijau, pengerukan, penampung air bawah tanah, dan solusi teknologis lainnya. Terbukti sains dan teknologi tidak menyelesaikan persoalan. Sudah saatnya kita, pengambil kebijakan, dan masyarakat menggeser dominant social paradigm, yang hanya mencari untung besar saja, menguras kekayaan alam dan menyebabkan munculnya berbagai persoalan sosial seperti kemiskinan, konflik sosial, diskriminasi, dan memunculkan berbagai persoalan lingkungan seperti banjir, polusi dan lain sebagainya ke enviromental paradigm  (paradigma lingkungan).
Sadar atau tidak, manusia sesungguhnya tidak memiliki hak untuk memodifikasi lingkungan alam sesuai dengan kebutuhannya dan tanaman dan binatang sebaliknya mempunyai hak untuk hidup seperti juga manusia. Kenyataannya, perilaku masyarakat   memberikan kontribusi besar bagi masalah lingkungan. Perilaku-perilaku masyarakat tersebut tercermin dalam:
1)      Perilaku tidak peduli lingkungan. Hal ini ditunjukkan dengan pengelolaaan sampah yang buruk, sekedar memindahkan sampah dari rumahnya ketempat penampungan sampah atau cara tercepat membuangnya ke sungai. Bila kita bandingkan dengan negara terdekat kita,  Singapura yang dengan konsep “Eco City mendaur ulang seluruh material sampah  dan memetabolismenya dalam sistem ekologis. Singapura amat didukung oleh sikap warganya yang patuh memilah dan memilih sampah,  tetapi di negeri ini nampaknya ada masyarakat yang tidak patuh serta tidak peduli, seringkali  bertindak hanya pada level pribadi  “semau gue”.
2)      Perilaku tamak dan rakus, dengan dalih pembangunan perkotaan  berkonsep  Megapolitan. Dengan tujuan mensejajarkan diri dengan kota-kota lain di dunia, para pengembang dan para perencana kota melahap begitu saja lahan-lahan yang semula dimanfaatkan untuk Ruang Hijau dan Terbuka (RHT) serta untuk resapan air. Meski mereka berdalih membuat hunian bernuansa alami dengan sejuta pesona bunga atau hutan kota toh tetap mengurangi wilayah yang diperuntukkan sebagai area konservasi air.
3)      Perilaku menghalalkan segala cara. Hal ini terjadi karena tekanan dan himpitan ekonomi serta kompetisi yang cepat dalam meraih semua peluang  maka masyarakat perkotaan punya dalih terpaksa mereka membangun gubuk-gubuk liar  ataupun bangunan permanen  di sekitar bantaran sungai. Sesungguhnya mereka tahu konsekuensinya tapi karena dalih keterpaksaan maka dilakukan juga.
4)      Perilaku arogan. Wacana relokasi warga dari sekitar bantaran sungai akan memacu perlawanan dan bahkan perilaku anarkis lainnya terhadap upaya penertiban. Warga akan bertahan dengan segala alasan mulai dari ganti rugi, ekonomi, sosial  ataupun jargon yang naïf sekalipun akan dilakukan misalnya“bersahabat dengan banjir”.
5)      Sikap skeptis, terlalu lama berada dalam pusaran masalah banjir yang berulang tiap tahun membuat warga bersikap pasrah “habis mau bagaimana lagi”.
Menyoal paradigma lingkungan, menurut Menteri Kehutanan (Menhut) Zulkifli Hasan (metronews.com)  saat membuka Jambore Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) se-Karesidenan Kediri di Waduk Wonorejo, Tulungagung, Jawa Timur, Senin (20/1/2014), bencana banjir di Jakarta dan di Manado awal 2014 diakibatkan kurangnya pemenuhan kaidah lingkungan. Maka ia mengajak semua elemen bangsa untuk lebih bijak dalam pengelolaan lingkungan khususnya hutan. Jika kita mengabaikan kaidah-kaidah lingkungan, sekarang ini kita merasakan dampaknya terjadi bencana banjir dan tanah longsor di mana-mana. Hutan merupakan salah satu sumber kehidupan bagi seluruh makhluk hidup di muka bumi. Sumber daya hutan berperan penting sebagai penyangga kehidupan sekaligus menyediakan barang dan jasa lingkungan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Keberadaan hutan yang baik sangat menunjang kesejahteraan masyarakat. Hutan Indonesia juga sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan global, khususnya yang terkait dengan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate changes). Oleh karena itu, sejalan dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, sudah sepatutnya sumber daya hutan diurus, dikelola, dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang.
Sebab itu, merupakan sebuah kewajiban dari pemerintah untuk dapat menjaga kondisi hutan dari kerusakan, serta tetap dapat mensejahterakan rakyatnya. Perum Perhutani memiliki sebuah program yang sangat baik yaitu Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Di dalam program ini terjadi kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi dan manfaat sumber daya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif.
Jadi yang perlu dibenahi bukan hanya sekedar infrastruktur saja tetapi bagaimana cara pandang masyarakat terhadap lingkungannya. Masalah banjir menjadi  masalah moral yang penyelesaiannya harus dilandasi etik moral dalam hal ini etika lingkungan.

Etika Lingkungan: Refleksi  Preventif  Bencana Banjir
Tak dapat dipungkiri, masyarakat  sudah mengetahui betapa pentingnya  menjaga lingkungannya tetapi masih saja terjadi kerusakan atau masalah terkait penurunan kualitas lingkungan. Mengapa? Apakah  masyarakat sudah melupakan hal ini atau sudah kehilangan rasa cinta pada lingkungannya, pada  alamnya? Bagaimanakah sesungguhnya masyarakat memahami lingkungan dan bagaimana cara menggunakannya? Perhatian pada isu lingkungan ini juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan dan hubungan dengan generasi yang akan datang? Bagaimana situasi alam atau lingkungan di masa yang akan datang? Kita tidak akan pernah tahu secara  pasti wujud lingkungan  di masa yang akan datang. Karenanya ada teori etika lingkungan yang secara khusus memberi bobot pertimbangan pada kepentingan generasi mendatang dalam membahas isu lingkungan ini.
Para penganut utilitirianisme, secara khusus memandang generasi yang akan datang dipengaruhi oleh apa yang dilakukan sekarang. Apapun yang dilakukan pada lingkungan akan mempengaruhi generasi mendatang. Pernyataan ini turut memunculkan beberapa pandangan tentang etika lingkungan dengan kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan lingkungan. Sony Keraf dalam bukunya “Etika Lingkungan” menjelaskan salah satu pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris adalah etika ekologi dangkal. Etika ini biasanya diterapkan pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan ahli lingkungan ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.   
Etika ini dapat digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris yang menekankan segi estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia atau keberlanjutannya.
Masyarakat punya pilihan apakah akan memasukkan etika lingkungan dalam memahami perilakunya terhadap lingkungan bahkan lebih jauh memasukkan   unsur lingkungan pada ekonomi di mana lingkungan merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari kesatuan sistem antara mahluk hidup, hewan, tumbuhan dan manusia serta faktor abiotik sehingga dalam perilaku ekonominya mengambil dari lingkungan sambil memelihara lingkungan akan tercipta suatu istilah yang dikemukakan Callicot  Ecosystem Health “.
Hal sederhana apa saja yang harus dilakukan masyarakat khususnya di daerah perkotaan seperti Jakarta dalam mengembangkan perilaku agar memenuhi etika lingkungan?  Berikut ini beberapa solusi yang ditawarkan:
1)      Membuang sampah pada tempatnya dengan terlebih dahulu memilih dan memilah sampah. Tempat sampah perlu disediakan di tiap titik dari seluruh bagian perkota yang perlu di dukung dan diawasi bersama seluruh masyarakat.
2)      Mengurangi sampah, terutama untuk masyarakat yang tergolong kaya karena dari catatan ditemukan sampah-sampah tersebut lebih banyak berasal dari sampah orang kaya .Orang kaya perlu menahan diri dari perilaku memborong dan berbelanja besar-besaran. Pengenaan pajak untuk orang kaya dengan kepemilikan barang-barang tertentu nampaknya perlu dilakukan untuk meredam ketamakan dan kerakusan.
3)      Perlu lebih banyak dikembangkan solidaritas dan gotong royong seperti yang dilakukan warga Banjarsari  di Kecamatan Cilandak Barat  Jakarta Selatan dengan mengorganisasi serta mendaur ulang sampah dengan baik serta membuat sumur resapan ditiap rumah. Mereka memiliki slogan 4R yaitu: Reduce  (mengurangi sampah), Reuse  (menggunakan kembali), Recycle (mendaur ulang)  dan Replant (penanaman kembali)   diterapkan  pada seluruh komunitas warga Banjarsari  bahkan kini kawasan ini menjadi kawasan wisata agro dari  bisnis tanaman hias, obat, sekaligus memperkenalkan konsep penataan kampung yang bersih,  sehat, nyaman, indah  serta berwawasan ekologis. 
4)      Bila hanya membebani lingkungan perkotaan dengan hidup di bantaran sungai, kolong jembatan, lebih baik para pendatang pulang kampung, membangun desanya sendiri secara mulia dan terhormat. Pemerintah perlu membuat kajian etik tersendiri untuk mengubah paradigma pendatang ke kota-kota besar seperti Jakarta.

Penutup
Tiada seorang pun yang mendambakan bencana banjir, tetapi bila banjir datang, kita sulit  membendungnya. Berdasarkan pengalaman, berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan tetapi setiap tahun banjir tetap menjadi bencana yang menakutkan. Oleh karena itu mudah-mudahan pemahaman tentang etika lingkungan dapat membuka cakrawala baru. Permenungan akan etika lingkungan menghantar kita untuk melakukan suatu pergeseran paradigma dari dominant social paradigm ke enviromental paradigm.
Semestinya kita dapat merenungkan konsep deep ecology yang diperkenalkan Fritjof Capra. Dengan arif dia mengingatkan bahwa dunia ini bukanlah kumpulan objek-objek yang terpisah, tetapi lebih merupakan satu kesatuan jaringan yang saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain secara fundamental. Etika/Moral mendapatkan tempat istimewa, karena sebagai sistem kendali, Etika/moral harus dapat menjadi barrier tangguh dari segala upaya penyimpangan peradaban. Perubahan etika/moral ke arah yang lebih baik akan menjamin perbaikan dan pembangunan dilaksanakan tanpa ada yang dirugikan, baik manusia maupun alam. Usaha untuk kesejahteraan manusia dijalankan secara berkelanjutan tanpa harus merusak alam. Kiranya bencana banjir menyadarkan kita tentang bagaimana hidup yang baik, hidup saling menghargai, saling menghormati dan saling mengingatkan untuk menjaga dan memelihara lingkungan, serta dijauhkan dari ketamakan agar tak lagi membabati hutan-hutan di hulu untuk dijadikan ajang bermegah-megah.

Daftar Pustaka

Baru, Kormensius, (2010): Banjarsari, Pemukiman Hijau di Tengah Kota, http://www.businessreview.co.id

Callicot, J Baird  (1999) : Beyond the Land Ethic, More Essay in Environmental Philosophy, State University of New York press, New York

Hargrove, Eugene C, (1989).  Foundation of Environmental Ethics,  Prentice Hall, New Jersey

Keraf,  Sony,  (2010)  Etika Lingkugan Hidup, Jakarta, Buku Kompas

Suseno, F.M., 1991. Etika Sosial, Jakarta, Gramedia



Tidak ada komentar:

Posting Komentar