Jumat, 24 Januari 2014



Reformasi Birokrasi Pemerintah Provinsi NTT Menuju Kegagalan

Oleh:
Alexander B. Koroh dan Ondy Siagian
Widyaiswara Diklat Prov. NTT

Peluncuran road map (peta jalan) Reformasi Birokrasi (RB) pemerintah Provinsi NTT yang telah diluncurkan oleh Gubernur NTT pada  tanggal 28 Oktober 2013, sempat memberikan secercah harapan terhadap perbaikan, perubahan signifikan pada organisasi sektor publik dalam lingkup pemerintah Provinsi NTT. Alih-alih menunjukkan adanya perbaikan dan perubahan yang signifikan yang terjadi justru sebaliknya. Pemerintah Provinsi NTT  melakukan organizing (pengorganisasian) organisasi sektor publiknya ke arah yang bertentangan dengan arah reformasi birokrasi itu sendiri. Hal ini tampak jelas pada profiliriasi beberapa agency (dinas, badan,biro) seperti dimunculkannya kembali Dinas Pemuda dan Olah Raga, Badan Penelitian dan Pengembangan, Badan Kepegawaian Daerah, Badan Pemberdayaan Perempuan, dan Biro Humas. Seiring dengan itu, mutasi dan rotasi jabatan yang baru dilaksanakan pada tanggal 31 Desember 2013 belum dilakukan dengan metode  terbaik dalam pengembangan karir aparatur di provinsi ini.  Oleh karena itu, tidaklah mengherankan muncul banyak komentar miring dan pergunjingan berkepanjangan tentang hasil promosi dan mutasi jabatan yang baru dilakukan tadi.

Inkonsistensi
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam sambutannya pada Seminar Nasional di Yogyakarta tentang Tantangan dan Peluang Reformasi Birokrasi di Indonesia (2/6/2012) mendefinisikan bahwa “Reformasi birokrasi merupakan perubahan besar dalam paradigm dan tata kelola pemerintahan Indonesia.” Selanjutnya ia menegaskan "Reformasi birokrasi juga bermakna sebagai sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam mengarungi abad ke-21."
Cendikiawan pada managemen publik  sepakat bahwa perubahan paradigma pada organisasi publik  biasanya terjadi dalam tiga paradigma. Yakni paradigma Birokrasi Weber, New Public Management (NPM), dan Governanceyang dalam praktek terbaiknya disebut good governance.Model Birokrasi Weber biasanya berorientasi pada input, NPM berorientasi pada output dan Governance berorientasi pada outcome. Dalam konteks Indonesia pada umumnya terjadi campur aduk elemen-elemen pada ketiga paradigma tadi plus penyakit birokrasi khas Indonesia. Contohnya, Dinas, Badan, Biro, Kantor masih memiliki hirarki jabatan struktural 3 sampai 4 level, hal ini merupakan ciri dari Model Birokrasi Weber. Pada saat yang sama, agency tadi juga memiliki Rencana Strategis  yang merupakan salah satu unsur penting dari NPM, sembari menetapkan pencapain kinerja sampai pada indikator kinerja outcome, yang sejatinya merupakan elemen dari Governance. Tambahan pula, pertimbangan politik yang irasional menyebabkan terjadinya kerusakan padapengelolaan organisasi sektor publik yang rasional dalam bingkai management publik.
Diskripsi di atas menunjukan ketidakkonsistenan pemerintah Provinsi NTT dalam melakukan RB bila ditinjau dari sudut pandang grand designnya. Kebijakandan program reformasi birokrasi yang tertuang dalam Grand Design dan Road Map, antara lain, mencakup berbagai langkah perubahan di semua aspek manajemen pemerintahan dari aspek organisasi, tatalaksana, sumber daya manusia aparatur, peraturan perundang-undangan, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan public dengan melakukan perubahan budaya kerja aparatur. Implementasi dari kebijakan dan program RB dilakukan melalui proses yang terdesentralisasi, serentak, dan bertahap serta terkoordinasi (Sambutan Menpan dan RB, Yogyakarta, 2/6/2012).
Secara faktual agency pada organisasi sektor publik dalam lingkup Pemerintah Provinsi NTT sudah terlalu banyak yakni di atas 40 SKPD. Dengan dilakukannya penambahan beberapa SKPD baru maka kini jumlahnya semakin gemuk. Apapun alasan dibalik pembentukkan SKPD-SKPD tadi secara rasional dan empiris harusnya yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTT adalah perampingan atau meminjam istilah Osborn adalah banashing bureaucracy (pemangkasan birokrasi). Sedihnya, yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTT bertentangan dengan logika reformasi birokrasi.  Dengan demikian efisiensi, efektifitas, dan ekonomis sebagai tujuan yang harus dicapai oleh  organisasi sektor publik  tidak pernah tercapai karena organisasi sektor publik telah menyerap anggaran terlalu banyak untuk menghidupi dirinya sendiri ketimbang untuk kepentingan dan kebutuhan publik.
Sejatinya pembentukkan suatu organisasi sektor publik tertentu didasarkan pada paling kurang 2 (dua) hal besar. Pertama, didasarkan pada core business (urusan inti) pemerintah, yang oleh salah seorang pakar pemerintahan Indonesia, Prof.DR. M. Ryaas Rasyid mendefinisikannya ke dalam 7 (tujuh) tugas-tugas pokok pemerintahan. Dari 7 tugas-tugas pokok dimaksud jika dijabarkan secara lebih luas dan dalam, sebut saja jika setiap tugas pokok tadi dikalikan 5 tugas pokok sebagai uraiannya maka akan ada 35 tugas pokok pemerintahan. Agar tugas pokok pemerintahan tadi dapat dijalankan dengan baik, terkendali dan mencapai hasil yang optimal maka dibentuk 35 organisasi sektor publik sesuai dengan tugas-tugas pokok yang ada. Pada titik ini kita dapat melihat dengan jelas betapa profiliriasi atau pengembagbiakan SKPD pada lingkup Pemerintah Provinsi sudah kebablasan, sudah sangat berlebihan.  Kedua organisasi sektor publik dibentuk karena memang individu dan masyarakat (baca: publik) membutuhkannya.  Jika kita bertanya, apakah publik membutuhkan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Badan Litbang Provinsi NTT? Jawabanya menurut hemat saya, ‘tidak’. Alasannya keberadaan BKD tidak untuk memenuhi kebutuhan publik, tetapi lebih untuk mengurus administrasi kepegawaian para pegawai. Oleh karena itu, dengan posisinya pada level Biro (eselon II.B) sudah memadai. Demikian pula halnya dengan Balitbang Pemerintah Provinsi NTT, hemat saya agency ini tidak dibutuhkan oleh publik, karena ia lebih untuk kepentingan para pengambil keputusan, namun sayangnya selama ini hampir semua hasil penelitian bidang ini belum dimanfaatkan oleh Pemerintah Provinsi secara optimal. Yang lebih penting lagi pemerintah provinsi dapat bekerja sama dengan lembaga penelitian universitas di provinsi ini dan dapat menggunakannya. Oleh karena itu dapat pula dikatakan, jika pertanyaan di atas disodorkan pada setiap SKPD pemerintah provinsi NTT yang telah ada, maka kita dapat sampai pada kesimpulan logis bahwa banyak SKPD yang tidak relevan dengan kebutuhan publik, oleh karena itu harus ditiadakan.
Pada bagian lain, promosi, mutasi, dan rotasi jabatan struktural yang baru diselenggarakan pada akhir tahun lalu, metodenya sangat ketinggalan dan sudah kadaluwarsa. Metode seleksi mekanisme tertutup yang dilakukan oleh Baperjakat dan disetujui oleh Gubernur sangat tidak sejalan dengan semangat reformasi dan merit system dalam pengembangan karir aparatur sipil negara. Metode seleksi saat ini cenderung picik, otoriter, dan karena itu menempatkan aparatur yang jujur, berkompetensi bagus selalu pada posisi yang diabaikan. Metode ini sangat rentan pada pemenuhan kepentingan pribadi/kelompok pihak yang berkuasa ketimbang kepentingan publik. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika hampir semua orang Indonesia kagum dan bangga dengan metode ‘lelang jabatan’ yang dilakukan oleh Jokowi karena metode ini dapat menghasilkan pejabat terbaik yang berguna bagi pemenuhan kepentingan dan kebutuhan publik.
Merujuk pada penjelasan di atas, tampak jelas apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTT terkait dengan pembentukan beberapa SKPD baru dan promosi, mutasi dan rotasi jabatan yang baru lalu bukanlah quick wins, tetapi suatu blunder yang dapat menjadi indikasi gagalnya reformasi birokrasi pada level pemerintah provinsi NTT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar