Selasa, 27 Januari 2015

EKONOMI KELEMBAGAAN PASAR TRADISIONAL

Penulis :
Rokiyah, Widyaiswara Muda, Badan Diklat Provinsi NTT

Salah satu sumbu kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan dan sebagian di pingiran perkotaaan adalah pasar tradisional,dimasa lalu, pasar tradiisional menjadi tempat pertemuan penting dari kegiatan ekonomi pedesaan,yakni produsen sector pertanian yang menyerahkan produksinya,pedagang pasar yang menjadi mediasi,dan konsumen yang membeli kebutuhan pokok rumah tangga. Jadi,derap kehidupan pasar tradisional secara tida k langsung merupakan cermin dari dinamika pergerakan sector pertanian. Jika sector pertanian tumbuh dengan cepat,maka geliat pasar tradisional sangat terasa,demikian sebaliknya. Disinilah menarik untuk diamati,bagaimana salah satu episentrum kegiatan ekonomi di wilayah pedesaan itu berjalan dan mengalami perubahan dari waktu ke waktu,secara kelembagaan,perubahan tatakelola dan peran pasar tradisional tersebut penting untuk dianalisis karena di didalamnya banyak melibatkan pelaku ekonomi,khususnya diwilayah pedesaan. Sehungga perubahan kelembagaan baik yang berdampak positif maupun yang negative memiliki implikasi yang besar bagi kelangsungan hidup masyarakat pedesaan.

Salah satu konsep terpenting dari ilmu ekonomi adalah ” pasar ” diandaikan sebagai instrumen yang dapat menggerakan kegiatan ekonom sehingga seluruh partisipanya dapat akses dan keuntungan ekonomi yang mencukupi. Namun pasar sendiri dalam pengertian yang luas tidaklah bias diidentifikasi secara kongkret karena wujudnya yang tidak selalu kasat mata secara fisik,pada konsep ini,antara pasar ( market ) dantempat  pasar ( marketplaces ) memiliki makna yang berbeda.dalam limu ekonomi pasar tidaklah sama denagn tempat ,sehingga pengetian pasar berbeda,ada pengertian pasar secara kata benda (tempat ),ada pengertian pasar secara kata sifat,yaitu siatuasi dimana suatu barang atau jasa ditawarkan kebeberapa orang ( seller ) atau oleh penjual dan di beli oleh pembeli ( buyers ) dengan melalui persetujuan harga yang disepakakati bersama-sama,sehingga dalamkonteks pasar dalam pengertian kata sifat tadi, maka penjual dan pembeli tidaklah selalu harus saling bertemu muka,jual beli bias dilakukan lewat perbankan,telefon,faximile,internet ,bahkan dalam pasar bursa internasinal,antara penjual dan pembeli tidak saling kenal,mereka lebih kenal dengan barangnya/produknya dari pada dengan pemiliknya.disinilah letak pergeseran nilai-nilai kelembagaan secara tradisional ke moderen.Diabad super cangih seperti ini,proses modernisasi telah merambah secara multidimensional.

Sedangkan tempat pasar ( marketplaces ) merupakan pertemuan fisik aktual antara keriuhan penawaran dan permintaan. Jadi tempat pasar ini bisa dilihat secara jelas lokasi di mana pasar tersebut berada,baik lokasi,penjual,pembeli. Dengan pemahaman seperti ini perbedaan antara pasar dan tempat pasar ini menjadi penting untuk dideskripsikan karena sangat mungkin terjadi pasar eksis tanpa terjadi kontak aktual antara penjual dan pembeli,oleh karena itu pemehaman seperti ini mudah menerangkan bahwa modernisasi ekonomi dapat diduga memperkuat eksistensi “ pasar “ ,tetapi disisi lain meminggirkan “ tempat pasar “ akibat masuknya tenologi dan perubahan organisasi.

Dalam bingkai ekonomi kelembagaan,proses transaksi yang terjadi dalam tempat pasar selalu memiliki karakterisrik yang unik. Kelmbagaa ekonomi pasar tradisional yang hanya menjangkau komunitas terbatas ( desa ) memungkinkan setiap pelakunya ( penjual dan pembeli ) saling mengenal sehinggai  sifat pasar menjadi personal,konsekwensi dari dari personalitas pasar membuat biaya transasksi menjadi rendah karena partisipan saling mengenal dan percaya,sehingga tidak membutuhkan instrumen lain untuk menopang transasksi seperti kontrak,pengawasan ,biaya teknologi dll.

Sebaliknya dalam pasar yang semi moderen sift pasar cenderung impersonal karena rentng interaksi menjangkau komunitas yang lebih luasehingga tidak saling  mengenal,dalam struktur pasar semi moderen seperti ini seringkali masih belum membutuhkan kelembagaan penegakan karena masih bisa di atasi oleh antara penjual dan pembeli,misalnya jual beli di super market.

Bentuk lain dari bentuk pasar impersonal kelembagaan  adalah pemanfaatan impersonal dengan memanfaatkan pihak ketiga sebagai instrument moderen penegakan jika suatu saat terdapat persolan dalam transasksi,ini merupakan bentuk pasar yang sangat moderen seperti yang banyak dijumpai saat ini,instrumen ini di perlukan baik oleh penjual maupun pembeli,walaupun
semuanya itu dilakukan notabene tanpa kontak fisik,misalnya notaris,asuransi,pengacara kreditur,debitur dll. Inilah yang menyebankan timbulnya biaya transaksi baru,yang bila di bandingka dengan ekonomi pasar tradisional tidak pernah di jumpai,hal ini pula yang menyebabkan harga barang/jasa ekonomi pasar tradisional lebih murah jika di bandingkan dengan harga barang/jasa pada pasar semi moderen atau pasar moderen.

Dalam konteks pasar tradisioanl secara kelembagaan tersebut memberikan  ilustrasi/gambaran/data/mapping tentang  disana terlihat bahwa jelas ada keterikatan baik secar formal,maupun non formal antar petani dan sektor  pertanian,produk-produk pertanian di daerah sekitar,dijual ke masyarakat daerah sekitar yang memrbutuhkan melalui pasar tradisional tersebut,sehingga kita bisa simpulkan sementara bahwa,jika pasar tadisioanal di pedesaan itu ramai,banyak pengunjung,hiruk pikuk,terjadi banyak transasksi jual beli,maka berarti sektor pertaniandi daerah tersebut maju,begitu juga sebaliknya,jika pasar tradisioanal pedesaan sepi,maka berarti sektor pertanian di daerah tersebut tidak maju. Dengan demikian bahwa fakta menunjukan betapa terjadi suatu keterkaitan antara subsistem masing-masing antar sektor pertanian dan sektor perdagangan yang  menjadi urat nadi ekonomi pedesaan. Tipikal pasar tradisional semacam itu merupakan karakteristik sebagian besar  Pasar di desa-desa ( atau di kecamatan ) yang ada di wilayah indonesia. Seacara lebih detail,pasar tradisional itu dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :

·         Pasar tradisional reguler,yang menetap dan buka setiap hari,sehingga dapat menjadi rujukan bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pasar ini dikelola oleh pemerintah setempat ( tingkat desa atau kecamatan ).
·         Pasar tradisional ireguler,yang hanya buka berdasarkan budaya lokal daerah masing-masing,conthnya di jawa ada pasar yang namanya pasar kliwon,artinya hanya saat-saat kliwon saja pasar itu  buka,jadi kalo dalam sebulan itu empat minggu,maka pasar kliwon itu berati hanya buka empat kali saja dalam sebulan. Begitu juga pasar-pasar lain di indonesia yang di
desesuan dengan keyaarifan lokal budaya daerah masing- masing di indonesia.
·         Pasar tradisional khusus (spesefik),yaitu pasar yang hanya menjual barang dagangan yang tertentu saja,misalnya pasar ternak (sapi,kambing,ayam babi,kerbau dll ),pasar sayur mayur,pasar tekstil dll.

Secara  sosiokultural,Ekonomi kelembagaan pasar tradisional memiliki hubungan psikologis antar partisipanya ( penjual dan pembeli ) ini terbentuk karena diantara mereka saling percaya,dengan demikian fondasi ekonomi bisa semakinkuat,bukan hanya itu saja yang dapat kita belajar dari ekonomi pasar tradisional,tetapi hal lain yang perlu di tauladani dari petani adalah mengenai eksistensi pasar tradisioanal adalah, akses pedagang kecil sangat besar,hal ini di lakukan karena untuk berjualan di pasar tradisional tidak memerlukah regulasi yang bertele-tele,tidak harus sewa kios,tidiak harus bayar pajak,tidak harus bayar keamana,simpel,praktis semuanya dikerjakan sendiri,selesai jualan selesai berjualan tempatnya dibersihkan masing-masing oleh penjualnya.sehingga disini masyarakat pedesaan dengan bebas melakukan kontribusinya kepada daerahnya di mana dia tinggal.

Perpindahan dari ” ekonomi barter “ ke “ ekonomi pasar tardisional “ tersebut secara sosiologis tidaklah mengubah watak dari proses transasksi diwilayah pedesaan,perubahan itu hanya terjadi pada wilayah instrumen,yakni munculnya kelas pedagang pedesaan sebagai hasil dari interaksi transasksi.Perubahan lainya adalah eskalsi transaksi yang kian tinggi karena adanya lokasi yang terpusat sehingga setiap orang datang berbondong-bondong ke pasar,tentu dengan membawa uang . Dengan demikian moneterisasi merupakan unsur penting lain yang memicu perubahan dari ekonomi barter ke ekonomi pasar,namun diatas segalanya,watak transasksi perdagangan sendiri tetap,yakni personal,oleh karena itu dari aspek efisiensi biaya transasksi baik ekonomi barter maupun ekonomi pasar tradisioanal dapat diperkirakan mempunyai derajat ekonomis dan efisiensi yang sama.

A.        LATAR BELAKANG

Optimalnya implementasi kebijakan publik/desentarlisasi tentunya adalah merupakan harapan bagi seluruh rakyat indonesia,terutama bagi masyarakat lokal yang tingal di daerah. Hal ini berkaitan dengan proses demokratisasi yang memelukan komitmen dari seluruh stake holder yang terkait.Instrumen pembangunan yang ada di harapkan dapat berperan sebagai mediator dalam proses penguatan politik lokal dan penguatan jaringan yang stabil antara institusi dan aktor-aktor di tingkat lokal.
Untuk mewujudkan itu semua tentunya banyak hal yang harus di penuhi,kondisi lingkungan, dari struktur kebijakan,kewenangan,sosial budaya,bahkan infrastruktur merupakan sarana dan prasarana yang turut andil dalam tercapainya implementasi desentarilasasi/otonomi daerah tersebut. Proses demokratisasi di tingkat lokal tentunya tidak hanya berhenti sampai disitu saja,tetapi yang paling esensial dari desentralisasi adalah bagai mana keadilan dan pemerataan hasil pembangunan dapat di rasakan sampai ke masyarakat tingkat bawah melalui demokrtatisasi dan pemberdayaan masyarakat dalam berpartisipasi terhadap dinamika pembanguan di daerah.Dengan demikian di harapkan aksesibilitas bagi masyarakat untuk menggali potensi-potensi yang dimiliki oleh daerah dapat terakomodir melalui penguatan politik lokal,namun tetap dalam bingkai NKRI.
Peranan Pemerintah Daerah dan DPRD diharapkan dapat menjadi motor penggerak pembanguan di daerah dengan melibatkan seluruh komponen masyarakat di daerah,sehingga pemerintah daerah mendapat legitimasi dari masyarakat daerah.

B.  KONDISI LINGKUNGAN

Sruktur dan faktor lingkungan juga mempengaruhi hubungan antar organisasi sumberdaya program dan karakteristik dalam penempatan para agen.Suatu pemahaman tentang sosial,ekonomi,dan pengaturan politik dimana program desentralisasi diterapkan untuk mengidentifikasi program dukungan dan batasan faktor.Beberapa dari faktor lingkungan yang mempengaruhi program implementasi adalah:

1.         Gaya / model politik
          Pembagian kekuasaan/kewenangan antara pusat dan daerah merupakan instrumen pemberdayaan demokrasi di daerah, dimana pusat ( mengatur ) dan daerah ( mengurus ),jika pusat membuat peraturan maka daerah melaksanakan. Model politik yang demikian ini identik dengan konteks supplay dan demand,Penjual dan pembeli,dimana pemerintah berfungsi sebagai supplay atau pemasok ( produsen) dan masyarakat sebagai pembeli (konsumen)     
          Kepala daerah dan DPRD sebagai unsur penyelenggara pemerintahan di daerah berdasarkan aspirasi masyarakat daerah,sehingga pemerintah daerah adalah wujud dari pendelegasian kekuasaa secara  hirakhis yang mendapat dukungan dan legitimasi dari masyarakat dalam membangun infrastruktur dan supra struktur politik lokal yang diharapkan akan menjadi lebih demokratis.
          Pembagian peran antara legislatif ( DPR ),Eksekutif (Presiden ),Yudikatif ( MA ) dan Auditif ( BPK ) merupakan model membagian kekuasaan secara demokratis.
          Jika pemerintah pusat terlalu dominan,maka akan terjadi kesenjangan kepastian sistem pemerintahan masyarakat di tingkat lokal,dan mengurangi motivasi masyarakat lokal untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan.

2.    Struktur pembuatan kebijakan  
       Jaringan kerja antar lembaga pemerintah,baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah,hal ini seperti yang diamati oleh Ripley dan Franklin,
” dalam kenyataanya  tidak ada lembaga pemerintahan tunggal yang mampu mempromosikan,mengawasi atau melaksanakan penerapan. Agaknya terdapat banyak lembaga pemerintahan yang dalam beberapa hal sering tidak dapat di bedakan dengan lembaga nonpemerintah”. Pemberdayaan Kekuatan politik dalam tingkatan pemerintahan yang lebih rendah ke yang berskala nasional merupakan akses dalam mata rantai kepemerintahan.Ripley dan Franklin “ Implementasi melibatkan seperangkat interaksi politis dan saling hubungan antar pelaku”.
Pembagian peran antara legislatif ( DPR ),Eksekutif (Presiden ),Yudikatif ( MA ) dan Auditif ( BPK ) merupakan lembaga yang diharapkan dapat menjalankan fungsinya masing-masing sesuai dengan perundangan.

3.    Struktur kekuasaan dalam karakteristik lokal
        Membuka ruang bagi partisipasi publik,serta pengalihan kekuasaan kepada daerah,dari orientasi sistem otoritarian-sentralistik menjadi demokratis-desentralistik (dalam batas tertentu ) dipengaruhi berdasarkan berbagai kultur dan budaya masyarakat setempat yang    kesemuanya mempunyai aspirasi masing-masing,dari aspirasi yang beragam ini maka menimbulkan aksesibilitas politik masyarakat yang berbeda pula dan membentuk komunitas politik lokal di daerah,hal ini desebabkan karena setiap daerah mempunyai karakteristik lokal yang berbeda-beda sesuai dengan struktur budaya dan kearifan lokal masyarakt masing-masing daerah,dan terbentuknya aspirasi pengorganisasian secara stabil antara institusi dan aktor-aktor di tingkat lokal.

4.    Batasan sumberdaya
       Batasan sumberdaya secara hirarkhi antara lokal dan nasioanal,merupakan upaya untuk lebih mengoptimalkan,serta untuk memberi kejelasan kewenangan dalam menjalankan proses pembangunan di daerah dan pusat bagi seorang  aktor/administrator,baik sumberdaya manusia maupun sumberdaya alam,sehingga terbentuknya penguatan sumberdaya lokal.
           
         Pemerintah daerah mempuyau kekuasaan/ kewenangan yang jelas,yaitu sebagai sutradara dalam proses peningkatan kapasitas masyarakat lokal untuk mengaktualisasikan dan berkontribusi terhadap pembangunan di daerah,namun tetap terikat pada peraturan yang di tetapkan oleh pemerintah pusat,sehingga antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah mempunyai wilayah tugas masing-masing.
         Penerapan Otonomi Daerah sebagai mana  dituangkan dalam Undang-undang No.32 Tahun 2004,sebagai pengganti UU No.22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah daerah harus diarahkan pada terwujudnya pemerataan dan keadilan.

5.    Faktor sosial budaya
       Secara normatif otonomi daerah memberi keleluasaan bagi masyarakat daerah untuk mengaktualisasikan diri secara optimal dalam manajemen pembangunan daerah,namun Etnisitas kesukubangsaan selalu muncul dalam konteks interaksi sosial pada masyarakat majemuk. Demokrasi dalam keberagaman menuntut suatu rambu-rambu konstitusional yang dapat mengakomodir semua kepentingan masyarakat yang heterogen baik secara kultur maupun budaya.
       Dalam Otonomi Daerah/Desentralisasi,masyarakat di daerah dapat menggali dan mempertahhankan potensi-potensi kelembagaan sosial atau konstruk nilai-nilai budaya lokal yang dapat menopang mereka di tengah arus globalisasi dan dinamika pembangunan di daerah.

6.  Tingkat ( derajat ) organisasi diantara program penerima uang ( program pengelola keuangan )
       Ada beberapa tingkatan lembaga/institusi yang mempunyai otoritas dalam pengelolaan keuangan.DPRD di daerah sebagai fungsi anggaran mempunyai kewenangan untuk mengawasi penggunaan keuangan negara.
       Disini pemerintah pusat sebagai (Policy Maker Central),kemudian ada pendelegasian kekuasaan ke ( Policyy Maker Local ) dalam hal ini Pemerintah  Daerah, lalu   ada     provider  ( penyedia jasa )  dan  client ( pengguna jasa ).

7.    Kesediaan infrastruktur pisik,hubungan komunikasi dan penyelesaian yang terintegrasi.
       Dalam konteks desentralisasi,yang fokus pada pemerataan dan keadilan,maka ketersediaan sarana infrastruktur yang memadai merupakan suatu prasarat untuk mengimplementasikan kebijakan pemerintah secara optimal. Sarana transportasi,sarana komunikasi sangat berperan penting dalam upaya optimalisasi peran masyarakat daerah dalam berkontribusi  terhadap proses pembangunan di daerah.Penyelesaian yang terintegrasi merupakan wujud dari debirokratisasi,sehingga pelayanan kepada masyarakat dapat di lakukan lebih efektif dan efisien.

C.        KESIMPULAN


Banyak hal yang mempengaruhi keberhasilan terhadap implementasi otonomi daerah / implementasi kebijakan publik. Pembagian kekuasaan ( Sharing of power ) antara pusat dan daerah dalam Gaya ( model ) politik merupakan bentuk pembemberian ruang bagi partisipasi publik untuk berkontribusi secara langsung terhadap pembangunan di daerah. Struktur pembuatan kebijakan perperan sebagai rangkaian koordinasi dan kerja sama yang saling berantai antar aktor pelaku kebijakan baik di daerah maupun di pusat. Demikan juga struktur kekuasaan kakateiristik lokal,setiap daerah mempunyai karakteristik yang berbeda-beda sesuai dengan budaya dan kearifan lokal nya masing-masing,tapi bukan hanya itu saja yang mempengaruhi implementasi otonomi daerah / implementasi kebijakan publik. Desentralisasi dimaksudkan juga untuk memperjelas batasan kekuasaan dalam peningkatan kapasitas masyarakat lokal,juga faktor sosial budaya merupakan hal penting dan sangat dominan dalam pemberdayaan politik masyarakat lokal karena budaya adalah identitas bangsa,maka dinamika pembagunan di daerah tentunya dipengaruhi oleh struktur kultur dan budaya bangsa indonesia yang plural.Yang tidk kalah pentingnya dalam implementasi desentralisasi adalah keberadaan sarana infrastruktur yang memadai,hubungan komunikasi dan pelayanan yang terintegrasi.Demikian banyak hal seperti tersebut di atas yang sangat mempengaruhi keberhasilan daripada implementasi kebijakan publik/desentaralisasi,sehingga pemerintah mempunyai tanggung jawab untuk memenuhi keperluan-keperluan tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar