Pembelajaran untuk Orang Dewasa dalam Kediklatan
Aparatur Negara
Oleh: Drs. Alexander B. Koroh, MPM
Widyaiswara
Muda BP4D NTT
Secara umum disepakati bahwa pemahaman
yang baik tentang suatu model pembelajaran adalah penting. Dengan pemahaman
yang memadai dan tepat tentang model dimaksud maka dapat diterapkan dengan baik
sehingga keberhasilan dalam proses pembelajaran dapat diwujudkan. Dalam konteks
kekinian setiap pembelajaran yang dilaksanakan harus mencapai empat tujuan
pendidikan yakni “how to know, how to do, how to live together, dan how to be.”(bagaimana
mengetahui, bagaimana melakukan, bagaimana hidup bersama, bagaimana menjadi). Hal
ini krusial karena, sumber daya yang dimiliki terbatas dan ikatan waktu dimana
suatu proses pembelajaran berlangsung juga terbatas.
Pada mulanya hanya ada satu model
asumsi pembelajaran tentang pembelajar dan pembelajaran yang dikenal dengan
model “pedagogy” yang secara harafiah berarti “ seni dan ilmu dalam mengajar
anak-anak.” Model ini merancang tanggung jawab penuh dari guru dalam membuat keputusan-keputusan
tentang apa yang harus dipelajari, bagaimana cara mempelajarinya, kapan harus
dipelajari, dan bagaimana jika telah dipelajari. Dalam ranah pedagogy
pembelajar tidaklah mandiri tetapi sebaliknya bergantung pada guru. Oleh
karenanya peserta didik perlu memposisikan diri sebagai penerima materi
pelajaran yang patuh dalam menyerap pengetahuan. Inti dari metodology dari
model pedagogy adalah teknik-teknik menyebarkan pengetahuan (Knowels, 1999,
hal. 254). Merujuk pada konsep di atas, tampaknya model pedagogy kurang tepat
dalam menjawab kebutuhan pembelajaran orang dewasa. Disinilah dibutuhkan model
pembelajaran tertentu yang dapat menjawab kebutuhan pembelajar orang dewasa.Pemahaman
dan penerapan pembelajaran yang tepat dapat dikatakan sebagai salah satu elemen
strategi pembelajaran (Cunningham, 1999, hal.21).
Andragogy
Pandangan pertama bahwa model
pedagogy tidak cocok untuk pembelajaran orang dewasa muncul dalam buku Eduard
C. Lindeman (1926), dengan judul “The Meaning of Adult Education” (Makna dari
Pendidikan Orang Dewasa). Merujuk pada pengalamannya sebagai pembelajar orang
dewasa dan pengajar orang dewasa Lindeman menunujukkan bahwa orang dewasa
bukanlah seperti anak-anak yang sedang bertumbuh, mereka akan belajar dengan
efektif dan mantap jika secara aktif terlibat dalam menentukan apa, bagaimana,
dan kapan mereka belajar. Namun baru pada tahun 1950 dilakukan studi empiris
tentang pembelajar orang dewasa, dan selanjutnya gagasan besar tentang
perbedaan pembelajar muda dan orang dewasa mulai mendapat perhatian yang
serius.
Studi yang dilakukan oleh Houle dan kawan-kawan tentang
bagaimana orang dewasa belajar secara alami misalnya, ketika mereka tidak
sedang diajar sangat menarik. Studi ini menunjukkan bahwa bagi orang dewasa
pembelajaran yang efektif adalah justru yang berlangsung diluar rancangan
formal dimana mereka terlibat secara sadar ketimbang pembelajaran yang
dirancang secara terprogram. Oleh karena itu sejatinya orang dewasa adalah
pembelajar yang mengarahkan dirinya sendiri.Sementara itu berbagai pengetahuan
tentang pembelajar orang dewasa juga datang dari berbagai disiplin ilmu.
Contohnya, psikolog klinikal menyediakan informasi tentang persyaratan dan
strategi yang dapat meningkatkan perubahan perilaku. Psikolog pengembangan menguraikan
tahap-tahap pengembangan yang dialami orang dewasa sepanjang hidupnya. Seiring
dengan itu, sosiolog mengekspose dampak bahwa kebijakan-kebijakan institusional
dan praktek-prakteknya yang mendukung pembelajaran atau sebaliknya. Psikolog
sosial mengungkapkan pengaruh-pengaruh kekuasaan dalam lingkungan yang lebih
luas, seperti sikap sosial dan kebiasaan, system penghargaan, sosioekonomik dan
stratifikasi etnik (Knowles, 1999, hal. 254).
Pada awal 1960an pendidik pembelajar
orang dewasa merasa sangat perlu melabelkan secara tepat atas perkembangan
bobot pengetahuan tentang pembelajar orang dewasa yang sejajar dengan model
pedagogy. Akhirnya mereka sepakat untuk menetapkan istilah andragogy yang telah
ditetapkan oleh seorang pendidik orang dewasa Jerman pada tahun 1833. Andragogy
berasal dari kata aner(bahasa Yunani)
yang berarti “orang dewasa” yang secacara harafiah berarti “laki-laki dewasa (man), bukan anak laki-laki (boy).” Mula-mula istilah andragogy
berarti “seni dan ilmu dalam membantu orang dewasa belajar. Dalam perkembangan
selanjutnya istilah dimaksud bermakna lebih luas lagi sebagai alternatif dari
model pedagogy ((Knowles, 1999, hal. 254). Dengan kata lain, model andragogy
dapat pula digunakan dalam proses pembelajaran tidak hanya untuk orang dewasa
tetapi juga dapat dimodifikasi dan digunakan untuk pembelajaran kelompok
pembelajar anak-anak. Hemat penulis fleksibilitas dan ketersediaan ruang yang
luas bagi pembelajar untuk berpartisipasi efektif merupakan elemen andragogy
yang akan bermanfaat optimal jika diadopsi untuk diterapkan secara proporsional
pada model pembelajaran pedagogy.
Analisa penerapan elemen-elemen
penting pada pembelajar orang dewasa dalam kediklatan aparatur
Penelitian-penelitian pembelajaran
orang dewasa didasarkan pada asumsi-asumsi logis tentang pembelajar orang
dewasa dimana model andragogy didasarkan. Setidak-tidaknya terdapat enam asumsi
penting yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran orang dewasa.
1.
Orang
dewasa mempunyai kebutuhan untuk mengetahui mengapa mereka harus mempelajari
sesuatu.Tough (1967) menemukan bahwa orang dewasa rela mengguakan waktu dan
energi untuk meneropong apa keuntungan yang akan diperolehnya dalam
pembelajaran yang akan diikuti atau apa konsekwensi yang akan didapat jika
tidak melakukannya. Oleh karena itu, merupakan suatu diktum penting dalam
pembelajaran orang dewasa bahwa seorang pendidik orang dewasa harus membangun
“suatu kebutuhan untuk mengetahui” pada diri para pembelajar.(Knowles, 1999,
hal. 255). Pengamatan dan pengalaman penulis menunjukkan bahwa Kediklatan
aparatur cenderung mengabaikan hal penting ini. Hal ini tampak jelas bahwa
sebagain besar peserta diklat mengikuti suatu kegiatan diklat tanpa ditanya apa
kebutuhan mereka dalam meningkatkan kapasitasnya sebagai aparatur. Biasanya
tiba-tibas saja telah ada Surat Keputusan (SK) yang mengharuskan seorang
aparatur untuk mengikuti diklat tertentu tanpa kebutuhan mengetahui di atas.
Peserta juga cenderung mengabaikan elemen penting di atas, karena mungkin bagi
peserta yang lebih penting adalah uang duduk (transportasi) yang akan diperoleh
setelah dikalat dilaksanakan. Ini adalah salah satu kelemahan mendasar.
2.
Orang
dewasa memiliki suatu kebutuhan mendalam untuk mengarahkan dirinya sendiri.
Perspektif psikologigy menjelasakan bahwa orang dewasa adalah orang yang telah
memiliki konsep tanggung jawab diri tentang hidupnya dan segala konsekwensinya.
Oleh karena itu setiap orang dewasa menginginkan untuk ia diperlakukan oleh
sesamanya sebagai individu yang mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri,
hal ini yang biasanya disebut konsep diri (self-concept) (Knowles, 1999, hal.
255). Oleh karena itu adalah keliru, apabila suatu pelatihan merancang proses
pembelajaran yang memposisikan peserta pelatihan seperti seorang anak yang
belum memiliki konsep diri. Dengan demikian proses pembelajaran tidak boleh
menempatkan peserta pelatihan sebagai peserta yang harus duduk tenang dan siap
menerima materi pelatihan. Karena jika hal ini terjadi maka sejatinya
pembelajar orang dewasa berada pada posisi dilematis di mana secara psikologis
ia memiliki potensi mengarahkan dirinya sendiri sehingga ia harus indipenden,
namun model pembelajaran mengarahkan untuk menjadi pembelajar yang bergantung.
Sehingga tentunya ada sesuatu yang tidak beres apabila dalam proses
pembelajaran orang dewasa narasumber/pemateri memposisikan dirinya sebagai
seorang guru dan peserta pelatihan sebagai murid. Contohnya, dalam beberapa
pelatihan narasumber hanya memberi ceramah dan para peseta hanya mendengar dan
mencatat apa yang disampaikan.
3.
Orang
dewasa mempunyai suatu volume mutu pengalaman yang lebih besar dan berbeda
ketimbang orang muda. Pengalaman yang banyak dan bervariasi seiring dengan usia
pembelajar orang dewasa mempengaruhi pembelajaran dalam beberapa hal:
·
Orang
dewasa membawa pengalaman kedalam situasi pembelajaran sehingga tidak hanya dapat
berkontribusi positif pada pengetahuan, keterampilan, dan keahklian dalam
pembelajaran tetapi juga dapat memperkaya para peserta.
·
Orang
dewasa mempunyai kumpulan pengalaman dasar yang lebih luas yang dapat
dilekatkan/dimasukkan dengan ide-ide dan keterampilan baru dalam pembelajaran
yang dapat lebih memperkaya materi pembelajaran.
·
Adalah
lumrah dalam suatu kelompok pembelajaran orang dewasa dengan usia yang
bervariasi, memiliki pengalaman, minat, dan gaya belajar yang lebih
berbeda-beda pula ketimbang pembelajar non-dewasa.
·
Ada
potensi konsekwensi negative dari pengalaman yang dimiliki pembelajar dewasa
karena kadang mereka cenderung membangun kebiasaan, dan pola pikir sesuai
dengan pengalamannya, kurang terbuka pada gagasan-gagasan baru, dan cenderung resisten
pada perubahan (Knowles, 1999, hal. 256).
Merujuk pada poin di atas, tampak jelas bahwa pengalaman
memainkan peran yang penting dalam pembelajaran orang dewasa. Oleh karena itu
suatu pelatihan yang baik, perlu mengelolanya dengan baik. Artinya pengalaman
tidak dapat diabaikan, tetapi hendaknya dijadikan potensi untuk melekatkan
hal-hal baru dari perspektif konsep, teori, dan atau pengalaman/praktek terbaik
yang telah ada. Jika hal ini dilakukan maka pembelajar dewasa yang baik akan
kagum dan merasa ada sesuatu yang berguna yang diperolehnya. Akan tetapi, perlu
ada kewaspadaan karena, ada kecendrungan pembelajar dewasa untuk selalu
mempertahankan pengalaman yang sudah dimilikinya, dan memandang bahwa ide-ide
baru, dan hal diluar pengalamannya harus ditolak. Dalam kondisi ini diperlukan
seni untuk mengajak dan kemudian meyakinkannya bahwa ide-ide baru akan lebih
memperkaya pengalamannya, memperluas pengetahuannya, dan mempertajam
keahkliannya.
Untuk itu, dalam konsep pembelajaran orang dewasa yang baik,
perlu pula dilengkapi dengan peninjauan langsung pada instansi/institusi yang
telah mempraktekan hal-hal baru/terbaik yang bermuara pada keluaran/hasil yang
memenuhi dan memuaskan kebutuhan pelanggan/kliennya. Memperoleh praktek terbaik
dimaksud tidak harus dengan meninjau instansi/institusi yang jauh (di luar
daerah), karena akan membutuhkan dana publik yang tidak sedikit. Contohnya,
untuk melihat praktek terbaik perkantoran modern, peserta pelatihan dapat
berkunjung ke kantor Badan Pemeriksa Keuangan cabang Provinsi NTT; atau peserta
dapat pula berkunjung ke bank tertentu atau perusahaan swasta tertentu yang
telah mempraktekan konsep perkantoran modern dengan baik.
4.
Orang
dewasa siap untuk belajar ketika mereka mengalami dalam kondisi hidupnya suatu
kebutuhan untuk mengetahui atau mampu untuk melakukan sesuatu agar dapat
berkinerja secara lebih efektif dan memuaskan. Model pedagogi membangun asumsi
yang berbeda dengan hal ini. Model pedagogi beranggapan bahwa setiap orang
bersedia untuk belajar ketika diajar oleh figur-figur dengan otoritas mengajar
seperti guru, pelatih, bos/manager, mereka harus belajar karena hal itu baik
untuk atau karena tuntutan atasan. Orang dewasa mengalami ketidaknyamanan ketika
“diajar” karena mengganggu hakekat kedewasaannya, mereka memiliki kebutuhan
untuk mengarahkan dirinya sendiri, dan cenderung bereaksi dengan negatif,
kecewa, setengah hati, bahkan penolakan. Orang dewasa belajar secara optimal
ketika mereka memilih sendiri secara suka rela dalam berkomitmen untuk belajar
(Knowles, 1999, hal. 256). Menjalankan elemen ini pada arena organisasi publik
di NTT menunjukkan bahwa hal ini tidaklah mudah. Keberadaan organisasi sektor
publik kita yang belum memiliki penetapan kinerja bagi setiap aparatur
menyebabkan kekaburan dan kebingungan tentang apa sebenarnya kinerja yang ingin
dicapai. Pada saat yang sama akurasi data dan informasi kinerja yang dimiliki
oleh setiap organisasi sektor publik juga masih merupakan masalah yang
menghantui, namun dianggap biasa-biasa saja.
Elemen pada poin empat ini, juga
menjelaskan bahwa sejatinya terdapat motivasi luhur pada pembelajar orang
dewasa untuk selalu menampilkan hasil kerja yang maksimal. Secara personal jika
pencapaian mereka optimal maka ada kepuasan yang mereka alami. Tentunya hal ini
adalah sesuatu yang baik karena menggambarkan tidak adanya keterpaksaan dalam
bekerja dan berkarya. Pembelajaran pada Diklat kita harus senantiasa mendorong
hal dimaksud.
5.
Orang
dewasa masuk ke dalam suatu pengalaman pembelajaran dengan
berpusat/berorientasi pada tugas. Jika pada anak-anak dan pemuda tujuan
pembelajaran mereka adalah menyerap pengetahuan dari materi yang diberikan, dan
selanjutnya jika mereka dapat lulus dalam ujian maka tujuan pembelajaran telah
tercapai. Hal ini sangat berbeda dengan pembelajar dewasa di mana pembelajaran
yang dilakukan akan dirasakan bermakna jika dapat membantu menyelesaikan tugas
dan pekerjaannya (Knowles, 1999, hal. 256). Oleh karena itu adalah tepat, di
mana Pemerintah telah menetapkan ratusan jabatan fungsional yang dapat diduduki
oleh aparatur dengan pengetahuan dan keterampilan khusus. Dengan demikian maka
materi kediklatan yang tersedia dapat secara spesifik menjawab kebutuhan
pencapaian kinerja dari tugas yang dijalankan setiap aparatur pemerintah.
Contohnya, diklat arsiparis, perencanaan, keuangan, dan manajemen konflik, akan
membantu aparatur dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam penataan arsip
kantor, membuat perencanaan yang baik, dan mengelola konflik dengan tepat.
Dengan kata lain, jenis diklat yang disediakan tidak boleh terlalu umum, mengawang-awang,
dan tidak fokus dalam menjawab kebutuhan tugas aparatur.
6.
Orang
dewasa termotivasi untuk belajar melalui motivator intrinsik dan ekstrinsik.
Pembelajar dewasa termotivasi untuk belajar secara internal, muncul dari dalam
dirinya, tetapi juga dari dorongan dari luar dirinya. Oleh karena itu dapat
dikatakan, bahwa apabila kadar need to know (kebutuhan untuk
mengetahui) tinggi maka dorongan internalnya tinggi, sebaliknya jika kadar
dimaksud rendah maka motivasi internalnya rendah pula. Dalam konteks aparatur
kita, meskipun belum ada penelitian tentang tinggi rendahnya motivasi internal
untuk belajar, akan tetapi dapat diasumsikan bahwa dengan model dan substansi
tugas dan pekerjaannya yang lebih banyak bersifat rutin dan tumpul, menjalankan
tugas sebagaimana biasanya, miskin inovasi dan kreasi, menunjukkan bahwa
motivasi belajar aparatur secara umum rendah. Aparatur mengikuti kediklatan hanya
karena Surat Keputusan (SK) yang mengharuskan dan uang transportasi (duduk)
yang disiapkan panitia. Sementara itu, Pemerintah Daerah menjalankan kediklatan
mungkin agar tidak terlihat terbelakang dalam pengelolaan sumber daya manusia,
dan agar penyerapan anggaran pada program dan kegiatan kediklatan yang telah
ada dapat terealisasi sesuai dengan jadwal pegelolaan anggaran.
Secara eksentrik pembelajar orang
dewasa (baca: aparatur) termotivasi untuk mengikuti kegiatan pembelajaran
dengan baik dengan didorong oleh, hal-hal seperti, peningkatan gaji, promosi,
dan terciptanya kondisi kerja yang baik. Oleh karenanya prestasi pembelajaran
dalam kediklatan mesti berkorelasi positif dengan promosi aparatur. Contohnya,
aparatur yang masuk dalam sepuluh besar pada Diklat Pimpinan agar dipromosikan
dlam jabatan-jabatan yang tepat, bukan tim sukses atau mereka yang melakukan
pendekatan distruktif (koruptif) pada Kepala Daerah, keluarganya, dan atau
Baperjakat. Demikian pula halnya, seorang arsiparis, widyaiswara, dan pejabat
fungsional lainnya yang telah berhasil mengikuti suatu kediklatan dalam
bidangnya dengan baik, kemudian dapat mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilan yang telah diperoleh harus diberikan kenaikan gaji melalui
pengingkatan tunjangan kinerja.
Kesimpulan
Pengetahuan dan pemahaman yang tepat
tentang pembelajaran orang dewasa dalam Kediklatan aparatur adalah vital. Hal
ini perlu dimiliki tidak hanya dimiliki oleh pihak penyelenggara diklat, tetapi
juga para manager (pimpinan unit kerja) agar dapat berkolaborasi dalam
mengelola kediklatan yang berkualitas. Secara faktual, dapat dikatakan bahwa
pengetahuan dan pemahaman mengenai elemen-elemen andragogy pada kalangan di
atas masih rendah. Hal ini berbahaya
karena akan bermuara pada mutu keluaran pembelajaran diklat aparatur
yang rendah. Dengan kata lain semua sumber daya publik yang digunakan dalam
proses pembelajaran yang dimaksud tidak berfungsi secara optimal dalam mencapai
tujuan kediklatan. Seiring dengan itu diklat yang dijalankan juga tidak akan
secara siknifikan mendongkrak kinerja individu peserta diklat yang kemudian
akan berkontribusi bagi peningkatan kinerja di mana ia berada.
Pengetahuan dan pemahaman keenam
asumsi pembelajaran orang dewasa di atas dengan baik saja tentunya belum cukup.
Pengetahuan dimaksud mesti dibumikan dalam keseluruhan proses kediklatan
aparatur oleh semua pemangku kepentingan sehingga desired outcomes(hasil
yang diinginkan) dapat dicapai dengan baik. Namun hal ini tidaklah mudah karena
perlu ada iklim tertentu yang mendorong terselenggaranya pembelajaran orang
dewasa yang efektif dalam kediklatan aparatur pada semua level.
Daftar Pustaka
1. Cunningham, I., The Wisdom of
Strategic Learning, McGraw-Hill Book Company, London, 1994.
2. Knowels, Malcolm S., Self-Directed Learning: A Guide for Learners
and Teachers, Cambridge Book Co., New York 1975.
3. Knowels, Malcolm S., Andragogy in
Action, Jossey-Bass, San Fransisco, 1984.
4. Lindeman, Eduard C., The Meaning of Adult
Education, New Republic, New York, 1926.
5. Tough, Allen, Learning Withour Teachers,
Ontario Institute for Education, Toronto, 1979.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar