MENANTI KEADILAN
PERIMBANGAN KEUANGAN
Oleh : Johny C. M. Lapuisaly, SE, MM
(Widyaiswara Muda BP4D Provinsi NTT)
Implementasi
otonomi daerah secara simple dapat diidentikan dengan desentralisasi, adapun desentralisasi
diartikan sebagai pelimpahan kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah yang ada di wilayahnya. Pembagian urusan tersebut, biasanya menggunakan
konsep money follows function. Money follows function
mengacu
pada pembuatan perencanaan yang mementingkan efek yang diinginkan. Apa yang
dianggap efektif maka biayanya akan
dicari.
Hal
ini melahirkan dua pemahaman dalam keuangan daerah dan pusat.
Pertama, perlu adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah karena merupakan upaya mencari perimbangan akibat fungsi dan wewenang yang diemban daerah dengan sumber keuangan yang dimiliki. Pemahaman kedua tercermin dengan adanya implementasi hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Pertama, perlu adanya perimbangan keuangan pusat dan daerah karena merupakan upaya mencari perimbangan akibat fungsi dan wewenang yang diemban daerah dengan sumber keuangan yang dimiliki. Pemahaman kedua tercermin dengan adanya implementasi hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah.
Dalam perimbangan keuangan, hubungan keuangan pusat
dan daerah merupakan sebuah konsekuensi dari sebuah Negara. Negara membagi
wilayahnya menjadi unit-unit yang lebih kecil sehingga kekuasaan utama berada
pada pemerintah pusat. Jika kita membandingkan dengan perimbangan pada negara
federal, konsep hubungan menjadikan daerah justru belum memiliki kewenangan
sampai kewenangan itu terdesentralisasi. Kewenangan pemungutan pajak oleh
daerah dapat dikatakan kuasa dari pemerintah pusat. Begitu pula penyelenggaraan
administrasi lainnya. Sehingga konsep hubungan tersebut, banyak dipraktekkan
oleh negara kesatuan. Lalu berdasarkan deskripsi di atas, apakah benar bahwa
konsep hubungan keuangan yang selama ini diselenggarakan di Indonesia? Dan
apakah konsep yang diterapkan telah memberikan keadilan bagi perimbangan
keuangan pemerintahan daerah ?
Kesempatan
Ciptakan Kesenjangan
Semangat
otonomi daerah yang melahirkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. UU ini didukung pula dengan membuat Undang-Undang Nomor 25
Tahun 1999, diubah dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, namun ketimpangan
pembagian hasil untuk daerah belum memadai kalau dilihat dari hasil serta
potensi yang dimiliki oleh daerah yang bersangkutan (ditinjau dari hasil alam
yang dimiliki).
Contoh;
Sektor kehutanan pada pasal 14 huruf a UU No. 33 Tahun 2004 memberikan sedikit
angin segar bagi daerah, yakni dengan pembagian 80 persen untuk daerah dari
penerimaan Iuran Hak Pengusahaan Hutan (IHPH) dan provinsi dari Sumber Daya
Hutan (PSDH). Sedangkan penerimaan dari Dana Reboisasi, yang diatur dalam pasal
14 huruf b, daerah hanya mendapatkan 40 persen saja.
Pembagian
hasil ini sungguh amat jauh berbeda dengan dana bagi hasil untuk Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan bagi
hasil untuk Pajak Penghasilan (PPh). Untuk PBB dan BPHTB pemerintah daerah
mendapatkan bagian bagian yang cukup besar dari pajak tersebut, yakni 90 persen
untuk penerimaan dari PBB dan 80 persen BPHTB. Sedangkan untuk PPh pemerintah
daerah hanya mendapat 20 persen.
Adanya
pembedaan bagi hasil antara sumber penghasilan yang satu dengan sumber
penghasilan yang lain memberikan kesempatan menciptakan kesenjangan yang
berakibat ketimpangan penerimaan daerah.
Sebab sumber pendapatan sektor PBB atau BPHTB belum bisa dimaksimalkan dengan
alasan SDM dan masih minimnya pemahaman masyarakat dalam membayar pajak, maka
secara otomatis kebijakan ini akan menguntungkan daerah yang sudah tertib
administrasi pertanahannya dan lebih menguntungkan daerah yang penduduknya
padat seperti di Jakarta dan pulau Jawa, sedangkan daerah luar Jawa, belum bisa
memaksimalkan potensi penerimaan dari sektor ini.
Perimbangan Keuangan Sesungguhnya
Sebelum
menjelaskan tentang perimbangan keuangan, terlebih dahulu mengetahui apa itu
desentralisasi. Menurut Jimly Asshiddiqie, dalam desentralisasi unit pemerintah
daerah dipandang sebagai wakil dari pemerintah pusat, sehingga oleh sebab itu,
unit-unit kantor wilayah dibutuhkan sebagai perpanjagan tangan menteri yang
memimpin departemen pemerintahan. Sementara itu, dalam sistem desentralisasi,
tugas-tugas pemerintahan yang terkait dengan urusan tertentu dianggap telah
sepenuhnya didelegasikan pelaksanaannya kepada pemerintah daerah, yang oleh karena
itu memiliki kewenangan untuk mengurus hal itu sebagai urusan rumah tangganya sendiri.
Perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya adalah suatu sistem
pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah
secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian
kewenangan serta tata cars penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk
pengelolaan dan pengawasan keuangan.
Hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah ini ditandai dengan adanya dana
perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari pemerintah pusat yang dialokasikan
kepada pemerintah daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi, yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK)
dan Dana Bagi Hasil (DBH) dari penerimaan pajak dan SDA.
The
Liang Gie, desentralisasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat
kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap
kepentingan demi sekelompok penduduk yang mendiami suatu wilayah.
Menurut
Mahmudi (2008) Secara garis besar
perimbangan keuangan pusat dan daerah dilakukan dengan beberapa tujuan. Pertama, pembelanjaan daerah untuk melayani masyarakatnya. Kedua, mendorong upaya oleh pemerintah daerah untuk menjalankan program-program
pembangunan yang disesuaikan dengan kebijaksanaan nasional. Ketiga, merangsang perumbuhan ekonomi daerah, baik untuk membantu pertumbuhan maupun
untuk mengurangi ketimpangan antar wilayah. Keempat, mengendalikan
pengeluaran regional, Kelima, memantapkan standar pelayanan atau pembangunan yang lebih adil. Keenam, mengembangkan wilayah-wilayah yang kapasitas fiskalnya rendah, dan Ketujuh adalah untuk membantu
wilayah dalam mengatasi keadaan-keadaan darurat.
Transfer
dana dari pusat ke daerah seyogyanya memperhatikan beberapa hal penting, agar
kebijakan ini tepat guna dan dapat bermanfaat bagi pemerintah pusat dan
khususnya bagi daerah itu sendiri. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah
penerimaan yang memadai bagi daerah dalam rangka menjalankan fungsi
pemerintahannya.
Prinsip Keberadilan
Saya
lebih memfokuskan penulisan tentang keadilan dalam perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan pemerintahan daerah. Konsepsi tentang keadilan memang
sangat luas, dan sangat tidak terbatas. Aristoteles
lebih dari 2.000 tahun lalu menyatakan keadilan itu ialah apabila masing-masing
mendapatkan apa yang memang berhak ia dapatkan. Selanjutnya Aristoteles mengatakan,
bahwa orang yang adil adalah orang yang tidak mengambil lebih banyak dari
bagiannya. Sebaliknya, orang yang tidak adil adalah orang yang mengambil lebih
banyak dari pada haknya. Persolan yang muncul kemudian adalah bagaimana menentukan
bagian atau hak dari masing-masing pihak tersebut, menentukan standart keadilan
tersebut. Apakah bertolak belakang dari kebutuhan masing-masing individu atau
berdasarkan apa yang telah ia lakukan atau yang ia capai, mungkin juga
berdasarkan potensi yang dimiliki.
Dana
Bagi Hasil yang diterapkan di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan, yakni
belum adil dan terkesan masih diskriminasi, khususnya pada pertambangan minyak
dan gas, emas dan batubara. Ketidakadilan ini bisa dilihat dari sedikitnya
hasil yang harus diterima oleh daerah sebagai tempat di mana hasil tambang itu
berada, padahal daerah tersebut juga yang nantinya akan menerima segala resiko
misalkan kerusakan lingkungan akibat pertambangan.
Sudah
selayaknya pemerintah yang mempunyai tujuan mensejahterakan masyarakat sampai
pelosok tanah air, betul-betul diwujudnyatakan dan bukan slogan semata, harus mereview
kembali prosentase perimbangan keuangan pusat dan daerah khususnya besaran
pertambangan bagi pemerintah pusat sudah selayaknya 30-40 %, mengingat yang
memiliki kekayaan pertambangan adalah daerah yang bersangkutan apalagi dampak
dari eksploitasi dan eksplorasi tambang sangat dirasakan oleh masyarakat pada
daerah tambang tersebut, oleh karenanya prosentase keuangan 60-70 % pantas dan sangat
layak diperoleh daerah pemilik tambang tersebut.. Semoga.
PENUTUP
Perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah sesungguhnya adalah suatu sistem
pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang mencakup pembagian
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta pemerataan antar daerah
secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan
potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah, sejalan dengan kewajiban dan pembagian
kewenangan serta tata cars penyelenggaraan kewenangan tersebut, termasuk
pengelolaan dan pengawasan keuangan.
Perimbangan
keuangan antara pemerintah pusat dan daerah selama ini masih dianggap sebagai pemerasan
pusat terhadap daerah, di mana daerah yang kaya sumber daya alam belum bisa menikmati
secara maksimal hasil alam yang ada di daerahnya. Realita ini perlu diubah,
agar keutuhan Negara Indonesia tetap terjaga dan terciptanya suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat (daerah) Indonesia, bukan keadilan yang
terkonsentrasi pada elit penguasa saja, keadilan yang mensejahterakan beberapa
golongan saja, atau kesejahteraan yang semu yang hanya menjadi janji manis para
elit agar rakyat daerah tetap loyal pada NKRI padahal kebijakan untuk kesejahteraan
rakyat di daerah tersebut hanya utopia dan janji semu belaka.
Upaya
untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia harus menjadi suatu
tujuan bersama seluruh element bangsa, sekat-sekat primordial atau perasaan
superioritas atas pihak lain mutlak dihilangkan. Berikan kesempatan yang lebih
luas dan sama kepada setiap daerah dalam mengelola sumber keuangannya..
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi, Jakarta : Bhuana Ilmu Populer, 2007;
Mahmudi Ahmad, Pengelolaan Keuangan Daerah, Jakarta, 2008
Undang-undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan pemerintah pusat dan Pemerintahan daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar