(Refleksi Filosofis dari Sisi Tilik Etika Keutamaan)
oleh:
(Emanuel Sirade, S. Fil)
Widyaiswara Badan Diklat Provinsi NTT
Nilai-nilai
dan norma-norma yang berlaku dalam suatu organisasi, selalu diarahkan untuk mengatur
perilaku anggota organisasi demi tercapainya tujuan organisasi tersebut dan
kebaikan bersama para anggotanya. Setiap pribadi atau anggota organisasi dalam
kesatuannya dengan organisasinya wajib mentaati nilai-nilai dan norma-norma
yang berlaku dalam organisasinya tersebut. Orang yang melaksanakan prinsip dan
norma-norma itu akan dinilai sebagai pribadi yang baik oleh pimpinan dan
anggota organisasi yang bersangkutan. Demikian pula sebaliknya, pimpinan dan
anggorta organisasinya menilainya sebagai buruk jika ada segelintir ataupun
secara pribadi sebagian anggota organisasi tidak mematuhi nilai-nilai dan
norma-norma yang menjadi pegangan bagi prilaku organisasi tersebut.
Pemerintah sebagai
sebuah organisasi sektor publik, memiliki sejumlah nilai dan norma yang
dituangkan dalam seperangkat aturan dan kode etik untuk mengatur prilaku para
aparatur pemerintah yang lazim disebut Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam
pelaksanaan tugas dan tanggung jawab kedinasannya. Salah satu produk aturan
yang mengatur sikap dan prilaku para PNS itu adalah Kode Etik PNS. Sebagaimana
organisasi yang lain, penilaian terhadap prilaku para pegawai negeri pun tidak
luput dari kewajibannya melaksanakan atau mengimplementasikan setiap butir Kode
Etik PNS tersebut dalam kesehariannya di tempat tugas dan dilingkungan
bermasyarakat. Seorang pegawai disebut atau dinilai baik hanya jika ia selalu
patuh dan taat pada nilai-nilai yang tertuang dalam kode etik profesinya dan
sebaliknya disebut pegawai yang buruk atau tidak beretika jika melanggar
nilai-nilai dan norma-norma sebagaimana yang digariskan dalam kode etik
tersebut. Jadi penilaian terhadap perilaku seorang pegawai negeri lebih
bertolak dari kelakuannya sejauh yang dapat dilihat atau dari hasil
perbuatannya.
Sebagai yang
mengatur sikap dan perilaku serta untuk menjaga martabat kehormatan PNS, Kode
Etik PNS wajib untuk ditaati dan diimplementasikan. Namun demikian kewajiban
untuk melaksanakan dan mengimplementasikannya perlu didukung juga oleh sikap
dan prilaku PNS itu sendiri untuk menginternalisasikan nilai-nilai itu dalam
pelaksanaan tugasnya sehari-hari tanpa berbatas waktu dan tempat. Kode etik itu
tidak sekedar mewajibkan tetapi juga menuntut suatu kesadaran diri dari para
aparatur birokrasi itu sendiri untuk mengimplementasikannya. Perilaku para aparatur didalam
memberikan pelayanan publik kepada masyarakat merupakan cerminan dari internalisasi
nilai-nilai kode etik profesi ke-PNS-annya. Jika pelayanan diberikan dengan baik
dan memuaskan, maka para PNS yang memberi layanan dan citra lembaganya baik,
sebaliknya jika buruk dan tidak memuaskan maka para aparatur yang memberi
layanan dan citra lembaganya dinilai buruk oleh masayarakat.
Harus diakui bahwa
masih sering dijumpai perilaku sejumlah aparatur birokrasi yang menyimpang dari
nilai-nilai kode etik PNS. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pegawai negeri
yang tersandung kasus korupsi, tidak jujur, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab
dan terlibat konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya. Perilaku
dalam pelayanan publik masih sering dikeluhkan oleh masyarakat seperti tidak sopan
atau tidak ramah, tidak transparan, sering bersikap pamrih dan berburu rente
dalam pelayanan. Bahkan juga meninggalkan tugas pelayanan dan lebih banyak
menghabiskan waktu untuk tugas-tugas lain (tugas pribadi) diluar tugas
pelayanan. Singkat kata masih dijumpai perilaku aparatur birokrasi yang tidak
sejalan dengan harapan atau maksud diterapkannya kode etik profesi PNS sehingga
memunculkan berbagai keluhan masyarakat terhadap kinerja aparatur birokrasi dan
profesi PNS itu sendiri.
Pertanyaannya adalah mengapa hal ini
dapat terjadi? Apakah ada yang salah dari sikap dan perilaku penyimpangan kode
etik PNS itu? Hemat penulis, kode etik yang menjadi patokan berperilaku bagi
para PNS belum sepenuhnya diinternalisir atau belum sepenuhnya menjadi milik
dirinnya. Para PNS belum memiliki suatu sikap dasar atau watak moral yang kuat
untuk melaksanakan nilai-nilai kode etik dalam pelaksanaan tugas dan tanggung
–jawabnya. Pelaksanaan Kode Etik PNS tidak dipandang melulu sebagai suatu
kewajiban karena penekanan yang berlebihan pada aturan-aturan dapat melahirkan
sikap minimalis dalam penerapan kode etik. Satu hal penting selain penekanan
pada kewajiban mematuhi dan melaksanakan adalah soal sikap dasar atau watak moral
dari para PNS itu sendiri, apakah ia sendiri baik atau buruk ketika
melaksanakan nilai-nilai kode etik PNS. Dalam sejarah panjang etika, sikap
dasar atau watak moral yang dimaksud adalah Keutamaan.
Mengapa
keutamaan etis?
Sebagai pribadi, setiap
aparatur Birokrasi semestinya memiliki sikap dasar yang kuat untuk melaksanakan
nilai-nilai kode etik tersebut. Sikap dasar yang kuat untuk selalu mengarahkan
dia untuk berbuat atau melaksanakan nilai-nilai kode etik itu demi suatu
kebaikan dalam pelayanan dan citra diri PNS sebagai pelayan masyarakat. Dalam
bahasa sehari-hari, keutamaan dipakai untuk menunjukkan keunggulan,
keistimewaan, yang terpenting, (terbaik, unggul). Dalam ranah etika, keutamaan
adalah suatu suatu sifat watak yang cenderung tetap atau sifat watak yang
ditadai stabilitas. Karena itu sikap atau sifat watak yang berubah-ubah bukan
merupakan keutamaan. Keutaman adalah suatu watak tetap yang mendorong seseorang
untuk berlaku baik secara tetap dan konsisten. Aristoteles sebagai penggagas
dasarnya, menyebutnya sebagai kecenderungan ke arah yang baik. Karena itu
memiliki suatu keutamaan berarti orang itu dengan sendirinya condong untuk
berbuat baik (keutamaan berkaitan erat dengan kehendak - mengarahkan kehendak
bebas manusia untuk cenderung ke arah yang baik dan berprilaku secara baik). Orang
berkeutamaan adalah orang sudah biasa bertindak secara tepat. Dengan adanya
keutamaan manusia sendiri menjadi baik dan manusia dapat sekaligus bertindak
dengan baik juga. Seorang PNS yang memiliki keutamaan akan senantiasa terbiasa
untuk melakukan kebaikan-kebaikan, melaksanakan nilai-nilai kode etik sebagai
suatu kebiasaan yang senantiasa berulang dan menjadi milik dirinya. Bukan
karena paksaan kewajiban tetapi sudah merupakan milik dirinya menjadi bagia dari
sifat wataknya untuk bersikap jujur, ramah, sopan, rendah hati dan bertanggung
jawab dalam tugas pelayanannya.
Keutamaan etis itu bukan
seperti sebuah keahlian atau keterampilan yang dimiliki tetapi diperoleh
melalui sebuah pembiasaan diri untuk sanantiasa melakukan kebaikan. Ia
terbentuk melalui suatu proses panjang pembiasaan dan latihan yang panjang.
Melalui kebiasaan yang terus menerus untuk melaksanakan nilai-nilai kode etik
serta melalui koreksi panjang atas perbuatan-perbuatannya yang keliru, seorang PNS dapat memiliki
keutamaan etis itu; keutamaan yang mendasarinya untuk bertindak sesuai
nilai-nilai kode etik PNS.
Keutamaan etis
penting sebagai landasan pelaksanaan kode etik PNS karena dua pertimbangan
berikut : Pertama, dalam bidang etis
moral, usaha untuk mengikuti prinsip dan nilai-nilai yang tertuang dalam kode
etik PNS kurang efisien kalau tidak disertai suatu sikap tetap manusia untuk
hidup menurut tuntutan kode etik tersebut. Akan sangat tidak praktis jika
seorang PNS mengukur perbuatannya dengan prinsip-prinsip kode etik. Akan jauh
lebih efisien jika tingkah lakunya diarahkan oleh keutamaan yang melekat pada
batinnya, seperti kesetiaan dan ketekunan kerja maupun keberaniannya untuk.
Memiliki keutamaan berarti memiliki keberanian moral untuk menolak segala jenis
suap dan gratifikasi yang sering ada dalam pelaksanaan tugas. Memiliki
keutamaan mengarahkan seorang PNS untuk senantiasa berdedikasi dan
menghindarinya dari segala macam benturan kepentingan dalam pelayanan.
Kedua, jika para aparatur
lebih mentaati prinsip-prinsip atau aturan-aturan yangberlaku, ia belum tentu
menjadi pribadi yang sungguh-sungguh baik secara moral. Benar bahwa berpegang
pada norma moral yang tertuang dalam kode etik itu merupakan syarat mutlak bagi
perilaku yang baik, tetapi membatasi diri pada norma saja belum cukup untuk
disebut sebagai seorang PNS yang baik dalam arti sepenuhnya. Hal ini terjadi
karena kepatuhan pada prinsip-prinisp
atau nilai-nilai sering membungkusi sikap munafik atau ketidakotentikan diri
(palsu) para aparatur. Kepatuhan hanya sekedar kulit luar membungkus sikap diri
yang buruk secara moral dalam arti luas. Ia dapat saja dilihat baik, namun
secara diam-diam menyalahgunakan wewenang yang ada padanya untuk memperkaya
diri, menukarkan wewenang dan tanggungjawabnya untuk memperoleh rente ketimbang
ketulusan dan pengabdian yang sebenarnya dituntut dari jabatan atau
kedudukannya sebagai abdi negara dan masyarakat. Ibarat pohon yang baik akan
menghasilkan buah yang baik, keutamaan membuat seseorang PNS menjadi baik dan
sekaligus akan pasti melakukan perbuatan-perbuatan yang baik sebagaimana maksud
atau tujuan dari kode etik itu sendiri.
Memang membentuk
perilaku PNS yang baik bukan suatu yang gampang. Ada jalan panjang yang terus
dilalui dengan tidak sekedar memberlakukan kode etik dan sanksi-sanksi bagi
para pelanggarnya. Kode etik merupakan patokan dan keutamaan etis ada sebagai
landasan tempat dimana patokan itu dilekatkan. Jadi selain kode etik,
diperlukan juga sikap dasar atau watak moral yang kuat yakni keutamaan sebagai
landasannya. Aturan dan norma-norma saja tidak cukup. Perlu juga sikap dan
watak moral yang kuat dari para aparatur birokrasi yang diperoleh dari
pembiasaan diri untuk berlaku baik - melaksanakan nilai-nilai kode etik itu
secara terus-menerus, sehingga pada akhirnya nilai-nilai yang ada dalam kode
etik dan keutamaan itu menjadi milik dirinya..
Refernsi :
Bertens, K., Etika, Jakarta : Gramedia, 2011.
Magnis-Suseno, Frans, Etika Dasar, Yogyakarta : Kanisius, 1998.
--------------, 13 Model Pendekatan Etika, Yogyakarta : Kanisius, 1998.
Kumorotomo,Wahyudi, Etika Administrasi Negara, Jakarta :
Rajawali Pers, 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar