KONSEP
PENGEMBANGAN DESA TABLOLONG KECAMATAN KUPANG BARAT BERDASARKAN POTENSI WILAYAH
Baswara Anindita
bazwara@gmail.com
Abstrak
Desa Tablolong adalah desa pesisir dengan luas wilayah 9,01 Km2, jumlah penduduk adalah 1195 jiwa yang terdiri dari perempuan 575 jiwa dan laki-laki 620 jiwa. Kepadatan penduduk di Desa Tablolong adalah 133 jiwa/km2, dengan jumlah kepala keluarga (KK) sejumlah 283 KK. Komoditi unggulan Desa Tablolong adalah rumput laut, jenis rumput laut yang dikembangkan penduduk adalah Eucheuma Cotonii (Katoni) dan Eucheuma Spinosum (SP), dengan tingkat produksi kotoni pada tahun 2007 adalah 500 ton dan tahun 2008 480 ton, namun semenjak bocornya kilang minyak mokantara Australia pada tahun 2009 kemampuan produksi menurun tercatat pada tahun 2014 hanya sejumlah 289 ton menurun 45% akibat efek pencemaran Laut Timor dari kilang Mokantara. Potensi wilayah yang dapat dikembangkan adalah wisata pantai, wisata alam, wisata budaya, wisata pemancingan, wisata kuliner dan industri kreatif. Walaupun kondisi eksisting saat ini untuk infrastruktur dasar pendukung pariwisata dalam keadaan minim,rusak/hancur namun dapat dilakukan pengembangan dan perbaikan. Saat ini sudah ada homestay dan Hotel yang telah dibangun walaupun masih diliputi permasalahan. Konsep pengembangan yang cocok bagi Desa Tablolong adalah dengan menggunakan pendekatan tata ruang yaitu water front dan pendekatan pariwisata yaitu eco tourism, dimana gagasannya adalah menjadikan laut sebagai beranda depan dan menetapkan Desa Tablolong sebagai Desa Wisata. Konsep pengembangan wilayah yang dilakukan dapat dilakukan secara bersamaan antara pendekatan dari bawah dimana aspirasi masyarakat menjadi pendorong utama dan konsep pengembangan wilayah dari atas dimana pemerintah sebagai faktor kunci penggerak pembangunan. Pendekatan ini dikenal dengan Sistem Top Down dan Bottom Up dimana konsep pertumbuhan kutub, integrasi fungsional-spasial dan desentralisasi teretorial sangat mungkin dikembangkan.
Desa Tablolong adalah desa pesisir dengan luas wilayah 9,01 Km2, jumlah penduduk adalah 1195 jiwa yang terdiri dari perempuan 575 jiwa dan laki-laki 620 jiwa. Kepadatan penduduk di Desa Tablolong adalah 133 jiwa/km2, dengan jumlah kepala keluarga (KK) sejumlah 283 KK. Komoditi unggulan Desa Tablolong adalah rumput laut, jenis rumput laut yang dikembangkan penduduk adalah Eucheuma Cotonii (Katoni) dan Eucheuma Spinosum (SP), dengan tingkat produksi kotoni pada tahun 2007 adalah 500 ton dan tahun 2008 480 ton, namun semenjak bocornya kilang minyak mokantara Australia pada tahun 2009 kemampuan produksi menurun tercatat pada tahun 2014 hanya sejumlah 289 ton menurun 45% akibat efek pencemaran Laut Timor dari kilang Mokantara. Potensi wilayah yang dapat dikembangkan adalah wisata pantai, wisata alam, wisata budaya, wisata pemancingan, wisata kuliner dan industri kreatif. Walaupun kondisi eksisting saat ini untuk infrastruktur dasar pendukung pariwisata dalam keadaan minim,rusak/hancur namun dapat dilakukan pengembangan dan perbaikan. Saat ini sudah ada homestay dan Hotel yang telah dibangun walaupun masih diliputi permasalahan. Konsep pengembangan yang cocok bagi Desa Tablolong adalah dengan menggunakan pendekatan tata ruang yaitu water front dan pendekatan pariwisata yaitu eco tourism, dimana gagasannya adalah menjadikan laut sebagai beranda depan dan menetapkan Desa Tablolong sebagai Desa Wisata. Konsep pengembangan wilayah yang dilakukan dapat dilakukan secara bersamaan antara pendekatan dari bawah dimana aspirasi masyarakat menjadi pendorong utama dan konsep pengembangan wilayah dari atas dimana pemerintah sebagai faktor kunci penggerak pembangunan. Pendekatan ini dikenal dengan Sistem Top Down dan Bottom Up dimana konsep pertumbuhan kutub, integrasi fungsional-spasial dan desentralisasi teretorial sangat mungkin dikembangkan.
I.
Pendahuluan
1.1
Latar
Belakang
Definisi pembangunan ekonomi secara umum
adalah proses dimana pendapatan perkapita suatu negara/wilayah meningkat dalam
kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup
dibawah garis kemiskinan absolut tidak meningkat dan distribusi pendapatan
tidak semakin timpang.
Dalam pembangunan ekonomi, peningkatan
pendapatan sebagai hasil dari proses pembangunan belum dirasakan secara merata
oleh seluruh masyarakat. Keadaan ini disebut sebagai adanya masalah dalam
pembangunan. Tiga masalah utama pembangunan ekonomi adalah pengangguran,
kemiskinan, dan kesenjangan, baik kesenjangan antargolongan penduduk, antar
sektor, maupun antar daerah. Ketiga masalah tersebut saling berkaitan.
Kebijaksanaan pembangunan yang
sistematis diperlukan untuk memperkecil kesenjangan. Berdasarkan pengalaman
empiris, strategi pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan
terbukti tidak mampu memecahkan masalah justru sebaliknya acapkali mempertajam
kesenjangan, keterbelakangan, dan ketertinggalan.
Kesenjangan atau disparitas pembangunan marak
terjadi di berbagai negara bahkan di Indonesia sekalipun. Kesenjangan
pembangunan di Indonesia sangat dirasakan terutama adanya pembagian wilayah
barat dan timur Indonesia. Wilayah barat sangat maju sedangkan wilayah timur
masih banyaj yang tertinggal.
Sejalan dengan hal tersebut di Provinsi
NTT khususnya di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang yang merupakan wilayah
terdekat dengan Provinsi juga mengalami kesenjangan pembangunan. Dengan laju
pertumbuhan Kota Kupang sebagai ibukota Provinsi ternyata setelah 57 tahun sejak
Provinsi NTT terbentuk masih nampak nyata kesenjangan antara wilayah Kota
Kupang dan wilayah hinterlandnya dalamhal ini Kabupaten Kupang.
Untuk melihat sejauh mana kesenjangan
yang terjadi dan potensi serta konsep pengembangan wilayah hinterland maka
observasi dilakukan di Desa Tablolong sebgai kawasan hinterland Kota Kupang.
1.2
Perumusan
Masalah
Laju pertumbuhan Kota Kupang yang
meningkat pesat tidak signifikan dengan laju pertumbuhan daerah hinterland nya. Salah satu daerah hinterland Kota Kupang adalah Kecamatan
Kupang Barat Kabupaten Kupang yang didalamnya termasuk Desa Tablolong. Walaupun
dari segi potensi wilayah Desa Tablolong memiliki keunggulan yang mampu
mendorong pertumbuhan wilayah secara cepat namun hingga saat ini, potensi
tersebut belum mampu menjadikan Desa Tablolong sebagai Desa yang maju dan
mandiri. Berdasarkan uraian pada latar belakang maka perumusan masalah pada
penelitian ini adalah :
a. Potensi-potensi apa saja yang
dimiliki Desa Tablolong?
b. Bagaimana konsep pengembangan
wilayah Desa Tablolong ke depan berdasarkan potensi wilayah yang ada?
1.3
Tujuan
Penelitian
Tujuan penelitian ini
adalah :
a. Untuk
mengetahui potensi-potensi yang berada/dimiliki oleh Desa Tablolong Kecamatan
Kupang Barat.
b. Mendesain
konsep pengembangan wilayah Desa Tablolong ke depan berdasarkan potensi wilayah
yang ada.
II.
Kajian
Pustaka dan Metodologi
2.1 Kajian Pustaka
Dalam
proses pembangunan ketimpangan pembangunan dapat saja terjadi. Ketimpangan yang
terjadi tidak hanya terhadap distribusi pendapatan masyarakat, akan tetapi juga
terjadi terhadap pembangunan antar daerah di dalam wilayah suatu negara.
Jeffrey G.
Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat
pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan
yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan,
disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkosentrasi di
daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang”, dilihat dari
pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antardaerah dan disparitas
berkurang dengan signifikan.
Williamson menggunakan Williamson Index (Indeks
Williamson) untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Indeks
Williamson menggunakan PDRB per kapita sebagai data dasar. Alasannya jelas
bahwa yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah bukan
tingkat Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di pedesaan umumnya
masih jauh tertinggal dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Urban
Rural Income Disparities (Ketimpangan pembangunan/pendapatan antara wilayah
perkotaan dengan wilayah pedesaan), terjadi karena pembangunan yang lebih
terfokus pada wilayah perkotaan dibandingkan dengan pembangunan wilayah
pedesaan.
Hal
ini terlihat dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, dimana
investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah (infrastruktur dan kelembagaan)
cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, kegiatan ekonomi di
wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi yang
dikembangkan di wilayah pedesaan. Akibatnya peran kota yang diharapkan dapat
mendorong perkembangan pedesaan (trickling down effects), justru
memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan (backwash effects).
Faktor
internal pedesaan seperti sebaran spasial penduduk pedesaan yang
terpencar-pencar dan minimnya kesempatan kerja, juga menghambat perkembangan
wilayah pedesaan. Sebaran spasial penduduk pedesaan yang terpencar-pencar
menyebabkan mahalnya biaya penyediaan barang dan jasa publik secara efektif
untuk masyarakat pedesaan. Relatif melimpahnya jumlah tenaga kerja yang tanpa
disertai ketersediaan kesempatan kerja dibandingkan dengan kawasan
non-pedesaan, menjadikan masyarakat pedesaan tidak produktif.
Proses
akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, ketimpangan
tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan
pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan (Riadi, 2007 :
2). Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan
kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi
suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu, ketimpangan/kesenjangan antar
daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap
perubahan dalam pembangunan itu sendiri.
Menurut
Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan
akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi
pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan
daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku
yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat
bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad, 1999
dalam Pakpahan, 2009 : 26).
Adapun faktor-faktor penyebab ketimpangan
pembangunan antar wilayah (Manik, 2009 : 23) yaitu :
·
Perbedaan kandungan sumber daya alam
·
Perbedaan Kondisi Demografi
·
Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan
Jasa
·
Perbedaan Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Daerah
·
Alokasi Dana Pembangunan Antar Daerah
Ketimpangan pembangunan telah memberikan berbagai
dampak terhadap daerah dan masyarakat. Adapun yang menjadi dampak dari
ketimpangan tersebut (www.bappenas.go.id) adalah:
·
Banyak Wilayah-Wilayah yang Masih
Tertinggal Dalam Pembangunan
·
Belum Berkembangnya Wilayah-Wilayah
Strategis dan Cepat Tumbuh
·
Wilayah Perbatasan dan Terpencil
Kondisinya Masih Terbelakang
·
Kesenjangan Pembangunan Antara Kota dan
Desa
·
Pengangguran, Kemiskinan dan Rendahnya
Kualitas Sumber Daya Manusia
Untuk menyelesaikan permasalahan
ketimbangan pembangunan maka daerah hinterland atau daerah belakang perlu
dikembangkan. Khusus untuk daerah hinterland pesisir pantai beberapa gagasan
konsep pembangunan dapat diterapkan.
Berdasarkan jenis pengembangan
pesisir, waterfront dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu konservasi,
pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan (development).
a.
Konservasi adalah penataan
waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya
agar tetap dinikmati masyarakat.
b.
Preservasi adalah waterfront yang harus dilestarikan, dilindungi,
dipelihara dan dipugar sesuai dengan bentuk aslinya tetapi tetap disesuaikan
dengan perkembangan kebutuhan fungsionalnya karena merupakan kawasan atau
mengandung bangunan dan/atau bangun-bangunan yang mempunyai nilai sejarah,
nilai seni dan budaya serta nilai arsitektur.
c.
Redevelopment adalah upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama
yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan
mengubah atau membangun kembali fasilitasfasilitas yang ada.
d.
Development adalah usaha menciptakan waterfront yang memenuhi
kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai
Kriteria umum penataan dan pendesainan
waterfront adalah :
· Berlokasi dan berada di tepi suatu wilayah perairan yang besar
(laut,danau, sungai, dan sebagainya).
· Biasanya merupakan area pelabuhan,perdagangan, permukiman, dan
pariwisata.
· Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi,
permukiman, industri, atau pelabuhan.
· Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan.
· Pembangunannya dilakukan ke arah vertikal horisontal.
Dalam perencanaan waterfront ada
beberapa aspek yang perlu diperhatian, yaitu aspek arsitektural, aspek
keteknikan, dan aspek sosial budaya.
a. Aspek arsitektural berkaitan dengan pembentukan citra
(image) dari kawasan waterfront dan bagaimana menciptakan kawasan
waterfront yang memenuhi nilai-nilai estetika.
b. Aspek keteknikan berkaitan terutama dalam perencanaan
struktur dan teknologi konstruksi yang dapat mengatasi kendala-kendala dalam
mewujudkan rancangan waterfront, seperti stabilisasi perairan, korosi,
erosi,kondisi alam setempat; perencanaan infrastruktur yang berkaitan dengan
drainase, transportasi dan sebagainya.
c. Aspek sosial budaya bertujuan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan waterfront
tersebut.
d. Aspek Peraturan berkaitan dengan tata aturan tentang
pemanfaatan ruang dan pelestarian lingkungn tepi air.
Penataan kawasan waterfront
di Desa Tablolong dapat dibagi menjadi beberapa zona yaitu:
a. Zona perumahan
Fungsi
utama sebagai tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana lingkungan.
Kriteria pemanfaatan
ruangnya adalah:
·
Tersedia sumber air yang
cukup;
·
Tersedia sistem drainase
yang baik;
·
Tersedia sistem pengolahan
sampah yang baik;
·
Tersedia aksesibilitas
yang baik ke pusat-pusat kegiatan maupun sarana publik;
·
Bebas dari kebisingan
serta bahaya dan gangguan setempat;
·
Terhindar dari bahaya
abrasi pantai;
·
Lebar garis sempadan
pantai 30-100 meter dari titik pasang tertinggi.
b. Zona pariwisata
Kawasan
pariwisata merupakan kawasan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan
pariwisata, dengan kriteria pemanfaatan ruang :
·
Tersedia sarana dan
prasarana;
·
Tersedia aksesibilitas
yang tinggi ke pusat pelayanan niaga dan kesehatan;
·
Memiliki obyek dan daya
tarik wisata;
·
Pemberlakuan lebar garis
sempadan pantai (Perda atau hukum pengusahaan atau sistem pemilikan pantai);
·
Pengaturan pemakaian air
tanah yang disesuaikan dengan kapasitas ketersediaan air tanah dan waktu yang
dibutuhkan untuk pengisian kembali Lebar garis sempadan pantai 100-300 meter
dari titik pasang tertinggi.
Hal penting dalam mengolah kawasan
tepian air, adalah beberapa elemen menjadi fokus penataan dengan memberikan
solusi disain yang spesifik, yang membedakan dengan olahan zona lainnya yang
dapat memberikan kesan mendalam oleh pengungjungnya. Elemen-elemen tersebut
diantaranya adalah:
a. Tepian Air
Kawasan
tanah atau pesisir yang landai/datar dan langsung bertasan dengan air.
Merupakan tempat berjemur atau duduk-duduk dibawah keteduhan pohon (kelapa atau
jenis pohon pantai lainnya) sambil menikmati pemandangan perairan.
b. Promenade/Esplanade
Perkerasan
di Kawasan tepian air untuk berjalan-jalan atau berkendara (sepeda atau
kendaraan tidak bermotor lainnya) sambil menikmati pemandangan perairan. Bila
permukaan perkerasan hanya sedikit di atas permukaan air disebut promenade,
sedangkan perkerasan yang diangkat jauh lebih tinggi dari permukaan (sperti
balkon) disebut esplanade. Pada beberapa tempat dari promenade dapat dibuat
tangga turun ke air, yang disebut "tangga pemandian" (baptismal
steps).
c. Dermaga
Tempat
bersandar kapal/perahu yang sekaligus berfungsi sebagai jalan di atas air untuk
menghubungkan daratan dengan kapal atau perahu. Pada masa kini dermaga dapat
diolah sebagai elemen arsitektural dalam penataan kawasan tepian air, dan
diperluas fungsinya antara lain sebagai tempat berjemur.
d. Ruang tebuka (open space)
Berupa
taman atau plaza yang dirangkaikan dalam satu jalinan ruang dengan kawasan
tepian air.
g. Aktifitas
Guna
mendukung penataan fisik yang ada, perlu dirancang kegiatan untuk meramaikan
atau memberi ciri khas pada kawasan pertemuan antara daratan dan perairan.
"Floating market" misalnya, adalah kegiatan tradisional yang dapat
ditampilkan untuk menambah daya tarik suatu kawasan waterfront, sedang festival
market place adalah contoh paduan aktivitas (hiburan dan perbelanjaan) dengan
tata ruang waterfront (plaza atau urban space)
Pariwisata merupakan
industri dengan pertumbuhan tercepat didunia (WTO, 2000), dalam resolusinya PBB
pun telah menyatakan bahwa pariwisata as a basic and desirable human
activity deserving the praise and encouragement of all peoples and governments,
wisata bahari khususnya di tahun 1993 secara global mampu menghasilkan devisa
lebih dari US$ 3.5 triliun atau sekitar 6 –7% dari total pendapatan kotor dunia
(WTTC, 1993).
Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai
81.000 km, ini berarti Indonesia mempunyai potensi sumberdaya pesisir dan
lautan yang sangat besar, potensi ini meningkatkan kontribusi bidang wawasan
dan wisata secara signifikan dari Rp. 3 triliun di tahun 1990, menjadi Rp.33
triliun di tahun 1999, hal ini tentunya berimplikasi pada bidang usaha wisata
lainnya, yaitu perhotelan, jasa rekreasi, biro perjalanan, dan restoran yang
terletak di kawasan wisata.
Saat ini pariwisata bergerak
menuju paradigma baru, yaitu merubah paradigma lama yang lebih mengutamakan
pariwisata masal yaitu wisatawan yang besar/berkelompok dan paket wisata yang
seragam (Faulkner B., 1997), menjadi wisatawan yang lebih berpengalaman dan
mandiri, yang bertujuan tunggal mencari liburan fleksibel, keragaman dan minat
khusus pada lingkungan alam dan pengalaman asli (Baldwin dan Brodess, 1993).
Konsep ini sejalan dengan
Ekowisata yang lebih menekankan pada faktor daerah alami dan telah dikembangkan
sejak 1980 sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang
mendukung konservasi dan meningkatkan kesejateraan penduduk setempat (The
Ecotourism Society, 1993), sementara Ecoturism Research Group (1996),
yang membatasi tentang wisata bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang
terkait dengan :
(1) mendidik tentang fungsi dan manfaat lingkungan
(2) Meningkatkan kesadaran lingkungan
(3) Bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi
(3) Menyumbang langsung pada keberkelanjutan.
Konsep
Ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society
pada tahun 1990, pada prinsipnya ekowisata adalah perjalanan wisata ke area
alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan
kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Dasar gagasan ekowisata ini
karena adanya keinginan wisatawan ikut menjaga kekayaan alam dan budaya,
disamping meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar objek wisata
tersebut.
Berbeda
dengan konsep wisata di tahun 80-90an yang banyak mengeksploitasi alam dengan
pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan besar-besaran, konsep ekowisata
tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan
masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan.
Dalam
perkembangannya, Ekowisata menjadi salah satu bentuk wisata yang banyak
digemari wisatawan dan pelaku wisata, karena apabila obyek wisata dikelola
dengan pendekatan konservasi, maka keberlangsungan pemanfaatan sumber daya alam
akan terjaga di masa kini maupun masa mendatang, sehingga potensi wisata alam di daerah tersebut otomatis
berumur panjang.
Pemafaatan
obyek wisata alam untuk ekowisata dilaksanakan dengan mempergunakan dua
pendekatan, pendekatan pertama menitikberatkan pada pelestarian, sementara
pendekatan kedua berupa keberpihakan kepada masyarakat setempat, agar mampu
mempertahankan budaya lokal, di tengah gempuran pengaruh budaya luar yang
dibawa oleh wisatawan, sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.
Salah
satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar Pulau Komodo
adalah dengan membuat Model Desa Konservasi (MDK) yang didanai oleh kementrian
Kehutanan, tujuan pembuatan MDK adalah agar masyarakat yang hidup di dalam
kawasan konservasi dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengeksploitasi
lingkungannya, masyarakat diberi pelatihan-pelatihan kemandirian ekonomi
misalnya membuat suvenir untuk dijual kepada wisatawan-wisatawan yang
berkunjung ke pulau Komodo.
Pengembangan
Ekowisata pesisir, mau tidak mau harus dikaitkan dengan kepentingan mendasar di
kawasan obyek wisata tersebut, yaitu masyarakat setempat, masyarakat setempat
terutama di daerah pesisir harus diakui memiliki lebih banyak pengetahuan
mengenai potensi wisata di daerahnya, sehingga perlu dilakukan pendekatan-pendekatan,
agar dapat saling berbagi pengetahuan, maupun meningkatkan dan mengembangkan
pengetahuan tentang bahari dan upaya konservasi bahari.
Menurut
Ardika (2000) terdapat 3 Prinsip dasar yang harus dikembangkan dalam
pengelolaan wisata bahari, sebagai berikut :
1. Kawasan
wisata bahari adalah milik bersama, didalamnya ada hak-hak masyarakat, namun
perlindungan juga harus dilakukan bersama
2. Kepemilikan
bersama mengharuskan, pengelolaan wilayah pesisir untuk dilakukan bersama-sama
seluruh komponen masyarakat dan stakeholder terkait
3. Keberadaan
kawasan wisata bahari menjadi tanggung jawab bersama karena pengelolaan kawasan
merupakan tujuan bersama
Ketiga prinsip tersebut wajib dilalaksanakan secara
terpadu dengan melibatkan masyarakat pesisir secara aktif agar masyarakat mampu
berpartisipasi secara aktif terutama dalam upaya menjaga kelestarian alam serta
ekosistem yang ada didalam kawasan obyek wisata.
Ekowisata tidak setara
dengan wisata alam karena tidak semua wisata alam akan dapat memberikan
sumbangan positif kepada upaya pelestarian dan berwawasan lingkungan, jenis
pariwisata tersebut yang memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang
menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus.
Konsep wisata pesisir dan
bahari di dasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan
seni budaya dan karaktersitik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki
oleh masing-masing daerah, dengan demikian maka sangatlah beralasan bila
Indonesia berupaya mengembangkan wisata pesisir dan bahari ini, karena hampir
seluruh daerah di Indonesia kecuali Kalimantan Tengah memiliki pantai,
ekosistem pesisir dan bahari memenuhi karakter 3S (sun, sand, sea).
Cakupan kegiatan ekowisata
pesisir dan bahari ini sesungguhnya memiliki spektrum industri yang sangat luas
dan bisnis yang ditawarkannya sangat beragam, selain akomodasi dan resor, serta
beberapa komponen pariwisata lain misalnya jasa penyedia transportasi, kapal
pesiar, pengelola taman laut, restoran terapung, rekreasi pantai, konvensi di
pantai dan di laut, pemandu wisata alam,dan sebagainya.
2.2 Metodologi Penelitian
Metodologi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan di Desa Tablolong pada
hari Sabtu tanggal 24 Oktober 2015
III.
Pembahasan
3.1 Profil Desa Tablolong
Desa
Tablolong memiliki luas wilayah 9,01 Km2, dengan batas wilayah desa
sebelah barat dengan laut Selat Rote pada bagian barat, sedangkan wilayah
selatan dan timur berbatasan dengan desa Lifuleo, wilayah utara dengan Desa
Tesabela.
Wilayah
Desa Tablolong terbagi menjadi 4 rukun warga (RW), 4 dusun dan 8 rukun tetangga
(RT), dengan jumlah penduduk adalah 1195 jiwa yang terdiri dari perempuan 575
jiwa dan laki-laki 620 jiwa. Kepadatan penduduk di Desa Tablolong adalah 133jiwa/km2,
dengan jumlah kepala keluarga (KK) sejumlah 283 KK dan jumlah rata-rata anggota
keluarga per KK adalah 4 orang.
Mata
pencarian terbanyak penduduk Desa
Tablolong adalah nelayan sejumlah 277 orang, diikuti wiraswasta 36 orang, secara
lengkap disajikan pada grafik 1.
Keseluruhan
nelayan 277 orang tergabung dalam 27 kelompok nelayan, dengan kegiatan utama
adalah budidaya rumput laut dan kegiatan penunjangnya adalah perikanan tangkap.
Dari
aspek prasarana dasar pendidikan, di Desa Tablolong hanya memiliki 1 buah SD
dengan jumlah murid 219 siswa dan 1 buah PAUD, kondisi bangunan sekolah
cukup baik namun sampah-sampah bertebaran di halaman sekolah, sehingga sangat
mempengaruhi higienitas sekolah, hal ini diperburuk dengan kondisi pagar
sekolah yang rusak sehingga hewan ternak penduduk Desa Tablolong yang dibiarkan
tidak terikat/tidak dikandang masuk ke halaman sekolah. Kondisi sekolah seperti
gambar 1. Kondisi sekolah
Sarana
prasarana dasar kesehatan di wilayah Desa Tablolong masih sangat minim, hal ini
ditunjukkan dengan sarana kesahatan yang dimiliki hanyalah 1 unit puskesmas
pembantu, dengan tenaga paramedik 1 orang bidan dibantu 1 dukun bayi, sedangkan
pos pelayanan terpadu (Posyandu) sejumlah 3 unit dengan kader aktif sejumlah 15
orang
Kristen
protestan adalah agama mayoritas yang
dianut penduduk Desa Tablolong diikuti agama islam dan katolik, adapun rumah ibadah yang dimiliki adalah 2 unit gereja kristen
protestan dan 1 unit masjid. Secara lengkap jumlah penganut agama di Desa
Tablolong seperti pada grafik 2.
Kondisi
fisik bangunan rumah penduduk cukup baik sebagian besar adalah rumah permanen,
rumah darurat masih cukup banyak sejumlah 24 unit rumah. Kondisi fisikbangunan
rumah secara lengkap seperti pada grafik 3.
Lingkungan
permukiman penduduk kondisinya masih kurang baik, pola permukiman terpusat di
sekitar kantor desa, dari 4 dusun yang ada 3 dusun (dusun 1, 2 dan 3) terpusat
di sekitar kantor desa dan 1 dusun yaitu dusun 4 jaraknya cukup jauh dari
kantor desa. Pola pemukiman yang terpusat ini menyebabkan tingkat kepadatan penduduk
sangat tinggi di sekitar kantor desa sehingga terkesan kumuh. Kesan kumuh ini
ditunjukkan dengan arah hadap rumah yang tidak teratur dengan jarak antar rumah
yang sangat dekat 1-3 meter, ditambah lagi dengan letak makam dan kandang
ternak peliharaan yang juga sangat dekat dengan rumah.
Sanitasi
lingkungan cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan fasilitas jamban yang
dimiliki oleh 258 KK sisanya 25 KK mengakses jamban umum, namun kondisi jamban
masih ada yang kondisinya adalah jamban darurat dan letaknya sangat dekat dengan
dapur dan kandang ternak.
Sumber
air bersih penduduk diperoleh dari sumur bor yang dalam pengelolaannya
dilakukan oleh PAMDES, tercatat 233 KK sebagai pelanggan PAMDES dan 6 KK
menggunakan sumur gali sebagai sumber air bakunya.
Kondisi
jalan lingkungan cukup baik pada dusun 1, 2 dan 3 yang terdiri dari jalan aspal
dan rabat beton, diantara rumah juga telah dilengkapi dengan jalan setapak dari
pasangan semen. Namun jalan utama akses pada lokasi pariwisata pantai
kondisinya rusak.
Aspek
transportasi Desa Tablolong cukup baik, hal ini ditunjukkan dari jumlah moda transportasi
yang umum hanya tersedia 1 unit mikrolet, 10 buah pick up dan 3 unit truck
serta ojek 4 unit. Selain transportasi umum, sebagian besar masyarakat juga
memiliki kendaraan pribadi sebagai alat transportasinya yaitu mobil sejumlah 11
unit dan sepeda motor 212 unit
3.2 Potensi Desa Tablolong
Komoditi
unggulan Desa Tablolong adalah rumput laut, jenis rumput laut yang dikembangkan
penduduk adalah Eucheuma Cotonii
(Katoni) dan Eucheuma Spinosum (SP),
tingkat produksi rumput laut cukup baik, tercatat produksi rumput laut jenis
katoni pada tahun 2007 adalah 500 ton dan tahun 2008 480 ton, namun semenjak
bocornya kilang minyak mokantara Australia pada tahun 2009 menyebabkan pencemaran
Laut Timor yang berdampak kelompok nelayan Desa Tablolong selama 3 tahun mengalami
gagal panen rumput laut karena mati terkena bahan kimia dan minyak dari
Mokantara, saat ini kemampuan produksi beranjak pulih dari gagal panen, saat
ini telah mampu panen dengan total produksi 50% dari tahun-tahun sebelum
terjadi pencemaran, perlahan perairan Tablolong mulai pulih dengan kemampuan
produksi pada tahun 2014 sejumlah 289 ton. Kegiatan sehari-hari masyarakat
memelihara rumput laut, panen dan menjemur rumput laut mewarnai kehidupan
penduduk desa.
Kegiatan
budidaya rumput laut oleh penduduk Desa Tablolong dalam pengamatan sebagian
besar dilakukan secara sederhana/minim teknologi, sejak tahapan pengikatan, pemeliharaan,
panen maupun tahapan pasca panen. Pada tahap pasca panen hanya dilakukan
penjemuran di bawah sinar matahari, sehingga rumput laut yang dihasilkan dijual
kepada pengepul dalam kondisi bahan mentah. Inovasi dalam budidaya rumput laut
sedikit nampak pada kegiatan penjemuran dimana telah disiapkan bangunan khusus
untuk penjemuran saat musim penghujan Diversifikasi kegiatan pasca panen
seperti mengolah rumput laut menjadi bahan setengah jadi dalam bentuk chips
atau bahan jadi berupa olahan makanan perlu dilakukan mengingat posisi
strategis Desa Tablolong sebagai desa wisata yang membutuhkan dukungan industri
kreatif sebagai pemenuhan kebutuhan para wisatawan yang berkunjung ke pantai
Tablolong. Kelompok ekonomi produktif rumput laut sudah ada di Desa Tablolong
namun saat observasi dilakukan terkesan hanya papan nama karena tidak nampak
kegiatan produksi dan hasil produksi pada lokasi sentra produksi ekonomi
produkstif rumput laut.
Desa Tablolong juga dikenal sebagai
destinasi wisata Kabupaten Kupang, dengan daya tarik unggulannya adalah wisata
pemancingan laut dan wisata pantai. Bahkan Tablolong dikenal sebagai "Pusat Olahraga Memancing ".
Event Wisata Yang Sering Di Gelar Oleh Pemerintah Provinsi NTT di kawasan
wisata Tablolong ini adalah turnamen memancing berskala internasional. Turnamen
ini telah beberapa kali dilaksanakan, dengan tujuan mempromosikan obyek wisata
yang ada di NTT terutama di Kabupaten Kupang, khususnya wisata pantai
Tablolong. Jenis ikan yang Banyak dijumpai diperairan kawasan pantai
Tablolong adalah ikan marlin, layaran, tenggiri, wahui, kuwe, barakuda, lemadang
dan tuna.
Daya tarik wisata selain pemancingan
adalah keindahan pantai pasir putih yang dihiasi oleh batu-batu karang mati
yang memiliki warna panel yg unik dan memukau, pantai Tablolong merupakan salah
objek pilihan masyarakat kota Kupang untuk berekreasi mengisi waktu libur.
Pantai ini ramai dikunjungi oleh pengunjung pada hari sabtu dan minggu, selain itu
tidak jarang pengunjung yang datang habya untuk menikmati mataharai terbenam di
pantai ini. Namun sayang beberapa fasilitas pendukung yang telah dibangun
Pemerintah Kabupaten Kupang berupa lopo-lopo
semacam bangunan terbuka dengan tempat duduk dan atap bulat untuk bersantai
tampat tidak terawat dan rusak sehingga memunculkan kesan sudah lama tidak
dipelihara dan dirawat. Jumlah keseluruhan bangunan lopo adalah 11 lopo,
namun hanya 4 yang masih baik, atapnya masih utuh. Sedangkan 7 lopo lainnya
sudah rusak termakan usia atau akibat tidak terawat. Disamping itu akses jalan
masuk 500 meter dalam keadaan rusak, aspal jalan sudah terkelupas. Sementara
fasilitas lainnya pun amat memprihatinkan, seperti 2 unit water closet (WC) yang terletak persis di areal wisata itu, tak
berpintu lagi dan tidak ada akses air bersihnya serta dindingnya terdapat
banyak coretan, praktis WC tak bisa digunakan lagi.
Fasilitas wisata lain yang disiapkan
pihak swasta juga tersedia berupa homestay
dan hotel. Sekitar 200 meter dari pintu gerbang
wisata pantai Tablolong akan dijumpai sebuah homestay "Kaki Ayam" yang dibangun oleh warga negara
Canada. Di homestay ini terdapat
beberapa lopo yang unik, lopo ini bagian bawah terbuka sehingga bisa untuk
bersantai sedangkan jika kita naik tangga ke atas maka terdapat tempat untuk
beristirahat. Sayang tempat ini pun terkesan kurang terpelihara, fasilitas WC
pun dalam keadaan rusak, mungkin karena sudah sangat jarang wisatawan yang
datang ke tempat ini. 400 meter ke arah barat dari homestay “Kaki Ayam” akan dijumpai hotel yang cukup besar yang
dibangun pihak swasta, namun 2 tahun belakangan ini pembangunan hotel terhenti
akibat perijinan AMDAL dan konflik status tanah dengan masyarakat, sehingga
bangunan hotel terkesan mangkrak tidak terurus.
Wisata
diving/penyelaman juga menjadi daya
tarik wisata Tablolong. Lokasi penyelaman favorit adalah karang beatrix, karang
dalam dan karang tabui. Keindahan bawah laut karang beatrix yang berjarak
sekitar 5 mil dari pantai sudah banyak dikenal oleh para penyelam manca negara.
Karang beatrix memiliki julukan sebagai ‘supermarket ikan’ karena semua jenis
ikan dapat ditemukan di lokasi itu. Sedangkan dua karang lainnya yang tak
kalah menarik adalah karang Dalam dan karang Tabui. Di tiga karang ini hidup
jenis ikan yang sering dilombakan dalam berbagai turnamen memancing seperti
jenis Marlin, Layaran, Tenggiri, Wahui, Kuwe, Barakuda, Lemadang, dan Tuna.
Selain
daya tarik wisata pantai, di Desa Tablolong juga ada daya tarik wisata alam dan
budaya, dimana di arah selatan obyek wisata Tablolong terdapat hutan belukar
seluas 3 ha yang dihuni oleh satwa berupa monyet dan kambing hutan, serta
pemukiman Suku Panaf dengan jumlah
Kepala Keluarga 18 KK, dengan bahasanya adalah campuran bahasa Oekusi, Helong
dan Rote (merupakan keunikan satu Dusun Panaf).
Jumlah
kunjungan wisatawan di kawasan Tablolong pada tahun 2014 tercatat 11.507
wisatawan dengan nilai retribusi perpengunjung Rp. 2000, bila dibandingkan
dengan desa Oematnunu yang mampu menghasilkan jumlah kunjungan lebih besar
yaitu 13.311 dengan retribusi Rp. 5000 padahal obyek wisata Desa Tablolong jauh
lebih menarik. Kekurangan obyek wisata Tablolong adalah fasilitas dasar
seluruhnya dalam keadaan rusak, kotor dipenuhi sampah rumah tangga dan tidak
ada industri kreatif yang muncul sebagai pendukung pariwisata, bahkan produk
ikan yang dijual masyarakat harganya sama dengan harga pasar di Kota Kupang.
IV.
Konsep
Pengembangan
Konsep
pengembangan yang cocok bagi Desa Tablolong adalah dengan menggunakan
pendekatan tata ruang yaitu water front dan
pendekatan pariwisata yaitu eco tourism,
dimana gagasannya adalah menjadikan laut sebagai beranda depan dan menetapkan
Desa Tablolong sebagai Desa Wisata. Konsep pengembangan wilayah yang dilakukan
dapat dilakukan secara bersamaan antara pendekatan dari bawah dimana aspirasi
masyarakat menjadi pendorong utama dan konsep pengembangan wilayah dari atas
dimana pemerintah sebagai faktor kunci penggerak pembangunan. Pendekatan ini
dikenal dengan Sistem Top Down dan Bottom Up dimana konsep pertumbuhan kutub,
integrasi fungsional-spasial dan desentralisasi teretorial sangat mungkin
dikembangkan.
Perubahan
paradigma pemerintah dimana titik berat/fokus pembangunan diarahkan ke
desa-desa dapat dijadikan momentum perubahan di Desa Tablolong. Sejak tahun
2015 Desa Tablolong telah mendapatkan alokasi dana desa (ADD) sebesar Rp.
100.000.000/tahun dan Dana Desa Rp. 200.000.000 (30% dari PAGU), artinya setiap
tahun nantinya Desa Tablolong akan mendapatkan dana segar dari pemerintah tidak
kurang dari Rp. 800.000.000/tahun. Dengan dana yang cukup besar ini maka konsep
pengembangan dengan pendekatan Top Down dan Bottom Up sangat memungkinkan
berhasil dalam pelaksanaannya, karena dana tidak lagi menjadi alasan utama
dalam pelaksanaan.
4.1
Konsep Water Front
Aspek tata ruang Desa Tablolong sangat
cocok dikembangkan dengan pendekatan waterfront
mengingat persyaratan/kriteria minimalnya telah dipenuhi yaitu :
· Lokasi desa berada di tepi wilayah perairan laut.
· Merupakan daerah tujuan wisata.
· Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi,
permukiman, industri kecil rumput laut
· Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan laut.
Desa Tablolong berdasarkan tipologi waterfront dapat diarahkan pada recreational waterfront yaitu pengembangan waterfront dengan fungsi
aktivitas rekreasi. Berbagai fasilitas pendukung yang perlu disiapkan seperti:
taman bermain, taman air, taman duduk, taman hiburan, area untuk memancing, riverwalk,
amphilhealre, diving, gardu pandang, fasilitas perkapalan,
paviliun,fasililas olah raga, marina, restoran, dan aquarium
Dalam perencanaan waterfront ada
beberapa aspek yang perlu diperhatian, yaitu aspek arsitektural, aspek
keteknikan, dan aspek sosial budaya.
a. Aspek arsitektural untuk menciptakan kawasan waterfront
yang memenuhi nilai-nilai estetika maka konsep hunian yang terpusat saat
ini perlu dilakukan penataan kembali sehingga pola hunian menjadi horisontal
dengan pola hadap pemukiman ke arah laut. Rumah-rumah yang saat ini arah
menghadapnya sebagain besar tidak ke arah laut dirubah menghadap ke laut dengan
pola penyebaran proposional horisontal dengan bibir pantai secara merata ke
arah utara dan selatan.
b. Aspek keteknikan berkaitan terutama dalam perencanaan
struktur dan teknologi konstruksi yang dapat mengatasi kendala-kendala dalam
mewujudkan rancangan waterfront, seperti pembangunan break water/bangunan pemecah gelombang
dan turap pantai untuk mengatasi abrasi pantai perlu dibangun ke arah utara dan
selatan guna stabilisasi perairan. Disamping itu disain bangunan dan pemilihan
material yang mendukung penonjolan nilai etnik perlu dikembangkan sebagai daya
tarik bagi pengunjung. Tidak kalah pentingnya adalah perencanaan infrastruktur
yang berkaitan dengan drainase, transportasi dan persampahan yang menjadi
masalah utama saat ini di Tablolong.
c. Aspek sosial budaya bertujuan untuk meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan waterfront
tersebut.
d. Aspek Peraturan berkaitan dengan pembentukan peraturan
daerah sebagai regulasi tentang pemanfaatan ruang dan pelestarian lingkungn perairan
Tablolong.
Penataan kawasan waterfront
di Desa Tablolong dapat dibagi menjadi beberapa zona yaitu:
a. Zona perumahan
Fungsi
utama sebagai tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana lingkungan.
b. Zona pariwisata
Zona pariwisata
merupakan zona yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pariwisata dan
industri kreatif.
c. Zona budidaya
Zona budidaya merupakan zona yang disediakan untuk memenuhi
kebutuhan kegiatan budidaya rumput laut dan penangkapan ikan yang merupakan
mata pencaharian pokok penduduk Desa Tablolong
d. Zona Lindung
Zona
lindung merupakan zona yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan reservasi
lingkungan, sebagai wilayah yang tidak boleh diganggu aktivitas manusia.
Elemen-elemen waterfront Tablolong yang perlu dikembangkant diantaranya adalah:
a. Tepian Air
Pantai
Tablolong perlu ditata sedemikian rupa sehingga mampu membuat pengunjung pantai
betah berlama-lama. Bangunan-bangunan penunjang seperti lopo perlu ditambah
serta bangunan yang telah ada saat perlu diperbaiki.
b. Promenade/Esplanade
Pada
titik akhir batas aspal masuk Desa Tablolong perlu disiapkan promenade ke arah
utara dan selatan sebagai baywalk
jalan pantai menyusur bibir pantai, juga beberapa titik perlu disiapkan
Esplanade mengingat selisih kontur yang cukup curam antara pantai dan jalan.
c. Dermaga
Dermaga jetty ataupun dermaga kayu eksotik dapat
dijadikan solusi bagi tambatan perahu yang dapat dibangun di ujung jalan aspal
Desa Tablolong, dermaga ini dapat berfungsi sebagai dermaga wisata maupun
dermaga pelabuhan rakyat.
d. Ruang tebuka (open space)
Pada
pusat Desa Tablolong sepanjang bibir pantai dapat dikembangkan taman dan plaza
mengikuti promenade maupun esplanade
yang dibangun nantinya.
g. Aktifitas
Atraksi
budaya yang dapat ditampilkan untuk menambah daya tarik kawasan waterfront
Tablolong perlu disiapkan, disamping itu pengembangan ekonomi kreatif dengan
menyiapkan pasar seni atau pasar souvenir dengan tata ruang waterfront.
4.2
Konsep EcoTourism/Eko
Wisata
Kegiatan ekowisata pesisir
dan bahari ini sesungguhnya memiliki spektrum industri yang sangat luas dan
bisnis yang ditawarkannya sangat beragam. Beberapa infrastruktur dasar perlu disiapkan
seperti akomodasi berupa hotel maupun homestay dan pengembangan resor. Beberapa
komponen pariwisata lain misalnya jasa penyedia transportasi, kapal pesiar,
pengelola taman laut, restoran terapung, rekreasi pantai, konvensi di pantai
dan di laut, pemandu wisata alam,dan sebagainya juga menjadi bagian penting
untuk disiapkan sebuah kawasan eko wisata.
Desa Tablolong dapat mengadopsi konsep
eko wisata, karena potensi wilayah yang dimiliki sangat mendukung
dikembangkannya eko wisata. Penataan obyek wisata pantai praktis merupakan hal
mendasar yang perlu disiapkan, karena wisata pantai Tablolong adalah pusat daya
tarik wisatawan.
Selain itu aspek sosial budaya
masyarakat sebagai aktor-aktor utama penggerak eko wisata perlu disiapkan
dengan baik. Peningkatan kapasitas SDM seperti kemampuan menjadi guide lokal, sikap
yang ramah masyarakat, kemampuan berbicara dalam bahasa asing perlu
ditingkatkan.
Potensi menarik lainnya yang dapat
dikembangkan adalah wisata kuliner, yang saat ini belum nampak di kawasan Tablolong.
Penyiapan fasilitas kuliner dan sumberdaya pendukung menjadi hal penting untuk
diperhatikan. Beberapa industri kreatif kuliner seperti makanan dan minuman
dari sumber rumput laut yang potensinya sangat besar di Tablolong perlu digagas
dan dilaksanakan. Selain itu kuliner dari olahan ikan juga memungkinkan
dikembangkan dengan konsep rumah makan/restoran ikan bakar dll.
Selain itu wisata budaya juga menjadi
hal menarik di Tablolong dengan adanya dusun Panaf yang sangat etnikal mudah
dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya.
Wisata alam juga dapat dikembangkan mengingat
Tablolong juga memiliki kawasan hutan bakau dan hutan belukar yang dihuni
monyet dan kambing hutan sebagai daya tariknya. Pemulihan ekosistem mangrove
merupakan hal yang penting mengingat saat ini luasan hutan mangrove semakin
mengecil dan tingkat abrasi pantai yang tinggi. Apabila kawasan hutan bakau
mampu dipulihkan maka dapat pula dikembangkan wisata pendidikan, dimana hutan
bakau sebagai tempat pendidikan dan riste terkait ekosistem pesisir.
V.
Penutup
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan
dari hasil observasi lapangan di Desa Tablolong adalah sebagai berikut:
1. Desa
Tablolong memiliki potensi yang menarik untuk dikembangkan lebih jauh menjadi
Desa wisata. Potensi wisata yang dapat dikembangkan adalah wisata pantai,
wisata pemancingan, wisata budaya, wisata alam, ekonomi kreatif berupa olahan
rumput laut dan ikan.
2. Pengembangan
Desa Tablolong sebagai desa wisata dapat dilakukan dengan pendekatan water front dan eko wisata
5.2 Saran
1. Potensi yang
dimiliki Desa Tablolong perlu mendapat perhatian serius baik oleh pemerintah
maupun masyarakat, sehingga potensi tersebut dapat mendatangkan nilai tambah
bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pola pengembangan Top Down dan
Bottom Up dapat dijadikan solusi bagi penuntasan permasalah yang dialami oleh
masyarakat Desa Tablolong saat ini.
2. Konsep pengembangan
Desa Tablolong sebagai Desa Wisata perlu dipayungi dengan produk hukum sebagai
aspek legalitas dalam pengembangan desa mengikuti konsep water front maupun eko wisata.
DAFTAR
PUSTAKA
Baldwin
P. and Brodess D. 1993. Asia’s New Age Travelers. Asia Travel Trade
BPS,
2014, Kecamatan Kupang Barat Dalam Angka Tahun 2014
Damanik, dkk,2006,
“Perencanaan Ekowisata. Dari Teori ke Aplikasi”. Yogyakarta: Penerbit Andi
Efendi, J.
2015. ”Elemen-elemen Pembentuk Kawasan
Lingkungan Kota”, Materi Kuliah Perencanaan dan Administrasi Lingkungan,
Kupang, Februari 2015.
Effendi, J.
dan Sudirman S, 2012. “Analisis Kesesuaian Prasyarat Kampung
Sasaran Dengan Kampung Terapan Terhadap Program Pola Penanganan Permukiman
Kumuh Perkotaan Di Indonesia”, Jurnal
Bumi Lestari, Volume 12 No. 2, Agustus 2012, hlm. 201 – 210
Effendi, J.
2015. “Bahan Kuliah Tata Ruang dan Penataan Wilayah” Universitas Nusa Cendana
Kupang
Latief Adam, 2010 ”Kesiapan Daerah dalam Menghadapi Globalisasi
Perdagangan”, (makalah seminar disampaikan di Pusat Pengkajian, Pengolahan Data
dan Informasi, DPR-RI, tanggal 10 Agustus 2010)
Sjafrizal,
1997, “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional WilayahIndonesia Bagian
Barat,” Prisma, No. 3, 27-38
Tumenggung,
Syafrudin A., 1997, “Paradigma Ekonomi Wilayah: Tinjauan Teori dan Praktis
Ekonomi Wilayah dan Implikasi Kebijaksanaan Pembangunan,” dalam Tjahjati
dan. Kusbiantoro (Penyunting), Bunga Rampai: Perencanaan Pembangunan di
Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar