Minggu, 12 Mei 2013

SEBERAPA INOVATIF ORGANISASI ANDA?
TITIK KRISTINAWATI, S.Pd.I, MA
WIDYAISWARA PERTAMA BP4D PROVINSI NTT


Setiap Organisasi memiliki budaya kerja yang dianut dan dijadikan motor penggerak dalam setiap melaksanakan kegiatannya. Demikian pula Pemerintah Daerah NTT ( selanjutnya disebut PEMDA NTT) sebagai sebuah organisasi pemerintahan juga memiliki budaya organisasi yang dianut dan dijadikan motor penggerak dalam mencapai misi dan visi yang telah dirumuskan. Sebagai sebuah organisasi dalam pemerintahan, PEMDA NTT ibarat organ tubuh manusia. Dimana seluruh badan, dinas, dan lembaga pada instansi pemerintahan beserta sistemnya dijalankan oleh pegawai pemerintah sebagaimana hierarki dan jenjang jabatan. 

BP4D (Badan pendidikan, Pelatihan, penelitian dan pengembangan Daerah) sebagai kaki-tangan (penggerak) perencanaan daerah memiliki tugas dan fungsi melaksanakan pendidikan, Pelatihan, bagi peningkatan SDM aparatur. Selain dari pada itu, BP4D juga melaksanakan penelitian guna menentukan arah pengembangan daerah selanjutnya. Sebagai tempat mendidik dan melatih, BP4D seharusnya juga adalah model bagi instansi lain pada lingkup Pemda NTT. Dari semua itu jelas bermuara pada sebuah kebijakan dan ketegasan seorang pemimpin bersama jajaran manajerialnya. Pemimpin pada organisasi ini haruslah mampu “menyetel”  keseimbangan antar komponen, dapat mengidentifikasi lubang-lubang kelemahan, mampu menyerap aspirasi dan ekses yang berkembang.
Permasalahannya kemudian, seberapa inovatif budaya kerja yang dibangun sehingga BP4D layak  sebagai model bagi satuan Kerja Perangkat Daerah (selanjutnya disebut SKPD) lainnya?. Berbicara tentang suatu keberhasilan kerja, berawal dari nilai dan perilaku yang menjadi kebiasaan yang diciptakan di lingkungan kerja. Nilai tersebut memiliki bahan pembentuk yang bernama adat kebiasaan, agama, norma, dan kaidah yang menjadi keyakinan yang kemudian hal-hal tersebut mengkristal dalam bentuk perilaku kerja yang tertuang dalam kualitas kerja. Lantas, apakah BP4D sudah menunjukkan kualitas kerja sebagaimana yang diharapkan para usernya?.
Pertanyaan tersebut, pertanyaan yang mudah namun sulit untuk menjawabnya. Jika gambaran kesuksesan organisasi baru diukur pada taraf disiplin kehadiran, belum pada taraf konsistensi menerapkan disiplin pada setiap tindakan, penegakan aturan, dan kebijakan  yang mendorong keterbukaan, yakni keadaan yang selalu jauh dari prasangka negatif karena segala sesuatu disampaikan melalui fakta dan data yang akurat (informasi yang benar). Situasi keterbukaan sulit ditemui dilembaga pemerintahan. Oleh karena itu, apakah demikian pula yang terjadi di lingkup organisasi pemerintah. Kerapkali keterlibatan PNS pada kegiatan yang dilakukan tidak secara terbuka disampaikan. Bahkan fatalnya, membatalkan secara otoriter dan tertutup menjadi fenomena yang kemudian dianggap biasa dan kemudian di langengkan. Maka selanjutnya, tidak mengherankan jika komunikasi baik vertikal maupun horizontal tidak dapat diciptakan, akibatnya hubungan personal baik formal maupun informal diantara jajaran manajemen tidak harmonis,  sehingga tumbuh sikap saling mencurigai. Hal ini menjadi sangat sulit untuk menumbuhkan sikap saling menghargai.
Disinilah perlunya pembenahan-pembenahan yang dimulai dari sikap dan tingkah laku pemimpinnya, yang kemudian bawahan tinggal mengikutinya. Terbentuknya budaya kerja diawali oleh pemimpin yang notabene memiliki hubungan yang kuat dengan bawahannya. Seperti apakah sebuah pemerintahan itu dijalankan, seperti itulah pemimpinnya memiliki cara/ perilaku kerja. 
Dalam pandangan Gramsci tentang hegemoni, kontrol sosial politik, yang kemudian penulis pakai untuk menjelaskan kontrol kinerja, tidak selamanya harus menggunakan kekuatan fisik sebagai penopangnya. Kekuatan fisik ini dapat diartikan sebagai peraturan perundang-undangan. Lebih dari itu,  pemimpin intelektual akan lebih memilih menguasai kesadaran bawahannya pada taraf bawahan menginternalisasi dan merasa mempunyai nilai-nilai serta norma kerja yang dibangun oleh pemimpinnya. Tidak berhenti pada menginternalisasi semata, bawahannya juga harus memberi persetujuan bahwasanya budaya kerja yang dibangun pemimpin dan tim manajerialnya adalah kebenaran. Sehingga dengan sendirinya hegemoni yang bernama “budaya kerja” dalam penerapannya sekaligus sebagai sebuah legitimasi untuk memerintah terjamin sudah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar