Minggu, 18 Agustus 2013



Pembelajaran untuk Orang Dewasa dalam Kediklatan Aparatur Negara

Oleh: Drs. Alexander B. Koroh, MPM
Widyaiswara Muda BP4D NTT


Secara umum disepakati bahwa pemahaman yang baik tentang suatu model pembelajaran adalah penting. Dengan pemahaman yang memadai dan tepat tentang model dimaksud maka dapat diterapkan dengan baik sehingga keberhasilan dalam proses pembelajaran dapat diwujudkan. Dalam konteks kekinian setiap pembelajaran yang dilaksanakan harus mencapai empat tujuan pendidikan yakni “how to know, how to do, how to live together, dan how to be.”(bagaimana mengetahui, bagaimana melakukan, bagaimana hidup bersama, bagaimana menjadi). Hal ini krusial karena, sumber daya yang dimiliki terbatas dan ikatan waktu dimana suatu proses pembelajaran berlangsung juga terbatas. 

Pada mulanya hanya ada satu model asumsi pembelajaran tentang pembelajar dan pembelajaran yang dikenal dengan model “pedagogy” yang secara harafiah berarti “ seni dan ilmu dalam mengajar anak-anak.” Model ini merancang tanggung jawab penuh dari guru dalam membuat keputusan-keputusan tentang apa yang harus dipelajari, bagaimana cara mempelajarinya, kapan harus dipelajari, dan bagaimana jika telah dipelajari. Dalam ranah pedagogy pembelajar tidaklah mandiri tetapi sebaliknya bergantung pada guru. Oleh karenanya peserta didik perlu memposisikan diri sebagai penerima materi pelajaran yang patuh dalam menyerap pengetahuan. Inti dari metodology dari model pedagogy adalah teknik-teknik menyebarkan pengetahuan (Knowels, 1999, hal. 254). Merujuk pada konsep di atas, tampaknya model pedagogy kurang tepat dalam menjawab kebutuhan pembelajaran orang dewasa. Disinilah dibutuhkan model pembelajaran tertentu yang dapat menjawab kebutuhan pembelajar orang dewasa.Pemahaman dan penerapan pembelajaran yang tepat dapat dikatakan sebagai salah satu elemen strategi pembelajaran (Cunningham, 1999, hal.21).
Andragogy
Pandangan pertama bahwa model pedagogy tidak cocok untuk pembelajaran orang dewasa muncul dalam buku Eduard C. Lindeman (1926), dengan judul “The Meaning of Adult Education” (Makna dari Pendidikan Orang Dewasa). Merujuk pada pengalamannya sebagai pembelajar orang dewasa dan pengajar orang dewasa Lindeman menunujukkan bahwa orang dewasa bukanlah seperti anak-anak yang sedang bertumbuh, mereka akan belajar dengan efektif dan mantap jika secara aktif terlibat dalam menentukan apa, bagaimana, dan kapan mereka belajar. Namun baru pada tahun 1950 dilakukan studi empiris tentang pembelajar orang dewasa, dan selanjutnya gagasan besar tentang perbedaan pembelajar muda dan orang dewasa mulai mendapat perhatian yang serius.

Studi yang dilakukan oleh Houle dan kawan-kawan tentang bagaimana orang dewasa belajar secara alami misalnya, ketika mereka tidak sedang diajar sangat menarik. Studi ini menunjukkan bahwa bagi orang dewasa pembelajaran yang efektif adalah justru yang berlangsung diluar rancangan formal dimana mereka terlibat secara sadar ketimbang pembelajaran yang dirancang secara terprogram. Oleh karena itu sejatinya orang dewasa adalah pembelajar yang mengarahkan dirinya sendiri.Sementara itu berbagai pengetahuan tentang pembelajar orang dewasa juga datang dari berbagai disiplin ilmu. Contohnya, psikolog klinikal menyediakan informasi tentang persyaratan dan strategi yang dapat meningkatkan perubahan perilaku. Psikolog pengembangan menguraikan tahap-tahap pengembangan yang dialami orang dewasa sepanjang hidupnya. Seiring dengan itu, sosiolog mengekspose dampak bahwa kebijakan-kebijakan institusional dan praktek-prakteknya yang mendukung pembelajaran atau sebaliknya. Psikolog sosial mengungkapkan pengaruh-pengaruh kekuasaan dalam lingkungan yang lebih luas, seperti sikap sosial dan kebiasaan, system penghargaan, sosioekonomik dan stratifikasi etnik (Knowles, 1999, hal. 254).
Pada awal 1960an pendidik pembelajar orang dewasa merasa sangat perlu melabelkan secara tepat atas perkembangan bobot pengetahuan tentang pembelajar orang dewasa yang sejajar dengan model pedagogy. Akhirnya mereka sepakat untuk menetapkan istilah andragogy yang telah ditetapkan oleh seorang pendidik orang dewasa Jerman pada tahun 1833. Andragogy berasal dari kata aner(bahasa Yunani) yang berarti “orang dewasa” yang secacara harafiah berarti “laki-laki dewasa (man), bukan anak laki-laki (boy).” Mula-mula istilah andragogy berarti “seni dan ilmu dalam membantu orang dewasa belajar. Dalam perkembangan selanjutnya istilah dimaksud bermakna lebih luas lagi sebagai alternatif dari model pedagogy ((Knowles, 1999, hal. 254). Dengan kata lain, model andragogy dapat pula digunakan dalam proses pembelajaran tidak hanya untuk orang dewasa tetapi juga dapat dimodifikasi dan digunakan untuk pembelajaran kelompok pembelajar anak-anak. Hemat penulis fleksibilitas dan ketersediaan ruang yang luas bagi pembelajar untuk berpartisipasi efektif merupakan elemen andragogy yang akan bermanfaat optimal jika diadopsi untuk diterapkan secara proporsional pada model pembelajaran pedagogy.

Analisa penerapan elemen-elemen penting pada pembelajar orang dewasa dalam kediklatan aparatur
Penelitian-penelitian pembelajaran orang dewasa didasarkan pada asumsi-asumsi logis tentang pembelajar orang dewasa dimana model andragogy didasarkan. Setidak-tidaknya terdapat enam asumsi penting yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran orang dewasa.
1.      Orang dewasa mempunyai kebutuhan untuk mengetahui mengapa mereka harus mempelajari sesuatu.Tough (1967) menemukan bahwa orang dewasa rela mengguakan waktu dan energi untuk meneropong apa keuntungan yang akan diperolehnya dalam pembelajaran yang akan diikuti atau apa konsekwensi yang akan didapat jika tidak melakukannya. Oleh karena itu, merupakan suatu diktum penting dalam pembelajaran orang dewasa bahwa seorang pendidik orang dewasa harus membangun “suatu kebutuhan untuk mengetahui” pada diri para pembelajar.(Knowles, 1999, hal. 255). Pengamatan dan pengalaman penulis menunjukkan bahwa Kediklatan aparatur cenderung mengabaikan hal penting ini. Hal ini tampak jelas bahwa sebagain besar peserta diklat mengikuti suatu kegiatan diklat tanpa ditanya apa kebutuhan mereka dalam meningkatkan kapasitasnya sebagai aparatur. Biasanya tiba-tibas saja telah ada Surat Keputusan (SK) yang mengharuskan seorang aparatur untuk mengikuti diklat tertentu tanpa kebutuhan mengetahui di atas. Peserta juga cenderung mengabaikan elemen penting di atas, karena mungkin bagi peserta yang lebih penting adalah uang duduk (transportasi) yang akan diperoleh setelah dikalat dilaksanakan. Ini adalah salah satu kelemahan mendasar.
2.      Orang dewasa memiliki suatu kebutuhan mendalam untuk mengarahkan dirinya sendiri. Perspektif psikologigy menjelasakan bahwa orang dewasa adalah orang yang telah memiliki konsep tanggung jawab diri tentang hidupnya dan segala konsekwensinya. Oleh karena itu setiap orang dewasa menginginkan untuk ia diperlakukan oleh sesamanya sebagai individu yang mampu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, hal ini yang biasanya disebut konsep diri (self-concept) (Knowles, 1999, hal. 255). Oleh karena itu adalah keliru, apabila suatu pelatihan merancang proses pembelajaran yang memposisikan peserta pelatihan seperti seorang anak yang belum memiliki konsep diri. Dengan demikian proses pembelajaran tidak boleh menempatkan peserta pelatihan sebagai peserta yang harus duduk tenang dan siap menerima materi pelatihan. Karena jika hal ini terjadi maka sejatinya pembelajar orang dewasa berada pada posisi dilematis di mana secara psikologis ia memiliki potensi mengarahkan dirinya sendiri sehingga ia harus indipenden, namun model pembelajaran mengarahkan untuk menjadi pembelajar yang bergantung. Sehingga tentunya ada sesuatu yang tidak beres apabila dalam proses pembelajaran orang dewasa narasumber/pemateri memposisikan dirinya sebagai seorang guru dan peserta pelatihan sebagai murid. Contohnya, dalam beberapa pelatihan narasumber hanya memberi ceramah dan para peseta hanya mendengar dan mencatat apa yang disampaikan.
3.      Orang dewasa mempunyai suatu volume mutu pengalaman yang lebih besar dan berbeda ketimbang orang muda. Pengalaman yang banyak dan bervariasi seiring dengan usia pembelajar orang dewasa mempengaruhi pembelajaran dalam beberapa hal:
·         Orang dewasa membawa pengalaman kedalam situasi pembelajaran sehingga tidak hanya dapat berkontribusi positif pada pengetahuan, keterampilan, dan keahklian dalam pembelajaran tetapi juga dapat memperkaya para peserta.
·         Orang dewasa mempunyai kumpulan pengalaman dasar yang lebih luas yang dapat dilekatkan/dimasukkan dengan ide-ide dan keterampilan baru dalam pembelajaran yang dapat lebih memperkaya materi pembelajaran.
·         Adalah lumrah dalam suatu kelompok pembelajaran orang dewasa dengan usia yang bervariasi, memiliki pengalaman, minat, dan gaya belajar yang lebih berbeda-beda pula ketimbang pembelajar non-dewasa.
·         Ada potensi konsekwensi negative dari pengalaman yang dimiliki pembelajar dewasa karena kadang mereka cenderung membangun kebiasaan, dan pola pikir sesuai dengan pengalamannya, kurang terbuka pada gagasan-gagasan baru, dan cenderung resisten pada perubahan (Knowles, 1999, hal. 256).
Merujuk pada poin di atas, tampak jelas bahwa pengalaman memainkan peran yang penting dalam pembelajaran orang dewasa. Oleh karena itu suatu pelatihan yang baik, perlu mengelolanya dengan baik. Artinya pengalaman tidak dapat diabaikan, tetapi hendaknya dijadikan potensi untuk melekatkan hal-hal baru dari perspektif konsep, teori, dan atau pengalaman/praktek terbaik yang telah ada. Jika hal ini dilakukan maka pembelajar dewasa yang baik akan kagum dan merasa ada sesuatu yang berguna yang diperolehnya. Akan tetapi, perlu ada kewaspadaan karena, ada kecendrungan pembelajar dewasa untuk selalu mempertahankan pengalaman yang sudah dimilikinya, dan memandang bahwa ide-ide baru, dan hal diluar pengalamannya harus ditolak. Dalam kondisi ini diperlukan seni untuk mengajak dan kemudian meyakinkannya bahwa ide-ide baru akan lebih memperkaya pengalamannya, memperluas pengetahuannya, dan mempertajam keahkliannya.
Untuk itu, dalam konsep pembelajaran orang dewasa yang baik, perlu pula dilengkapi dengan peninjauan langsung pada instansi/institusi yang telah mempraktekan hal-hal baru/terbaik yang bermuara pada keluaran/hasil yang memenuhi dan memuaskan kebutuhan pelanggan/kliennya. Memperoleh praktek terbaik dimaksud tidak harus dengan meninjau instansi/institusi yang jauh (di luar daerah), karena akan membutuhkan dana publik yang tidak sedikit. Contohnya, untuk melihat praktek terbaik perkantoran modern, peserta pelatihan dapat berkunjung ke kantor Badan Pemeriksa Keuangan cabang Provinsi NTT; atau peserta dapat pula berkunjung ke bank tertentu atau perusahaan swasta tertentu yang telah mempraktekan konsep perkantoran modern dengan baik.
4.      Orang dewasa siap untuk belajar ketika mereka mengalami dalam kondisi hidupnya suatu kebutuhan untuk mengetahui atau mampu untuk melakukan sesuatu agar dapat berkinerja secara lebih efektif dan memuaskan. Model pedagogi membangun asumsi yang berbeda dengan hal ini. Model pedagogi beranggapan bahwa setiap orang bersedia untuk belajar ketika diajar oleh figur-figur dengan otoritas mengajar seperti guru, pelatih, bos/manager, mereka harus belajar karena hal itu baik untuk atau karena tuntutan atasan. Orang dewasa mengalami ketidaknyamanan ketika “diajar” karena mengganggu hakekat kedewasaannya, mereka memiliki kebutuhan untuk mengarahkan dirinya sendiri, dan cenderung bereaksi dengan negatif, kecewa, setengah hati, bahkan penolakan. Orang dewasa belajar secara optimal ketika mereka memilih sendiri secara suka rela dalam berkomitmen untuk belajar (Knowles, 1999, hal. 256). Menjalankan elemen ini pada arena organisasi publik di NTT menunjukkan bahwa hal ini tidaklah mudah. Keberadaan organisasi sektor publik kita yang belum memiliki penetapan kinerja bagi setiap aparatur menyebabkan kekaburan dan kebingungan tentang apa sebenarnya kinerja yang ingin dicapai. Pada saat yang sama akurasi data dan informasi kinerja yang dimiliki oleh setiap organisasi sektor publik juga masih merupakan masalah yang menghantui, namun dianggap biasa-biasa saja.
Elemen pada poin empat ini, juga menjelaskan bahwa sejatinya terdapat motivasi luhur pada pembelajar orang dewasa untuk selalu menampilkan hasil kerja yang maksimal. Secara personal jika pencapaian mereka optimal maka ada kepuasan yang mereka alami. Tentunya hal ini adalah sesuatu yang baik karena menggambarkan tidak adanya keterpaksaan dalam bekerja dan berkarya. Pembelajaran pada Diklat kita harus senantiasa mendorong hal dimaksud.
5.      Orang dewasa masuk ke dalam suatu pengalaman pembelajaran dengan berpusat/berorientasi pada tugas. Jika pada anak-anak dan pemuda tujuan pembelajaran mereka adalah menyerap pengetahuan dari materi yang diberikan, dan selanjutnya jika mereka dapat lulus dalam ujian maka tujuan pembelajaran telah tercapai. Hal ini sangat berbeda dengan pembelajar dewasa di mana pembelajaran yang dilakukan akan dirasakan bermakna jika dapat membantu menyelesaikan tugas dan pekerjaannya (Knowles, 1999, hal. 256). Oleh karena itu adalah tepat, di mana Pemerintah telah menetapkan ratusan jabatan fungsional yang dapat diduduki oleh aparatur dengan pengetahuan dan keterampilan khusus. Dengan demikian maka materi kediklatan yang tersedia dapat secara spesifik menjawab kebutuhan pencapaian kinerja dari tugas yang dijalankan setiap aparatur pemerintah. Contohnya, diklat arsiparis, perencanaan, keuangan, dan manajemen konflik, akan membantu aparatur dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik dalam penataan arsip kantor, membuat perencanaan yang baik, dan mengelola konflik dengan tepat. Dengan kata lain, jenis diklat yang disediakan tidak boleh terlalu umum, mengawang-awang, dan tidak fokus dalam menjawab kebutuhan tugas aparatur.
6.      Orang dewasa termotivasi untuk belajar melalui motivator intrinsik dan ekstrinsik. Pembelajar dewasa termotivasi untuk belajar secara internal, muncul dari dalam dirinya, tetapi juga dari dorongan dari luar dirinya. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa apabila kadar need to know (kebutuhan untuk mengetahui) tinggi maka dorongan internalnya tinggi, sebaliknya jika kadar dimaksud rendah maka motivasi internalnya rendah pula. Dalam konteks aparatur kita, meskipun belum ada penelitian tentang tinggi rendahnya motivasi internal untuk belajar, akan tetapi dapat diasumsikan bahwa dengan model dan substansi tugas dan pekerjaannya yang lebih banyak bersifat rutin dan tumpul, menjalankan tugas sebagaimana biasanya, miskin inovasi dan kreasi, menunjukkan bahwa motivasi belajar aparatur secara umum rendah. Aparatur mengikuti kediklatan hanya karena Surat Keputusan (SK) yang mengharuskan dan uang transportasi (duduk) yang disiapkan panitia. Sementara itu, Pemerintah Daerah menjalankan kediklatan mungkin agar tidak terlihat terbelakang dalam pengelolaan sumber daya manusia, dan agar penyerapan anggaran pada program dan kegiatan kediklatan yang telah ada dapat terealisasi sesuai dengan jadwal pegelolaan anggaran.
Secara eksentrik pembelajar orang dewasa (baca: aparatur) termotivasi untuk mengikuti kegiatan pembelajaran dengan baik dengan didorong oleh, hal-hal seperti, peningkatan gaji, promosi, dan terciptanya kondisi kerja yang baik. Oleh karenanya prestasi pembelajaran dalam kediklatan mesti berkorelasi positif dengan promosi aparatur. Contohnya, aparatur yang masuk dalam sepuluh besar pada Diklat Pimpinan agar dipromosikan dlam jabatan-jabatan yang tepat, bukan tim sukses atau mereka yang melakukan pendekatan distruktif (koruptif) pada Kepala Daerah, keluarganya, dan atau Baperjakat. Demikian pula halnya, seorang arsiparis, widyaiswara, dan pejabat fungsional lainnya yang telah berhasil mengikuti suatu kediklatan dalam bidangnya dengan baik, kemudian dapat mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperoleh harus diberikan kenaikan gaji melalui pengingkatan tunjangan kinerja.

Kesimpulan
Pengetahuan dan pemahaman yang tepat tentang pembelajaran orang dewasa dalam Kediklatan aparatur adalah vital. Hal ini perlu dimiliki tidak hanya dimiliki oleh pihak penyelenggara diklat, tetapi juga para manager (pimpinan unit kerja) agar dapat berkolaborasi dalam mengelola kediklatan yang berkualitas. Secara faktual, dapat dikatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman mengenai elemen-elemen andragogy pada kalangan di atas masih rendah. Hal ini berbahaya  karena akan bermuara pada mutu keluaran pembelajaran diklat aparatur yang rendah. Dengan kata lain semua sumber daya publik yang digunakan dalam proses pembelajaran yang dimaksud tidak berfungsi secara optimal dalam mencapai tujuan kediklatan. Seiring dengan itu diklat yang dijalankan juga tidak akan secara siknifikan mendongkrak kinerja individu peserta diklat yang kemudian akan berkontribusi bagi peningkatan kinerja di mana ia berada.

Pengetahuan dan pemahaman keenam asumsi pembelajaran orang dewasa di atas dengan baik saja tentunya belum cukup. Pengetahuan dimaksud mesti dibumikan dalam keseluruhan proses kediklatan aparatur oleh semua pemangku kepentingan sehingga desired outcomes(hasil yang diinginkan) dapat dicapai dengan baik. Namun hal ini tidaklah mudah karena perlu ada iklim tertentu yang mendorong terselenggaranya pembelajaran orang dewasa yang efektif dalam kediklatan aparatur pada semua level.

Daftar Pustaka
1.      Cunningham, I., The Wisdom of Strategic Learning, McGraw-Hill Book Company, London, 1994.
2.      Knowels, Malcolm S., Self-Directed Learning: A Guide for Learners and Teachers, Cambridge Book Co., New York 1975.
3.      Knowels, Malcolm S., Andragogy in Action, Jossey-Bass, San Fransisco, 1984.
4.      Lindeman, Eduard C., The Meaning of Adult Education, New Republic, New York, 1926.
5.      Tough, Allen, Learning Withour Teachers, Ontario Institute for Education, Toronto, 1979.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar