Minggu, 13 Oktober 2013



Problematika Pelayanan Prima di NTT
(Drs. Alexander B. Koroh, MPM)

Pemenuhan kebutuhan dan kepuasan warga/costumer/client merupakan tujuan utama dari pelayanan prima. Dapat dikatakan bahwa frase ‘Pelayanan Prima’ diterjemahkan dari ‘Costumer Service Exellence’ (Pelayanan Terbaik bagi Pelanggan). Menurut Bill Gates dalam bukunya ‘Bussiness at the Speed of Thougt’“customer service will become the competitive differentiator for all organizations in the new digital age”. Secara bebas dapat diterjemahkan (Pelayanan terhadap pelanggan akan menjadi pembeda persaingan bagi semua organisasai dalam era digital). Hal ini berarti bahwa kepuasan pelanggan berada pada tempat utama dari setiap pelayanan. Secara empiris Pelayanan Prima telah diimplementasikan terlebih dahulu pada sektor sawasta yang kemudian diadopsi ke dalam organisasi sektor publik.

Dalam konteks Pemerintah Daerah pelayanan prima adalah pelayanan terbaik yang dapat diberikan instansi pemerintah di daerah kepada public dan atau pelanggan. Dinas, Badan, Biro, Kantor, Bagian/Bidang/Seksi secara substansial tidak hanya memiliki core business(inti urusan)yang jelas tetapi juga pelangganyang pasti.Dengan demikian masing-masing instansi memiliki kekhasan dan keterarahan dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggannya. Untuk itu, mengetahui dan menetapkan jumlah pelanggan yang akan dilayani perlu dilakukan secara tepat karena instansi memiliki keterbatasan sumber daya, baik SDM, dana, waktu, dan perlengkapan pendukung.

Dukungan Etika dan Regulatif
Nilai stewardship (kepelayanan) dan responsibilitas merupakanlandasan etis yang harus  ditanamkan dan dipelihara dengan baik dalam kalbu aparatur. Hal ini akan membantunya untuk memberikan pelayanan yang prima, karena dapat melahirkan motivasi yang tulus, tutur kata, perilaku yang sopan dan ramah dalam melayani. Keterbukaan hati dan senyum yang ramah akan membuat pelanggan merasa nyaman dalam menerima pelayanan.Akan tetapi elemen etika saja tidak cukup karena kecendrungan manusia (baca: aparatur) yang dapat berubah sewaktu-waktu sehingga dapat menyebabkannya gagal memberikan pelayanan prima.
Untuk itu, elemen regulatif menjadi krusial dalam  melaksanakan Pelayanan Prima karena memiliki  daya atur dan sanksi yang jelas dan kuat. Hal ini tampak jelas pada empat regulasi yang mendukung implementasi Pelayanan Prima. Regualsi dimaksud antara lain, Keputusan Menpanno. 63/kep/m.pan/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan  Pelayanan  Public,   Peraturan Pemerintah no.55 Tahun 2005, tentang  Pedoman dan Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM), Peraturan Menpan no. prf/20/m.pan/04/2006 tentangPedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik dan Undang-Undang Pelayanan Publik No. 25 Tahun 2009. Sayangnya hal ini tidak secara serta merta mendorong organisasi publik untuk dapat menerapkannya, karena adanya banyak kendala dan kelemahan.
Seiring dengan penjelasan di atas, penetapan Standar Pelayanan Minimum (SPM) juga membantu apraratur dan penerima layanan untuk dapat menjaga standar mutu pelayanan. Hal ini penting sehingga kualitas layanan dapat mencakup ranah yang luas dengan standar mutu yang sama. Artinya,  pelayanan kesehatan di DKI Jakarta mesti tidak ada kesenjangan dibandingkan dengan pelayanan kesehatan di Provinsi NTT. Demikian pula halnya standar mutu pelayanan misalnya perijinan, pendidikan, lingkungan hidup dan bidang pelayanan lainnya juga harus menampilkan standar mutu pelayanan yang sama antara satu Kabupaten/Kota dengan yang lainnya.
Selain aspek etika, regulasi yang mengatur implementasi pelayanan prima perlu ditegakkan, sehingga pelayanan prima dapat senantiasa terwujud. Contohnya, di New Zealand, setelah seorang bidan begitu menyelesaikan tugas pelayanannya, ia akan memberikan format evaluasi tentang kepuasan pasien yang dilayani untuk dievaluasi pasien. Hasil evaluasi tersebut kemudian dikirim ke pusat kebidanan via post yang akan dinilai secara objektif oleh evaluator. Dengan demikian tutur kata, bahasa tubuh, tingkah laku penyedia layanan akan diusahakan olehnya untuk senantiasa baik dari pada akan memperoleh sanksi jika melakukan sebaliknya.Contoh lainnya di Jerman, agar tidak terjadi kesenjangan antara aparatur dan penerima layanan, maka aparatur tidak berseragam, mereka menggunakan pakaian bebas rapi, ide besarnya adalah dengan demikian ada kesetaraan dan kesederajatan antara kedua pihak; pelanggan tidak merasa terasing atau berbeda karena melihat seragam aparatur.

Pentingnya Memenuhi Harapan Pelanggan
Mungkin sebagian besar kita sepakat dengan Speller dan Ghobadian, dalam bukunya “Managing Service Quality”(Mengelola Kualitas Layanan) yang secara terang menggambarkan bahwa, ada ketidaksukaan pada pemerintah dan masyarakat terhadap buruknya pelayanan publik karena secara historis sudah sedemikian adanya. Oleh karena itu, ada tekanan yang intens untuk membangun strategi yang lebih berorientasi kepada pelanggan ketimbang pelayanan itu sendiri.
Pertanyaan mendasar muncul, mengapa organisasi sektor publik harus menempatkan pelayanan pelanggan sebagai sesuatu yang penting? Jawaban sederhananya adalah karena memang sudah seharusnya. Tekanan yang terus meningkatkan ditujukan pada pemerintah pada setiap level untuk dapat memberikan pelayanan yang efisien, efektif, prima, sederajat, dan memberdayakan. Hal ini beriringan dengan regulasi di atas yang sejatinya merupakan penerapan dari konsep The outcomes oriented government (Pemerintah yang berorientasi pada hasil), yang pada hakekatnya pemerintah bersama-sama dengan stakeholder berupaya memenuhi kebutuhan dan kepuasan individu dan masyarakat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan dalam setiap penilaian terhadap kinerja pemerintah selalu terdapat elemen kepuasan pelanggan sebagai salah satu aspek penting yang dinilai. Agar supaya setiap instansi pemerintah dapat mengetahui tingkat kepuasan pelanggan terhadap layanannya, maka perlu mendengar keluhan dan pengaduan pelanggan serta melakukan survey terhadap kepuasan pelanggannya. Misalnya, Dinas Pertamanan dan Tata Kota dapat menggunakan institusi survey yang  handal untuk melakukan survey  kepuasan publik terhadap layanan taman kota yang disediakan Pemerintah Kota. Jika hasil survey menunjukkan bahwa individu dan masyarakat Kota Kupang puas dengan layanan dimaksud maka perlu dipertahankan kinerjanya, jika sebaliknya perlu diupayakan perbaikan sesegera mungkin.

Pelayanan Belum Prima
Kelihatannya pelayanan prima pada sebagian besar sektor kehidupan di NTT, baik pada yurudiksi provinsi dan kabupaten/kota masih jauh dari harapan. Pernyataan sinis yang menggambarkan pelayanan aparatur seperti “kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah” secara faktual masih menggambarkan suasana pelayanan kita yang pada umumnya  masih jauh dari prima. Realita juga menunjukkan masih banyak pasien yang mengeluh tentang pelayanan kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit yang buruk. Banyak pula pengguna jalan yang mengeluh tentang kondisi jalan yang berlubang dan tergenang air di musim hujan. Contoh lainnya adalah, kondisi terminal bis dan terminal pelabuhan laut yang tidak nyaman dan berbau, taman kota yang sangat terbatas jumlahnya, kondisi toilet umum yang belum memenuhi persyaratan kuantitas dan standar higenis, pelayanan air minum yang masih buruk, pasar yang amburadul, menunjukkan bahwa pelayanan pemerintah belum dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan individu dan masyarakat NTT.
Kondisi pelayanan yang buruk hendaknya tidak mematahkan hasrat dan semangat aparatur untuk mewujudkan pelayanan prima. Etika dan regulasi yang dijalankan dengan baik dapat membantu kita untuk mewujudkan pelayanan prima. Terwujudnya pelayanan prima oleh aparatur dalam berbagai sector kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, perhubungan, pertanian dan perkebunan, perikanan dan kelautan, tidak hanya akan mewujudkan rasa trust (percaya) masyarakat pada pemerintah, tetapi lebih dari itu akan membantu mewujudkan kesejahteraan individu dan masyarakat NTT.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar