Minggu, 13 Oktober 2013



KEBIJAKAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH BERBASIS PENELITIAN
 BUKAN SEKEDAR PERENCANAAN SPECULATIVE CONJECTURE

Oleh :
Wehelmina Lodia Kause
Peneliti pada Badan Pendidikan, Pelatihan,
 Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi NTT

Dalam suatu wawancara mendalam (indepth interview) dan Forum Grup Diskusi (FGD) yang dilakukan oleh Peneliti Badan Pendidikan, Pelatihan Penelitian dan  Pengembangan Daerah Provinsi NTT dan Badan Litbang Kementerian Hukum dan HAM RI terkait kerjasama penelitian tentang Kajian Implementasi Kebijakan Pertambangan di Provinsi NTT, secara khusus saya tertarik  dengan konsep perencanaan partisipatif  sebagai langkah awal yang dilakukan oleh pemangku kebijakan di daerah. Fokus persoalan yang menarik adalah ketika masyarakat dilibatkan dalam proses penentuan kebijakan yang bertindak sebagai subyek pembangunan padahal untuk menghasilkan suatu kebijakan yang berkualitas perlu tahapan-tahapan yang panjang dengan analisis yang mendalam. 

Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (1996) perencanaan partisipatif adalah proses perencanaan yang diwujudkan dalam musyawarah dimana sebuah rancangan rencana dibahas dan dikembangkan bersama semua pelaku pembangunan (stakeholders) seperti  aparat penyelenggara negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), masyarakat, rohaniwan, dunia usaha, kelompok profesional, organisasi-organisasi non-pemerintah. Bagi pemerintah perencanaan partisipatif adalah sebuah model perencanaan terbaik namun, ironisnya perencanaan partisipatif maupun bottom up yang dianggap sebuah model perencanaan terbaik justru mendatangkan sikap pro dan kontra di kalangan masyarakat. Contoh kebijakan pemerintah daerah di Provinsi NTT yang menuai sikap penolakan  oleh masyarakat seperti kebijakan Tambang Marmer di Fatumnasi Kabupaten TTS tahun 2006, yang berujung penghentian dan pencabutan ijin pertambangan oleh Bupati. Demikian pula tambang emas di Kabupaten Lembata yang mengalami nasib yang sama dengan marmer di TTS yang berakhir pada pemberhentian pertambangan di wilayah tersebut.  Kasus lainnya, seperti Tambang Marmer di Tiwutoka, desa Ondorea kecamatan Nangapanda kabupaten Ende, Tambang Mangan di Serise, Luwuk, Lingko Lolok dan Torong Besi Desa Robek kecamatan Reo Manggarai, Tambang emas di Wanggameti di Kabupaten Sumba Tengah, tambang mangan di TTS dan berbagai permasalahan pertambangan lainnya yang menimbulkan sikap penolakan oleh masyarakat bahkan timbul pula konflik internal dan ekternal terkait dengan kebijakan tersebut.  

Kebijakan Berbasis Penelitian
Menyadari kemajuan informasi  dan fenomena  globalisasi maka tentu saja dituntut paradigma baru dalam perencanaan pembangunan. Paradigma kebijakan berbasis penelitian di dunia ketiga sangat kontras dengan Negara-negara maju. Di Negara-negara maju, penelitian mendahului pengembangan sedangkan di dunia ketiga pengembangan mendahului penelitian.  
Heartland theory yang dikenalan oleh Sir Halford J. Mackinder  ahli geography dari Inggris yang menulis paper pada tahun 1904 “The Geographical Pivot of History” disebutkan bahwa jika anda ingin menguasai dunia, maka kuasailah Eropa. Teori tersebut sangat mempengaruhi pola pikir bangsa barat. Dalam sejarah terlihat bahwa barat menguasai bangsa-bangsa Asia Afrika karena mengandalkan ilmu pengetehuan dan teknologi. Penelitian sebagai gambaran ilmiah tentang masa depan pembangunan bangsanya. Demikian pula teknologi yang dikembangkan membuat mereka berhasil menguasai wilayah Asia Afrika. Melalui kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka miliki, barat terus “memeras” negara-negara berkembang. Kekayaan alam negara-negara berkembang terus dikeruk untuk keuntungan yang maksimal.
Beberapa negara di Asia seperti Jepang dan China serta India mulai mengembangkan pembangunan berbasis penelitian. Pusat-pusat penelitian dibangun, jumlah institut-institut teknik ditambah, alokasi pendanaan ditingkatkan, generasi terbaik dilibatkan dan masih banyak upaya lainnya. Jepang yang miskin sumber daya alam sudah diakui kemajuannya dalam teknologi, demikian pula China dan India yang muncul sebagai New Emerging Power di dunia. Melihat kondisi ini, maka sudah saatnya bagi bangsa Indonesia untuk belajar dari Jepang, China dan India. Indonesia bahkan pernah memiliki IPTN yang pada saat  masih beroperasi mampu membuat dunia kagum. Sayang program tersebut terhenti di tengah jalan. Meskipun demikian, tentu tidak ada kata terlambat untuk memulai.
Sekelumit persoalan yang dialami bangsa Indonesia dan Pemerintah Daerah di wilayah Provinsi NTT dapat diselesaikan dengan pendekatan berbasis penelitian untuk mencari model-model kebijakan berkualitas terkait mencapai arah pembangunan yang jelas dan terukur. Dalam konteks tersebut, Pemerintah Provinsi NTT perlu membuat perencanaan kebijakan pembangunan daerah berbasis penelitian.  Model perencanaan yang terbaik menurut pemerintah seperti perencanaan partisipatif dan bottom up belum  menjawab kebutuhan masyarakat justru belum  memiliki basis data yang cukup dan lengkap (spekulative conjecture) untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang berkualitas namun membuka peluang masuknya berbagai kepentingan-kepentingan didalamnya.

Pentingnya Pembentukan dan Penguatan Kelembagaan Litbang Sebagai Penunjang Utama Pembangunan Daerah
Undang-undang dasar 1945  (Amandemen) Pasal 31 ayat 5 yang menyebutkan bahwa “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai dan persatuan bangsa untuk memajukan beradaban serta kesejahteraan umat manusia” karena itu  penelitian, pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat penting dan mutlak diperlukan.
Sebuah Negara atau bangsa yang maju harus didukung oleh penelitian, pengembangan dan penerapan  ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Ketertinggalan suatu bangsa pada umumnya sangat ditentukan oleh ketertinggalan dalam penguasaan  ilmu pengetahuan dan teknologi meskipun memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah apalagi jika potensi sumberdaya alam itu sudah semakin terbatas, maka tuntutan akan kebutuhan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi akan semakin penting dan mendesak. Dalam kondisi seperi itulah  bangsa Indonesia khususnya Pemerintah  Provinsi NTT harus merasa perlu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penguatan  kelembagaan  penelitian dan pengembangan di daerah. Penguatan kelembagaan litbang juga  didukung oleh Permendagri No.20 Tahun 2011 tentang Penelitian dan Pengembangan  terkait dengan pembentukan lembaga penelitian di lingkungan pemerintahan daerah. Beberapa Provinsi lain di Indonesia sudah membentuk lembaga penelitian dan pengembangan daerah.
Pembentukan dan penguatan kelembagaan penelitian dan pengembangan di daerah perlu dilakukan dengan merubah  pola pikir (mindset) tentang peran penelitian  sebagai penunjang utama pembangunan daerah. Inovasi dan teknologi baru perlu terus ditumbuh-kembangkan oleh lembaga-lembaga penelitian atau perseorangan yang mempunyai tugas pokok dan fungsi  untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti lembaga pendidikan tinggi, badan penelitian dan pengembagan daerah, balai-balai peneltian,  dan lain sebagainya.  Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi NTT perlu membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan (BPP) di daerah dan meningkatkan kapasitas peneliti sehingga memiliki kemampuan profesional dalam melakukan penelitian dalam kelembagaan penelitian dan pengembangan. Dengan demikian dalam menjalankan peranan kebijakan perencanaan pembangunan daerah  Provinsi NTT, peranan Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) dan Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (BPPD)  dalam proses perancangan kebijakan public memiliki posisi yang sama penting (srtategis). Sehingga kualitas kebijakan perencanaan pembangunan daerah turut ditentukan oleh suatu proses penelitian sebagai input untuk menghasilkan produk perencanaan yang berkualitas. Paradigma baru dalam kebijakan perencanaan pembangunan harus berbasis penelitian sebab jika kebijakan pemerintah masih berdasar pada speculative conjecture maka kita pasti  tersisih dan tertinggal dari kancah persaingan global.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar