Minggu, 13 Oktober 2013



Pembangunan Gedung Kantor Gubernur lagi, Relevankah?

Drs. Alexander B. Koroh, MPM

Gedung kantor pemerintah padasetiap level adalah sebagai tempat di mana berbagai aktivitas kepemerintahan digagas, direncanakan, dilaksanakan, dikendalikan, diarsipkan,dan dievaluasi. Akan tetapi kadar implementasi aktivitas kepemerintahan yang bersentuhan langsung dengan individu dan masyarakat adalah berbeda antara masing-masing level. Misalnya, pada kantor kementerian, kegiatan pemerintahan yang bersentuhan dengan individu dan masyarakat relatif jarang terjadi. Yang ada adalah kegiatan pemerintahan yang berlangsung antar aparatur baik aparatur antar kementrian, maupun antara aparatur kementerian dan aparatur pemerintah daerah. Sebaliknya pada level pemerintah daerah seperti Kabupaten dan Kota kebersentuhan individu dan masyarakat dengan pemerintah seyogianya lebih tinggi. Pemerintah provinsi dalam aktivitas kepemerintahannya intensitas kebersentuhan aparaturnya dengan individu dan masyarakat lebih rendah dari pemerintah Kabupaten dan Kota. Besar atau kecilnya gedung pemerintah ditujukan untuk mengakomodir semua kegiatan kepemerintahan sesuai kebutuhan publik.


Gagasan di balik Pembangunan Gedung Kantor Gubernur
Gedung Kantor Gubernur (yang terbakar bulan Agustus 2013) dibangun pada akhir tahun 1970an dan kemudian mulai digunakakan pada tahun 1980an. Pada saat itu, Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Tingkat I memiliki peran yang sangat kuat. Meskipun penyelenggarakan pemerintah daerah didasarkan pada asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan tetapi keberadaan Gubernur sebagai penguasa tunggal menunjukkan betapa nuansa sentralisasi sangat kuat. Oleh karena itu, gedung kantor gubernur di jalan El Tari dibangun dengan bentuk yang kokoh, besar, dan sangat menonjol di bilangan jalan tersebut. Pada aras ini, bangunan Kantor Gubernur tersebut merepresentasikan kekuasaan pemerintah yang menonjol dan kuat dalam relasinya dengan pemerintah kabupaten, dan juga dengan masyarakat. Dengan demikian pada era pemerintah di daerah (UU No. 5/ 1974), tidaklah mengherankan jika gedung kantor Gubernur adalah bangunan yang lebih megah dan menonjol dibandingkan dengan kantor-kantor Bupati se-NTT; karena Kabupaten adalah Daerah Tingkat II di bawah Daerah Tingkat I.
Era di atas telah berakhir, dewasa ini beberapa Gedung Kantor Bupati di NTT lebih besar dari Kantor Gubernur NTT, contohnya Kantor Bupati Kupang, Bupati Sumba Barat Daya, Rote Ndao dan lain-lain. Secara praktis kelihatannya pembangunan gedung Kantor Bupati yang besar diharapkan untuk mengakomodir intensitas kebersentuhan individu dan masyarakat yang tinggi dengan aparatur pemerintah kabupaten.  Akan tetapi ada paradox, karena gedung yang megah dan sangat besar tersebut dalam aktivitas sehari-hari justru sibuk dengan urusan internalnya dengan intensitas kebersentuhan dengan individu dan masyarakat yang rendah. Oleh karenanya, ada gedung kantor yang besarnya tidak sepadan dengan jumlah pegawai. Contohnya,  gedung Bappeda Kabupaten Kupang yang besar tidak kompetibel dengan jumlah pegawai yang relatif kecil. Dengan kata lain banyak ruang bangunan yang mubazir.Dengan demikian dukungan dana yang besar dalam pembangunan gedung dimaksud tidak mencapai hasil yang telah ditetapkan. Seiring dengan itu, tentunya juga dibutuhkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit untuk pemeliharaan gedung yang besar. Singkatnya gedung yang besar dan megah tersebut pada akhirnya hanya menjadi beban bagi pemerintah daerah.
Dewasa ini, kita sedang berada dalam era elektronik/digital. Penyelenggaraan pemerintahan juga dijalankan secara elektronik. Itulah sebabnya kita mendengar istilah e-government (pemerintah elektronik) dan e-procurement (pengadaan barang dan jasa secara elektronik). Dalam implementasinya, berbagai aktivitas kepemerintahan termasuk pengelolaan data dan informasi  secara digital. Era ini menunjukkan bahwa data dan informasi tidak lagi diarsipkan/disimpan pada kertas atau secara manual, atau dengan kata lain sangat sedikit menggunakan kertas (paperless) tetapi disimpan secara elektronik pada disk. Hal ini juga berarti bahwa pemerintah bisa beroperasi secara efisien dan ekonomis karena dapat mengurangi ongkos pembelian kertas, tinta dan tip ex dalam jumlah yang signifikan. Hal ini juga berarti, gedung pemerintah tidak perlu terlalu besar karena arsip manual sudah jauh lebih sedikit.

Tidak perlu dibangun lagi
Merujuk pada penjelasan di atas, penulis berpikir bahwa Pemerintah Provinsi NTT tidak perlu untuk membangun kembali Kantor Gubernur di Jalan El Tari. Kantor Gubernur di Tingkat Satu yang kini sudah ditempati beberapa SKPD dan masih diteruskan sisa pembangunannya sudah memadai. Mengingat arus jaman yang bergerak ke arah organisasi sektor publik yang lebih efisien, efektif, dan ekonomis. Artinya, ke depan struktur dalam organisasi sektor publik akan diperkecil sesuai kebutuhan riil (downsizing and rightsizing) bahkan jumlah dinas, badan, biro, kantor juga harus dikurangi. Sebagai konsekwensi dari prospek organisasi sektor publik Pemerintah Provinsi NTT yang kecil maka pembangunan Kantor Gubernur NTT yang terbakar tidak perlu dibangun lagi. Karena gedung kantor Gubernur di Tingkat I sudah akan dapat mengakomodirnya.
Pembangunan kantor tersebut jika dilakukan akan menunjukkan ketidakberpihakkan Pemerintah Provinsi pada kebutuhan publik. Karena sesungguhnya, individu dan masyarakat NTT masih mempunyai banyak kebutuhan dasar publik yang belum terpenuhi. Sebab jika itu dilakukan akan banyak dana publik yang digunakan untuk kegiatan dimaksud. Dengan kata lain, Pemerintah Provinsi tidak memiliki kepekaan dan daya tanggap terhadap kebutuhan publik. Hal ini berbahaya karena pemerintah sedang kehilangan maknanya yang pada gilirannya publik akan berpikir bahwa mungkin mereka tidak memerlukan pemerintah, sebab pemerintah tidak hadir untuk memecahkan masalah mereka, tetapi hanya sibuk dengan kepentingannya sendiri.
Selaras dengan itu, Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri secara regulatif telah melarang Pemerintah Daerah untuk membangun gedung-gedung kantor yang besar, megah, dan mewah. Secara substansial pengabaian terhadap regulasi ini akan mendorong Pemerintah Daerah untuk mengelola sumber daya finansialnya secara tidak pro publik.Oleh karena itu, adalah jauh lebih baik jika Pemerintah Provinsi NTT mematuhi regulasi tadi untuk tidak membangun gedung kantor Gubernur lagi. Dengan demikian akan terdapat penghematan dana publik yang besar yang dapat diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan dasar publik yang masih terabaikan. Kebutuhan dasar dimaksud sangat urgent untuk dipenuhi Pemerintah Provinsi NTT.

Taman Warga
Bangunan yang sudah terbakar sebaiknya diratakan kemudian dibangun taman kota. Sebagai Ibu Kota Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 400 jiwa, Kota ini masih sangat kekurangan ruang terbuka hijau. Mengubah situs bangunan kantor Gubernur yang sudah terbakar menjadi taman kota adalah suatu pilihan yang brilian dan futuristik. Karena akan memperluas tidak hanya daerah resepan air di sekitar Oebufu yang sebagian besar arealnya telah berubah menjadi bangunan, tetapi juga akan menjadikan areal yang rindang dan nyaman karena adanya ketersediaan oksigen yang memadai. Hal ini akan  bermanfaat bagi publik dan kelestarian lingkungan hidup. Hemat penulis jika Pemerintah Provinsi melakukan hal ini, maka tampak betapa Pemerintah Provinsi memiliki pandangan yang strategis dan jauh ke depan. Tetapi jika sebaliknya, jika mengutamakan pembangunan gedung kantor Gubernur yang telah terbakar maka tampak kepicikan wawasan yang hanya mengutamakan kepentingan jangka pendek yang bertentangan dengan arus jaman dan kepentingan publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar