Minggu, 24 November 2013


EMPATI PADA KORBAN BADAI HAIYAN DI PHILIPINA
Drs. Alexander B. Koroh, MPM

Badai Haiyan adalah angin tofan paling kuat yang pernah melanda Phlipina. Badai dengan kecepatan di atas 300 Km per jam tidak saja melululantahkan semua bangunan dan vegitasi di beberapa provinsi di negeri itu, tetapi lebih dari itu, badai tadi juga telah merunggut nyawa di atas  10.000 orang. Bersamaan dengan itu menurut CNN, Aljazeera, dan BBC sekitar 9,5 juta orang terkena dampak buruk dari super taifoon Haiyan ini (badai super Haiyan). Oleh karena itu, sangat jelas bagi kita, betapa beratnya beban dan penderitaan yang sedang dihadapi oleh sesama kita yang tertimpa bencana dahsyat tadi. Tentunya tak terperikan kepedihan, kebingungan, dan keputusasaan bagi korban bencana kehilangan tempat tinggal, mengalami cedera berat, dan kehilangan orang-orang yang dikasihi mereka. Dalam kondisi seperti ini, harus ada empati secara masiv dari seluruh umat manusia untuk meringankan beban dan penderitaan para korban. Ketanggapan Presiden SBY untuk segera mengirimkan bantuan kemanusiaan bagi para korban patut diapresiasi. Namun, ini saja tidak cukup karena memang dibutuhkan empati yang masiv tidak hanya dari Pemerintah tetapi dari setiap kita. Dengan demikian adalah tidak tepat bila kita berdiam diri saja sambil memandang bahwa apa yang telah dilakukan Pemerintah telah memadai karena kita tidak perlu melakukan apa-apa lagi.


Sudahkah Kita Berempati?
Empati sangat penting dalam kehidupan manusia. Empati adalah salah satu modal sosial yang ikut menentukan kemajuan dan kemunduran kualitas hidup keluarga, negara, dan komunitas global. Roman Krznaric, Ph.D.salah seorang penasihat empati pada berbagai organisasis termasuk Oxfam dan PBB mendefinisikan, “Empathy is the ability to step into the shoes of another person, aiming to understand their feelings and perspectives, and to use that understanding to guide our actions. That makes it different from kindness or pity.Definisi ini dapat diterjemahkan “Empati adalah suatu kemampuan untuk masuk dalam sepatu orang lain, dimaksudkan untuk mengerti perasaan dan cara pandang mereka, dan menggunakan pengertian tadi untuk menuntun perbuatan/tindakan kita. Inilah yang membedakan empati dari kebaikan atau kasihan.” Merujuk pada definisi ini tampak bahwa setiap individu memiliki bobot atau kadar empati yang berbeda-beda. Ada yang memiliki empati yang rendah, sedang, dan tinggi. Oleh karena itu, di beberapa negara maju biasanya dilakukan penelitian tentang seberapa besar bobot empati yang dimiliki oleh mereka dari generasi ke generasi. Karena dengan mengetahui bobot empati pada suatu komunitas akan dapat diketahui kecendrungan antusiesme komunitas tadi untuk berkontribusi signifikan dalam memecahkan berbagai masalah sosial.
Dalam konteks  NTT terkait degan tofan Haiyan yang telah meluluhlantakan kehidupan begitu banyak warga di Philipina, tampaknya sebagai komunitas global mungkin sebagian besar kita belum memiliki empati yang memadai. Belum nampak aktivitas spontan yang antusias untuk merasakan dan memahami apa yang sedang dialami para korban kemudian dengan serius mengambil langkah-langkah konkrit untuk ikut meringankan beban mereka sesuai kemampuan kita. Belum tampak adanya posko-posko kemanusiaan yang menggalang dana dan materil untuk para korban. Memang sebagian besar kita mempunyai pendapatan yang relatif rendah dengan beban kehidupan masing-masing. Namun tentunya kita sepakat bahwa keadaan kita saat ini jauh lebih baik ketimbang sesama kita para korban di Philipina. Lebih dari itu, sejak kecil sebagian besar kita telah diajarkan bahwa hal memberi yang terbaik adalah memberi dari kekurangan. Alangkah baiknya jika kita dapat mempraktekkan prinsip memberi ini. Untuk itu, gereja tidak hanya secara lantang mendoakan para korban melalui doa safaat tetapi lebih dari itu, harus memberikan bantuan langsung baik dengan mengirimkan para relawan, memberikan bantunan materil maupun finansial. Hal yang sama juga perlu dilakukan oleh berbagai asosiasi masyarakat sipil yang ada di NTT. Jika hal ini dapat kita lakukan maka kita telah menjadikan empati sebagai suatu gerakan massa yang akan sangat berguna dalam membantu para korban. Pada saat yang sama kita juga sedang membangun suatu standar empati massive yang menjadi modal sosial kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar