Selasa, 17 Desember 2013



Anggaran Berbasis Kinerja: Problematika Penerapannya di Provinsi NTT

Alexander B. Koroh
Anggota Forum Instruktur Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi NTT.


Pemerintah menyelenggarakan berbagai core business (inti urusan) untuk mencapai  berbagai tujuan strategis. Tujuan-tujuan dimaksud memberikan sense of navigation (rasa keterarahan) pada pemerintah dalam  mengelola berbagai sumber daya publik. Anggaran sebagai salah satu elemen sumber daya publik ada untuk mendukung pelaksanaan inti urusan dalam mencapai tujuan strategis. Oleh karena itu, Anggaran Berbasis Kinerja (ABK) dipandang tepat untuk digunakan dalam pengelolaan keuagan pemerintah karena  dalam model ABK dana ada untuk mendukung pencapaian output (keluaran) dan outcome (hasil) yang merupakan penjabaran dari berbagi tujuan strategis. Tujuan-tujuan strategis dimaksud termuat pada Rencana Strategis. Secara ringkas, model ABK beroperasi di atas prinsip money follows functions (uang mengikuti fungsi).


Makna ABK
Secara substansial Anggaran berbasis kinerja sangat berbeda dengan metoda tradisionalatauitem line budget. Karenapenyusunan item line budge ttidak didasarkan pada analisa rangkaian kegiatan yang harus dihubungkan dengan tujuan yang telah ditentukan, namun lebih dititik beratkan pada kebutuhan untuk belanja dan system pertanggungjawabannya tidak diperiksa dan diteliti apakah dana tersebut telah digunakan secara efektif dan efisien atau tidak. Tolok ukur keberhasilan hanya ditunjukkan dengan adanya keseimbangan anggaran antara pendapatan dan belanja namun jika anggaran tersebut deficit atau surplus berarti pelaksanaan anggaran tersebut gagal.
Definisi yang relatif tegas disampaikan oleh Fielding Smith (1999) dalam tulisannya Public Budgeting and Finance. Ia mendefinisikan performance-based budgeting allocates resources based on the achievement of specific, measurable outcomes.”( Anggaran berbasis kinerja mengalokasikan sumber daya (dana) didasarkan pada pencapaian outcome (hasil) yang spesifik dan dapat diukur. Menurut Bank Dunia “definisi ini menjanjikan suatu hubungan yang rasional dan mekanistik antara ukuran-ukuran kinerja dan alokasi sumber daya , dengan kemampuan untuk menetapkan tingkatan keluaran yang dapat dicapai dengan sejumlah sumber daya.” Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dana/anggaran sebagai salah satu elemen dari sumber daya publik bertujuan untuk mencapai keluaran dan hasil. Dengan kata lain ada target tertentu yang pasti dan jelas yang akan dicapai dalam setiap penggunaan keuangan pemerintah. Sejatinya output dan outcome yang akan dicapai adalah untuk memenuhi kebutuhan publik/warga negara bukan untuk memenuhi kebutuhan organisasi sektor publik.
Secara regulatifPP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuanga Daerah Pasal 38 ayat 2 mengatur bahwa “Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan standar pelayanan minimal”. Indikator kinerja yang harus dicapai adalah sampai pada level indikatori kinerja outcome. Hal ini adalah wajar karena pemerintah menggariskan dalam regualsi lainnya  bahwa pemerintahan diselenggarakan dalam paradigma outcome oriented government(pemerintah yang berorientasi pada hasil). Artinya bahwa setiap program dan kegiatan yang dijalankan pemerintah harus mencapai outcome yang telah ditetapkan. Oleh karena itu pemerintah pada setiap aras perlu memahami dengan tepat konsep Managing for Outcomes(Pengelolaan untuk Hasil) sehingga dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi setiap kegiatan program dapat mencapai desired outcomes (hasil yang diinginkan).
Pada tataran praktis, ABK tampak jelas pada Rencana Kerja Anggaran SKPD 2.2.1. di mana capaian indikator kinerja ditentukan terlebih dahulu pada bagian tabel bagian atas format tadi, lalu disusul oleh pos-pos belanja yang mendukung pencapaian indikator kinerja. Indikator Kinerja adalah ukuran kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indicator kinerja harus merupakan suatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahapan perencanaan, tahap pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai da nbermanfaat (berfungsi).

Beberapa Permasalahan
Dalam implementasi ABK di Provinsi NTT masih terdapat banyak kelemahan sehingga berbagai keunggulan metode penganggaran belum tercapai. Menurut Bank Dunia dalam penganggaran terdapat bebarapa masalah makro. Pertama, kualitas perencanaan yang rendah. Penyebabnya antara lain, ketersediaan data yang tidak memadai/tidak valid; data tersedia tetapi tidak dijadikan sebagai basis perencanaan; tidak didasarkan atas identifikasi isu/permasalahan. Kedua, keterkaitan antara pembuatan kebijakan, perencanaan dan penganggaran tidak jelas. Ketiga, kegiatan pengendalian pengeluaran masih lemah. Keempat, pembiayaan untuk operasi dan pemeliharaan  kurang mencukupi. Keenam, laporan kinerja tidak memadai.
Dalam konteks NTT, secara lebih spesifik permasalahan dalam pengelolaan ABK di Provinsi NTT meliputi beberapa hal. Pertama, dalam perencanaan ABK pada umumnya SKPD cenderung mengabaikan RPJMD dan Renstra, sehingga kaitan logis antara indikator kinerja output dan outcome program/kegiatan dengan Indikator Kinerja Kunci (IKK) lemah. Kedua, jusifikasi pengusulan program/kegiatan yang lemah. Hal ini terjadi karena, sebagian besar SKPD belum membahas program/kegiatannya secara mendalam. Akibatnya dasar regulasi, kaitan logis, dan landasan akademik program dan kegiatan lemah dan kurang jelas. Mungkin karena para pejabat di SKPD banyak menghabiskan waktunya di luar daerah, sehingga tidak punya cukup waktu dan energi untuk pembahasan internal dimaksud. Keempat, dalam pembahasan RKA SKPD dengan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) berlangsung secara mendadak dan tidak mendalam, karena draft RKA baru diberikan pada TAPD saat pembahasan mulai dilaksanakan. Sebaiknya draft RKA dimaksud telah diberikan kepada TAPD seminggu sebelum jadwal pembahasan, shingga TAPD dapat menelaahnya secara mendalam. Dengan demikian, catatan perbaikan akurat dan berbobot. Artinya dari segi keterkaitan logis antara indikator kinerja program/kegiatan dan Renstra dan RPJM kuat dan jelas. Tambahan pula, anggaran pada setiap kegiatan harus wajar dan sesuai dengan prinsip Analisis Standar Belanja (ASB). ASB adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.
Kelima, rendahnya pemahaman pemerintah daerah terhadap konsep Managing for Outcome (MFO) membuat penetapan indikator kinerja outcome dilakukan SKPD tanpa keterlibatan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini ikut mempersulit tercapainya indikator kinerja outcome kegiatan yang secara logis akan memberikan konsekwensi pada ketidaktercapaian tujuan strategis di atasnya.
Akhirnya, dapat dikatakan jika tidak ada upaya perbaikan serius terhdapa berbagai kelemahan penerapan ABK di atas, maka penerapan ABK tidak akan memberikan dampak nyata bagi pencapaian tujuan-tujuan strategis pemerintah daerah di NTT. Contohnya, jika Pemerintah Provinsi NTT enggan memperbaiki kelemahan-kelemahan di atas, sebagai konsekwensinya akan sulit bagi Pemerintah Provinsi untuk mewujudkan Provinsi NTT sebagai provinsi jagung, ternak, cendana, koperasi dan pariwisata. Kalau pada pencapaian 4 (empat) tekad pada periode 2008 s/d 2013 tidak jelas hasilnya, tentunya kita tidak menginginkan hal yang sama terjadi pada 5 (lima) tekad (+Pariwisata). Pepatah kuno mengingatkan kita, “Hanya keledai bodohlah yang teraperosok pada lubang yang sama.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar