Rabu, 27 Januari 2016

KONSEP PENGEMBANGAN DESA TABLOLONG KECAMATAN KUPANG BARAT BERDASARKAN POTENSI WILAYAH
Oleh:
Baswara Anindita
bazwara@gmail.com

Abstrak
Desa Tablolong adalah desa pesisir dengan luas wilayah 9,01 Km2, jumlah penduduk adalah 1195 jiwa yang terdiri dari perempuan 575 jiwa dan laki-laki 620 jiwa. Kepadatan penduduk di Desa Tablolong adalah 133 jiwa/km2, dengan jumlah kepala keluarga (KK) sejumlah 283 KK. Komoditi unggulan Desa Tablolong adalah rumput laut, jenis rumput laut yang dikembangkan penduduk adalah Eucheuma Cotonii (Katoni) dan Eucheuma Spinosum (SP), dengan tingkat produksi kotoni pada tahun 2007 adalah 500 ton dan tahun 2008 480 ton, namun semenjak bocornya kilang minyak mokantara Australia pada tahun 2009 kemampuan produksi menurun tercatat pada tahun 2014 hanya sejumlah 289 ton menurun 45% akibat efek pencemaran Laut Timor dari kilang Mokantara. Potensi wilayah yang dapat dikembangkan adalah wisata pantai, wisata alam, wisata budaya, wisata pemancingan, wisata kuliner dan industri kreatif. Walaupun kondisi eksisting saat ini untuk infrastruktur dasar pendukung pariwisata dalam keadaan minim,rusak/hancur namun dapat dilakukan pengembangan dan perbaikan. Saat ini sudah ada homestay dan Hotel yang telah dibangun walaupun masih diliputi permasalahan. Konsep pengembangan yang cocok bagi Desa Tablolong adalah dengan menggunakan pendekatan tata ruang yaitu water front dan pendekatan pariwisata yaitu eco tourism, dimana gagasannya adalah menjadikan laut sebagai beranda depan dan menetapkan Desa Tablolong sebagai Desa Wisata. Konsep pengembangan wilayah yang dilakukan dapat dilakukan secara bersamaan antara pendekatan dari bawah dimana aspirasi masyarakat menjadi pendorong utama dan konsep pengembangan wilayah dari atas dimana pemerintah sebagai faktor kunci penggerak pembangunan. Pendekatan ini dikenal dengan Sistem Top Down dan Bottom Up dimana konsep pertumbuhan kutub, integrasi fungsional-spasial dan desentralisasi teretorial sangat mungkin dikembangkan.
Kata Kunci: Potensi, Pengembangan, Water front, Eko wisata
I.              Pendahuluan
1.1         Latar Belakang
Definisi pembangunan ekonomi secara umum adalah proses dimana pendapatan perkapita suatu negara/wilayah meningkat dalam kurun waktu yang panjang, dengan catatan bahwa jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan absolut tidak meningkat dan distribusi pendapatan tidak semakin timpang.
Dalam pembangunan ekonomi, peningkatan pendapatan sebagai hasil dari proses pembangunan belum dirasakan secara merata oleh seluruh masyarakat. Keadaan ini disebut sebagai adanya masalah dalam pembangunan. Tiga masalah utama pembangunan ekonomi adalah pengangguran, kemiskinan, dan kesenjangan, baik kesenjangan antargolongan penduduk, antar sektor, maupun antar daerah. Ketiga masalah tersebut saling berkaitan.
Kebijaksanaan pembangunan yang sistematis diperlukan untuk memperkecil kesenjangan. Berdasarkan pengalaman empiris, strategi pembangunan yang semata-mata mengutamakan pertumbuhan terbukti tidak mampu memecahkan masalah justru sebaliknya acapkali mempertajam kesenjangan, keterbelakangan, dan ketertinggalan.
Kesenjangan atau disparitas pembangunan marak terjadi di berbagai negara bahkan di Indonesia sekalipun. Kesenjangan pembangunan di Indonesia sangat dirasakan terutama adanya pembagian wilayah barat dan timur Indonesia. Wilayah barat sangat maju sedangkan wilayah timur masih banyaj yang tertinggal.
Sejalan dengan hal tersebut di Provinsi NTT khususnya di Kota Kupang dan Kabupaten Kupang yang merupakan wilayah terdekat dengan Provinsi juga mengalami kesenjangan pembangunan. Dengan laju pertumbuhan Kota Kupang sebagai ibukota Provinsi ternyata setelah 57 tahun sejak Provinsi NTT terbentuk masih nampak nyata kesenjangan antara wilayah Kota Kupang dan wilayah hinterlandnya dalamhal ini Kabupaten Kupang.
Untuk melihat sejauh mana kesenjangan yang terjadi dan potensi serta konsep pengembangan wilayah hinterland maka observasi dilakukan di Desa Tablolong sebgai kawasan hinterland Kota Kupang.

1.2         Perumusan Masalah
Laju pertumbuhan Kota Kupang yang meningkat pesat tidak signifikan dengan laju pertumbuhan daerah hinterland nya. Salah satu daerah hinterland Kota Kupang adalah Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang yang didalamnya termasuk Desa Tablolong. Walaupun dari segi potensi wilayah Desa Tablolong memiliki keunggulan yang mampu mendorong pertumbuhan wilayah secara cepat namun hingga saat ini, potensi tersebut belum mampu menjadikan Desa Tablolong sebagai Desa yang maju dan mandiri. Berdasarkan uraian pada latar belakang maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah :
a.       Potensi-potensi apa saja yang dimiliki Desa Tablolong?
b.      Bagaimana konsep pengembangan wilayah Desa Tablolong ke depan berdasarkan potensi wilayah yang ada?

1.3         Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah :
a.       Untuk mengetahui potensi-potensi yang berada/dimiliki oleh Desa Tablolong Kecamatan Kupang Barat.
b.      Mendesain konsep pengembangan wilayah Desa Tablolong ke depan berdasarkan potensi wilayah yang ada.

II.           Kajian Pustaka dan Metodologi
2.1 Kajian Pustaka
Dalam proses pembangunan ketimpangan pembangunan dapat saja terjadi. Ketimpangan yang terjadi tidak hanya terhadap distribusi pendapatan masyarakat, akan tetapi juga terjadi terhadap pembangunan antar daerah di dalam wilayah suatu negara.
Jeffrey G. Williamson (1965) meneliti hubungan antara disparitas regional dengan tingkat pembangunan ekonomi, dengan menggunakan data ekonomi negara yang sudah maju dan yang sedang berkembang. Ditemukan bahwa selama tahap awal pembangunan, disparitas regional menjadi lebih besar dan pembangunan terkosentrasi di daerah-daerah tertentu. Pada tahap yang lebih “matang”, dilihat dari pertumbuhan ekonomi, tampak adanya keseimbangan antardaerah dan disparitas berkurang dengan signifikan.
Williamson menggunakan Williamson Index (Indeks Williamson) untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah. Indeks Williamson menggunakan PDRB per kapita sebagai data dasar. Alasannya jelas bahwa yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah bukan tingkat Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di pedesaan umumnya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan mereka yang tinggal di perkotaan. Urban Rural Income Disparities (Ketimpangan pembangunan/pendapatan antara wilayah perkotaan dengan wilayah pedesaan), terjadi karena pembangunan yang lebih terfokus pada wilayah perkotaan dibandingkan dengan pembangunan wilayah pedesaan.
Hal ini terlihat dari perubahan struktur ekonomi dan proses industrialisasi, dimana investasi ekonomi oleh swasta maupun pemerintah (infrastruktur dan kelembagaan) cenderung terkonsentrasi di daerah perkotaan. Selain itu, kegiatan ekonomi di wilayah perkotaan masih banyak yang tidak sinergis dengan kegiatan ekonomi yang dikembangkan di wilayah pedesaan. Akibatnya peran kota yang diharapkan dapat mendorong perkembangan pedesaan (trickling down effects), justru memberikan dampak yang merugikan pertumbuhan pedesaan (backwash effects).
Faktor internal pedesaan seperti sebaran spasial penduduk pedesaan yang terpencar-pencar dan minimnya kesempatan kerja, juga menghambat perkembangan wilayah pedesaan. Sebaran spasial penduduk pedesaan yang terpencar-pencar menyebabkan mahalnya biaya penyediaan barang dan jasa publik secara efektif untuk masyarakat pedesaan. Relatif melimpahnya jumlah tenaga kerja yang tanpa disertai ketersediaan kesempatan kerja dibandingkan dengan kawasan non-pedesaan, menjadikan masyarakat pedesaan tidak produktif.
Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, ketimpangan tenaga kerja, dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan (Riadi, 2007 : 2). Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Bertitik tolak dari kenyataan itu, ketimpangan/kesenjangan antar daerah merupakan konsekuensi logis pembangunan dan merupakan suatu tahap perubahan dalam pembangunan itu sendiri.
Menurut Myrdal (1957), perbedaan tingkat kemajuan ekonomi antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects) mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan. Pelaku-pelaku yang mempunyai kekuatan di pasar secara normal akan cenderung meningkat bukannya menurun, sehingga mengakibatkan ketimpangan antar daerah (Arsyad, 1999 dalam Pakpahan, 2009 : 26).
Adapun faktor-faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah (Manik, 2009 : 23) yaitu :
·         Perbedaan kandungan sumber daya alam
·         Perbedaan Kondisi Demografi
·         Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa
·         Perbedaan Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Daerah
·         Alokasi Dana Pembangunan Antar Daerah

Ketimpangan pembangunan telah memberikan berbagai dampak terhadap daerah dan masyarakat. Adapun yang menjadi dampak dari ketimpangan tersebut (www.bappenas.go.id) adalah:
·         Banyak Wilayah-Wilayah yang Masih Tertinggal Dalam Pembangunan
·         Belum Berkembangnya Wilayah-Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh
·         Wilayah Perbatasan dan Terpencil Kondisinya Masih Terbelakang
·         Kesenjangan Pembangunan Antara Kota dan Desa
·         Pengangguran, Kemiskinan dan Rendahnya Kualitas Sumber Daya Manusia

Untuk menyelesaikan permasalahan ketimbangan pembangunan maka daerah hinterland atau daerah belakang perlu dikembangkan. Khusus untuk daerah hinterland pesisir pantai beberapa gagasan konsep pembangunan dapat diterapkan.
Berdasarkan jenis pengembangan pesisir, waterfront dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu konservasi, pembangunan kembali (redevelopment), dan pengembangan (development).
a.    Konservasi adalah penataan waterfront kuno atau lama yang masih ada sampai saat ini dan menjaganya agar tetap dinikmati masyarakat.
b.    Preservasi adalah waterfront yang harus dilestarikan, dilindungi, dipelihara dan dipugar sesuai dengan bentuk aslinya tetapi tetap disesuaikan dengan perkembangan kebutuhan fungsionalnya karena merupakan kawasan atau mengandung bangunan dan/atau bangun-bangunan yang mempunyai nilai sejarah, nilai seni dan budaya serta nilai arsitektur.
c.    Redevelopment adalah upaya menghidupkan kembali fungsi-fungsi waterfront lama yang sampai saat ini masih digunakan untuk kepentingan masyarakat dengan mengubah atau membangun kembali fasilitasfasilitas  yang ada.
d.   Development adalah usaha menciptakan waterfront yang memenuhi kebutuhan kota saat ini dan masa depan dengan cara mereklamasi pantai

Kriteria umum penataan dan pendesainan waterfront adalah :
·  Berlokasi dan berada di tepi suatu wilayah perairan yang besar (laut,danau, sungai, dan sebagainya).
·      Biasanya merupakan area pelabuhan,perdagangan, permukiman, dan pariwisata.
·      Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukiman, industri, atau pelabuhan.
·      Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan.
·      Pembangunannya dilakukan ke arah vertikal horisontal.

Dalam perencanaan waterfront ada beberapa aspek yang perlu diperhatian, yaitu aspek arsitektural, aspek keteknikan, dan aspek sosial budaya.
a. Aspek arsitektural berkaitan dengan pembentukan citra (image) dari kawasan waterfront dan bagaimana menciptakan kawasan waterfront yang memenuhi nilai-nilai estetika.
b. Aspek keteknikan berkaitan terutama dalam perencanaan struktur dan teknologi konstruksi yang dapat mengatasi kendala-kendala dalam mewujudkan rancangan waterfront, seperti stabilisasi perairan, korosi, erosi,kondisi alam setempat; perencanaan infrastruktur yang berkaitan dengan drainase, transportasi dan sebagainya.
c. Aspek sosial budaya bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan waterfront tersebut.
d. Aspek Peraturan berkaitan dengan tata aturan tentang pemanfaatan ruang dan pelestarian lingkungn tepi air.

Penataan kawasan waterfront di Desa Tablolong dapat dibagi menjadi beberapa zona yaitu:
a. Zona perumahan
Fungsi utama sebagai tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
Kriteria pemanfaatan ruangnya adalah:
·         Tersedia sumber air yang cukup;
·         Tersedia sistem drainase yang baik;
·         Tersedia sistem pengolahan sampah yang baik;
·         Tersedia aksesibilitas yang baik ke pusat-pusat kegiatan maupun sarana publik;
·         Bebas dari kebisingan serta bahaya dan gangguan setempat;
·         Terhindar dari bahaya abrasi pantai;
·         Lebar garis sempadan pantai 30-100 meter dari titik pasang tertinggi.

b. Zona pariwisata
Kawasan pariwisata merupakan kawasan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pariwisata, dengan kriteria pemanfaatan ruang :
·         Tersedia sarana dan prasarana;
·         Tersedia aksesibilitas yang tinggi ke pusat pelayanan niaga dan kesehatan;
·         Memiliki obyek dan daya tarik wisata;
·         Pemberlakuan lebar garis sempadan pantai (Perda atau hukum pengusahaan atau sistem pemilikan pantai);
·         Pengaturan pemakaian air tanah yang disesuaikan dengan kapasitas ketersediaan air tanah dan waktu yang dibutuhkan untuk pengisian kembali  Lebar garis sempadan pantai 100-300 meter dari titik pasang tertinggi.

Hal penting dalam mengolah kawasan tepian air, adalah beberapa elemen menjadi fokus penataan dengan memberikan solusi disain yang spesifik, yang membedakan dengan olahan zona lainnya yang dapat memberikan kesan mendalam oleh pengungjungnya. Elemen-elemen tersebut diantaranya adalah:
a. Tepian Air
Kawasan tanah atau pesisir yang landai/datar dan langsung bertasan dengan air. Merupakan tempat berjemur atau duduk-duduk dibawah keteduhan pohon (kelapa atau jenis pohon pantai lainnya) sambil menikmati pemandangan perairan.
b. Promenade/Esplanade
Perkerasan di Kawasan tepian air untuk berjalan-jalan atau berkendara (sepeda atau kendaraan tidak bermotor lainnya) sambil menikmati pemandangan perairan. Bila permukaan perkerasan hanya sedikit di atas permukaan air disebut promenade, sedangkan perkerasan yang diangkat jauh lebih tinggi dari permukaan (sperti balkon) disebut esplanade. Pada beberapa tempat dari promenade dapat dibuat tangga turun ke air, yang disebut "tangga pemandian" (baptismal steps).
c. Dermaga
Tempat bersandar kapal/perahu yang sekaligus berfungsi sebagai jalan di atas air untuk menghubungkan daratan dengan kapal atau perahu. Pada masa kini dermaga dapat diolah sebagai elemen arsitektural dalam penataan kawasan tepian air, dan diperluas fungsinya antara lain sebagai tempat berjemur.
d. Ruang tebuka (open space)
Berupa taman atau plaza yang dirangkaikan dalam satu jalinan ruang dengan kawasan tepian air.
g. Aktifitas
Guna mendukung penataan fisik yang ada, perlu dirancang kegiatan untuk meramaikan atau memberi ciri khas pada kawasan pertemuan antara daratan dan perairan. "Floating market" misalnya, adalah kegiatan tradisional yang dapat ditampilkan untuk menambah daya tarik suatu kawasan waterfront, sedang festival market place adalah contoh paduan aktivitas (hiburan dan perbelanjaan) dengan tata ruang waterfront (plaza atau urban space)

Pariwisata merupakan industri dengan pertumbuhan tercepat didunia (WTO, 2000), dalam resolusinya PBB pun telah menyatakan bahwa pariwisata as a basic and desirable human activity deserving the praise and encouragement of all peoples and governments, wisata bahari khususnya di tahun 1993 secara global mampu menghasilkan devisa lebih dari US$ 3.5 triliun atau sekitar 6 –7% dari total pendapatan kotor dunia (WTTC, 1993).
Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 17.508 pulau dengan panjang garis pantai 81.000 km, ini berarti Indonesia mempunyai potensi sumberdaya pesisir dan lautan yang sangat besar, potensi ini meningkatkan kontribusi bidang wawasan dan wisata secara signifikan dari Rp. 3 triliun di tahun 1990, menjadi Rp.33 triliun di tahun 1999, hal ini tentunya berimplikasi pada bidang usaha wisata lainnya, yaitu perhotelan, jasa rekreasi, biro perjalanan, dan restoran yang terletak di kawasan wisata.
Saat ini pariwisata bergerak menuju paradigma baru, yaitu merubah paradigma lama yang lebih mengutamakan pariwisata masal yaitu wisatawan yang besar/berkelompok dan paket wisata yang seragam (Faulkner B., 1997), menjadi wisatawan yang lebih berpengalaman dan mandiri, yang bertujuan tunggal mencari liburan fleksibel, keragaman dan minat khusus pada lingkungan alam dan pengalaman asli (Baldwin dan Brodess, 1993).
Konsep ini sejalan dengan Ekowisata yang lebih menekankan pada faktor daerah alami dan telah dikembangkan sejak 1980 sebagai suatu perjalanan bertanggungjawab ke lingkungan alami yang mendukung konservasi dan meningkatkan kesejateraan penduduk setempat (The Ecotourism Society, 1993), sementara Ecoturism Research Group (1996), yang membatasi tentang wisata bertumpu pada lingkungan alam dan budaya yang terkait dengan :
(1) mendidik tentang fungsi dan manfaat lingkungan
(2) Meningkatkan kesadaran lingkungan
(3) Bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi
(3) Menyumbang langsung pada keberkelanjutan.

Konsep Ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh organisasi The Ecotourism Society pada tahun 1990, pada prinsipnya ekowisata adalah perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonservasi lingkungan dan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Dasar gagasan ekowisata ini karena adanya keinginan wisatawan ikut menjaga kekayaan alam dan budaya, disamping meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekitar objek wisata tersebut.
Berbeda dengan konsep wisata di tahun 80-90an yang banyak mengeksploitasi alam dengan pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan besar-besaran, konsep ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan psikologis wisatawan.
Dalam perkembangannya, Ekowisata menjadi salah satu bentuk wisata yang banyak digemari wisatawan dan pelaku wisata, karena apabila obyek wisata dikelola dengan pendekatan konservasi, maka keberlangsungan pemanfaatan sumber daya alam akan terjaga di masa kini maupun masa mendatang, sehingga potensi  wisata alam di daerah tersebut otomatis berumur panjang.
Pemafaatan obyek wisata alam untuk ekowisata dilaksanakan dengan mempergunakan dua pendekatan, pendekatan pertama menitikberatkan pada pelestarian, sementara pendekatan kedua berupa keberpihakan kepada masyarakat setempat, agar mampu mempertahankan budaya lokal, di tengah gempuran pengaruh budaya luar yang dibawa oleh wisatawan, sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.
Salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar Pulau Komodo adalah dengan membuat Model Desa Konservasi (MDK) yang didanai oleh kementrian Kehutanan, tujuan pembuatan MDK adalah agar masyarakat yang hidup di dalam kawasan konservasi dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengeksploitasi lingkungannya, masyarakat diberi pelatihan-pelatihan kemandirian ekonomi misalnya membuat suvenir untuk dijual kepada wisatawan-wisatawan yang berkunjung ke pulau Komodo.
Pengembangan Ekowisata pesisir, mau tidak mau harus dikaitkan dengan kepentingan mendasar di kawasan obyek wisata tersebut, yaitu masyarakat setempat, masyarakat setempat terutama di daerah pesisir harus diakui memiliki lebih banyak pengetahuan mengenai potensi wisata di daerahnya, sehingga perlu dilakukan pendekatan-pendekatan, agar dapat saling berbagi pengetahuan, maupun meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan tentang bahari dan upaya konservasi bahari.
Menurut Ardika (2000) terdapat 3 Prinsip dasar yang harus dikembangkan dalam pengelolaan wisata bahari, sebagai berikut :
1.    Kawasan wisata bahari adalah milik bersama, didalamnya ada hak-hak masyarakat, namun perlindungan juga harus dilakukan bersama
2.    Kepemilikan bersama mengharuskan, pengelolaan wilayah pesisir untuk dilakukan bersama-sama seluruh komponen masyarakat dan stakeholder terkait
3.    Keberadaan kawasan wisata bahari menjadi tanggung jawab bersama karena pengelolaan kawasan merupakan tujuan bersama

Ketiga prinsip tersebut wajib dilalaksanakan secara terpadu dengan melibatkan masyarakat pesisir secara aktif agar masyarakat mampu berpartisipasi secara aktif terutama dalam upaya menjaga kelestarian alam serta ekosistem yang ada didalam kawasan obyek wisata.
Ekowisata tidak setara dengan wisata alam karena tidak semua wisata alam akan dapat memberikan sumbangan positif kepada upaya pelestarian dan berwawasan lingkungan, jenis pariwisata tersebut yang memerlukan persyaratan-persyaratan tertentu yang menjadi ekowisata dan memiliki pasar khusus.
Konsep wisata pesisir dan bahari di dasarkan pada view, keunikan alam, karakteristik ekosistem, kekhasan seni budaya dan karaktersitik masyarakat sebagai kekuatan dasar yang dimiliki oleh masing-masing daerah, dengan demikian maka sangatlah beralasan bila Indonesia berupaya mengembangkan wisata pesisir dan bahari ini, karena hampir seluruh daerah di Indonesia kecuali Kalimantan Tengah memiliki pantai, ekosistem pesisir dan bahari memenuhi karakter 3S (sun, sand, sea).
Cakupan kegiatan ekowisata pesisir dan bahari ini sesungguhnya memiliki spektrum industri yang sangat luas dan bisnis yang ditawarkannya sangat beragam, selain akomodasi dan resor, serta beberapa komponen pariwisata lain misalnya jasa penyedia transportasi, kapal pesiar, pengelola taman laut, restoran terapung, rekreasi pantai, konvensi di pantai dan di laut, pemandu wisata alam,dan sebagainya.

2.2 Metodologi Penelitian
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi lapangan di Desa Tablolong pada hari Sabtu tanggal 24 Oktober 2015

III.        Pembahasan
3.1 Profil Desa Tablolong
Desa Tablolong memiliki luas wilayah 9,01 Km2, dengan batas wilayah desa sebelah barat dengan laut Selat Rote pada bagian barat, sedangkan wilayah selatan dan timur berbatasan dengan desa Lifuleo, wilayah utara dengan Desa Tesabela.
Wilayah Desa Tablolong terbagi menjadi 4 rukun warga (RW), 4 dusun dan 8 rukun tetangga (RT), dengan jumlah penduduk adalah 1195 jiwa yang terdiri dari perempuan 575 jiwa dan laki-laki 620 jiwa. Kepadatan penduduk di Desa Tablolong adalah 133jiwa/km2, dengan jumlah kepala keluarga (KK) sejumlah 283 KK dan jumlah rata-rata anggota keluarga per KK adalah 4 orang.
Mata pencarian terbanyak penduduk  Desa Tablolong adalah nelayan sejumlah 277 orang, diikuti wiraswasta 36 orang, secara lengkap disajikan pada grafik 1.

Keseluruhan nelayan 277 orang tergabung dalam 27 kelompok nelayan, dengan kegiatan utama adalah budidaya rumput laut dan kegiatan penunjangnya adalah perikanan tangkap.
Dari aspek prasarana dasar pendidikan, di Desa Tablolong hanya memiliki 1 buah  SD  dengan jumlah murid 219 siswa dan 1 buah PAUD, kondisi bangunan sekolah cukup baik namun sampah-sampah bertebaran di halaman sekolah, sehingga sangat mempengaruhi higienitas sekolah, hal ini diperburuk dengan kondisi pagar sekolah yang rusak sehingga hewan ternak penduduk Desa Tablolong yang dibiarkan tidak terikat/tidak dikandang masuk ke halaman sekolah. Kondisi sekolah seperti gambar 1. Kondisi sekolah
Sarana prasarana dasar kesehatan di wilayah Desa Tablolong masih sangat minim, hal ini ditunjukkan dengan sarana kesahatan yang dimiliki hanyalah 1 unit puskesmas pembantu, dengan tenaga paramedik 1 orang bidan dibantu 1 dukun bayi, sedangkan pos pelayanan terpadu (Posyandu) sejumlah 3 unit dengan kader aktif sejumlah 15 orang

Kristen protestan adalah  agama mayoritas yang dianut penduduk Desa Tablolong diikuti agama islam  dan katolik, adapun rumah ibadah  yang dimiliki adalah 2 unit gereja kristen protestan dan 1 unit masjid. Secara lengkap jumlah penganut agama di Desa Tablolong seperti pada grafik 2.

Kondisi fisik bangunan rumah penduduk cukup baik sebagian besar adalah rumah permanen, rumah darurat masih cukup banyak sejumlah 24 unit rumah. Kondisi fisikbangunan rumah secara lengkap seperti pada grafik 3.
Lingkungan permukiman penduduk kondisinya masih kurang baik, pola permukiman terpusat di sekitar kantor desa, dari 4 dusun yang ada 3 dusun (dusun 1, 2 dan 3) terpusat di sekitar kantor desa dan 1 dusun yaitu dusun 4 jaraknya cukup jauh dari kantor desa. Pola pemukiman yang terpusat ini menyebabkan tingkat kepadatan penduduk sangat tinggi di sekitar kantor desa sehingga terkesan kumuh. Kesan kumuh ini ditunjukkan dengan arah hadap rumah yang tidak teratur dengan jarak antar rumah yang sangat dekat 1-3 meter, ditambah lagi dengan letak makam dan kandang ternak peliharaan yang juga sangat dekat dengan rumah.
Sanitasi lingkungan cukup baik, hal ini ditunjukkan dengan fasilitas jamban yang dimiliki oleh 258 KK sisanya 25 KK mengakses jamban umum, namun kondisi jamban masih ada yang kondisinya adalah jamban darurat dan letaknya sangat dekat dengan dapur dan kandang ternak.
Sumber air bersih penduduk diperoleh dari sumur bor yang dalam pengelolaannya dilakukan oleh PAMDES, tercatat 233 KK sebagai pelanggan PAMDES dan 6 KK menggunakan sumur gali sebagai sumber air bakunya.
Kondisi jalan lingkungan cukup baik pada dusun 1, 2 dan 3 yang terdiri dari jalan aspal dan rabat beton, diantara rumah juga telah dilengkapi dengan jalan setapak dari pasangan semen. Namun jalan utama akses pada lokasi pariwisata pantai kondisinya rusak.
Aspek transportasi Desa Tablolong cukup baik, hal ini ditunjukkan dari jumlah moda transportasi yang umum hanya tersedia 1 unit mikrolet, 10 buah pick up dan 3 unit truck serta ojek 4 unit. Selain transportasi umum, sebagian besar masyarakat juga memiliki kendaraan pribadi sebagai alat transportasinya yaitu mobil sejumlah 11 unit dan sepeda motor 212 unit

3.2 Potensi Desa Tablolong
Komoditi unggulan Desa Tablolong adalah rumput laut, jenis rumput laut yang dikembangkan penduduk adalah Eucheuma Cotonii (Katoni) dan Eucheuma Spinosum (SP), tingkat produksi rumput laut cukup baik, tercatat produksi rumput laut jenis katoni pada tahun 2007 adalah 500 ton dan tahun 2008 480 ton, namun semenjak bocornya kilang minyak mokantara Australia pada tahun 2009 menyebabkan pencemaran Laut Timor yang berdampak kelompok nelayan Desa Tablolong selama 3 tahun mengalami gagal panen rumput laut karena mati terkena bahan kimia dan minyak dari Mokantara, saat ini kemampuan produksi beranjak pulih dari gagal panen, saat ini telah mampu panen dengan total produksi 50% dari tahun-tahun sebelum terjadi pencemaran, perlahan perairan Tablolong mulai pulih dengan kemampuan produksi pada tahun 2014 sejumlah 289 ton. Kegiatan sehari-hari masyarakat memelihara rumput laut, panen dan menjemur rumput laut mewarnai kehidupan penduduk desa.
Kegiatan budidaya rumput laut oleh penduduk Desa Tablolong dalam pengamatan sebagian besar dilakukan secara sederhana/minim teknologi, sejak tahapan pengikatan, pemeliharaan, panen maupun tahapan pasca panen. Pada tahap pasca panen hanya dilakukan penjemuran di bawah sinar matahari, sehingga rumput laut yang dihasilkan dijual kepada pengepul dalam kondisi bahan mentah. Inovasi dalam budidaya rumput laut sedikit nampak pada kegiatan penjemuran dimana telah disiapkan bangunan khusus untuk penjemuran saat musim penghujan Diversifikasi kegiatan pasca panen seperti mengolah rumput laut menjadi bahan setengah jadi dalam bentuk chips atau bahan jadi berupa olahan makanan perlu dilakukan mengingat posisi strategis Desa Tablolong sebagai desa wisata yang membutuhkan dukungan industri kreatif sebagai pemenuhan kebutuhan para wisatawan yang berkunjung ke pantai Tablolong. Kelompok ekonomi produktif rumput laut sudah ada di Desa Tablolong namun saat observasi dilakukan terkesan hanya papan nama karena tidak nampak kegiatan produksi dan hasil produksi pada lokasi sentra produksi ekonomi produkstif rumput laut.
Desa Tablolong juga dikenal sebagai destinasi wisata Kabupaten Kupang, dengan daya tarik unggulannya adalah wisata pemancingan laut dan wisata pantai. Bahkan Tablolong dikenal sebagai "Pusat Olahraga Memancing ". Event Wisata Yang Sering Di Gelar Oleh Pemerintah Provinsi NTT di kawasan wisata Tablolong ini adalah turnamen memancing berskala internasional. Turnamen ini telah beberapa kali dilaksanakan, dengan tujuan mempromosikan obyek wisata yang ada di NTT terutama di Kabupaten Kupang, khususnya wisata pantai Tablolong. Jenis ikan yang Banyak dijumpai diperairan kawasan pantai Tablolong adalah ikan marlin, layaran, tenggiri, wahui, kuwe, barakuda, lemadang dan tuna.
Daya tarik wisata selain pemancingan adalah keindahan pantai pasir putih yang dihiasi oleh batu-batu karang mati yang memiliki warna panel yg unik dan memukau, pantai Tablolong merupakan salah objek pilihan masyarakat kota Kupang untuk berekreasi mengisi waktu libur. Pantai ini ramai dikunjungi oleh pengunjung pada hari sabtu dan minggu, selain itu tidak jarang pengunjung yang datang habya untuk menikmati mataharai terbenam di pantai ini. Namun sayang beberapa fasilitas pendukung yang telah dibangun Pemerintah Kabupaten Kupang berupa lopo-lopo semacam bangunan terbuka dengan tempat duduk dan atap bulat untuk bersantai tampat tidak terawat dan rusak sehingga memunculkan kesan sudah lama tidak dipelihara dan dirawat. Jumlah keseluruhan bangunan lopo adalah 11 lopo, namun hanya 4 yang masih baik, atapnya masih utuh. Sedangkan 7 lopo lainnya sudah rusak termakan usia atau akibat tidak terawat. Disamping itu akses jalan masuk 500 meter dalam keadaan rusak, aspal jalan sudah terkelupas. Sementara fasilitas lainnya pun amat memprihatinkan, seperti 2 unit water closet (WC) yang terletak persis di areal wisata itu, tak berpintu lagi dan tidak ada akses air bersihnya serta dindingnya terdapat banyak coretan, praktis WC tak bisa digunakan lagi.
Fasilitas wisata lain yang disiapkan pihak swasta juga tersedia berupa homestay dan hotel. Sekitar 200 meter dari pintu gerbang wisata pantai Tablolong akan dijumpai sebuah homestay "Kaki Ayam" yang dibangun oleh warga negara Canada. Di homestay ini terdapat beberapa lopo yang unik, lopo ini bagian bawah terbuka sehingga bisa untuk bersantai sedangkan jika kita naik tangga ke atas maka terdapat tempat untuk beristirahat. Sayang tempat ini pun terkesan kurang terpelihara, fasilitas WC pun dalam keadaan rusak, mungkin karena sudah sangat jarang wisatawan yang datang ke tempat ini. 400 meter ke arah barat dari homestay “Kaki Ayam” akan dijumpai hotel yang cukup besar yang dibangun pihak swasta, namun 2 tahun belakangan ini pembangunan hotel terhenti akibat perijinan AMDAL dan konflik status tanah dengan masyarakat, sehingga bangunan hotel terkesan mangkrak tidak terurus.

Wisata diving/penyelaman juga menjadi daya tarik wisata Tablolong. Lokasi penyelaman favorit adalah karang beatrix, karang dalam dan karang tabui. Keindahan bawah laut karang beatrix yang berjarak sekitar 5 mil dari pantai sudah banyak dikenal oleh para penyelam manca negara. Karang beatrix memiliki julukan sebagai ‘supermarket ikan’ karena semua jenis ikan dapat ditemukan di lokasi itu. Sedangkan dua karang lainnya yang tak kalah menarik adalah karang Dalam dan karang Tabui. Di tiga karang ini hidup jenis ikan yang sering dilombakan dalam berbagai turnamen memancing seperti jenis Marlin, Layaran, Tenggiri, Wahui, Kuwe, Barakuda, Lemadang, dan Tuna.
Selain daya tarik wisata pantai, di Desa Tablolong juga ada daya tarik wisata alam dan budaya, dimana di arah selatan obyek wisata Tablolong terdapat hutan belukar seluas 3 ha yang dihuni oleh satwa berupa monyet dan kambing hutan, serta pemukiman  Suku Panaf dengan jumlah Kepala Keluarga 18 KK, dengan bahasanya adalah campuran bahasa Oekusi, Helong dan Rote (merupakan keunikan satu Dusun Panaf).
Jumlah kunjungan wisatawan di kawasan Tablolong pada tahun 2014 tercatat 11.507 wisatawan dengan nilai retribusi perpengunjung Rp. 2000, bila dibandingkan dengan desa Oematnunu yang mampu menghasilkan jumlah kunjungan lebih besar yaitu 13.311 dengan retribusi Rp. 5000 padahal obyek wisata Desa Tablolong jauh lebih menarik. Kekurangan obyek wisata Tablolong adalah fasilitas dasar seluruhnya dalam keadaan rusak, kotor dipenuhi sampah rumah tangga dan tidak ada industri kreatif yang muncul sebagai pendukung pariwisata, bahkan produk ikan yang dijual masyarakat harganya sama dengan harga pasar di Kota Kupang.

IV.    Konsep Pengembangan
Konsep pengembangan yang cocok bagi Desa Tablolong adalah dengan menggunakan pendekatan tata ruang yaitu water front dan pendekatan pariwisata yaitu eco tourism, dimana gagasannya adalah menjadikan laut sebagai beranda depan dan menetapkan Desa Tablolong sebagai Desa Wisata. Konsep pengembangan wilayah yang dilakukan dapat dilakukan secara bersamaan antara pendekatan dari bawah dimana aspirasi masyarakat menjadi pendorong utama dan konsep pengembangan wilayah dari atas dimana pemerintah sebagai faktor kunci penggerak pembangunan. Pendekatan ini dikenal dengan Sistem Top Down dan Bottom Up dimana konsep pertumbuhan kutub, integrasi fungsional-spasial dan desentralisasi teretorial sangat mungkin dikembangkan.
Perubahan paradigma pemerintah dimana titik berat/fokus pembangunan diarahkan ke desa-desa dapat dijadikan momentum perubahan di Desa Tablolong. Sejak tahun 2015 Desa Tablolong telah mendapatkan alokasi dana desa (ADD) sebesar Rp. 100.000.000/tahun dan Dana Desa Rp. 200.000.000 (30% dari PAGU), artinya setiap tahun nantinya Desa Tablolong akan mendapatkan dana segar dari pemerintah tidak kurang dari Rp. 800.000.000/tahun. Dengan dana yang cukup besar ini maka konsep pengembangan dengan pendekatan Top Down dan Bottom Up sangat memungkinkan berhasil dalam pelaksanaannya, karena dana tidak lagi menjadi alasan utama dalam pelaksanaan.
4.1 Konsep Water Front
Aspek tata ruang Desa Tablolong sangat cocok dikembangkan dengan pendekatan waterfront mengingat persyaratan/kriteria minimalnya telah dipenuhi yaitu :
·      Lokasi desa berada di tepi wilayah perairan laut.
·      Merupakan daerah tujuan wisata.
·      Memiliki fungsi-fungsi utama sebagai tempat rekreasi, permukiman, industri kecil rumput laut
·      Dominan dengan pemandangan dan orientasi ke arah perairan laut.

Desa Tablolong berdasarkan tipologi waterfront dapat diarahkan pada recreational waterfront yaitu pengembangan waterfront dengan fungsi aktivitas rekreasi. Berbagai fasilitas pendukung yang perlu disiapkan seperti: taman bermain, taman air, taman duduk, taman hiburan, area untuk memancing, riverwalk, amphilhealre, diving, gardu pandang, fasilitas perkapalan, paviliun,fasililas olah raga, marina, restoran, dan aquarium
Dalam perencanaan waterfront ada beberapa aspek yang perlu diperhatian, yaitu aspek arsitektural, aspek keteknikan, dan aspek sosial budaya.
a. Aspek arsitektural untuk menciptakan kawasan waterfront yang memenuhi nilai-nilai estetika maka konsep hunian yang terpusat saat ini perlu dilakukan penataan kembali sehingga pola hunian menjadi horisontal dengan pola hadap pemukiman ke arah laut. Rumah-rumah yang saat ini arah menghadapnya sebagain besar tidak ke arah laut dirubah menghadap ke laut dengan pola penyebaran proposional horisontal dengan bibir pantai secara merata ke arah utara dan selatan.

b. Aspek keteknikan berkaitan terutama dalam perencanaan struktur dan teknologi konstruksi yang dapat mengatasi kendala-kendala dalam mewujudkan rancangan waterfront, seperti pembangunan break water/bangunan pemecah gelombang dan turap pantai untuk mengatasi abrasi pantai perlu dibangun ke arah utara dan selatan guna stabilisasi perairan. Disamping itu disain bangunan dan pemilihan material yang mendukung penonjolan nilai etnik perlu dikembangkan sebagai daya tarik bagi pengunjung. Tidak kalah pentingnya adalah perencanaan infrastruktur yang berkaitan dengan drainase, transportasi dan persampahan yang menjadi masalah utama saat ini di Tablolong.
c. Aspek sosial budaya bertujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan waterfront tersebut.
d. Aspek Peraturan berkaitan dengan pembentukan peraturan daerah sebagai regulasi tentang pemanfaatan ruang dan pelestarian lingkungn perairan Tablolong.

Penataan kawasan waterfront di Desa Tablolong dapat dibagi menjadi beberapa zona yaitu:
a. Zona perumahan
Fungsi utama sebagai tempat tinggal atau hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan.
b. Zona pariwisata
Zona pariwisata merupakan zona yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pariwisata dan industri kreatif.
c. Zona budidaya
Zona budidaya merupakan zona yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan kegiatan budidaya rumput laut dan penangkapan ikan yang merupakan mata pencaharian pokok penduduk Desa Tablolong
d. Zona Lindung
Zona lindung merupakan zona yang disediakan untuk memenuhi kebutuhan reservasi lingkungan, sebagai wilayah yang tidak boleh diganggu aktivitas manusia.

Elemen-elemen waterfront Tablolong yang perlu dikembangkant diantaranya adalah:
a. Tepian Air
Pantai Tablolong perlu ditata sedemikian rupa sehingga mampu membuat pengunjung pantai betah berlama-lama. Bangunan-bangunan penunjang seperti lopo perlu ditambah serta bangunan yang telah ada saat perlu diperbaiki.
b. Promenade/Esplanade
Pada titik akhir batas aspal masuk Desa Tablolong perlu disiapkan promenade ke arah utara dan selatan sebagai baywalk jalan pantai menyusur bibir pantai, juga beberapa titik perlu disiapkan Esplanade mengingat selisih kontur yang cukup curam antara pantai dan jalan.
c. Dermaga
Dermaga jetty ataupun dermaga kayu eksotik dapat dijadikan solusi bagi tambatan perahu yang dapat dibangun di ujung jalan aspal Desa Tablolong, dermaga ini dapat berfungsi sebagai dermaga wisata maupun dermaga pelabuhan rakyat.
d. Ruang tebuka (open space)
Pada pusat Desa Tablolong sepanjang bibir pantai dapat dikembangkan taman dan plaza mengikuti promenade  maupun esplanade yang dibangun nantinya.
g. Aktifitas
Atraksi budaya yang dapat ditampilkan untuk menambah daya tarik kawasan waterfront Tablolong perlu disiapkan, disamping itu pengembangan ekonomi kreatif dengan menyiapkan pasar seni atau pasar souvenir dengan tata ruang waterfront.

4.2 Konsep EcoTourism/Eko Wisata
Kegiatan ekowisata pesisir dan bahari ini sesungguhnya memiliki spektrum industri yang sangat luas dan bisnis yang ditawarkannya sangat beragam. Beberapa infrastruktur dasar perlu disiapkan seperti akomodasi berupa hotel maupun homestay dan pengembangan resor. Beberapa komponen pariwisata lain misalnya jasa penyedia transportasi, kapal pesiar, pengelola taman laut, restoran terapung, rekreasi pantai, konvensi di pantai dan di laut, pemandu wisata alam,dan sebagainya juga menjadi bagian penting untuk disiapkan sebuah kawasan eko wisata.
Desa Tablolong dapat mengadopsi konsep eko wisata, karena potensi wilayah yang dimiliki sangat mendukung dikembangkannya eko wisata. Penataan obyek wisata pantai praktis merupakan hal mendasar yang perlu disiapkan, karena wisata pantai Tablolong adalah pusat daya tarik wisatawan.
Selain itu aspek sosial budaya masyarakat sebagai aktor-aktor utama penggerak eko wisata perlu disiapkan dengan baik. Peningkatan kapasitas SDM seperti kemampuan menjadi guide lokal, sikap yang ramah masyarakat, kemampuan berbicara dalam bahasa asing perlu ditingkatkan.
Potensi menarik lainnya yang dapat dikembangkan adalah wisata kuliner, yang saat ini belum nampak di kawasan Tablolong. Penyiapan fasilitas kuliner dan sumberdaya pendukung menjadi hal penting untuk diperhatikan. Beberapa industri kreatif kuliner seperti makanan dan minuman dari sumber rumput laut yang potensinya sangat besar di Tablolong perlu digagas dan dilaksanakan. Selain itu kuliner dari olahan ikan juga memungkinkan dikembangkan dengan konsep rumah makan/restoran ikan bakar dll.
Selain itu wisata budaya juga menjadi hal menarik di Tablolong dengan adanya dusun Panaf yang sangat etnikal mudah dikembangkan sebagai daya tarik wisata budaya.
Wisata alam juga dapat dikembangkan mengingat Tablolong juga memiliki kawasan hutan bakau dan hutan belukar yang dihuni monyet dan kambing hutan sebagai daya tariknya. Pemulihan ekosistem mangrove merupakan hal yang penting mengingat saat ini luasan hutan mangrove semakin mengecil dan tingkat abrasi pantai yang tinggi. Apabila kawasan hutan bakau mampu dipulihkan maka dapat pula dikembangkan wisata pendidikan, dimana hutan bakau sebagai tempat pendidikan dan riste terkait ekosistem pesisir.

V.       Penutup
5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil observasi lapangan di Desa Tablolong adalah sebagai berikut:
1.    Desa Tablolong memiliki potensi yang menarik untuk dikembangkan lebih jauh menjadi Desa wisata. Potensi wisata yang dapat dikembangkan adalah wisata pantai, wisata pemancingan, wisata budaya, wisata alam, ekonomi kreatif berupa olahan rumput laut dan ikan.
2.    Pengembangan Desa Tablolong sebagai desa wisata dapat dilakukan dengan pendekatan water front  dan eko wisata

5.2 Saran
1. Potensi yang dimiliki Desa Tablolong perlu mendapat perhatian serius baik oleh pemerintah maupun masyarakat, sehingga potensi tersebut dapat mendatangkan nilai tambah bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pola pengembangan Top Down dan Bottom Up dapat dijadikan solusi bagi penuntasan permasalah yang dialami oleh masyarakat Desa Tablolong saat ini.
2. Konsep pengembangan Desa Tablolong sebagai Desa Wisata perlu dipayungi dengan produk hukum sebagai aspek legalitas dalam pengembangan desa mengikuti konsep water front maupun eko wisata.

DAFTAR PUSTAKA
Baldwin P. and Brodess D. 1993. Asia’s New Age Travelers. Asia Travel Trade
BPS, 2014, Kecamatan Kupang Barat Dalam Angka Tahun 2014
Damanik, dkk,2006, “Perencanaan Ekowisata. Dari Teori ke Aplikasi”. Yogyakarta: Penerbit Andi
Efendi, J. 2015. ”Elemen-elemen Pembentuk Kawasan Lingkungan Kota”, Materi Kuliah Perencanaan dan Administrasi Lingkungan, Kupang, Februari 2015.
Effendi, J. dan Sudirman S,  2012. “Analisis Kesesuaian Prasyarat Kampung Sasaran Dengan Kampung Terapan Terhadap Program Pola Penanganan Permukiman Kumuh Perkotaan Di Indonesia”, Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No. 2, Agustus 2012, hlm. 201 – 210
Effendi, J. 2015. “Bahan Kuliah Tata Ruang dan Penataan Wilayah” Universitas Nusa Cendana Kupang
Latief Adam, 2010 ”Kesiapan Daerah dalam Menghadapi Globalisasi Perdagangan”, (makalah seminar disampaikan di Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi, DPR-RI, tanggal 10 Agustus 2010)
Sjafrizal, 1997, “Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional WilayahIndonesia Bagian Barat,” Prisma, No. 3, 27-38
Tumenggung, Syafrudin A., 1997, “Paradigma Ekonomi Wilayah: Tinjauan Teori dan Praktis Ekonomi Wilayah dan Implikasi Kebijaksanaan Pembangunan,” dalam Tjahjati dan. Kusbiantoro (Penyunting), Bunga Rampai: Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta




Tidak ada komentar:

Posting Komentar