Rabu, 10 Februari 2016

KEUTAMAAN ETIS SEBAGAI LANDASAN BAGI PELAKSANAAN KODE ETIK PNS

(Refleksi Filosofis dari Sisi Tilik Etika Keutamaan)

(Emanuel Sirade, S. Fil)
Widyaiswara Badan Diklat Provinsi NTT


         Nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam suatu organisasi, selalu diarahkan untuk mengatur prilaku anggota organisasi tersebut demi tercapainya tujuan organisasi tersebut dan kebaikan bersama para anggotanya. Setiap pribadi atau anggota organisasi dalam kesatuannya dengan organisasinya wajib mentaati nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam organisasinya tersebut. Orang yang melaksanakan prinsip dan norma-norma itu akan dinilai sebagai pribadi yang baik oleh pimpinan dan anggota organisasi yang bersangkutan. Demikian pula sebaliknya, pimpinan dan anggorta organisasinya menilainya sebagai buruk jika ada segelintir ataupun secara pribadi sebagian anggota organisasi tidak mematuhi nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi prilaku organisasi tersebut.
Pemerintah sebagai sebuah organisasi sektor publik, memiliki sejumlah nilai dan norma yang dituangkan dalam seperangkat aturan dan kode etik untuk mengatur prilaku para aparatur pemerintah yang lazim disebut Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab kedinasannya. Salah satu produk aturan yang mengatur sikap dan prilaku para PNS itu adalah Kode Etik PNS. Sebagaimana organisasi yang lain, penilaian terhadap prilaku para pegawai negeri pun tidak luput dari kewajibannya melaksanakan atau mengimplementasikan setiap butir Kode Etik PNS tersebut dalam kesehariannya di tempat tugas dan dilingkungan bermasyarakat. Seorang pegawai disebut atau dinilai baik hanya jika ia selalu patuh dan taat pada nilai-nilai yang tertuang dalam kode etik profesinya dan sebaliknya disebut pegawai yang buruk atau tidak beretika jika melanggar nilai-nilai dan norma-norma sebagaimana yang digariskan dalam kode etik tersebut. Jadi penilaian terhadap perilaku seorang pegawai negeri lebih bertolak dari kelakuannya sejauh yang dapat dilihat atau dari hasil perbuatannya.
Sebagai yang mengatur sikap dan perilaku serta untuk menjaga martabat kehormatan PNS, Kode Etik PNS wajib untuk ditaati dan diimplementasikan. Namun demikian kewajiban untuk melaksanakan dan mengimplementasikannya perlu didukung juga oleh sikap dan prilaku PNS itu sendiri untuk menginternalisasikan nilai-nilai itu dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari tanpa berbatas waktu dan tempat. Kode etik itu tidak sekedar mewajibkan tetapi juga menuntut suatu kesadaran diri dari para aparatur birokrasi itu sendiri untuk mengimplementasikannya.                 Perilaku para aparatur didalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat merupakan cerminan dari internalisasi nilai-nilai kode etik profesi ke-PNS-annya. Jika pelayanan diberikan dengan baik dan memuaskan, maka para PNS yang memberi layanan dan citra lembaganya baik, sebaliknya jika buruk dan tidak memuaskan maka para aparatur yang memberi layanan dan citra lembaganya dinilai buruk oleh masayarakat.
Harus diakui bahwa masih sering dijumpai perilaku sejumlah aparatur birokrasi yang menyimpang dari nilai-nilai kode etik PNS. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya pegawai negeri yang tersandung kasus korupsi, tidak jujur, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab dan terlibat konflik kepentingan dalam melaksanakan tugasnya. Perilaku dalam pelayanan publik masih sering dikeluhkan oleh masyarakat seperti tidak sopan atau tidak ramah, tidak transparan, sering bersikap pamrih dan berburu rente dalam pelayanan. Bahkan juga meninggalkan tugas pelayanan dan lebih banyak menghabiskan waktu untuk tugas-tugas lain (tugas pribadi) diluar tugas pelayanan. Singkat kata masih dijumpai perilaku aparatur birokrasi yang tidak sejalan dengan harapan atau maksud diterapkannya kode etik profesi PNS sehingga memunculkan berbagai keluhan masyarakat terhadap kinerja aparatur birokrasi dan profesi PNS itu sendiri.
Pertanyaannya adalah mengapa hal ini dapat terjadi? Apakah ada yang salah dari sikap dan perilaku penyimpangan kode etik PNS itu? Hemat penulis, kode etik yang menjadi patokan berperilaku bagi para PNS belum sepenuhnya diinternalisir atau belum sepenuhnya menjadi milik dirinnya. Para PNS belum memiliki suatu sikap dasar atau watak moral yang kuat untuk melaksanakan nilai-nilai kode etik dalam pelaksanaan tugas dan tanggung –jawabnya. Pelaksanaan Kode Etik PNS tidak dipandang melulu sebagai suatu kewajiban karena penekanan yang berlebihan pada aturan-aturan dapat melahirkan sikap minimalis dalam penerapan kode etik. Satu hal penting selain penekanan pada kewajiban mematuhi dan melaksanakan adalah soal sikap dasar atau watak moral dari para PNS itu sendiri, apakah ia sendiri baik atau buruk ketika melaksanakan nilai-nilai kode etik PNS. Dalam sejarah panjang etika, sikap dasar atau watak moral yang dimaksud adalah Keutamaan.
Mengapa keutamaan etis?
Sebagai pribadi, setiap aparatur Birokrasi semestinya memiliki sikap dasar yang kuat untuk melaksanakan nilai-nilai kode etik tersebut. Sikap dasar yang kuat untuk selalu mengarahkan dia untuk berbuat atau melaksanakan nilai-nilai kode etik itu demi suatu kebaikan dalam pelayanan dan citra diri PNS sebagai pelayan masyarakat. Dalam bahasa sehari-hari, keutamaan dipakai untuk menunjukkan keunggulan, keistimewaan, yang terpenting, (terbaik, unggul). Dalam ranah etika, keutamaan adalah suatu suatu sifat watak yang cenderung tetap atau sifat watak yang ditadai stabilitas. Karena itu sikap atau sifat watak yang berubah-ubah bukan merupakan keutamaan. Keutaman adalah suatu watak tetap yang mendorong seseorang untuk berlaku baik secara tetap dan konsisten. Aristoteles sebagai penggagas dasarnya, menyebutnya sebagai kecenderungan ke arah yang baik. Karena itu memiliki suatu keutamaan berarti orang itu dengan sendirinya condong untuk berbuat baik (keutamaan berkaitan erat dengan kehendak - mengarahkan kehendak bebas manusia untuk cenderung ke arah yang baik dan berprilaku secara baik). Orang berkeutamaan adalah orang sudah biasa bertindak secara tepat. Dengan adanya keutamaan manusia sendiri menjadi baik dan manusia dapat sekaligus bertindak dengan baik juga. Seorang PNS yang memiliki keutamaan akan senantiasa terbiasa untuk melakukan kebaikan-kebaikan, melaksanakan nilai-nilai kode etik sebagai suatu kebiasaan yang senantiasa berulang dan menjadi milik dirinya. Bukan karena paksaan kewajiban tetapi sudah merupakan milik dirinya menjadi bagia dari sifat wataknya untuk bersikap jujur, ramah, sopan, rendah hati dan bertanggung jawab dalam tugas pelayanannya.
Keutamaan etis itu bukan seperti sebuah keahlian atau keterampilan yang dimiliki tetapi diperoleh melalui sebuah pembiasaan diri untuk sanantiasa melakukan kebaikan. Ia terbentuk melalui suatu proses panjang pembiasaan dan latihan yang panjang. Melalui kebiasaan yang terus menerus untuk melaksanakan nilai-nilai kode etik serta melalui koreksi panjang atas perbuatan-perbuatannya  yang keliru, seorang PNS dapat memiliki keutamaan etis itu; keutamaan yang mendasarinya untuk bertindak sesuai nilai-nilai kode etik PNS.
Keutamaan etis penting sebagai landasan pelaksanaan kode etik PNS karena dua pertimbangan berikut : Pertama, dalam bidang etis moral, usaha untuk mengikuti prinsip dan nilai-nilai yang tertuang dalam kode etik PNS kurang efisien kalau tidak disertai suatu sikap tetap manusia untuk hidup menurut tuntutan kode etik tersebut. Akan sangat tidak praktis jika seorang PNS mengukur perbuatannya dengan prinsip-prinsip kode etik. Akan jauh lebih efisien jika tingkah lakunya diarahkan oleh keutamaan yang melekat pada batinnya, seperti kesetiaan dan ketekunan kerja maupun keberaniannya untuk. Memiliki keutamaan berarti memiliki keberanian moral untuk menolak segala jenis suap dan gratifikasi yang sering ada dalam pelaksanaan tugas. Memiliki keutamaan mengarahkan seorang PNS untuk senantiasa berdedikasi dan menghindarinya dari segala macam benturan kepentingan dalam pelayanan.
Kedua, jika para aparatur lebih mentaati prinsip-prinsip atau aturan-aturan yangberlaku, ia belum tentu menjadi pribadi yang sungguh-sungguh baik secara moral. Benar bahwa berpegang pada norma moral yang tertuang dalam kode etik itu merupakan syarat mutlak bagi perilaku yang baik, tetapi membatasi diri pada norma saja belum cukup untuk disebut sebagai seorang PNS yang baik dalam arti sepenuhnya. Hal ini terjadi karena  kepatuhan pada prinsip-prinisp atau nilai-nilai sering membungkusi sikap munafik atau ketidakotentikan diri (palsu) para aparatur. Kepatuhan hanya sekedar kulit luar membungkus sikap diri yang buruk secara moral dalam arti luas. Ia dapat saja dilihat baik, namun secara diam-diam menyalahgunakan wewenang yang ada padanya untuk memperkaya diri, menukarkan wewenang dan tanggungjawabnya untuk memperoleh rente ketimbang ketulusan dan pengabdian yang sebenarnya dituntut dari jabatan atau kedudukannya sebagai abdi negara dan masyarakat. Ibarat pohon yang baik akan menghasilkan buah yang baik, keutamaan membuat seseorang PNS menjadi baik dan sekaligus akan pasti melakukan perbuatan-perbuatan yang baik sebagaimana maksud atau tujuan dari kode etik itu sendiri.
Memang membentuk perilaku PNS yang baik bukan suatu yang gampang. Ada jalan panjang yang terus dilalui dengan tidak sekedar memberlakukan kode etik dan sanksi-sanksi bagi para pelanggarnya. Kode etik merupakan patokan dan keutamaan etis ada sebagai landasan tempat dimana patokan itu dilekatkan. Jadi selain kode etik, diperlukan juga sikap dasar atau watak moral yang kuat yakni keutamaan sebagai landasannya. Aturan dan norma-norma saja tidak cukup. Perlu juga sikap dan watak moral yang kuat dari para aparatur birokrasi yang diperoleh dari pembiasaan diri untuk berlaku baik - melaksanakan nilai-nilai kode etik itu secara terus-menerus, sehingga pada akhirnya nilai-nilai yang ada dalam kode etik dan keutamaan itu menjadi milik dirinya..


Refernsi :
Bertens, K., Etika, Jakarta : Gramedia, 2011.
Magnis-Suseno, Frans, Etika Dasar, Yogyakarta : Kanisius, 1998.
--------------, 13 Model Pendekatan Etika, Yogyakarta : Kanisius, 1998.
Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Pers, 2013.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar