Minggu, 14 Februari 2016

MENDORONG INOVASI PELAYANAN PUBLIK DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

Oleh: Drs. P. Pieter Djoka, MT
Widyaiswara Madya pada Badan Diklat Provinsi NTT


Abstract

Creativity and innovation are two important concepts in the context of public services in order to improve the quality of service (excellent service). Legally, arrangements regarding public service has been stated in various laws either include Law 25 of 2009 on Public Service, Law 23 Year 2014 on Regional Government, as well as some of the government regulations as a public service law is derived and Local Government Act. But it is unfortunate, because in reality the quality of public services performed by service providers organizations is far from satisfactory. For that, we need a number of efforts to encourage the emergence of innovative public services, especially in NTT Province, through a change in the mindset and the culture, optimization of “Pelayanan Terpadu Satu Pintu”, and local government partnerships with the private sector.

Keywords: decentralization, public services, innovation, NTT
Province

Abstrak

Kreativitas dan inovasi merupakan dua konsep penting dalam konteks pelayanan publik dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan yang semakin baik (excellent service). Secara legal-formal, pengaturan mengenai pelayanan publik telah tertuang dalam berbagai undang-undang baik antara lain UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, serta beberapa PP sebagai turunan UU pelayanan publik maupun UU Pemerintahan Daerah. Namun sangat disayangkan, karena pada kenyataannya kualitas pelayanan publik yang dilakukan oleh organisasi penyelenggara pelayanan masih jauh dari memuaskan. Untuk itu, diperlukan sejumlah upaya guna mendorong timbulnya inovasi pelayanan publik, khususnya di Provinsi NTT, melalui perubahan pola pikir dan perangkat budaya, optimalisasi pelayanan terpadu satu pintu, dan kemitraan Pemda dengan swasta.

Kata kunci: otonomi daerah, pelayanan publik, inovasi, Provinsi NTT

Latar Belakang
Keberadaan negara/pemerintah dan pemerintah daerah beserta aparaturnya selain menjaga keamanan dan ketertiban adalah untuk memperjuangkan kesejahteraan rakyatnya. Dengan kata lain, fungsi negara modern pada saat ini tidak hanya menjadi watchdog, tetapi menjadi ‘pelayan’ bagi warganya untuk memperoleh kesejahteraan. Oleh karena tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pelayanan merupakan tugas utama yang hakiki dari sosok aparatur, sebagai abdi negara dan abdi masyarakat. Ruang lingkup pelayanan dan jasa-jasa publik (public services) meliputi aspek kehidupan masyarakat yang sangat luas. Namun sangat disayangkan, kondisi pelayanan publik yang terjadi masih jauh dari harapan. Pelayanan publik masih cenderung korup, diskriminatif, mahal, lama, dan berbagai stigma negatif lainnya.
Salah satu ‘penyakit’ yang terjadi dalam pelayanan publik adalah “mal-administrasi” khususnya “pungli” atau pungutan liar dengan transaksi  yang relatif kecil (petty corruption), tetapi melibatkan populasi yang sangat besar.[1] Prinsip market oriented pada Unit Layanan Publik harus diartikan bahwa pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara layanan (Pemerintah) harus mengutamakan pelayanan terhadap masyarakat. Demikian juga prinsip Catalytic Government, mengandung pengertian bahwa penyelenggara layanan harus bertindak sebagai katalisator dan bukannya penghambat dari kegiatan pembangunan, termasuk di dalamnya mempercepat pelayanan masyarakat.
Terminologi “market oriented” dalam kaitan pelayanan menunjukkan adanya pengaruh nilai-nilai privat/bisnis dalam konteks publik. Memang sejatinya terdapat korelasi dan saling mempengaruhi antara publik dan bisnis, terutama pengaruh sektor bisnis terhadap sektor publik. Selain istilah market oriented, terdapat istilah lain dalam ranah pelayanan publik yang merupakan adposi dari pelayanan sektor swasta seperti efisiensi, customer satisfaction, dan sebagainya. Konsep efisiensi menghendaki terciptanya keseimbangan antara kinerja dan anggaran yang dikeluarkan (spending) untuk memperoleh output/kinerja dimaksud. Apabila anggaran yang dikeluarkan lebih sedikit dari nilai outputnya, maka hal demikian dikatakan efisien, dan sebaliknya. Sedangkan customer satisfaction merujuk pada kondisi kepuasan pelanggan/ masyarakat atas jenis layanan yang diberikan kepada mereka, apakah pelayanan barang, jasa maupun administratif.
Guna memastikan terlaksananya pelayanan publik yang semakin berkualitas, maka  pada tahun 2009 Pemerintah telah menerbitkan sebuah undang-undang yakni UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Amanat undang-undang ini sangat jelas bahwa setiap organisasi penyelenggara pelayanan – bersama-sama dengan pembina dan penanggung jawab pelayanan – bertanggung jawab atas ketidakmampuan, pelanggaran, dan kegagalan pelayanan publik.
Tuntutan akan pelayanan publik yang semakin baik menjadi ciri masyarakat yang makin berkembang. Kondisi dan perubahan cepat yang diikuti pergeseran nilai perlu disikapi secara bijak melalui langkah kegiatan yang terus-menerus dan berkesinambungan dalam berbagai aspek pembangunan untuk membangun kepercayaan masyarakat (trust). Organisasi penyelenggara pelayanan publik di daerah perlu melakukan inovasi dalam pemberian pelayanan yang lebih cepat, lebih mudah, dan lebih murah, sembari membenahi kelengkapan organisasinya seperti standar pelayanan, maklumat pelayanan, mekanisme pengaduan dan sebagainya.

Tinjauan Konsep dan Kebijakan
1.    Konsep Pelayanan Publik
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa “pelayanan adalah        1) perihal atau cara melayani, 2) usaha melayani kebutuhan orang lain dengan memperoleh imbalan (uang), dan 3) kemudahan yang diberikan sehubungan dengan jual-beli barang atau jasa (kamusbahasaindonesia.org). Sedangkan pengertian service dalam Oxford (2000) didefinisikan sebagai “a system that provides something that the public needs, organized by the government or a private company”. Dari pengertian tersebut, maka pelayanan berfungsi sebagai sebuah sistem yang menyediakan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Selanjutnya Nurcholis (2005: 180) secara rinci membagi fungsi pelayanan publik ke dalam bidang-bidang sebagai berikut: a) Pendidikan, b) Kesehatan,               c) Keagamaan, d) Lingkungan: tata kota, kebersihan, sampah, penerangan,                    e) Rekreasi: taman, teater, musium, turisme, f) Sosial, g) Perumahan,                              h) Pemakaman/krematorium, i) Registrasi penduduk: kelahiran, kematian, j)Air minum, dan k) Legalitas (hukum), seperti KTP, paspor, sertifikat, dll.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan diperlukan standar pelayanan publik, yang menjadi tolok ukur pelayanan yang diberikan. Penetapan standar pelayanan publik merupakan fenomena yang berlaku baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di Amerika Serikat, misalnya, ditandai dengan dikeluarkannya executive order 12863 pada era pemerintahan Clinton, yang mengharuskan semua instansi pemerintah untuk menetapkan standar pelayanan konsumen (setting customer service standard). Isi dari executive order tersebut adalah sebagai berikut:
“Identify customer who are, or should be, served by the agency, survey the customers to determine the kind and quality of service they want and their level of satisfaction with existing service, post service standards and measure result against the best bussiness, provide the customers with choice in both sources of services, and complaint system easily accesible, and provide means to adress customer complaints.”
Di Inggris lebih dahulu dikenal citizen’s charter. Namun dalam perkembangannya (teruutama di negara-negara persemakmuran) seringkali jadi salah kaprah, maka dimunculkan istilah lainnya yaitu service first. Konsep Service First the New Charter Programme, yang berisi 9 prinsip penyediaan pelayanan publik yang merupakan wujud dari visi pemerintah yang dilaksanakan oleh setiap pegawai negeri. Prinsip-prinsip tersebut adalah :
a.    Menentukan standar pelayanan;
b.    Bersikap terbuka dan menyediakan informasi selengkap-lengkapnya;
c.     Berkonsultasi dan terlibat;
d.    Mendorong akses dan pilihan;
e.    Memperlakukan semua secara adil;
f.      Mengembalikan ke jalan yang benar ketika terjadi kesalahan;
g.    Memanfaatkan sumber daya secara efektif;
h.    Inovatif dan memperbaiki; dan
i.      Bekerjasama dengan penyedia layanan lainnya.

2.    Inovasi Pelayanan Publik
Istilah inovasi dan kreativitas kerap diidentikkan satu sama lain. Kedua istilah tersebut memang secara konteks mempunyai hubungan kausal sebab-akibat. Sebuah inovasi biasanya dihasilkan oleh sebuah daya kreativitas. Tanpa kreativitas, inovasi akan sulit hadir dan diciptakan. Namun demikian, dalam kenyataannya, kehadiran inovasi juga tidak mutlak mensyaratkan adanya kreativitas (Suwarno, 2008: 4). Jadi secara konsep, inovasi berbeda dengan kreativitas.
Schumpeter (Halvorsen, 2005: 8) yang membatasi pengertian inovasi yaitu “restricted themselves to novel products and processes finding a commercial application in the private sector”. Dalam pembatasan ini Schumpeter menekankan 2 (dua) hal penting dari inovasi, yaitu: 1) Sifat kebaruan (novelty) dari sebuah produk. Dengan kata lain inovasi hanya berhubungan dengan produk-produk yang bersifat baru, dan 2) Bahwa inovasi berhubungan dengan proses pencarian aplikasi komersial di sektor bisnis.
Secara sederhana Albury (2003) mendefinisikan inovasi sebagai new ideas that work. Artinya, inovasi berhubungan erat dengan ide-ide baru yang bermanfaat atau dengan kata lain inovasi dengan sifat kebaruannya harus mempunyai nilai manfaat. Sifat baru dari inovasi tidak akan berarti apa-apa apabila tidak diikuti dengan nilai kemanfaatan dari kehadirannya. Secara rinci, Albury menjelaskan bahwa “successful innovation is the creation and implementation of new processes, products, services, and methods of delivery which result in significant improvements in outcomes efficiency, effectiveness, or quality”. Hal ini berarti bahwa ciri dari inovasi yang berhasil adalah adanya bentuk penciptaan dan pemanfaatan proses baru, produk baru, jasa baru dan metode penyampaian yang baru, yang menghasilkan perbaikan yang signifikan dalam hal efisiensi, efektivitas maupun kualitas.

3.    Kebijakan Pelayanan
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MenegPAN) Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, memberikan pengertian pelayanan publik yaitu segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara Inovasi Kebijakan dan Pelayanan Publik pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di dalam Kep. Menpan No: 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, pengelompokan pelayanan publik secara garis besar adalah sebagai berikut: 1) Pelayanan administratif, 2) Pelayanan barang, dan 3) Pelayanan jasa.
Di dalam Pasal 15 dan Bab V Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik disebutkan bahwa Penyelenggara Pelayanan Publik wajib memenuhi 10 (sepuluh) unsur mengenai penyelenggaraan pelayanan publik, yang meliputi:
a.    Standar Pelayanan
Standar pelayanan adalah tolok ukur yang dipergunakan sebagai pedomanpenyelenggaraan pelayanan dan acuan penilaian kualitas pelayanan sebagai kewajiban dan janji penyelenggara kepada masyarakat dalam rangka pelayanan yang berkualitas, cepat, mudah, terjangkau, dan terukur.
b.    Maklumat Pelayanan
Maklumat pelayanan adalah pernyataan tertulis yang berisi keseluruhan rincian kewajiban dan janji yang terdapat dalam standar pelayanan. Maklumat pelayanan wajib dipublikasikan secara jelas dan luas. Penyelenggara wajib menyusun maklumat pelayanan sesuai dengan sifat, jenis, dan karakteristik layanan yang diselenggarakan dan dipublikasikan secara jelas (Pasal 18).
c.     Sistem Informasi Pelayanan Publik
Sistem informasi pelayanan publik adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyimpanan dan pengelolaan informasi serta mekanisme penyampaian informasi dari penyelenggara pelayanan publik kepada masyarakat dan sebaliknya dalam bentuk lisan, tulisan latin, tulisan dalam huruf braile, bahasa gambar, dan/atau bahasa lokal, serta disajikan secara manual ataupun elektronik. Sistem informasi pelayanan publik berisi semua informasi pelayanan publik yang berasal dari penyelenggara pelayananan publik pada setiap tingkatan dan sekurang-kurangnya memuat informasi yang meliputi : profil penyelenggara, profil pelaksana, standar pelayanan, maklumat pelayanan, pengelolaan pengaduan, dan penilaian kinerja.
d.    Pengelolaan Sarana, Prasarana dan/atau Fasilitas Pelayanan Publik
Penyelenggara pelayanan publik wajib mengelola sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik secara efektif, efisien, transparan, akuntabel, dan berkesinambungan serta bertanggung jawab terhadap pemeliharaan dan penggantian sarana, prasarana,dan fasilitas pelayanan publik. Penyelenggara pelayanan publik melakukan analisis dan menyusun daftar kebutuhan sarana, prasarana, dan fasilitas pelayanan publik dan melakukan pengadaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan dengan mempertimbangkan prinsip efektivitas, efisiensi, transparansi, akuntabilitas, dan berkesinambungan.
e.    Pelayanan Khusus
Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban memberikan pelayanan dengan perlakuan khusus kepada anggota masyarakat tertentu antara lain penyandang cacat, lanjut usia, wanita hamil, anak-anak, korban bencana alam, dan korban bencana sosial sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan diberikan tanpa tambahan biaya.
f.      Biaya/Tarif Pelayanan Publik
Biaya/tarif pelayanan publik pada dasarnya merupakan tanggung jawab negara dan/atau masyarakat. Penentuan biaya/tarif pelayanan publikditetapkan dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota dan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
g.    Perilaku Pelaksana dalam Pelayanan
Pelaksana pelayanan publik dalam menyelenggarakan pelayanan publik harus berperilaku sesuai paradigma umum yang berlaku di masyarakat yang diantaranya : adil dan tidak diskriminatif, cermat, santun dan ramah, tegas, andal dan tidak memberikan putusan yang berlarut-larut, profesional, tidak mempersulit, patuh pada perintah atasan yang sah dan wajar, menjunjung tinggi nilai-nilai akuntabilitas dan integritas institusi penyelenggara, tidak membocorkan informasi atau dokumen yang wajib dirahasiakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, terbuka dan mengambil langkah yang tepat untuk menghindari benturan kepentingan, tidak menyalahgunakan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan publik, tidak memberikan informasi yang salah atau menyesatkan dalam menanggapi permintaan informasi serta proaktif dalam memenuhi kepentingan masyarakat, tidak menyalahgunakan informasi, jabatan dan kewenangan yang dimiliki, sesuai dengan kepantasan dan tidak menyimpang dari prosedur.
h.    Pengawasan Penyelenggaraan Pelayanan
Pengawasan penyelenggaraan pelayanan publik dilakukan oleh pengawas internal dan pengawas eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh atasan langsung pelaksana pelayanan publik dan oleh pengawas fungsional sesuai dengan peraturan perundangundangan. Pengawasan eksternal penyelenggara pelayanan publik dilakukan oleh masyarakat (berupa laporan/ pengaduan masyarakat), oleh Lembaga Negara Pengawas Pelayanan Publik (Ombudsman RI), dan oleh DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
i.      Pengelolaan Pengaduan
Penyelenggara berkewajiban menyediakan sarana pengaduan dan menugaskan pelaksana yang kompeten dalam pengelolaan pengaduan serta berkewajiban menyusun mekanisme pengelolaan pengaduan dari penerima pelayanan dengan mengedepankan asas penyelesaian yang cepat dan tuntas. Juga penyelenggara berkewajiban mengelola pengaduan yang berasal dari penerima layanan, rekomendasi Ombudsman RI, DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam batas waktu tertentu, serta berkewajiban menindaklanjuti hasil pengelolaan pengaduan tersebut. Penyelenggara pelayanan publik juga berkewajiban mengumumkan nama dan alamat penanggung jawab pengelola pengaduan serta sarana pengaduan yang disediakan.
j.      Penilaian Kinerja
Penyelenggara pelayanan publik berkewajiban melakukan penilaian kinerja penyelenggaraan pelayanan publik secara berkala dengan menggunakan indikator kinerja berdasarkan standar pelayanan.
Terkait standar pelayanan, Pemerintah telah menerbitkan PP No. 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan. Setiap penyelenggara pelayanan publik wajib menyusun, menetapkan, dan menerapkan Standar Pelayanan serta menetapkan Maklumat Pelayanan dengan memperhatikan kemampuan penyelenggara, kebutuhan masyarakat, dan kondisi lingkungan.
Komponen standar pelayanan menurut PP 15/2014 dibedakan menjadi dua bagian:
a.    Komponen SP yang terkait dengan proses penyampaian pelayanan (service delivery), meliputi: persyaratan; sistem, mekanisme dan prosedur; jangka waktu pelayanan; biaya/tarif; produk pelayanan; penanganan pengaduan, saran dan masukan.
b.    Komponen SP yang terkait dengan proses pengelolaan pelayanan di internal organisasi (manufacturing), meliputi:  dasar hukum; sarana dan prasarana dan/atau fasilitas; kompetensi pelaksana; pengawasa internal; jumlah pelaksana; jaminan pelayanan; jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan; dan evaluasi kinerja pelaksana.

Gambaran Pelayanan Publik di Provinsi NTT
Pembentukan organisasi perangkat daerah Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu (KPPTSP) di lingkup Provinsi Nusa Tenggara Timur merupakan wujud komitmen pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan yang prima kepada masyarakat daerahnya. Hal ini sebagaimana tertuang dalam  Perda No. 5 Tahun 2009 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Provinsi NTT, yang kemudian dijabarkan dalam Peraturan Gubernur No. 26 Tahun 2011 tentang Pendelegasian Wewenang dari Gubernur kepada Kepala KPPTSP Prov. NTT untuk menandatangani Perizinan Tertentu di Lingkungan Pemerintah NTT. Terkait standard operating procedure (SOP) KPPTSP tertuang dalam Peraturan Gubernur Nusa Tenggara Timur No. 15 Tahun 2012 Tentang Standard Operating Procedure (SOP) Pelayanan Perizinan pada Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu Provinsi Nusa Tenggara Timur.[2]
Keberadaan KPPTSP ini diharapkan dapat melayani kepentingan masyarakat dalam mengurus perizinan dengan baik yang didasarkan pada prinsip-prinsip pelayanan publik dengan berpegang teguh pada filosofi “anggaran untuk rakyat menuju sejahtera” atau sering diakronimkan menjadi “Anggur Merah”. Anggur Merah merupakan tekad untuk mensejahterakan rakyat NTT berlandaskan pada birokrasi pelayanan publik yang murah dan cepat melalui alokasi belanja publik yang lebih besar dibandingkan belanja aparatur. Dengan kata lain, Pemerintah Provinsi bertekad untuk meningkatkan proporsi bantuan langsung dalam anggaran belanja publik yang disalurkan melalui SKPD untuk membangkitkan perekonomian yang tumbuh dan berkembang ditengah masyarakat serta  pertumbuhan produktifitas sektor riil, untuk peningkatan daya beli masyarakat.
Sesuai Perda No. 5 Tahun 2009 pasal 3 dan 4, tugas pokok KPPTSP Prov. NTT adalah "Membantu Gubernur dalam melaksanakan koordinasi dan Penyelenggaraan Pelayanan Administrasi di Bidang Perizinan dan non Perizinan secara terpadu dengan prinsip Koordinasi, Integrasi, Sinkronisasi, simplikasi, keamanan dan kepastian". Sedangkan fungsinya meliputi: 1) Menyusun Program Kantor PPTSP,                                   2) Menyelenggarakan Pelayanan Administrasi perizinan; 3) Melakukan koordinasi proses pelayanan perizinan; 4) Melakukan pemantauan dan evaluasi proses pemberian pelayanan perizinan; 5) Melakukan administrasi ketatausahaan kantor,                              6) Melaksanakan fungsi lain yang diberikan oleh Gubernur sesuai dengan tugas dan fungsinya.
Kinerja pelayanan publik oleh KPPTSP Provinsi NTT harus diakui masih belum mencapai kondisi yang diharapkan. Berdasarkan hasil pemeringkatan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi pada tahun 2014, penilaian kinerja terhadap KPPTSP Provinsi NTT berada pada kategori C (sedang) dengan skor di atas 400 poin, (skor maksimal 1.000 poin) lebih baik dibandingkan beberapa provinsi di kawasan timur Indonesia, walaupun belum sebaik provinsi-provinsi di Jawa-Bali, Kalimantan dan Sumatera. Untuk kategori rumah sakit, penilaian terhadap RSUD Prof. Dr. WZ Yohannes Kupang berada pada kategori D (kurang) dengan skor di bawah 300 poin. Penilaian kinerja oleh Kemenpan dan RB yang bernama “Citra Bakti Abdi Negara” atau disingkat CBAN dan “Citra Pelayanan Prima” atau CPP merupakan pelaksanaan Permenpan dan RB No. 38 Tahun 2012 dan Permenpan dan RB No. 66 Tahun 2012.
Kriteria yang digunakan untuk menilai kinerja pembina dan kinerja unit pelayanan publik adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Kriteria Penilaian Kinerja Pelayanan Publik
No.
Komponen
Nilai Max.
Bobot
Ket.
I.
Kinerja Pembina/
Penanggung Jawab
A.
Kelompok Indikator Implementasi UU No. 25/2009
700


B.
Kelompok Indikator Kinerja Penunjang dan Hasil Kinerja
300


Total I
1.000
60%

II.
Kinerja Unit Pelayanan
1.
RSUD
1.000

Wajib
2.
PTSP
1.000

Wajib
3.
Pelayanan Informasi
1.000

Wajib
4.
Unit Pelayanan Pilihan 1
1.000


5.
Unit Pelayanan Pilihan 2
1.000


Rata-rata
1.000
40%

Nilai Provinsi

100%

Sumber: Permenpan dan RB No. 38 Tahun 2012


Kondisi pelayanan publik Provinsi NTT digambarkan oleh Perwakilan Ombudsman NTT-NTB termasuk dalam kategori “buruk” bersama-sama dengan beberapa daerah lainnya. Sesuai tugasnya sebagai lembaga pengaduan pelayanan publik, Ombudsman memberikan penilaian terhadap pemda berdasarkan ‘aduan-aduan’ yang masuk dan ketidakpatuhan terhadap regulasi pelayanan publik. Untuk pelayanan publik di Provinsi NTT, jenis keluhan terbanyak didominasi mal-administrasi, dengan adanya penundaan berlarut, perbuatan tidak patuh, konflik kepentingan, penyimpangan prosedur, tidak memberikan pelayanan, permintaan imbalan uang barang dan jasa. Sementara itu, instansi pelayan publik yang paling dikeluhkan adalah Satuan Reserse dan Kriminal (Reskrim) serta Lalu Lintas (Lantas).
Terkait pelayanan bidang pemerintahan, sektor pendidikan dalam hal ini menyangkut layanan penerimaan peserta didik baru (PPDB) tercatat paling besar melakukan pungutan liar (Pungli). Ombudsman NTT mencatat total pungli dari 249 sekolah yang ada mencapai angka Rp 28 miliar (data 2014).  Meskipun indikator penilaian yang digunakan Ombudsman dipertanyakan sebagaian masyarakat dan pejabat pemerintah daerah yang tidak puas akan hasil penilaian tersebut, menurut kami hal ini dapat dijadikan catatan semua pihak  untuk meningkatkan pelayanan yang lebih baik ke depan dengan mematuhi ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam regulasi pelayanan publik.
Dalam hal pelayanan dasar, khususnya pelayanan kesehatan dan pendidikan masih dalam kondisi yang belum memuaskan. Hasil riset DSF – desentralization support facility – melalui proyek Governance and Decentralization Survey 2006 diperoleh gambaran sebagai berikut:
1.    Sektor Kesehatan
Secara umum, akses masyarakat NTT terhadap pelayanan kesehatan lebih banyak bertumpu pada fasilitas kesehatan publik (Puskesmas dan Puskesmas Pembantu). Pelayanan rawat jalan Puskesmas dilaporkan tersedia secara reguler dengan rata-rata waktu pelayanan 35,3 jam per minggu (senin-sabtu). Adanya praktik kesehatan swasta yang memiliki jam praktik fleksibel dan bersedia memberikan pelayanan kesehatan atau mengunjungi pasien sewaktu-waktu jika dibutuhkan, diperkirakan dapat membantu masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan. Meskipun waktu tempuh ke fasilitas kesehatan ekitar 1,5 sampai 2 kali lipat dari waktu tempuh rata-rata nasional, namun rata-rata waktu tempuh tersebut masih dalam batas wajar. Terkait biaya, secara umum biaya berobat di NTT baik di fasilitas kesehatan publik maupun swasta sedikit lebih mahal (Rp. 20.000) dibanding rata-rata nasional (sekitar Rp. 19.000).

Tabel 2. Tarif Pelayanan Kesehatan NTT


Nasional
NTT
Puskesmas
Biaya Administrasi/Loket
2.143
(145)
2.978
(569)
Rawat Jalan (tanpa tindakan medis)
2.401
(185)
3.014
(602)
Ekstraksi Gigi Biasa (tanpa faktor penyulit)
5.293
(404)
3.557
(592)
Pemeriksaan Kesehatan untuk Lamaran Kerja
4.696
(247)
3.760
(619)
Pemeriksaan Haemoglobin
2.752
(205)
2.109
(491)
Praktik Swasta
Periksa, termasuk obat
19.188
(492)
19.908
(1.392)
Perawatan Kehamilan
16.203
(1.000)
18.208
(2.641)
Melahirkan
265.976
(11.149)
176.628
(18.403)
Imunisasi Dasar Anak-Anak (BCG, DPT, Anti Polio, dsb)
9.892
1.224
19.900
(3.460)
Imunisasi Lainnya Anak-Anak (MMR, Meningitis)
28.722
(5.599)
48.000
(20.826)
Pil KB
6.608
(356)
9.768
(970)
Suntik KB
14.561
(292)
15.721
(1.253)
Sumber: GDS2, dalam Pattinasarany dan Chandra Kusuma, 2008.

Dari  tabel di atas dapat dilihat perbandingan tarif pelayanan kesehatan di Puskesmas dan pelayanan kesehatan oleh swasta, baik nasional maupun lokal NTT. Beberapa item pelayanan menunjukkan tarif lokal NTT lebih murah dibandingkan dengan tarif secara nasional misalnya pelayanan cabut gigi biasa tanpa faktor penyulit lebih murah Rp. 592,- dibandingkan tarif rata-rata nasional untuk pelayanan di Puskesmas. Demikian pula untuk pelayanan pemeriksaan kesehatan lamaran kerja dan pemeriksaan haemoglobin. Adapun pelayanan swasta, terlihat tarif pelayanan melahirkan di NTT lebih murah dibandingkan rata-rata nasional, namun untuk pelayanan lainnya lebih mahal.

Terkait dengan persepsi masyarakat NTT untuk peningkatan pelayanan kesehatan, hampir semua responden menyatakan perlu peningkatan pelayanan tersebut. Terdapat dua aspek yang paling diharapkan dapat ditingkatkan adalah ketersediaan obat/vaksin dan fasilitas kesehatan lainnya. Untuk mendukung upaya tersebut, sekitar separuh responden bersedia membayar lebih tinggi dari biaya sebelumnya.


2.    Sektor Pendidikan
Akses bagi para siswa ke sekolah tidak bermasalah, hal ini terlihat rata-rata waktu tempuh untuk mencapai sekolah hanya sekitar 30 menit. Biaya transportasi tidak terlalu tinggi namun cukup memberatkan bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin. Sementara, sosialisasi mengenai biaya yang akan dibebankan oleh sekolah kepada orang tua mereka cukup tinggi. Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) mampu mengurangi biaya sekolah. Secara umum, biaya sekolah juga lebih murah di NTT dibandingkan rata-rata nasional, misalnya uang buku untuk sekolah dasar di NTT sebesar Rp. 23,700,- sedang rata-rata nasional sebesar Rp. 52.200,-. Untuk uang buku sekolah menengah di NTT sebesar Rp. 64.900,- sedangkan secara nasional sebesar Rp. 110.600,-.

Tabel 3. Tarif Pelayanan Pendidikan Dasar NTT


Nasional (SD)
NTT (SMP-SMA)
Biaya Sekolah Sem I TA 2005/2006
Pihak Sekolah mensosialisasikan biaya sekolah
64,4
76,7
71,2
75,1
Sekolah mendapatkan BOS
79,3
91,2
52,6
57,6
Mengurangi pengurangan biaya sekolah akibat BOS
50,5
47,9
32,5
26,8
Uang pendaftaran (ribuan rupiah)
21,0
7,9
177,8
141,2
Uang iuran bulanan (ribuan rupiah)
2,9
5,5
24,3
34,1
Uang buku (ribuan rupiah)
52,2
23,7
110,6
64,9
Sumber: GDS2, dalam Pattinasarany dan Chandra Kusuma, 2008.


Tabel di atas menggambarkan perbandingam tarif/biaya sekolah tingkat SD dan SMP/MTS, SMA/MA baik rata-rata nasional maupun tarif di NTT. Yang menarik adalah bahwa pemberian dana BOS dari Pemerintah memang mampu mengurangi biaya sekolah para siswa di NTT, namun angkanya masih di bawah rata-rata nasional baik untuk tingkatan SD maupun SMP/MTS, SMA/MA.

Di Provinsi NTT masih banyak anak putus sekolah karena alasan ekonomi. Dari data responden rumah tangga tercatat sejumlah 229 anggota rumah tangga usia sekolah yang pada saat pelaksanaan survei di NTT sedang tidak bersekolah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 17 persen tidak bersekolah karena telah lulus SD/SMP/SMA/ sederajat. Hampir setengah (49,3 persen) menyatakan ketidakmampuan untuk membayar biaya sekolah sebagai alasan tidak menyekolahkan anaknya. Alasan lain yang disebutkan adalah: karena anak telah bekerja (8,7 persen) dan karena anak memang sudah tidak ingin sekolah lagi (21,4 persen). Secara umum, alasan yang dinyatakan oleh responden rumah tangga pada tingkat nasional serupa dengan kecenderungan di NTT. Dari temuan tersebut terlihat bahwa faktor ekonomi sangat menonjol sebagai penyebab anak tidak sekolah. [3]

Sementara itu, kondisi umum sekolah (gedung, peralatan, guru, dan sarana pendukung lainnya) di NTT banyak yang kurang mendukung proses belajar siswa. Meskipun komite sekolah sudah terbentuk, namun banyak yang belum berfungsi optimal. Selain itu, pelibatan orang tua siswa dan masyarakat tergolong masih rendah. Kondisi ini kemungkinan berpengaruh pada kurang memuaskannya prestasi belajar siswa dalam UAS dan UAN.

Terkait persepsi masyarakat, sekitar tiga perempat masyarakat NTT menilai terjadi peningkatan pelayanan pendidikan. Namun hampir seluruh responden menginginkan pelayanan tersebut dapat terus ditingkatkan. Dua aspek yang menjadi prioritas untuk ditingkatkan terkait dengan prestasi belajar siswa dan fasilitas pendidikan di sekolah. Keinginan masyarakat untuk berpartisipasi dalam bentuk kesediaan membayar biaya pendidikan lebih tinggi juga relatif cukup tinggi mengingat cukup banyak masyarakat yang secara ekonomi termasuk dalam kategori miskin.

Pentingnya Melakukan Inovasi Pelayanan Publik
Gambaran pelayanan publik yang terjadi di Provinsi NTT sebagaimana disebutkan dalam laporan GDS2 tersebut, menunjukkan level capaian kinerja pelayanan kesehatan dan pendidikan pada saat itu. Penulis sangat yakin berbagai upaya telah dilakukan untuk mencapai level pencapaian kinerja dimaksud, namun  ke depan masih memerlukan peningkatan berupa prasyarat inovasi maupun inovasi-inovasi yang terrencana dan terlembaga serta berlangsung terus-menerus.
1.    Perubahan (reform) mindset dan culture set
Perubahan mindset dan culture set menjadi prasyarat utama dalam melakukan inovasi pelayanan publik.[4] Mindset sering dimaknai sebagai pola pikir seseorang, yang akan berpengaruh pada pola kerja dan pola tindakan seseorang. Sedangkan culture set diartikan sebagai pola budaya, dalam hal ini budaya masyarakat dan aparatur pemerintah yang akan mempengaruhi kualitas pelayanan publik. Perubahan pola pikir ini bukan hanya diwajibkan bagi pejabat dan petugas pemberi layanan, namun juga bagi masyarakat/penerima layanan publik.
Pada tahap awal, perubahan pola pikir dan budaya kerja dapat dipaksakan kepada target groups, dengan memberikan ganjaran dan hukuman. Namun melalui internalisasi yang terus-menerus, sifat paksaan tersebut lambat-laun tidak akan dirasakan karena berganti dengan munculnya kesadaran dari target groups itu sendiri untuk melayani pelanggannya dengan lebih baik.
Di beberapa institusi – Polri – misalnya, bahkan melaksanakan pelatihan (training) untuk mengubah pola pikir anggotanya. Senada dengan itu, institusi pemda pun dapat melakukan hal yang sama, apakah melalui pendidikan dan pelatihan kepemimpinan (Diklatpim), diklat teknis, maupun diklat fungsional. Perubahan mindset dapat disusun dan disampaikan dalam satu mata diklat tersendiri maupun dapat pula ‘disisipkan’ dalam mata diklat lain yang sesuai.

2.    Optimalisasi unit pelayanan terpadu satu pintu
Di berbagai daerah sudah membentuk unit organisasi (SKPD) yang menangani pelayanan terpadu satu pintu, termasuk di Provinsi NTT yakni dengan terbitnya Perda No. 5 Tahun 2009. Namun harus diakui, kebijakan ini banyak dihadapkan pada tantangan di antaranya: kurangnya tenaga kerja terdidik, infrastruktur yang buruk, dan kerangka kerja kebijakan yang berbelit-belit (World Bank, 2012 dalam Marsono, 2014).
Oleh karena itu, upaya mengoptimalkan kelembagaan PTSP menjadi tugas penting bagi pemerintah daerah. Peleburan (amalgamation) PTSP ke dalam BKPMD yang dicanangkan tahun ini mungkin akan menghasilkan organisasi yang ramping, namun yang terpenting penggabungan itu akan memberikan dampak nyata dalam progress invistasi di Provinsi NTT ke depan.

3.    Kemitraan pemerintah daerah dengan swasta
Praktik inovasi pelayanan publik di sektor kesehatan antara lain terlihat pada upaya-upaya yang ditempuh Kota Kupang bekerjasama dengan AIPMNH (Australia Indonesia Partnership for Maternal and Neonatal Health) atau Kemitraan Indonsia dan Australia untuk Kesehatan Ibu dan Bayi. Inovasi tersebut di antaranya adalah pengembangan Puskesmas Pasir Panjang sebagai  Puskesmas Ramah Anak yang mendukung Program Kota Layak Anak di Kota Kupang. Sementara Puskesmas Bakunase sedang dalam proses untuk menuju Puskesmas Ramah Remaja , di Puskesmas Alak muncul inovasi untuk menyediakan Klinik Khusus Laki – Laki sehingga puskesmas ini lebih responsif gender, akses lansia juga dipermudah dalam pelayanan di Puskesmas Alak dimana mereka tidak harus antri di loket tapi bisa langsung dilayani di ruangan khusus bagi lansia.
Ada beberapa dukungan kebijakan dari Pemerintah Kota untuk pelaksanaan program ini, di antaranya adalah: 1) Adanya RPJMD Kota Kupang 2013 – 2017 yang berperspektif Gender & Perlindungan Anak, 2) Juknis BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) 2013 memasukan kegiatan Reformasi Puskesmas sebagai paket kegiatan,  3) Komitmen Pemkot untuk mendorong dimulainya proses reformasi puskesmas di  Sepuluh Puskesmas di Kota Kupang pada tahun 2014, dan 4) Rencana Pendekatan Pelayanan Kesehatan Kepada Masyarakat Melalui Call Center.
Puskesmas reformasi merupakan kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas yang berorientasi pada kualitas pelayanan dan kepuasan pengguna layanan dengan melibatkan para pihak dalam proses pengembangannya.  Perbaikan pelayanan dilakukan  secara komprehensif di internal Puskesmas maupun melalui pemberdayaan masyarakat di wilayah pelayanan Puskesmas melalui pendekatan multi pihak.
Reformasi dilakukan terhadap pola pikir, budaya kerja dan sistem menajemen sehingga bermuara pada terwujudnya pelayanan prima di Puskesmas guna mendukung 3 misi RPJMD Kota Kupang periode 2013-2017 yaitu : 1) Misi 2 Mewujudkan Sumber Daya Manusia dan Masyarakat Kota Kupang yang Berkualitas, dengan sasaran pada Peningkatan kualitas SDM yang memiliki tingkat pendidikan dan derajat kesehatan yang tinggi serta berbudaya, 2) Misi 3 Meningkatkan Mutu Pelayanan Publik & Penegakan Supremasi Hukum, penyelenggaraan pemerintah yang baik & bersih sehingga mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat disertai dengan penegakan supremasi hukum dan hak asasi manusia, dan 3) Misi 5 Meningkatkan Kesejahteraan Sosial Masyarakat, peningkatan kesejahteraan masyarakat yang memiliki kehidupan layak, terpenuhinya kebutuhan dasar dengan titik berat pada penanggulangan kemiskinan, penanganan penyandang masalah kesejahteraan sosial, pengarusutamaan gender, perlindungan anak serta mitigasi bencana.


Penutup
Organisasi sektor bisnis telah menyadari pentingnya inovasi jauh sebelum sektor publik menjadikan inovasi sebagai milestone-nya dalam mencapai keberhasilan. Mereka menjadikan perubahan dan dinamika lingkungan strategis sebagai faktor “peluang organisasi” bukan sebagai “hambatan organisasi” untuk bertarung pada level kompetisi yang semakin berat. Kebutuhan akan daya inovasi dalam organisasi menciptakan apa yang dikenal dengan “intrapreneurship”, yaitu melalui devolving power, membuat unit “pabrik ide” yang bertugas mencari ide-ide baru, serta mencari dan merekrut pegawai-pegawai yang inovatif.
Pada ranah lain, organisasi sektor publik – termasuk Pemda – berupaya menerapkan kreativitas dan inovasi dalam melaksanakan tugasnya, yang terkait erat dengan pelayanan publik. Namun demikian, inovasi kebijakan dan pelayanan yang dilakukan di sektor publik sering dihadapkan pada persoalan pelik karena intervensi kebiasaan birokrasi yang cenderung negatif.
Berbagai tantangan pemberian layanan publik – baik pelayanan administratif, barang, maupun jasa – sering dihadapkan pada minimnya kemampuan pelayan publik (SDM), kurangnya sarana-prasarana, dan peraturan yang kurang mendukung. Untuk itu, perlu perubahan pola pikir & budaya kerja, peningkatan jumlah dan kualitas sarpras, penyusunan peraturan perundangan dan perlu membangun kemitraan peemrintah daerah dengan swasta untuk mendukung implementasi pelayanan publik yang semakin baik.



Daftar Pustaka
Albury, David. 2003. Innovation in the Public Sector. Discussion paper. The Mall. London.

Halvorsen, Thomas, et al. 2005. On the Differences between Public and Private Sector Innovations. Publin Report. Oslo.

Nurcholis, Hanif. 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Grasindo: Jakarta.
Pattinasarany, Daan dan Candra Kusuma. 2006. Pelayanan Kesehatan dan Pendidikan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Decentralization Support Facility: Jakarta
Suwarno, Yogi. 2008. Inovasi di Sektor Publik. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Lembaga Administrasi Negara Press: Jakarta.
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 112.
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 15 Tahun 2014 tentang Pedoman Standar Pelayanan.
Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
http://aipd.or.id/target-areas/east-nusa-tenggara/ diakses pada tanggal 9 September 2015
http://kamusbahasaindonesia.org/pelayanan/mirip diakses pada tanggal 10 September 2015





[1] Korupsi kecil-kecilan dalam pelayanan terjadi di banyak tempat dan melibatkan banyak orang sehingga akan berakumulasi pada nilai korupsi yang besar pula. Tidak hanya itu, perilaku korup tersebut telah merusak perilaku aparatur dan masyarakat.
[2] Pada tahun 2015, KPPTSP akan digabungkan ke BKPMD, menjadi salah satu bidang di BKPM Provinsi NTT. Hal ini merupakan amanat UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal dan Keppres No. 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Perijinan Satu Pintu. Kegiatan pelayanan satu pintu dijalankan oleh satu lembaga dan diseragamkan di seluruh Indonesia.
[3] Hasil Survey GDS2, Pelayanan Dasar Kesehatan dan Pendidikan NTT 2006.
[4] Mindset dan culture set juga menjadi area perubahan dari 8 (delapan) area perubahan reformasi birokrasi sebagaimana diatur dalam Perpres No. 81 Tahun 2010. Demikian pentingnya perubahan mindset dan culture  sehingga menjadi concern pemerintahan Jokowi melalui ‘revolusi mental’-nya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar