Sabtu, 20 Agustus 2016

Vaksin Palsu: Bentuk Kejahatan Bisnis dalam Perspektif Etika Bisnis (Suatu Penilaian Etis-Moral Atas Kasus Vaksin Palsu Di Rumah Sakit Harapan Bunda, Jakarta Timur)

oleh:
Gregorius Mau Tae, S. Fil
Widyaiswara Badan Diklat Provinsi NTT




ABSTRACT

A form of business crime that are plaguing the society today is a case of fake vaccines. The issue of fake vaccines is like a chain of business crime for allegedly has links with the supply line, the official distribution, as well as monitoring bodies of the government through pharmaceutical wholesalers. Business crime cases with no indication of fraud that occurred in the Harapan Bunda Hospital involves the role of parties such as hospital management, physicians, nurses, producer, label printer, collecting bottles, and distributors. Therefore, it is necessary intense discussion among all stakeholders that play a role in prevention against business crime and provide just punishment of his actions. After all in the perspective of Business Ethics good ethical and moral judgments about the actions these actors can not be justified because it is contrary to the theories of ethics and moral teachings.

Keywords: Vaccine Fake, Crime Business, Business Ethics, Moral-Ethical Judgment 




I.        PENDAHULUAN
Fenomena Vaksin Palsu yang menjadi penghias media  akhir-akhir ini merupakan salah satu bentuk Kejahatan Bisnis yang sangat bertentangan dengan Etika Bisnis. Tidak heran apabila kejahatan ini menyebabkan masyarakat mengalami kepanikan yang luar biasa. Betapa tidak, vaksin palsu ini ibarat rantai kejahatan di dunia bisnis. Harian Nasional Republika (20 Juli 2016) menulis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendesak pemerintah bersikap lebih transparan dalam menangani kasus vaksin palsu. LSM itu berpendapat, sampai saat ini belum ada informasi jelas yang diterima masyarakat terkait alur peredaran vaksin abal-abal tersebut di Tanah Air.  Kontras  menilai peran pengawasan dari Kementerian Kesehatan, Badan POM, dan dinas kesehatan di tingkat daerah selama ini masih lemah sehingga memberikan celah besar bagi keberlangsungan bisnis vaksin palsu (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/ umum. Berdasarkan pemantauan dan informasi yang dikumpulkan Kontras, rantai kejahatan bisnis vaksin palsu diduga memiliki kaitan dengan jalur suplai, distribusi resmi, serta badan-badan pemantau dari pemerintah melalui pedagang besar farmasi. Dugaan itu diperkuat oleh temuan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri beberapa waktu lalu yang menyebut adanya pasien yang terverifikasi menerima vaksin palsu lewat kasir resmi di RS Harapan Bunda, Jakarta Timur, bahkan ada oknum dokter yang menjualnya kepada pasien. Menurut pengakuan dokter vaksin palsu tersebut dibeli dari sales obat resmi. Yang jelas bahwa  dalam kasus ini, tiga dari 23 tersangka yang dijerat polisi berprofesi sebagai dokter. Mereka adalah HUD yang merupakan mantan Direktur Rumah Sakit Ibu Anak Sayang Bunda, AR yaitu dokter di Klinik Pratama Adipraja, dan dokter di Rumah Sakit Harapan Bunda berinisial I. Sementara yang lainnya berperan sebagai produsen, pencetak label, pengumpul botol, dan distributor (http://nasional.kompas.com /read/2016/07/21/15075501).
Temuan itu mengindikasikan adanya peran manajemen rumah sakit dalam pengaturan distribusi vaksin palsu ke dalam sistem Rumah Sakit mereka. Sayangnya, informasi mengenai alur peredaran vaksin palsu di Rumah Sakit tersebut sampai saat ini tidak pernah dibuka kepada publik. Menurut dia, fakta tersebut sekaligus membantah klaim manajemen RS Harapan Bunda yang menyebut bahwa setiap pasien yang membayar jasa vaksinasi lewat kasir resmi di RS itu dijamin mendapat vaksin asli, bukan palsu. Manajemen RS Harapan Bunda sebelumnya berjanji akan memberi vaksin ulang kepada para pasiennya yang terindikasi menerima vaksin palsu dari Maret-Juni 2016.
Kasus vaksin palsu di atas hanyalah merupakan salah satu contoh bentuk kejahatan bisnis di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menganut sistem demokrasi Pancasila dengan lima silanya yang mengandung nilai-nilai luhur bangsa ini. Maka tidak dapat disangkal bahwa kasus vaksin palsu adalah ujian bagi negara untuk menuntaskannya dari hulu hingga ke hilir. Sebab, ia tidak hanya menjadikan anak-anak sebagai korban, tapi juga mempertaruhkan kualitas generasi masa depan bangsa. Proses hukum yang sedang berjalan harus diawasi dan dikontrol sehingga penegak hukum bisa menguak akar kejahatan sampai ke aktor besarnya. Sedangkan atas korban vaksin palsu, negara harus memulihkannya melalui langkah-langkah yang segera dan terencana, di antaranya melakukan pemeriksaan ulang, pemberian vaksin ulang, dan mengontrol proses produksi dan distribusi vaksin     secara benar.
Dari kasus kejahatan di atas memunculkan banyak keperihatinan serentak pertanyaan, di manakah hati nurani pelaku-pelaku kejahatan tersebut yang pernah belajar tentang nilai-nilai berupa kode etik sebagai pedoman dalam bersikap dan berperilaku? Tak dapat dipungkiri bahwa belajar untuk mengetahui saja tidak cukup, harus ada kesadaran yang dibangun agar orang sungguh menyadari peran dan tugasnya.

II.            TINJAUAN TEORITIS
1.      Vaksin Palsu : Kejahatan Bisnis
Vaksin adalah sistem kekebalan tubuh yang dirancang untuk membantu melindungi orang dari virus dan bakteri yang mungkin masuk ke dalam tubuh dan menyebabkan penyakit. Ketika suatu bakteri atau virus memasuki tubuh, maka sistem kekebalan tubuh mulai memproduksi suatu protein yang disebut sebagai antibodi. Antibodi inilah yang dapat menyerang dan membantu menghancurkan bakteri atau virus tersebut. Vaksin yang dibuat dengan cara menggunakan virus atau bakteri penyebab penyakit yang tidak aktif atau dilemahkan. Ketika virus atau bakteri ini diperkenalkan ke dalam tubuh dalam bentuk vaksin, maka sistem kekebalan tubuh akan mengenali mereka dan belajar bagaimana untuk membuat antibodi untuk melawan infeksi yang akan terjadi pada masa mendatang. (www.jevuska.com). Bagaimana jadinya kalau vaksin ini dipalsukan?
Peneliti Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Chairul Anwar Nidom MS (http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/07/18) mengatakan vaksin palsu merupakan bentuk kejahatan bioterorisme. Sehingga harus diusut tuntas oleh semua pihak. Bioterorisme merupakan suatu tindakan disengaja dengan menggunakan bahan biologis, seperti kuman (virus, bakteri, dan parasit) dan bahan toksin. Ia mengatakan tindakan bioterorisme ini untuk mencapai tujuan ekonomi, sosial, politik, budaya, baik dalam waktu singkat, menengah maupun jangka panjang. Sehingga tindakan vaksin palsu ini bisa dikategorikan sebagai kejahatan bioterorisme. Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Unair itu mengatakan tindakan bioterorisme lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan bahaya narkoba. Dia meminta pemerintah harus serius memberantas kejahatan bisnis ini.  Terkait kasus vaksin palsu ini, Chairul mengatakan tidak bisa hanya dilihat dari aspek kriminal biasa, maupun masalah kerugian ekonomi dari pihak-pihak yang terpengaruh. Kasus vaksin palsu ini harus dikaji secara dalam, terkait isi vaksin palsu itu apa saja. Jika yang disuntikkan kuman atau bakteri, maka akan berdampak pada anak-anak hingga harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Selain itu,  jika vaksin yang disuntikkan pada warga berisi cairan biasa, maka masih diperbolehkan. Tetapi kalau ada kandungan lain dalam vaksin, seperti penggunaan kuman atau bakteri secara sembarang, maka perlu dicurigai. Kalau ada vaksin berisikan kuman sembarangan, kemudian telah disuntikkan pada anak-anak, maka bukan hanya bahaya untuk anak yang divaksin saja, tetapi juga lingkungan karena timbul penyakit baru yang tidak terprediksikan. Dampak vaksin palsu terhadap anak yang terpapar akan berbeda-beda tergantung kandungan di dalamnya. Sehingga harus ada keterbukaan pihak terkait untuk membuka atau mengurai isi vaksin palsu. Dampak terburuk jika vaksin palsu itu mengandung kuman, maka akan terjadi Alzheimer yakni penyakit sejenis sindrom dengan apoptosis sel-sel otak pada saat yang hampir bersamaan, sehingga otak tampak mengerut dan mengecil, juga gagal ginjal maupun gangguan liver. Dampak terburuk itu akan terjadi tergantung pada kandungan vaksin palsu dan daya tahan tubuh anak tersebut. Dampak bagi anak yang terpapar vaksin palsu sama saja dengan tidak diberikan vaksin sama sekali. Vaksinasi ulang tidak akan menyelesaikan persoalan vaksin palsu. Jadi vaksin palsu berbeda dengan gagal vaksin. Sehingga keterbukaan terkait kandungan isi vaksin palsu ini harus segera diurai agar dapat memutuskan rantai kejahatan bisnis, kejahatan yang luar biasa sebagaimana dikatakan oleh Presiden Jokowi (http://nasional.kompas. com/read/2016/06/28/20210531/jokowi.vaksin.palsu.kejahatan. luar.biasa).
Istilah “kejahatan bisnis” dirumuskan oleh John.E.Conklin sebagai: “Business crime is an illegal act, punishable by a criminal sanction, which is committed by an individual or a corporation in the course of a legitimate occupation or persuit in theindustrial or commercial sector for the purpose of obtaining money or property, avoiding the payment of money or the loss of property or personal advantage”. (Conklin,1977:11-13). Perumusan “kejahatan bisnis” di atas menunjukkan salah satu pola kejahatan non konvensional yang dewasa ini sangat menonjol karena menjadi problem hampir di semua negara, terlebih negara yang sedang membangun yang sangat bergantung pada perkembangan dan pertumbuhan ekonominya serta berhubungan erat dalam lintas niaga transnasional. Di samping itu, pengertian “kejahatan bisnis” mengandung pula makna filosofis, yuridis dan sosiologis. Secara filosofis, kejahatan bisnis mengandung makna bahwa telah terjadi perubahan nilai-nilai (values) dalam masyarakat manakala suatu aktivitas bisnis dioperasikan sedemikian rupa sehingga sangat merugikan kepentingan masyarakat luas. Perubahan nilai tersebut menggambarkan bahwa kalangan pebisnis sudah kurang atau tidak menghargai lagi kejujuran (honesty) dalam kegiatan bisnis nasional dan internasional demi untuk mencapai tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Secara singkat dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam kegiatan bisnis sudah tidak dapat ditemukan ketertiban dan kepastian hukum dan karenanya tidak mungkin menemukan keadilan bagi para pelaku bisnis yang beritikad baik. Konsekuensi logis dari keadaan dan masalah hukum tersebut ialah diperlukan perangkat hukum lain yaitu hukum pidana untuk membantu menciptakan ketertiban dan kepastian hukum serta untuk menemukan keadilan bagi para pelaku bisnis yang beritikad baik dan telah dirugikan. Adapun secara yuridis, pengertian istilah “kejahatan bisnis” menunjukkan bahwa terdapat 2 (dua) sisi mata uang yaitu di satu sisi terdapat aspek hukum perdata, dan di sisi lain terdapat aspek hukum pidana. Kedua aspek hukum tersebut memiliki dua tujuan yang berbeda secara diametral dan memiliki sifat atau karakteristik yang bertentangan satu sama lain. Aspek hukum perdata lebih mementingkan perdamaian di antara para pihak, sedangkan aspek hukum pidana lebih mementingkan melindungi kepentingan umum, masyarakat luas bahkan negara. Secara sosiologis, pengertian “kejahatan bisnis” menunjukkan keadaan yang nyata terjadi dalam aktivitas di dunia bisnis. Namun di sisi lain menunjukkan pula bahwa kegiatan bisnis sudah tidak ada lagi ‘keramahan’ (unfriendly business atmosphere) atau seakan-akan sudah tidak ada lagi yang dapat dipercaya di antara pelaku bisnis. Kegiatan bisnis seharusnya berjalan secara sehat sekalipun bersaing secara kompetitif. Secara substansial, menurut Robintan Sulaiman, kejahatan bisnis mengandung anasir, yakni:
1.      Sifatnya korporasi artinya dilakukan secara berkelompok yang masing-masing berperan dengan keahlian masing-masing membentuk sinergi dan aliansi strategis yang menjadi suatu kekuatan yang mandiri dan sangat sulit diterobos oleh tangan hukum. Kejahatan bisnis juga merupakan kejahatan terorganisasi (organized crimes).
2.      Kejahatan bisnis dalam melakukan kejahatan menggunakan instrumen atau peralatan canggih seperti komputer, satelit dan lain-lain sehingga dapat terjadi setiap saat, kapan saja dan dimana saja.
3.      Kejahatan bisnis Multi Dimensi ini berdampak pada tidak saja para orang atau badan hukum yang dirugikan tetapi juga merugikan masyarakat bahkan negara.
Masih menurut Robintan Sulaiman, faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan bisnis meliputi 3 (tiga) hal, yakni: 1). Kejahatan bisnis memang sudah dirancang saat bisnis tersebut dibuat, dan itu berarti ada kebutuhan (need) untuk itu; 2). Kejahatan bisnis ini timbul karena adanya perkembangan bisnis yang cepat berkembang dan menimbulkan kesempatan (opportunity) bagi pelaku. Jadi pada saat bisnis ini dibuat atau dimulai tidak ada rencana untuk melakukan kegiatan bisnis; 3). Kejahatan bisnis yang dilakukan oleh orang-orang di luar pelaku bisnis yang menguasai teknologi dan dapat memanfaatkan teknologi untuk melakukan kejahatan. Ketiga hal ini semuanya bermotif ekonomi/komersial (profit oriented) serta desakan kebutuhan untuk memperoleh uang sebanyak-banyaknya dalam waktu singkat adalah motif yang utama dalam kejahatan bisnis. (Robintan Sulaiman, 2001:8-12). Motif inipun dimiliki oleh korporasi yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan agar invest yang telah ditanamkan tidak mengalami kerugian (hal ini dikenal dalam “Anomie Theory”).
2.      Etika Bisnis
Istilah etika berasal dari bahasa Yunani kuno. Bentuk tunggal kata etika yaitu ethos sedangkan bentuk jamaknya yaitu taetha. Ethos mempunyai banyak arti yaitu, tempat tinggal yang biasa, padang rumput, kandang, kebiasaan/adat, akhlak, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan arti ta etha yaitu adat kebiasaan.
Arti dari bentuk inilah yang melatar belakangi terbentuknya istilah etika yang oleh Aristoteles dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Jadi, secara etimologi ( asal usul kata ), etika mempunyai arti yaitu ilmu tentang apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan. Etika merupakan suatu ilmu yang membahas perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia. Dan etika profesi terdapat suatu keadaan yang kuat untuk mengindahkan etika profesi pada saat mereka ingin memberikan jasa keahlian profesi kepada masyrakat yang memerlukan.
Dalam pergaulan hidup bermasyarakat, bernegara hingga pergaulan hidup tingkat internasional diperlukan suatu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya manusia bergaul. Sistem pengaturan pergaulan tersebut menjadi saling menghormati dan dikenal dengan sebutan sopan santun, tata krama, protokoler, dan lain-lain.
Maksud pedoman pergaulan tidak lain untuk menjaga kepentingan masing-masing yang terlibat agar mereka senang, tenang, tentram, terkindung tanpa merugikan kepentingannya serta terjamin agar perbuatannya yang tengah dijalankan sesuai dengan adat kebiasaan yang berlaku dan yang tidak bertentangan dengan hak-hak asasi umumnya. Hal itulah yang mendasari tumbuh kembangnya etika di masyarakat kita.
Ada beberapa ahli yang mengungkapkan pengertian-pengertian etika, diantaranya, Franz Magnis Suseno (1987) yang menyatakan bahwa etika merupakan suatu ilmu yang memberikan arahan, acuan dan pijakan kepada tindakan manusia.  Aristoteles, mengemukakan etika kedalam dua pengertian yakni: Terminius Technicus & Manner and Custom. Terminius Technicus ialah etika dipelajari sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari suatu problema tindakan atau perbuatan manusia. Sedangkan yang kedua yaitu,  manner and custom ialah suatu pembahasan etika yang terkait dengan tata cara & adat kebiasaan yang melekat dalam kodrat manusia (in herent in human nature) yang sangat terikat dengan arti “baik & buruk” suatu perilaku, tingkah laku atau perbuatan manusia.
Dari berbagai pembahasan definisi tentang etika tersebut dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis definisi, yaitu sebagai berikut:
1.        Jenis pertama etika dipandang sebagai cabang filsafat yang khusus membicarakan tentang nilai baik dan buruk dari perilaku manusia.
2.        Jenis kedua etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang membicarakan baik buruknya perilaku manusia dalam kehidupan bersama. Definisi tersebut tidak melihat kenyataan bahwa ada keragaman norma, karena adanya ketidaksamaan waktu dan tempat, akhirnya etika menjadi ilmu yang deskriptif dan lebih bersifat sosiologik.
3.      Jenis ketiga Etika dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat normatif, dan evaluatif yang hanya memberikan nilai baik buruknya terhadap perilaku manusia. Dalam hal ini tidak perlu menunjukkan adanya fakta, cukup informasi, menganjurkan dan merefleksikan. Definisi etika ini lebih bersifat informatif, direktif dan reflektif.
Ada macam-macam etika yang harus kita pahami bersama dalam menentukan baik dan buruk priaku manusia:
a)         Etika Deskriptif, yaitu etika yang berusaha meneropong secara kritis dan rasional sikap dan prilaku manusia dan apa yang dikerja oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatau yang bernilai. Etika deskriptif tersebut berbicara mengenai fakta secara apa adanya, yakni mengenai nilai dan perilaku manusia sebagai suatu fakta yang terkait dengan situasi dan realitas yang membudaya. Dapat disimpulkan bahwa tentang kenyataan dalam penghayatan nilai atau tanpa nilai dalam suatu masyarakat yang dikaitkan dengan kondisi tertentu memungkinkan manusia dapat bertindak secara etis.
b)        Etika Normatif,  yaitu etika yang berusaha menetapkan berbagai sikap dan pola prilaku yang ideal yang saharusnya dimiliki oleh manusia dalam hidup ini sebagai sesuatu yang bernilai.
Metaetika, pendekatan  ini lebih menekankan bagaimana gagasan etika berasal dan apa maknanya. Pendekatan ini lebih bersifat kebahasaan atau pemaknaan atas segala ucapan moral atau dapat di sebut jalan atau jembatan menuju etika
Sedangkan Bisnis adalah suatu kegiatan yang dilakukan secara terus menerus mulai dari pengadaan barang dan jasa, memproses, sampai terdistribusikan ke konsumen dengan tujuan memaksimalkan keuntungan dan memaksimalkan kemakmuran. Menurut Redi Panuju (1995:42) bahwa bisnis adalah suatu interaksi yang terjadi akibat adanya kebutuhan yang tidak bisa diperoleh sendiri oleh individu.; A. Sony Keraf (1998:34) mengemukakan bahwa bisnis seperti hal permainan judi, bisnis adalah bentuk persaingan yang mengutamakan kepentingan pribadi, dalam permainan penuh persaingan itu, aturan yang dipergunakan berbeda dari aturan yang ada pada kehidupan sosial pada umumnya, kemudian orang mematuhi aturan moral akan berada pada posisi yang tidak menguntungkan di tengah persaingan ketat yang menghalalkan segala cara.
Permasalahan  etika  semakin  berkembang tidak hanya pada taraf sangat abstrak tetapi secara keseluruhan iklim pemikiran moral sekarang lebih terarah pada masalah-masalah konkret, dan dalam perkembangan sering disebut dengan “etika terapan” (applied ethics), dalam perkembangan selanjutnya etika terapan memperluas perhatiannya kepada topik-topik yang lebih aktual, dan salah satu topik adalah etika bisnis yang dapat dimasukkan dalam etika terapan. Perkembangan bisnis yang semakin pesat menyebabkan pebisnis lebih  berorientasi  pada  profit, akibatnya manusia sebagai pelaku bisnis tersebut tersisih  dari nilai-nilai kemanusiannya, maka mereka sadar bahwa etika bisnis diperlukan untuk mengatasi masalah tersebut
Menurut Redi Panuju ( 1995:7) bahwa kegiatan mencari etika bisnis menyangkut 4 kegiatan yaitu : (1) menerapkan prinsip-prinsip etika umum pada khususnya atau praktek-praktek khusus dalam bisnis menyangkut apa yang dinamaakan meta-etika , (2) apakah perilaku dan tindakan yang dinilai secara etis atau tidak etis pada individu dapat dikenakan pada organisasi atau organisasi bisnis, (3) menyoroti moralitas sistem ekonomi pada umumnya serta sistem ekonomi suatu negara pada khususnya, (4) meluas melampaui bidang etika, menelaah teori ekonomi dan organisasi.
Seperti etika terapan pada umumnya, etika bisnis dapat di jalankan pada tiga taraf: (a) taraf makro, (b) taraf meso dan (c) taraf mikro, Etika bisnis pada taraf makro, mempelajari aspek-aspek moral dari sistem ekonomi sebagai keseluruhan dan lebih menyoroti pada skala besar. Etika bisnis pada taraf meso lebih menyoroti masalah-masalah etis di bidang organisasi antara lain perusahaan, serikat buruh, lembaga konsumen, perhimpunan profesi, sedangkan pada taraf mikro etika bisnis lebih menfokuskan pada hubungan antara individu dengan bisnis, yaitu tanggung jawab etis dari karyawan dengan majikan, bawahan dengan manager, produsen dengan konsumen, pemasok dengan investor (K. Bertents, 2000, 35) .
Bisnis yang baik (good business) tidak saja mencari keuntungan semata, akan tetapi bisnis yang baik adalah bisnis baik secara moral, dalam kontek bisnis adalah berperilaku yang sesuai dengan norma-norma moral, perilaku dapat dinilai baik ketika memenuhi standart etis. Prinsip  -  prinsip  etika  bisnis   yang dikemukakan oleh Sonny Keraf (1998: 56 ) sebagai berikut: (1) Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan. (2) Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran yaitu : (a) jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. (b) kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. (c) , jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan. (3) Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan. (4) Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) ; menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak. (5) Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan / orang-orangnya maupun perusahaannya.
Sedangkan Mahmoedin (1996:81) menyebutkan ada 7 Prinsip-prinsip etika bisnis yaitu :
1.        Bersifat bebas: kebebasan adalah syarat yang harus ada agar manusia bisa bertindak etis, Manager harus bebas mengembangkan usahanya.
2.        Bertanggung Jawab: perbuatan yang menjunjung tinggi etika dan moral, sehingga kebebasan diberikan dapat dipertanggung jawabkan.
3.        Bersikap Jujur : kejujuran adalah suatu jaminan dan dasar bagi kegiatan bisnis terutama dalamjangka panjang.
4.        Bertindak baik: secara aktif melakukakn kegiatan berbuat baik kepada masyarakat dan kegiatan yang sling menguntungkan dengan masyarakat.
5.        BersikapAdil: memperlakukakn setiap orang sesuaidengan hak.
6.        Bersikap Hormat: menghargai orang lain.
7.        Bersikap informatif: Informasi diperlukan bagi konsumen dan pelanggan tentang produk barang dan jasa yang ditawarkan .
Dalam masyarakat acap kali ada anggapan bahwa bisnis tidak mempunyai hubungan dengan etika atau moralitas, Richard De Groge menyebut pandangan ini sebagai “the myth of amoral bussines” (K. Bartens, 2003;376).
Berdasarkan pandangan yang keliru ini, pelaku usaha akan menghalalkan berbagai cara untuk memperoleh keuntungan, baik melalui informasi yang kurang benar dan tidak bisa di pertanggung jawabkan maupun promosi yang sangat berlebihan yang menyangkut kebenaran.
 III.            Penilaian Etis – Moral Atas Kasus Vaksin Palsu Di Rumah Sakit Harapan Bunda, Jakarta Timur)
1.      Penilaian Etis terhadap Tindakan Pemalsuan Vaksin
Kasus kejahatan bisnis dengan indikasi pemalsuan vaksin yang terjadi di RS. Harapan Bunda ini melibatkan peran banyak pihak seperti manajemen Rumah sakit, Dokter, Perawat, produsen, pencetak label, pengumpul botol, dan distributor.
Atas kasus ini Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tetap membela dan memberikan pendampingan hukum terhadap tiga dokter RS. Harapan Bunda yang dijerat dalam kasus vaksin palsu tersebut.  Menurut mereka, ada mekanisme internal untuk dokter yang diduga melanggar kode etik dan profesinya. Untuk pengadilan etik, akan digelar oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran. Sementara untuk dugaan pelanggaran disiplin, sidang akan dilakukan oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran. Pengadilan pidana dan perdatanya bukan kewenangan IDI. Kalau anggota bersalah, dipersilahkan dilakukan secara hukum asal jangan praduga tak bersalah (http://nasional.kompas.com/read/2016/07/21). 
Namun demikian penilaian etis atas kasus ini pantas dilakukan berdasarkan teori-teori etika. Teori etika adalah kerangka pemikiran yang sistematis tentang etika, yang dapat menjelaskan tentang perilaku manusia yang pantas disebut baik atau etis Tentu perbuatan baik secara moral. Dengan demikian teori etika akan membantu kita untuk menilai sebuah keputusan yang etis atau sebuah keputusan moral yang tahan uji. Secara historis ada banyak teori etika. Karena itu terbuka kemungkinan ada banyak perspektif tentang perbuatan yang disebut baik. Berikut akan dibahas 4 teori etika yang cukup berpengaruh dalam wacana etika manusia yang bertentangan dengan pemalsuan vaksin, yaitu: teori utilitarisme; teori deontologi, teori hak; dan teori keutamaan.
Pertama, teori utilitarisme. Utilitarisme berasal dari kata Latin utilis’ yang berarti ‘bermanfaat”. Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu harus menyangkut bukan hanya untuk satu dua orang, melainkan bermanfaat untuk sekurang-kurangnya untuk sebuah komunitas masyarakat sebagai sebuah totalitas atau keseluruhan. Jadi utilitarisme tidak berciri egoistis, tetapi berciri altruistis. Dengan demikian kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number – ‘kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbanyak.’
Teori Utilitarisme ini dibedakan atas 2 macam yaitu utilitarisme perbuatan (act utilitarism) dan utilitarisme peraturan (rule utilitarism). Prinsip utilitarisme tentang manfaat terbesar bagi jumlah orang terbanyak diterapkan pada perbuatan. Untuk memperoleh manfaat yang banyak sekaligus benar dan bermutu, perbuatan bermanfaat itu harus taat pada peraturan, hukum positif atau janji, dan sebagainya yang telah disepakati bersama. Karena sebuah perbuatan yang bermanfaat bagi sebuah kelompok dapat saja melanggar hak asasi seseorang atau hak ulayat kelompok lain. Selain itu perbuatan demi tercapainya sebuah manfaat dapat saja ditempuh dengan cara-cara yang melanggar aturan, hukum, norma, dsbnya. Contoh kasus diatas melanggar dalam undang-undang pemalsuan vaksin. Pemalsuan vaksin berarti merupakan tindakan tidak etis menurut Konsep Utilitarian, karena hanya bermanfaat bagi pelaku - jaringannya dan merugikan banyak orang. Saya yakin kita semua paham bahwa Pemalsuan vaksin memang tidak punya etika, seperti dikatakan teori di atas. Sekarang tinggal dalam penerapannya, seseorang memilih untuk mau hidup beretika atau tanpa etika.
Kedua, teori deontologi. Jika utilitarisme menekankan  bobot moralitas manusia pada perbuatan yang bermanfaat atau pada konsekuensinya, maka deontologi melepaskan sama sekali moralitas dari konsekuensinya. Istilah deontologi ini berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti kewajiban. Atas pertanyaan pertama “mengapa suatu perbuatan ini adalah baik dan pertanyaan kedua mengapa perbuatan itu haruslah ditolak sebagai buruk”, teori deontologi menjawab: “karena perbuatan pertama menjadi kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang”. Singkatnya yang menjadi dasar penilaian suatu perbuatan itu bermoral atau tidak adalah sejauh mana perbuatan itu memenuhi kewajiban atau mentaati perintah dan  larangan.  Dengan kata lain perbuatan yang dianggap baik adalah perbuatan-perbuatan yang melakukan kewajiban-kewajiban. Untuk itu manusia harus tahu dan sadar apa yang kewajiban dan apa yang menjadi haknya. Setiap sumber ajaran moral yang berasal dari agama-agama, biasanya  mengenal sejumlah prinsip yang berisikan perintah dan larangan.
Tindakan kejahatan apapun seperti pemalsuan vaksin jelas melanggar teori Deontologi ini. Karena perilaku oknum  pemalsuan vaksin  menunjukkan bahwa hak masyarakat yang seharusnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang semestinya justru disalahgunakan oleh pelaku kejahatan yang berprosfesi sebagai dokter/tenaga kesehatan dan lebih ironis lagi, peristiwa kejahatan  bsinis ini terjadi di Rumah Sakit yang adalah tempat resmi/legal untuk menyembuhkan orang sakit  Perilaku pelaku pemalsuan vaksin  menunjukkan bahwa ada keegoisan para pelaku bisnis yang adalah pelayan masyarakat.      
Ketiga, teori hak. Teori hak adalah pendekatan yang paling popular dalam penilaian moral. Nilai moral dari PBB menekankan teori hak ini yang tertuang dalam deklarasi HAM-nya. Jika dicermati secara akademis, teori hak ini merupakan varian dari teori deontologi, karena hak berkaitan erat dengan kewajiban. Misalnya jika saya berjanji sesuatu kepada teman, saya berkewajiban menepati janji saya, sedangkan teman saya berhak untuk menerima apa yang saya janjikan kepadanya.
Teori hak didasari oleh keluhuran martabat manusia, di mana kemuliaan martabat semua manusia itu sama derajatnya. Semua manusia merupakan tuan bagi dirinya sendiri (Latin: dominus sui) sekaligus suatu tujuan pada dirinya sendiri atau memiliki tujuan yang intrinsik. Karena itu teori ini relevan untuk wacana kesetaraan manusia yang sering ditipu daya oleh adanya status-status sosial berdasarkan harta milik, kewenangan memimpin dan lain-lain. Karena itu manusia harus diperlakukan sebagai sahabat yang setara dan tidak pernah boleh diperlakukan semata-mata sebagai ‘sarana’ atau ‘alat’ yang bertujuan eksetral atau demi tercapainya sebuah tujuan lain di luar dari kemuliaan martabat dirinya. Jaminan atas hak mengandaikan adanya penegakan standar keadilan, yang terdiri keadilan distributif, keadilan komutatif, keadilan hukum, keadilan prosedural, dan keadilan sosial. Hal keadilan ini merupakan sebuah keutamaan moral yang ditegaskan oleh teori keutamaan berikut. Menurut Sutor (dalam Hariotmoko, 2015:16) masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang berkualitas dan relevan, maka seorang pelayan publik harus mengedepankan dimensi tujuan etika publik yaitu upaya hidup baik dengan mengusahakan kesejahteraan umum melalui pelayanan publik yang berkualitas dan relevan. Lebih jauh Hariotmoko menegaskan pendapat Sutor ini dalam konteks negara Indonesia sebagai negara demokratis, pemerintah mempunyai komitmen terhadap penyelenggaraan negara dan bertanggung jawab atas komitmen untuk kesejahteraan masyarakat dan kehidupan damai.
Keempat, teori keutamaan. Dalam tiga teori terdahulu, baik buruk perilaku manusia tergantung pada tindakan yang berdasarkan suatu prinsip atau norma (rule based). Kalau sesuai dengan norma, suatu perbuatan adalah baik. Kalau suatu perbuatan bertentangan dengan norma maka suatu perbuatan adalah buruk. Dalam konteks utilitarisme, suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang. Dalam konteks deontologi, suatu perbuatan adalah baik jika sesuai dengan perintah dan larangan. Dalam konteks hak, suatu perbuatan adalah baik jika sesuai dengan prinsip hak asasi manusia. Sedangkan keutamaan merupakan faktor stabilisasi tindakan yang berasal dari dalam diri pelaku sehingga tindakan bisa diramalkan dan kebaikan bisa diandalkan. Keutamaan berkembang bersama sifat-sifat seseorang sebagai habitus, artinya melalui pendidikan dan pembiasaan melakukan yang baik (Haryatmoko, 2015:19). Oleh akrena itu lingkungan sosial baik keluarga, lembaga pendidikan, tempat kerja ikut menentukan. Pengalaman semakin meyakinkan bahwa keutamaan diperoleh bukan pertama-tama melalui pengetahuan, meski juga diperlukan, tetapi terutama dari kebiasaan melakukan yang baik dan bertanggung jawab.
2.      Penilaian Moral terhadap tindakan Pemalsuan vaksin
Penilaian moral bergantung pada sumber norma moral yang digunakan dalam proses penilaian moral.  Dalam konteks ini, sekurang-kurangnya ada dua sumber ajaran moral, yaitu sumber ajaran moral internal yang terkandung dalam suara hati.  Dan sumber ajaran moral eksternal, yang di antaranya berasal dari adat istiadat; agama; Negara;  dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Suara hati adalah sumber nilai moral internal yang inheren dalam jatidiri insani.  Adat, Agama, Negara dan PBB adalah sumber nilai moral eksternal. Apa yang menjadi sumber ajaran moral yang diyakini baik dalam dunia kehidupan manusia adalah apa yang dinyatakan baik oleh suara hati, adat, agama, negara, dan PBB. Kelima sumber itu dapat saja ada kesamaan dan perbedaan dalam menegaskan suatu perbuatan itu disebut baik atau buruk. Apa yang dianggap baik oleh adat istiadat dari etnik tertentu, dapat saja dianggap kurang baik oleh adat istiadat etnik lain, oleh agama tertentu; negara sendiri, dan PBB, bahkan mungkin bertentangan dengan suara hati.
Kempat sumber ajaran moral eksternal itu, dalam konteks penalaran dan keputusan moral, dianjurkan untuk mengimbanginya dengan instansi suara hati, yang bersumber dari kedalaman jatidiri manusia. Suara hati adalah suara  manusia dan suara Tuhan yang ada dalam hati atau roh manusia. Suara hati itu secara intuitif dan inspiratif, mempengaruhi energi manusia untuk berani berbuat baik dan teguh menolak yang jahat. Dalam dan melalui sumber nilai kekeristenan, suara hati adalah suara roh manusia yang tertenun dengan suara Roh Kudus yang menetap dalam diri manusia yang dimeteraikan oleh sakramen baptis (Rom 5: 5).
Sebagai milik kesayangan Tuhan, yang menghendaki semua manusia memperoleh kebahagiaan (bdk. 1 Tim 2: 4), manusia, diajak untuk mengasihi sesama dan Tuhan, dengan segenap hati, dengan segenap jiwa, dengan segenap akal budi, dan dengan segenap hati, seperti mengasihi diri sendiri (bdk. Mrk 12: 29-31). Senada dengan itu, Roberth Spaeman, seorang filsuf moral kontemporer  mengatakan bahwa tempat asal segala moralitas adalah komunitas cinta atau komunitas yang berbasis pada nilai cinta kasih. Di dalam ’rumah’ cinta itu, kebahagiaan dan tanggung jawab terhadap sesama di luar ’aku’, menyatu  (Watu, 2014: 20).

3.      Refleksi Pribadi
Upaya memberantas kejahatan bisnis seperti peredaran vaksin palsu merupakan upaya kolektif atau bersama dan memerlukan komitmen semua pihak serta dukungan dari semua unsur masyarakat. Upaya itu menuntut kebijakan yang menyeluruh yang meliputi penegakan hukum, pengembangan budaya dan tradisi anti pemalsuan vaksin, reformasi birokrasi, peningkatan kapasitas masyarakat sipil dan perbaikan praktik governance. Akan tertapi jika tidak diikuti dengan perbaikan sikap prilaku dari para Pelayan masyarakat upaya-upaya terdahulu tidak dapat menyelesaikan pemalsuan vaksin di Indonesia khususnya di lingkungan kerja pelayan masyarakat birokrasi pemerintah. Memiliki sikap anti kejahatan adalah wajib dimiliki oleh setiap orang karena disinilah titik awal upaya pencegahan kejahatan di unit kerjanya masing-masing. Memiliki sikap anti kejahatan menunjukan bahwa para pelayan masyarakat adalah para professional dan memiliki pribadi yang berintegritas.  Upaya pencegahan itu dimulai dari diri sendiri; dengan menampilkan sikap hidup sebagai orang yang berintegritas moral baik atau dalam istilah etisnya adalah menjadi pribadi yang berkeutamaan (memiliki pribadi yang berkeutamaan). Menurut Franz Magnis Suseno (1987) pribadi yang berkeutamaan itu dicirikan dengan sikap-sikap sebagai berikut:.
1)      Kemurnian hati
Kemurnian hati mengandaikan kemampuan untuk mendengarkan suara hati dan untuk bertindak sesuai dengannya tergantung pada apakah seseorang dapat membebaskan dirinya dari penguasaan oleh segala macam dorongan untuk melakukan pemalsuan vaksin yang sering secara terus menerus dialami dilingkungan kerja. Semua dorongan atau kecenderungan untuk melakukan pemalsuan vaksin itu cederung mencegah seseorang dari mendengarkan suara hati, membuatnya untuk tidak lagi terbuka pada kesadaran-kesadaranhati yang lebih halus seperti kesadaran tentang tanggung jawabnya sebagai manusia.
Satu usaha terpenting bagi perkembangan kekuatan batin sesorang adalah berusaha untuk semakin membebaskan diri dari cengraman kekuatan irasional misalnya dorongan-dorongan kuat untuk pemalsuan vaksin dalam dirinya. Penguasaan oleh dorongan atau kekuatan irasional itu disebut dengan pamrih. Seorang PNS harus bebas dari pamrih dalam pelayanan.

2)      Memiliki kejujuran
Memiliki sikap jujur adalah dasar dari setiap usaha untuk menjadi pelayan masyarakat yang kuat secara moral. Tidak jujur berarti tidak seia-sekata dan itu berarti bahwa sesorang belum mengambil sikap yang lurus. Tanpa kejujuran, keutamaan-keutamaan moral lainnya kehilangan nilainya. Bersikap baik terhadap orang lain tetapi tanpa kejujuran adalah kemunafikan.  PNS yang besikap jujur terhadap orang lain berarti bersikap wajar atau fair ; memperlakukan seseorang menurut standar-standar yang diharapkan, menghormati hak-hak warga yang membutuhkan pelayanan, selalu memenuhi janji yang diberikan, taat pada tugas dan tanggung jawabnya, serta tidak bertindak bertentangan dengan suara hatinya atau keyakinannya. Bersikap jujur menjadi dasar bagi transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan tugas pelayanan kepada masyarakat. Dalam  upaya pencegahan pemalsuan vaksin, seorang bendahara bersikap jujur untuk mempertanggungjawabakan keuangan sesuai bukti-bukti belanja pada setiap program dan kegiatan. Sikap jujur dalam pelayanan melahirkan kepercayaan dari masyarakat terhadap seorang pelayan publik.
3)      Memiliki kesediaan untuk bertanggung jawab.
Memiliki kesediaan untuk bertanggung jawab memiliki makna sebagai :
·         Bertanggung jawab berarti bersedia untuk melakukan apa yang harus dilakukan dengan sebaik mungkin.
·         Sikap bertanggung jawab mengatasi segala batasan dalam etika peraturan. Artinya etika peraturan hanya mempertanyakan apakah sesuatu boleh atau tidak boleh dilakukan (tidak boleh karena memang dilarang); sedangkan sikap bertanggung jawab merasa terikat pada yang memang perlu. Ia terikat pada nilai yang mau dihasilkan.
·         Wawasan seorang yang bersedia untuk bertanggung jawab secara principal tidak terbatas. Ia tidak membatasi perhatianya pada apa yang menjadi urusan dan kewajibannya, melainkan merasa bertanggung jawab dimana saja ia diperlukan.
·         Kesediaan untuk bertanggung jawab termasuk kesediaan untuk diminta dan untuk memberikan pertanggungjawaban atas tindakan-tindakan, atas tugas-tugas yang dipercayakan sebagai pelayan masyarakat. Kalau ia ternyata lalai dalam tugasnya atau melakukan kesalahan, ia bersedia untuk dipersalahkan. Ia tidak akan pernah melemparkan tanggung jawab atas suatu kesalahan yang diperbuatnya kepada orang lain. Kesediaan untuk bertanggung jawab adalah tanda kekuatan batin seorang pelayan masyarakat yang sudah mantap.
4)   Memiliki kemandirian dan keberanian moral
Kemandirian moral berarti bahwa seorang pelayan masyarakat tidak akan pernah ikut-ikutan saja dengan pelbagai pandangan buruk atau persekongkolan dalam lingkungan kerja, melainkan selalu membentuk penilaian dan pendirian moral sendiri dan bertindak sesuai dengannya. Kemandirian moral adalah kekuatan batin untuk mengambil sikap moral sendiri dan untuk bertindak sesuai dengannya. Kekuatan untuk tidak mau bersekongkol dalam suatu urusan yang disadari sebagai sesuatu yang tidak jujur, yang lebih mementingkan diri sendiri dan orang lain, korporasi yang berkaibat pada kerugian keuangan negara. Singkatnya memiliki kemandirian moral berarti menjadi pelayan masyarakat yang tidak dapat “dibeli” oleh kekuatan mayoritas yang cenderung bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Keberanian moral ditunjukan melalui tekad untuk tetap mempertahankan (konsisten) sikap yang telah diyakini sebagai kewajiban meskipun ditentang oleh lingkungan. Keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati yang menyatakan diri dalam kesediaan untuk mengambil resiko konflik. Keberanian moral ditunjukan dalam sikap menolak melakukan pemalsuan vaksin meskipun ada peluang atau kesempatan untuk melakukannya karena meyakini (dan keyakinan itu berdasarkan pertimbangan moral) bahwa pemalsuan vaksin itu suatu kejahatan terhadap negara dan masyarakat. Kemandirian dan kebaranian moral yang dimiliki seorang pelayan masyarakat birokrasi melahirkan sikap pengendalian diri. Mengendalikan diri untuk tidak menggunakan kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki karena jabatan untuk bertindak koruptif. Mengendalikan diri dari pelbagai perbuatan atau tindakan yang menurut ketentuan termasuk dalam kategori tindak pidana pemalsuan vaksin.
5)   Memiliki sikap relaistik dan kritis.
Bersikap realistik dan kritis mengandung arti bahwa setiap pelayan masyarakat memiliki kemampuan intelektual untuk dapat melihat kenyataan sosial senyata-nyatanya bahwa pemalsuan vaksin sudah meruapakan suatu kejahatan yang luar biasa terhadap negara dan berdampak pada pelayanan dan pembangunan masyarakat. Mempelajari kenyataan dan penyebab terjadinya pemalsuan vaksin adalah langkah awal untuk memiliki tekad anti kejahatan. Setiap pelayan masyarakat wajib mengkritisir kenyataan-kenyataan dan kondisi-kondisi penyebab kejahatan bisnis di lingkungan kerjanya dan mengambil sikap menolak terhadap setiap bentuk perbuatan yang termasuk dalam kategori tindak kejahatan. Bersikap realistis dan kritis terhadap kenyataan kejahatan bisnis merupakan bentuk tanggungjawab moral setiap pelayan masyarakat untuk memberantas pemalsuan vaksin mulai dari diri sendiri dan lingkungan tempat tugasnya.
Menurut refleksi penulis, tindakan pemalsuan vaksin mencerminkan karakter pelaku  kejahatan  yang tidak memiliki keutamaan, baik keutamaan horizontal maupun keutamaan vertikal. Orang yang melakukan kejahatan  adalah orang yang sama sekali tidak memiliki nilai-nilai keutaman etis. Secara vertikal, dia bukan tipe manusia kristiani, yang beriman, berharap, dan mengasihi Tritunggal Maha Kudus, dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus (Mat 28:19). Ia tidak mengandalkan kuasa kreativitas dari Allah Bapa, ia tidak mengolah kuasa kecerdasasan dari Allah Putra, dan mewujudkan kuasa pembaharuan dari Allah Roh Kudus (Mat 6:33).

IV.            KESIMPULAN
Kajian sederhana di atas setidaknya memberi beberapa hal sebagai saripatinya. Pemalsuan vaksin adalah suatu kejahatan, karena tindakan semacam ini melukai kecintaan manusia akan Tuhannya (dimensi vertikal) dan sekaligus mengoyak hubungan antar sesama (dimensi horizontal). Tidak mungkin seseorang di saat yang sama mengaku mencintai Tuhannya, tetapi serentak melakukan tindakan kejahatan. Demikian pun dari sudut pandang kristianitas, sikap lepas bebas (detachment) merupakan salah satu mutiara yang bisa ditemukan, hingga akhirnya diterapkan sebagai pondasi secara rohani untuk menghadapi gempuran realitas kejahatan.
Pemahaman akan keagungan sikap lepas bebas sebagai salah satu nilai perlu selalu diperjuangkan. Mengapa? Karena spiritualitas semacam ini sebenarnya ada juga dalam agama lain dengan nama dan pendasaran teologis yang mungkin berbeda. Artinya, pendidikan agama setidaknya perlu memberikan ruang kepada penumbuhkembangan sikap semacam ini daripada hanya sibuk dengan urusan formalistis belaka.
Pembenahan serentak pencegahan terhadap kejahatan bisnis seperti pemalsuan vaksin memang sudah seharusnya dilakukan oleh seluruh stakeholder  terutama Kementerian Kesehatan karena perannya yang memang strategis dan dapat melakukan monitoring dan evaluasi terhadap praktek penyelewengan. Pengawasan terhadap vaksin diawali dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Misalnya, BPOM mengawasi saat sebelum dan sesudah vaksin dipasarkan. Sementara, mengenai kefarmasian di  rumah sakit, pengawasannya menjadi tanggung jawab Kementerian Kesehatan. Salah satu yang menjadi fokus pengawasan yakni, perbaikan regulasi mengenai pengadaan vaksin agar ke depan tidak terjadi lagi kejahatan seperti pemalsuan vaksin ini.





DAFTAR PUSTAKA

Conklin, John, E., 1977. Illegal But Not Criminal; Business Crime in America, Prentice Hall, Inc. Englewood Cliffs
Haryatmoko, Etika Publik Untuk Integritas Publik dan Politisi, Kanisius, 2015
KWI, Iman Katolik (Buku Informasi dan Referensi), Jakarta: Obor-Kanisius, 2000.
Lembaga Biblika Indonesia, Injil Matius, Yogyakarta: Kanisius, 1981.
Mandaru, Hortensius OFM, Solidaritas Kaya-Miskin menurut Lukas,Yogyakarta: Kanisius, 1992.
Mochtar. 2009. “Efek Treadmill” Pemberantasan Pemalsuan vaksin : Kompas
Mardiatmadja, B.S., Beriman dengan Sadar, Yogyakarta: Kanisius,1985.
Propinsi Gerejani Ende, Katekismus Gereja Katolik, Ende: Arnoldus,1995.
Robintan, S., 2001. Otopsi Kejahatan Bisnis, Jakarta, Pusat Studi Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan Karawaci
Stott, John R.W., Khotbah di Bukit (Injil Memanusiakan Manusia di Bumi Guna Menyatakan Kasih Sorgawi) Jilid II, Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih OMF


Tidak ada komentar:

Posting Komentar