SEBERAPA INOVATIF
ORGANISASI ANDA?
TITIK KRISTINAWATI, S.Pd.I, MA
WIDYAISWARA PERTAMA BP4D PROVINSI NTT
Setiap Organisasi memiliki budaya
kerja yang dianut dan dijadikan motor penggerak dalam setiap melaksanakan
kegiatannya. Demikian pula Pemerintah Daerah NTT ( selanjutnya disebut PEMDA
NTT) sebagai sebuah organisasi pemerintahan juga memiliki budaya organisasi
yang dianut dan dijadikan motor penggerak dalam mencapai misi dan visi yang
telah dirumuskan. Sebagai sebuah organisasi dalam pemerintahan, PEMDA NTT ibarat
organ tubuh manusia. Dimana seluruh badan, dinas, dan lembaga pada instansi
pemerintahan beserta sistemnya dijalankan oleh pegawai pemerintah sebagaimana
hierarki dan jenjang jabatan.
BP4D (Badan pendidikan, Pelatihan,
penelitian dan pengembangan Daerah) sebagai kaki-tangan (penggerak) perencanaan
daerah memiliki tugas dan fungsi melaksanakan pendidikan, Pelatihan, bagi
peningkatan SDM aparatur. Selain dari pada itu, BP4D juga melaksanakan
penelitian guna menentukan arah pengembangan daerah selanjutnya. Sebagai tempat
mendidik dan melatih, BP4D seharusnya juga adalah model bagi instansi lain pada
lingkup Pemda NTT. Dari semua itu jelas bermuara pada sebuah kebijakan dan
ketegasan seorang pemimpin bersama jajaran manajerialnya. Pemimpin pada organisasi
ini haruslah mampu “menyetel”
keseimbangan antar komponen, dapat mengidentifikasi lubang-lubang
kelemahan, mampu menyerap aspirasi dan ekses yang berkembang.
Permasalahannya kemudian, seberapa
inovatif budaya kerja yang dibangun sehingga BP4D layak sebagai model bagi satuan Kerja Perangkat
Daerah (selanjutnya disebut SKPD) lainnya?. Berbicara tentang suatu
keberhasilan kerja, berawal dari nilai dan perilaku yang menjadi kebiasaan yang
diciptakan di lingkungan kerja. Nilai tersebut memiliki bahan pembentuk yang
bernama adat kebiasaan, agama, norma, dan kaidah yang menjadi keyakinan yang
kemudian hal-hal tersebut mengkristal dalam bentuk perilaku kerja yang tertuang
dalam kualitas kerja. Lantas, apakah BP4D sudah menunjukkan kualitas kerja
sebagaimana yang diharapkan para usernya?.
Pertanyaan tersebut, pertanyaan yang
mudah namun sulit untuk menjawabnya. Jika gambaran kesuksesan organisasi baru
diukur pada taraf disiplin kehadiran, belum pada taraf konsistensi menerapkan
disiplin pada setiap tindakan, penegakan aturan, dan kebijakan yang mendorong keterbukaan, yakni keadaan
yang selalu jauh dari prasangka negatif karena segala sesuatu disampaikan
melalui fakta dan data yang akurat (informasi yang benar). Situasi keterbukaan
sulit ditemui dilembaga pemerintahan. Oleh karena itu, apakah demikian pula
yang terjadi di lingkup organisasi pemerintah. Kerapkali keterlibatan PNS pada
kegiatan yang dilakukan tidak secara terbuka disampaikan. Bahkan fatalnya,
membatalkan secara otoriter dan tertutup menjadi fenomena yang kemudian
dianggap biasa dan kemudian di langengkan. Maka selanjutnya, tidak mengherankan
jika komunikasi baik vertikal maupun horizontal tidak dapat diciptakan,
akibatnya hubungan personal baik formal maupun informal diantara jajaran
manajemen tidak harmonis, sehingga
tumbuh sikap saling mencurigai. Hal ini menjadi sangat sulit untuk menumbuhkan
sikap saling menghargai.
Disinilah perlunya
pembenahan-pembenahan yang dimulai dari sikap dan tingkah laku pemimpinnya,
yang kemudian bawahan tinggal mengikutinya. Terbentuknya budaya kerja diawali
oleh pemimpin yang notabene memiliki hubungan yang kuat dengan bawahannya.
Seperti apakah sebuah pemerintahan itu dijalankan, seperti itulah pemimpinnya
memiliki cara/ perilaku kerja.
Dalam pandangan Gramsci tentang
hegemoni, kontrol sosial politik, yang kemudian penulis pakai untuk menjelaskan
kontrol kinerja, tidak selamanya harus menggunakan kekuatan fisik sebagai
penopangnya. Kekuatan fisik ini dapat diartikan sebagai peraturan
perundang-undangan. Lebih dari itu, pemimpin intelektual akan lebih memilih
menguasai kesadaran bawahannya pada taraf bawahan menginternalisasi dan merasa
mempunyai nilai-nilai serta norma kerja yang dibangun oleh pemimpinnya. Tidak
berhenti pada menginternalisasi semata, bawahannya juga harus memberi
persetujuan bahwasanya budaya kerja yang dibangun pemimpin dan tim
manajerialnya adalah kebenaran. Sehingga dengan sendirinya hegemoni yang
bernama “budaya kerja” dalam penerapannya sekaligus sebagai sebuah legitimasi
untuk memerintah terjamin sudah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar