MEMANGKAS PRAKTEK
KORUPSI MELALUI LPSE
Oleh: Ondy Ch. Siagian, SE.M.Si
Widyaiswara BP4D Provinsi NTT
Salah satu isi dari Inpres Nomor 17
Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tahun 2012 adalah
mewajibkan pelaksanaan pengadaan secara elektronik (e-Procurement) dan kewajiban yang sama juga terdapat pada Inpres
Nomor 1 Tahun 2013 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi tahun 2013
sekaligus penegasan 100% pelelangan pada Kementerian/Lembaga/ Pemerintah
Daerah/Insitusi lainnya (K/L/D/I) prosesnya
dilakukan secara elektronik (e-Procurement),
Inpres ini sekaligus sebagai momentum berakhirnya era pelelangan secara manual
yang sarat dengan praktek-praktek korupsi.
Oleh karenanya penulis memiliki
keyakinan bahwa alasan dikeluarkannya Inpres tersebut khususnya butir yang
terkait dengan pelelangan atau pengadaan barang/jasa dikarenakan dalam
pelaksanaannya masih kerap diwarnai penyalahgunaan dengan praktek-praktek KKN
yang berdampak pada kerugian negara. Hal ini diperkuat dengan pengaduan yang
masuk ke KPK, sebanyak 80% diantaranya adalah kasus yang berkaitan dengan pengadaan
barang/jasa pemerintah. Pendek kata sebagian besar orang mungkin juga sudah
mengetahui bahwa proses Pengadaan Barang/Jasa di pemerintahan ini merupakan
ladang bagi para koruptor.
Paradigma Baru Sistem
Pengadaan
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, merupakan langkah baru sistem
pengadaan barang/jasa pemerintah melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang
berfungsi mewujudkan pengadaan yang ideal di Indonesia, berhasil membuat
inovasi dengan penerapan sistem pengadaan secara elektronik (e-Procurement). Tindaklanjutnya adalah
memfasilitasi pembentukkan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) di setiap
K/L/D/I, yang sampai dengan saat ini telah terbentuk 543 LPSE yang tersebar di
33 Provinsi.
e-Procurement
pada
prinsipnya adalah mengubah pola pikir, dari sesuatu yang sifatnya manual dan
rawan penyalahgunaan menjadi sistem yang elektronik sistemik yang mengurangi
tatap muka. Sistem ini secara tidak langsung memicu terciptanya pasar pengadaan
yang kompetitif dan sehat. Siapapun bisa mengajukan diri menjadi penyedia, dan
bersaing secara fair dalam memberikan
penawaran, melalui sistem ini setiap penyedia memiliki kesempatan yang sama,
tidak ada lagi diskriminatif, jaminan transparansi karena sistemnya bisa dipantau
bersama-sama. Dengan meminimalisir tatap muka antara panitia dan penyedia, maka
praktek kongkalikong dapat makin dihilangkan.
Manfaat
LPSE
Ada empat manfaat yang bisa
dipetik melalui LPSE. Pertama adalah, menyehatkan proses demokratisasi dengan
akuntabilitas dan transparasi karena masyarakat dapat memantau proses pengadaan,
ikut serta sebagai penyedia, ataupun mengawasi proses jalannya pengadaan
barang/jasa pemerintah yang semuanya tercatat secara elektronik melalui LPSE.
Kedua, sistem LPSE lebih efektif dan mudah dibandingkan melakukan pelelangan
secara manual, penyedia cukup mendaftar sekali dan tidak berbelit-belit,
sehingga barang/jasa yang dihasilkan akan sesuai dengan tujuan yang ditentukan.
Ketiga adalah efisiensi, dengan sitem LPSE banyak biaya-biaya yang dapat
dihemat baik dari sisi pemerintah maupun penyedia. Dari pengalaman LPSE yang
sudah berjalan, rata-rata efisiensi setelah menggunakan sistem e-Procurement berkisar 12% yang kemudian
dapat dianggarkan kembali untuk perbaikan dalam pelayanan publik dan
infrastruktur, jika dibandingkan dengan cara manual efisiensi yang didapat sudah
barang tentu lebih kecil. Manfaat yang terakhir adalah dari segi ekonomi, akan
didapat pasar yang lebih luas, semua penyedia akan memperoleh kesempatan yang
sama dan karena sistem e-Procurement
teragregasi atau menyatu dan terhubung dengan LPSE lainnya diseluruh Indonesia,
maka penyedia memiliki peluang untuk mengikuti pelelangan diseluruh Indonesia
pula.
Kalau manfaatnya sebegitu besar,
lalu kenapa masih ada pemerintah yang tidak atau enggan menggunakan LPSE?
Karena dengan adanya regulasi dan kesiapan infrastruktur LPSE di 33 Provinsi, serta
pelatihan bagi pengguna yang rutin dilaksanakan oleh LPSE, seharusnya tidak ada
lagi alasan bagi pemerintah untuk tidak menggunakan sistem ini. Masyarakat
boleh curiga bagi pemerintah yang tidak menggunakan e-procurement,
apakah masih ada kepentingan lain di luar kepentingan pengadaan barang/jasa?.
Pelelangan melalui LPSE seharusnya
merupakan strategi efektif bagi pemerintah untuk mencegah praktek-praktek KKN. Karena
Iklim pengadaan barang/jasa pemerintah akan semakin kondusif, terciptanya
transparansi dan akuntabilitas, persaingan menjadi semakin sehat, sekaligus
mendukung percepatan pelaksanaan APBN dan APBD. Akhirnya good governance dan efisiensi anggaran
dapat tercapai, serta tidak ada lagi praktek-praktek kongkalikong yang selama
ini mewarnai pelaksanaan pengadaan barang/jasa pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar