Meneropong Proyek Pembangun Bendungan Kolhua
dari Perspektif governance
Oleh : Drs. Alexander B. Koroh, MPM
Widyaiswara Muda pada BP4D NTT
Bovaird dan Loffer (2003) dalam
bukunya Public Management dan Governance
menegaskan bahwa semenjak tahun 1990an pengelolaan organisasi sector publik
pada banyak Negara telah masuk pada paradigma governance. Seiring dengan trend tersebut, Pemerintah sejak tahun 2000 melalui Peraturan
Pemerintah No.101 mengatur bahwa pengelolaan semua sumber daya public yang
dikelolah oleh pemerintah dan pemerintah daerah dijalankan dalam perspektif Good
Governance atau outcome oriented
government (pemerintah yang berorientasi pada hasil). Hal ini berarti bahwa
setiap program dan kegiatan yang dijalankan pemerintah (pusat dan daerah) harus
mencapai output (keluaran) dan outcome (hasil) yang bermanfaat bagi
kesejahteraan individu dan masyarakat dalam yuridiksinya. Oleh karena itu,
Pemerintah Kota Kupang juga sejatinya dalam implementasi program dan
kegiatannya juga berada dalam paradigm pemerintah yang berorientasi pada hasil.
Dengan demikian adalah hal tepat jika konflik yang sementara berlangsung antara
Pemerintah Kota (baca Walikota Kupang) dengan para pemilik lahan dan
pendukungnya ditinjau secara mendalam dari perspektif governance.
Pemerintah sebagai Mediator
Secara teoritis, pemerintah yang
berorientasi pada hasil sesungguhnya sama dengan governance (kepemerintahan) yang dalam praktek terbaiknya biasa
disebut good governance. Prinsip
utama dalam konsep ini adalah bahwa pemerintah bukanlah satu-satunya actor dan
atau actor dominan dalam implementasi
tugas pokok pemerintahan yakni pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan, tetapi
sebagai mediator dan fasilitator di antara aktor-aktor lainnya yang juga
biasanya diistilahkan sebagai stakeholder
(pemangku kepentingan). A. Gray dalam tulisannya yang berjudul ‘Integrated service delivery and regional
coordination’ menggarisbawahi bahwa dalam ranah governance kolaborasi
antara semua pemangku kepentingan menjadi sangat krusial. Kolaborasi dalam good governance adalah suatu bentuk
kerja sama antara seluruh pemangku kepentingan yang dilakukan secara tulus,
iklas, jujur, dan dalam kesederajatan dalam rangka mencapai desired outcome (hasil yang diinginkan).
Itulah sebabnya, tidak boleh ada pemangku kepentingan yang menetapkan suatu
tujuan strategis tanpa keterlibatan pemangku kepentingan yang lain.
Paling tidak terdapat tiga
gagasan besar yang mendasari kolaborasi dimaksud yakni pertama, sesuai dengan
prinsip dan nilai-nilai demokrasi yang mengakomodir dan mendorong equality
(kesetaraan). Kedua, desired outcome tidak
mungkin akan tercapai apabila hanya pemerintah sendiri yang bekerja. Atau
dengan kata lain, hasil yang diinginkan baru dapat tercapai melalui kontribusi
dari semua pemangku kepentingan. Dalam konteks ini, setiap actor sudah harus
ikut berkontribusi mulai sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
setiap program dan kegiatan pembangunan. Pada kasus kegiatan pembangunan
Bendungan Kolhua, kelihatannya tahap perencanaan tidak dilaksanakan sesuai
dengan scenario kepemerintahan yang baik; dimana setiap pemangku kepentingan
duduk bersama dan menyampaikan apa saja kontribusi yang dapat ia berikan bagi
tercapainya outcome dari kegiatan
pembangunan bendungan tadi. Jika tahap
ini telah dilakukan dengan baik, maka pada tahap pelaksanaan kegiatan pembangunan
bendungan tidak akan ada pihak yang berkeberatan karena ia dengan sadar telah
menyetujuinya pada tahap sebelumnya. Selanjutnya pada tahap evaluasi ketika
kegiatan sedang berlangsung maupun setelah dilaksanakan setiap pemangku
kepentingan tetap harus dilibatkan. Pelibatan semua pemangku kepentingan dalam
kegiatan pembangunan bendungan dimaksud tidak hanya untuk mendapatkan aspirasi
mereka tetapi lebih dari itu juga untuk menciptakan rasa memiliki.
Ketiga, sumber daya publik yang
dimiliki pemerintah baik berupa sumber daya manusia (aparatur) terbatas tidak
hanya dari aspek kuantitas tetapi juga dari aspek kualitas. Seiring dengan itu
sumber daya financial yang dimiliki pemerintah juga terbatas, baik yang
bersumber dari APBD maupun APBN. Keterbatasan dimaksud juga terjadi pada aspek
perlengakpan/peralatan yang dimiliki pemerintah maupu terikat pemerintah pada
batasan rentang waktu tertentu. Dengan demikian kontribusi dari setiap pemangku
kepentingan dapat menutupi kekurangan yang dimiliki oleh pemerintah. Akan
tetapi hal ini tidak berarti bahwa jika pemerintah memiliki seluruh sumber daya
publik di atas termasuk uang yang berlimpah lalu menjadi arogan dan mengabaikan
aspirasi dan kepentingan pemangku kepentingan lainnya.
Merujuk pada konsep di atas,
tampak jelas bahwa Pemerintah Kota Kupang (dalam arti sempit: Eksekutif Kota
Kupang) telah mengambil langkah-langkah yang keliru, yakni cenderung arogan,
memaksakan kehendak, dan meremehkan eksistensi para pemilik lahan, dan pemangku
kepentingan lainnya. Hal ini juga tampak jelas pada perbedaan pendapat yang tajam
antara Walikota Kupang dan Ketua DPRD dalam pembangunan bendungan dimaksud. Sejatinya
dalam konteks pemerintah dalam arti luas mereka merupakan satu kesatuan, mereka
adalah internal stakeholder. Pemerintah Kota Kupang tidak boleh jalan sendiri
dalam pembangunan proyek dimaksud. Karena jika itu terjadi, maka Pemerintah
Kota mencederai makna pengelolaan kepemerintahan yang baik. Pernyataan Walikota
Kupang waktu lalu, bahwa “Saya akan tanam kepala” menunjukkan sempitnya pengetahuan dan pemahaman yang
bersangkutan tentang konsep pemerintah yang berorientasi pada hasil. Sangat
disayangkan.
Solusi
Dari perspektif governance,
Walikota Kupang dapat mengambil beberapa langkah konstruktif. Pertama, cooling down (mendinginkan suasana),
jauhkan pernyataan, sikap dan tindakan yang menimbulkan kesan arogan dan mau
menang sendiri dalam pembangunan Bendungan Kolhua. Berpikirlah jernih, sabar,
rendah hati, dan jangan berorientasi pada uang, uang bukan segalanya. Kedua,
perbaiki kembali relasi yang telah memburuk dengan pemangku kepentingan lain
seperti Ketua DPRD Kota Kupang, asosiasi masyarakat sipil yang mendukung
penolakan para pemilik lahan, dan tentunya yang paling utama adalah para
pemilik lahan sendiri. Perbaikan dimaksud dapat dilakukan melalui diskusi,
percakapan mendalam, dialog yang setara, persuasive, dan informal. Hindari
pendekatan formal yang cenderung menciptakan kekakuan dan kebuntuan yang dapat mempertajam konflik. Ketiga,
Perlu memperhatikan kembali secara saksama karakteristik/prinsip-prinsip good governance dan mengaplikasikannya
dengan baik. Prinsip-prinsip dimaksud adalah partisipasi, aturan hukum,
transparansi, daya tanggap, berorientasi pada konsensus, berkeadilan,
efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, bervisi strategis, dan saling
keterkaitan (PKKOD-LAN, 2001).
Keempat, lakukan analisis
kebutuhan pendidikan dan pelatihan tentang good governance dan akuntabilitas
bagi aparatur Pemerintah Kota Kupang. Karena minimnya pengetahuan dan pemahaman
terhadap konsep dimaksud mungkin menyebabkan mereka memberikan masukan yang
keliru kepada Walikota Kupang. Peningkatan pengetahuan dan pemahaman aparatur
tentang materi di atas diyakini dapat membantu mereka untuk berperan secara
positif dalam memberikan masukan yang tepat sehingga implementasi program dan
kegiatan yang salah dapat dicegah sejak awal. Dengan demikian maka jalinan
hubungan Pemerintah Kota dan para pemangku kepentingan serta Masyarakat Kota Kupang tetap harmonis dan
langgeng.
Arus jaman saat ini, memang
menghendaki pola pengelolaan kepemerintahan yang seirama dengan denyut nadi
demokrasi dan kepemerintahan yang baik. Kerendahan hati merupakan salah satu
nilai esensial dalam berdemokrasi dan berkepemerintahan patut menjadi pijakan bersama,
untungnya sebagian besar dari kita, Pemerintah dan Warga Kota Kupang, sejak
kecil telah diajarkan bahwa “Barangsiapa meninggikan diri dia akan direndahkan,
dan yang direndahkan justru akan ditinggikan.” Mari kita melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar