Mengatakan Tidak Bukanlah Hal
yang Tabu Dalam Pemerintahan yang Baik
(Proyek Pembangunan Bendungan
Kolhua)
Oleh : Alexander B. Koroh
Widyaiswara Muda BP4D NTT
Aparatur negara
(baca: birokrat) adalah elemen negara yang sejatinya berada pada posisi netral
dalam melayani individu dan masyarakat, sesuai area pelayanannya. Netralitas
ini dimiliki aparatur karena keberadaannya yang tidak berafiliasi pada suatu
partai politik tertentu. Oleh karenanya aparatur, dapat dikatakan, tidak
memiliki beban politik untuk memenuhi kepentingan konstituen tertentu. Hal ini
sangat berbeda dengan mereka yang duduk pada jabatan politik seperti, Presiden,
Gubernur, Walikota/Bupati, meskipun secara teoritis kesetiaan mereka pada
partai politik harus berakhir pada saat dilantik menjadi pejabat publik, namun
pada prakteknya sulit dilaksanakan. Hal
ini tidak hanya terjadi pada negara
berkembang saja tetapi juga pada negara maju namun dengan kadar yang berbeda.
Di sinilah posisi aparatur (pejabat karir) menjadi krusial karena ikut membantu
menahan laju dan menyeimbangkan kecendrungan pejabat politik untuk berupaya
memenuhi kepentingan konstituennya sambil mengabaikan kepentingan publik. Pada
poin inilah, pejabat karir (Sekda, Asisten, Kepala Dinas, Camat, Lurah, dll)
dapat mengatakan tidak kepada pejabat di atasnya di saat ada pengangkangan atau
pengabaian pada kepentingan publik.
Dilema
yang bukan Dilema
Surat
kabar Victory News (VN) tanggal 13 Agustus 2013 memuat informasi menarik
tentang posisi dilematis yang disampaikan Camat Maulafa, Corinus Tuan dalam
menjalankan perintah Walikota Kupang. Posisi dilematis dimaksud adalah bahwa
pada satu sisi ia dan Lurah Kolhua harus memenuhi perintah Walikota Kupang
untuk mensukseskan proses pembangunan proyek bendungan Kolhua, pada sisi lain,
merekapun harus memenuhi aspirasi dan kepentingan warga Kolhua pemilik lahan
yang hingga saat ini menolak proyek pembangunan dimaksud. Dari perspektif hukum
dan etika pada sektor publik situasi di atas bukanlah suatu dilema melainkan
suatu posisi bingung dan ragu-ragu karena kurangnya (mungkin) pengetahuan dan
pemahaman tentang posisi aparatur kepada atasannya;sesungguhnya Camat dan Lurah
boleh mengatakan tidak kepada Walikota jika itu disampaikan secara jujur dan
terus terang. Artinya bahwa hal yang disampaikan adalah objektif dan benar dan
tidak mengangkangi kepentingan publik. Dengan kata lain menolak perintah atasan
sambil memenuhi kepentingan publik sangat diperbolehkan.Merujuk pada asas-asas
umum pemerintahan sebagaimana tertera dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, terdapat ruang yang memadai bagi aparatur untuk
menolak perintah atau keputusan atasannya jika salah.
Pertama,
bila ditelaah dari asas Kepentingan Umum,
asas ini mengharuskan penyelenggara pemerintahan untuk mengutamakan
kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif, dan selektif. Dalam
konteks Kota Kupang, hal ini berarti bahwa pemerintah Kota tidak boleh
memaksakan kehendaknya untuk membangun Bendungan Kolhua jika hal tersebut
bertentangan dengan aspirasi, kepentingan warga pemilik lahan di Kolhua. Pemerintah
Kota juga mesti memperlancar dan mendukung dan menolong pencapaian aspirasi dan
kepentingan warga pemilik lahan bukan sebaliknya menekan dan memaksa mereka.
Kedua,
asas Keterbukaan, adalah asas yang
membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar,
bersikap jujur, dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan
tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan, dan rahasia
negara. Secara jelas asas ini mengatur bahwa setiap pemerintahan dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk Pemerintah Kota Kupang, harus
memberikan informasi yang jujur, benar dan tidak mengabaiakan pemilik lahan di
Kolhua, bahkan harus melindungi kepentingan mereka. Besarnya jumlah uang
(hampir ½ triliun rupiah) pendukung pembangunan Proyek Bendungan Kolhua tidak
boleh menyilaukan mata Pemerintah Kota Kupang (baca: Walikota Kupang), untuk
tidak memberikan informasi yang lengkap pada masyarakat Kota Kupang pada
umumnya, dan lebih khusus warga pemilik lahan. Kekuatiran ini perlu disampaikan
karena kelihatannya Walikota Kupang sangat ngotot untuk melaksanakan kegiatan
(proyek) tersebut, padahal masih banyak pula kegiatan penting lainnya yang
harus dilakukan Pemerintah Kota dan perlu mendapat perhatian sama besarnya
dengan proyek bendungan karena berdampak besar bagi kehidupan publik Kota ini,
Contohnya, perbaikan kinerja Rumah Sakit Umum Kota Kupang, pengelolaan
kebersihan Kota yang masih amburadul, penataan Kota yang cenderung tidak terkendali,
pasar yang berbau dan semraut, harusnya Walikota juga mengatakan “Tanam Kepala”
untuk hal-hal ini.
Ketiga,
asas Proporsionalitas, yaitu prinsip
yang menjunjung tinggi keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara
negara. Secara eksplisit prinsip ini mangatur bahwa penyelenggara negara
termasuk Pemerintah Kota harus bertindak sesuai porsi dan dosis, jangan
berlebihan. Sebagaimana jika kita minum obat berlebihan maka kita sedang
menghilangkan manfaat obat dimaksud bahkan ia sedang membunuh kita, kita
keracunan akibat kelebihan dosis, demikian halnya maksud baik Pemerintah Kota
juga akan kehilangan manfaatnya dan berubah menjadi hilangnya kepercayaan
publik Kota pada kapabilitas Pemerintah Kota dalam mencapai berbagai tujuan
strategis Kota karena kengototan yang melampaui porsi. Hal ini berbahaya,
karena Pemerintah Kota akan kehilangan dukungan pemangku kepentingan dalam
menjalankan Good Governance di Kota ini.
Keempat,
asas Profesionalitas, yaitu asas
yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan Kode etik dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Penyelenggaraan berbagai aktifitas
kepemerintahan sejatinya dilandaskan pada etika pemerintahan dan berbagai
regulasi yang ada. Etika Pemerintahan mengajarkan bahwa penyelenggara negara
termasuk Pemerintah Kota harus memiliki virtue(kebajikan) untuk mencapai common
good(kesejahteraan bersama). Dalam perspektif ini kesejahteraan bersama
dibedakan dari general welfare(kesejahteraan umum). Jika kesejahteraan umum
hanya mengutamakan ide the greatest happiness for the greatest
number(kebahagiaan tertinggi untuk jumlah terbesar), hal ini dapat
berimplikasi pada tercapainya kebahagiaan sebagian besar warga namun
kesejahteraan kelompok minoritas, termarjinalkan, miskin, terabaikan. Gagasan
kesejahteraan bersama justru dimulai dengan mengangkat kelompok-kelompok yang
terabaikan dan tertindas. Pemerintah Kota perlu merenungkan, memang
saudara-saudara kita pemilik lahandi Kolhua adalah mereka yang hidupnya masih
sederhana kalau tidak mau dikatakan miskin, mereka adalah sebgian besar para
petani kecil, penulis berpikir mereka termasuk dalam kategori wong cilik, namun
justru dalam kondisi kehidupan yang demikian itulah Pemerintah Kota harus
mengangkat mutu hidup mereka bukan malah memanfaatkan keterbatasan mereka dan
kemudian menekannya untuk kepentingan tertentu. Seiring dengan ini, berbagai
regulasi juga telah ada sebagai pengarah dan pemandu penyelenggara negara untuk
bekerja secara tepat sehingga tidak merugikan warga negara.
Kelima, asasAkuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan PenyelenggaraNegara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat (rakyat)
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi Negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam konteks
ini Pemerintah Kota perlu menyadari bahwa warga Kota termasuk warga Pemilik
lahan adalah tuannya, jangan dibalik.Informasi yang dilansir surat kabar ini
sebagaimana telah disampaikan di atas (pada halaman yang berbeda dari
Pernyataan Camat), masih menggambarkan arogansi Pemerintah Kota. Penulis kuatir
Wali Kota kurang memahami asas ini, kemudian mungkin saja ia merasa atmosfir
kerjanya masih sama ketika masa Alm. S.K.Lerik, di mana ia berada pada posisi
Sekda yang karena ketaatannya memperlancar proses pembangunan Rumah Jabatan
Walikota yang mengambil lahan Ruang Terbuka Hijau yang dengan sendirinya
mengangkangi Perda yang telah ada, dan juga menyetujui upaya penghapusan Rumah
Jabatan Walikota untuk Alm. S.K. Lerik di akhir masa jabatannya, untungnya Pemerintah
Provinsi NTT saat itu menganulirnya. Dengan kata lain Sekda saat itu tidak
dapat berkata tidak pada atasannya. Tampak jelas kedua hal demaksud sangat
bertentangan dengan kepentingan Publik Kota ini.
Berani
Katakan Tidak
Merujuk pada
uraian di atas kelihatan bahwa Camat dan Lurah berada pada posisi yang kuat
untuk menolak perintah atasanya jika bertentangan dengan etika dan regulasi
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Posisi ragu dan bingung
bukanlah suatu dilema tetapi menunjukkan lemahnya karakter dalam menghadapi hal
yang salah karena merugikan anggota masyarakat. Ketaatan yang buta selain
menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap prinsip-prinsip umum penyelenggaraan pemerintahan
juga pada gilirannya akan merugikan kepentingan publik.
Akan atetapi
perlu diperhatikan bahwa ketika mengatakan tidak atau menolak perintah atasan
yang mengangkangi kepentingan publik perlu disampaikan secara terus terang,
jujur, dan sesuai prosedur yang ada. Penolakan disampaikan secara santun
melalui telaahan staf, dalam telaahan dimaksud tentunya terdapat alasan
yang logis, rasional, dan realistis dengan rujukan yang jelas tidak hanya pada
teori dan konsep tata kelola kepemerintahan yang baik, tetapi juga pada etika
dan reguasi yang mendukungnya. Telaahan staf yang baik
dan benar tentunya akan diterima atasan karena sejatinya menyelamatkannya dari
kesalahan fatal yang akan terjadi. Camat Maulafa dan Lurah Kolhua saat ini jika
memandang ada kekeliruan atau ketidakpantasan dari perintah atasannya katakanlah
tidak jangan ragu-ragu, warga Kota Kupang yang cerdas dan kritis terus
mengikuti perkembangan ini dan ikut menilai kinerja anda dan atasan anda
sebagai elemen penyelenggara negara. Jika anda berani mengatakan tidak pada hal
yang benar menurut publik anda akan dihargai dan dihormati, hal yang sama juga
berlaku bagi atasan yang mau menerima penolakan yang konstruktif dari
bawahannya dengan jiwa besar. Tentunya hal ini berlaku bagi semua penyelenggara
negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar