PENGELOLAAN KEKAYAAN/ASSET DESA
Oleh :
Ondy Ch. Siagian, SE., M.Si
(Widyaiswara
– BP4D Provinsi NTT)
A. SELAYANG PANDANG TENTANG KEKAYAAN
DAN SUMBER-SUMBER PENDAPATAN DESA
Kekayaan dan
sumber-sumber pendapatan desa, pada dasarnya adalah merupakan sumber daya desa.
Secara umum sumber daya biasa dipahami dalam bentuk tanah, tenaga kerja dan
modal. Ada juga yang berpendapat bahwa sumber daya identik dengan aset, karena
disamping meliputi property juga termasuk didalamnya unsur manusia atau
penduduk desa (SDM).
Berbicara tentang aset desa, maka biasanya telah dibatasi pada
aset yang bersifat tangible atau yang
berwujud, seperti tanah kas desa, pasar desa, pasar hewan desa, tambatan
perahu, bangunan desa, pelelangan ikan desa dan lain sebagainya. Sedangkan
apabila kita berbicara tentang pengelolaan aset desa, maka pemerintah desa
sebagai pengelola harus secara rasional mengarahkan pada upaya peningkatan
kesejahteraan desa secara umum. Artinya, konsep pengelolaan harus diarahkan
pada kesejahteraan masyarakat bukan kelompok-kelompok tertentu, terlebi-lebih
pejabat pengelolanya.
1.
Tanah sebagai sumber utama
Dalam rangka optimalisasi potensi desa, pengelolaan tanah kas
desa (TKD), sebaiknya mendapat perhatian yang cukup mendalam sehingga
diharapkan tanah desa sebagai aset utama yang ada di desa dapat dikelola dengan
baik. Beberapa pengertian TKD dan terminologi lainnya masih hidup di masyarakat
dan diakui dalam Hukum Pertanahan/UU Agraria. Namun demikian, kenyataan di
lapangan, pemahaman dari para Kepala Desa maupun Perangkat Desa terhadap TKD
semakin berkurang sehingga menimbulkan permasalahan tersendiri di tingkat desa.
Oleh karena itu dalam fasilitasi dan supervisi yang berkaitan dengan Manajemen
Kekayaan Desa perlu selalu diberikan materi yang berkaitan dengan pengelolaan
TKD dan optimalisasinya.
TKD pada hakekatnya merupakan salah satu kekayaan desa berupa
tanah, yang digunakan untuk biaya peneyelenggaraan Pemerintahan dan pembangunan
desa. Sumber-sumber pendapatan desa yang selama ini dikenal di daerah Jawa pada
umumnya dengan nama tanah bengkok, titisara, bondo desa, pangonan, dan
sejenisnya, yang pemanfaatannya diarahkan untuk menunjang upaya mewujudkan
kemandirian desa.
Ada bermacam-macam istilah dari tanah
bengkok ini seperti tanah lungguh, tanah pangarem-arem,
dan tanah bercatu. Tanah bengkok ini adalah tradisi yang diterapkan
untuk menggaji Kepala Desa yang telah berjalan lama sekali dan tanah bengkok
ini sebagai bentuk pengkaryaan atau kontra prestasi atau imbalan jasa orang
yang menjadi Kepala Desa dan aparat desa lainnya, yang diharapkan dengan adanya
tanah ini Kepala Desa dan perangkatnya mempunyai motivasi yang luas dalam
membina dan mengurus kepentingan maayarakat Desa umumnya.
Tanah bengkok, menurut Hukum Adat merupakan
tanah jabatan kepala desa. Di era sekarang dimana secara normatif perangkat
desa diberi penghasilan tetap melalui APBDesa, mestinya tanah bengkok sudah
mulai dialihkan statusnya menjadi tanah desa, sehingga hasilnya bukan
semata-mata manjadi hak kepala desa atau pamong desa, tetapi dapat dimanfaatkan
untuk keperluan lain, yang berhubungan dengan penyelenggaraan Pemerintahan
Desa.
Di dalam Hukum Adat dikenal ada hak keuntungan jabatan,
ialah hak dari seorang pamong desa untuk memetik hasil atas tanah jabatannya,
selama ia memegang jabatan di suatu desa. Ia atau anak turunannya tidak boleh
menjual atau menggadaikan tanah itu. Hak itu berakhir jika ia turun dari
jabatannya atau selesai masa tugasnya dan jika ini terjadi, maka tanah itu
kembali ke hak peraturan desa, tegasnya, berpindah ke tangan penggantinya.
Sedangkan tanah titisara adalah
TKD yang seluruh hasilnya dimasukkan dalam kas desa, dengan kata lain seluruh
hasil dari tanah ini menjadi penghasilan desa dan pemanfaatannya dikhususkan
untuk membiayai penyelenggaraan pembangunan dan Pemerintah Desa. Tanah tersebut
dikerjakan oleh warga desa dengan system bagi hasil atau peruntukan pemakaian
lain yaitu melaui sistem lelang.
Di samping tanah bengkok dan
titisara, di beberapa desa masih dijumpai tanah pangangonan, yaitu sebidang
tanah desa yangdiperuntukan guna tempat mengembala ternak milik penduduk desa.
Tanah pengangonan ini juga termasuk TKD.
Kebijaksanaan TKD sesuai dengan
ketentuan UU 32/2004, PP 72/2005 dan Permendagri 4/2007 pada dasarnya
diharapkan benar-benar dapat menjadi sumber Pendapatan Asli Desa yang dapat
menunjang APBDesa sehingga penyelenggaraan Pemerintahan Desa dan
pembangunan/pemberdayaan masyarakat dalam rangka mewujudkan kemandirian
masyarakat dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan.
Pada masa berlakunya UU 5/1979, pengurusan dan pengendalian
TKD diatur dalam Permendagri 1/1982, yang menegaskan bahwa tanah-tanah Desa
berupa Tanah Kas Desa, Bengkok/Lungguh, Titisara, Pengangonan, kuburan dan
lain-lain yang sejenis (tambak, empang, kebun) yang dikuasai dan merupakan kekayaan
desa dilarang untuk dilimpahkan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk
kepentingan proyek-proyek pembangunan yang ditetapkannya melalui Keputusan
desa, jika desa yang bersangkutan telah memperoleh ganti tanah yang senilai
dengan tanah yang dilepaskan, penggantian berupa uang yang digunakan untuk
membeli tanah lain yang senilai dan Ijin tertulis dari Gubernur yang
bersangkutan.
Pada era otonomi daerah sekarang,
dengan berlakunya UU 32/2004 dan PP 72/2005, maka berdasarkan Permendagri
4/2007 pada prinsipnya pengendalian tanah-tanah kas desa masih sama.
Pengendalian yang sedemikian rupa diharapkan mampu menjaga agar tanah-tanah kas
desa tidak semakin berkurang, namun akan semakin berkembang dan dapat
dimanfaatkan secara optimal.
2.
Pasar Desa Untuk Kemakmuran Desa
Disamping tanah desa, keberadaan pasar desa kiranya perlu
mendapatkan perhatian dan fasilitasi dari Pemerintah, tanpa adanya upaya
mengambil alih kepemilikannya menjadi pasar milik Daerah atau Pihak ke-3
lainnya. Pasar desa adalah pasar yang berada di wilayah desa,
bersifat historis dan tradisional serta yang ditumbuhkembangkan oleh Pemerintah
Desa. Oleh karena itu pasar desa mempunyai kedudukan dan peran yang sangat
strategis dalam rangka mewujudkan kemandirian desa, sehingga pasar desa perlu
tetap dipertahankan, dan apabila Desa dalam pengelolaannya tidak optimal untuk
dapat difasilitasi dan dikerjasamakan dengan Pemerintah Daerah atau Pihak ke-3.
Tujuan utama pengelolaan pasar desa adalah sebagai sarana untuk
memasarkan hasil produksi desa; mendorong masyarakat desa agar
mampu/berproduksi dan mengolah hasil produksi desa; menciptakan lapangan kerja;
meningkatkan pendapatan asli desa; mendorong kehidupan perekonomian Desa; serta
mendorong kehidupan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) dan Koperasi Unit Desa
(KUD).
Desa dapat membangun satu pasar melalui kerjasama antar desa,
kerjasama Pemerintah Desa dengan Pemerintah Kabupaten atau kerjasama dengan
Pihak ke-3. Dengan demikian pembiayaan pembangunannya dapat berasal/diperoleh
dari swadaya dan partisipasi masyarakat desa, APBDesa, Bantuan Pemerintah,
Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten serta bantuan pihak ke-3 yang sah
dan tidak mengikat.
Dalam hubungannya dengan pengelolaan
Pasar Desa, dapat dikelola oleh Pengelola Pasar Desa yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Kepala Desa, misalnya Pelaksana Teknis Lapangan
(PTL) atau dikerjasamakan dengan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten atau
pihak ke-3.
Dalam hal Pengelolaan Pasar Desa oleh PTL Pasar, maka PTL
tersebut hendaknya ditegaskan tugas pokoknya, yaitu melaksanakan kegiatan
pelayanan, keamanan, dan ketertiban, kebersihan, administrasi, pemungutan dan
pelaporan. Di samping itu juga melakukan dan mengelola pungutan-pungutan kios,
los/tempat berjualan lainnya, dan perparkiran kendaraan bermotor di lingkungan
Pasar Desa.
3.
Sumber-Sumber Pendapatan Desa Lainnya
Karena desa mempunyai hak untuk mengurus rumah tangganya
sendiri, maka setiap desa idealnya harus dapat mengembangkan potensi sumber
pendapatan desa secara proporsional, tidak memberatkan masyarakat dan tidak
mengakibatkan ekonomi biaya tinggi. Sumber-sumber pendapatan desa lain yang mungkin
dikembangkan antara lain: pengelolaan lumbung desa yang diharapkan mampu untuk
berperan sebagai “dolog”-nya desa; pengelolaan obyek wisata desa
(misalnya makam keramat, upacara adat desa), pemanfaatan bangunan milik desa
dan kekayaan desa lainnya; hasil swadaya dan partisipasi masyarakat; hasil
gotong royong masyarakat; dan pungutan/retribusi desa.
Khusus yang berkaitan dengan pungutan/retribusi perijinan
adalah berasal dari urusan yang dikelola desa, misalnya : Ijin Bangunan
Rumah Non Permanen atau Permanen dengan luasan tertentu, Ijin Menutup
Jalan Desa, Ijin Hiburan Rakyat di tingkat Desa, Ijin Usaha, Sewa Bangunan
Desa, Kesaksian Sewa-menyewa, Kesaksian Jual Beli Tanah, Pengesahan Surat
Keterangan, Pungutan atas hasil tanah produktif, dan sebagainya.
4.
Penerapan Best Practice Pemberdayaan Desa
Cukup banyak referensi yang dapat dijadikan sebagai best practice
untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan Pemerintahan Desa, misalnya Peraturan
Desa yang mengatur tentang kerja-sama Desa; pengelolaan kekayaan desa; Swadaya,
Partisipasi dan Gotong Royong Desa; serta Peraturan Desa tentang
Pungutan/Retribusi Desa. Namun demikian, suatu desa yang mengadopsi best practice dari desa lain juga
menyesuaikan dengan kondisi masyarakat desa itu sendiri.
Pemanfaatan kekayaan desa ada beberapa bentuk/sistem, misalnya
dengan cara sewa, pinjam pakai, kerja-sama pemanfaatan, bangun serah guna dan
bangun guna serah. Hasil dari pengelolaan kekayaan desa seperti tersebut di
atas, dengan sendirinya harus menjadi penerimaan desa, sehingga wajib
seluruhnya disetorkan ke kas desa. Yang paling penting, dalam pengelolaan
kekayaan desa harus berdaya guna dan berhasil guna untuk meningkatkan
pendapatan desa
B.
PENGELOLAAN TANAH DESA DAN
PROBLEMATIKANYA
Pada umunya kita mempunyai bayangan tentang daerah sebagai wilayah
yang terdiri atas pusat-pusat permukiman dengan beraneka ragam sebutan, seperti
desa, kampong, lembang, marga, nagari, gampong yang didiami oleh petani-petani dengan segala
karakteristiknya. Dalam hal ini hubungan kekeluargaan (keakraban,
tolong-menolong atau gotong royong, dan keterikatan) sebagai sifat mempengaruhi
hubungan-hubungan lain secara kuantitatif relatif lebih tinggi apabila
dibandingkan dengan perkotaan.
Perlu disadari oleh kita semua, bahwa pengertian desa adalah istilah atau
pengertian yang beranekaragam. Pembagian secara administratif wilayah Negara
Indonesia terdiri atas wilayah yang meliputi provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan, dan desa. Disamping desa dalam pengertian administratif, dapat
dijumpai juga jenis desa dengan menerapkan kriteria yang lain, misal
berdasarkan topografi: desa pegunungan, desa dataran rendah, desa dataran
tinggi, desa pantai; Kemungkinan juga dapat didasarkan pada kriteria
jenis usahannya, yaitu kampong peladang berpindah-pindah, desa perkebunan
rakyat, desa nelayan, dll.
Secara historis, Menurut S.M.P. Tjondronegoro Pemerintah Indonesia lebih
banyak mengandalkan pada desa dalam pengertian administratif. Hal ini
dapat kita telusuri sejak Pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1906 yang menfokuskan pada Desa Jawa (Inlandsche
Gemeente Ordonnantie). Studi Desa pada Jaman Pemerintahan Hindia Belanda,
dapat dirujuk beberapa tulisan/hasil karya R. Soepomo, J.H. Boeke, DH. Burger.,
E de Vries dan J. C. Breman. Sebagai contoh karya tulis tentang Desa di Makasar
(A.A. Cense), Batak (J.H. Neumann), Ambon (J. Keuning), Bali (R. Goris), dan
Minangkabau (BJO Shrieke). Kemudian setelah Indonesia merdeka, dapat dirujuk
karya ilmiah Soetardjo Kartohadikoesoemo (1953) yang orientasinya ke
Pedesaan Jawa dengan topik: 1) bentuk desa, 2) masyarakat penduduk hukum asli; 3) pemerintah desa; 4)
rumah tangga desa; dan 5) desa sebagai daerah otonom. Pada jaman setelah Orde
Baru, terdapat studi tentang desa oleh Koentjaraningrat (1964), Sajogyo
(1973), Bayu Suryaningrat (1981), Dorojatun Kuntjorojskti (1982), Loekman
Soetrisno (1988), SMP Tjondronegoro (1996), Mubyarto (1996), Philip
H. Combs dan Manzor Ahmed (1984).
Secara kronologis, pada jaman Pemerintahan Kolonial Belanda (1906) otonomi pada
pemerintahan desa diatur dengan (IGO untuk desa di Jawa dan IGOB
untuk desa di Luar Jawa); selanjutnya pada tahun 1958-1965 dengan UU
Nomor 19 Tahun 1965 mencabut Ordonantie Nomor 212 Tahun 1907 ada
usaha untuk mendirikan pemerintahan tingkat tiga dengan nama “Desapradja”.
Namun, upaya tersebut tidak sempat terlaksana karena adanya beberapa Instruksi
Menteri Dalam Negeri yang melarang pelaksanaannya.
Setelah diundangkan UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa, dikenal adanya desa
keturunan (geneologis) dan desa teritorial. Berdasarkan UU itu
pula, secara administratif di tingkat bawah dikenal dua bentuk , yaitu “Kelurahan
dan Desa” yang merupakan titik puncak dari kecenderungan “formalisasi
desa”. Dengan diberlakukannya UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut,
cirri-ciri birokrasi mulai terasa, lambat laun atau secara bertahap mengurangi
otonomi desa, sehingga dalam jangka panjang pengertian desa geneologis
(keturunan) akan hilang dan tingal tersisakan desa territorial administratif
saja.
1.
Wujud Otonomi dan/atau
Pemberdayaan (Partisipasi) Warga Desa
UU Nomor 5 Tahun 1979 yang mulai berlaku terhitung 1 Desember 1979 ini,
mengisyaratkan suatu kebijakan Pemerintah, agar diadakan penyatuan dan/atau
penyeragaman istilah persekutuan masyarakat hukum adat yang berupa “Kampong
(Papua), Marga (Palembang), Nagari (Sumatera Barat), Pertuanan/wewengkon
(Jawa), Kampung (Sanggau, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Selatan), Lembang
(Toraja), Gampong (Nangroe Aceh Darussalam/NAD) serta Negeri
(Maluku) sebagainya menjadi “Desa”.
Secara tidak lansung dengan diberlakukannya substansi UU tersebut,
mempunyai 3 (tiga) akibat penting terhadap otonomi desa dan/atau masyarakat
hukum adat atau daerah dengan nama lain yang setingkat, yaitu: 1) melemahkan
posisi pemerintahan informal yang dalam hal ini dipegang oleh para Kepala
Marga, Lembang dll., sehingga tinggal tersisa untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan
yang bersifat ritual upacara adat, bahkan dijadikan sebagai ajang komoditi
pariwisata belaka; 2) wilayah Hak Ulayat, marga, Kampong dll., terbagi ke dalam
beberapa desa dengan satu pucuk pimpinan (otoritas tunggal) pada Kepala Desa;
3) Kekuasaan pemimpin masyarakat hukum adat, Marga atau lebang, dll., apalagi
dengan dihapuskannya Peradilan Adat/Inheemse Rectspraak (UU
Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka otoritas untuk menyelesaikan perkara yang
berkaitan dengan tanah menjadi kewenangan Peradilan Umum (Pengadilan Negeri).
Kebijakan Pemerintah sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 5 Tahun 1979 tersebut,
dengan berjalannya Era Reformasi yang tertuang dalam UU Nomor 22 Tahun 1999
yang kemudian di gantikan dengan UU Nomolr 32 Tahun 2004 jo. Perpu Nomor 3
Tahun 2005 dilakukan peninjauan kembali mengenai eksistensi desa. Wujud otonomi
desa yang partisipatif tersebut tercermin dalam: Pertama,
Pasal 200, ayat (1) yaitu Susunan Pemerintahan Desa yang terdiri dari
Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). [Badan Permusyawaratan
Desa (BPD) adalah sebutan nama Badan Perwakilan Desa
sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pemnentukan Peraturan
:Perundang-undangan]; Kedua, Pasal 200 ayat (2) dan ayat
(3) yaitu bahwa pembentukan, penghapusan, dan/atau penggabungan desa
dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat, termasuk dalam hal
ini perubahan status desa menjadi Kalurahan didasarkan pada usul dan
prakarsa pemerintah desa dan Badan Permusyawaratan Desa; Ketiga,
Pasal 203 ayat (1) yang menyatakan bahwa Kepala Desa dipilih lansung oleh
dan dari penduduk desa warga negara RI yang memenuhi syarat; Keempat,
Pasal 203 ayat (3) pengakuan eksistensi/keberadaan masyarakat hukum adat
beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan diakui keberadaannya
berlaku ketentuan “hukum adat setempat” yang ditetapkan dalam Perda
dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah; Kelima, Pasal
206 huruf a yang berkaitan dengan kewenangan desa salah satunya
didasarkan pada urusan pemerintahan yang sudah ada sesuai asal-usul desa;
Keenam, Pasal 209 ayat (1) tentang keanggotaan BPD
disyaratkan wakil dari penduduk desa bersangkutan yang ditetapkan dengan
musyawarah dan mufakat; Ketujuh, Pasal 215 ayat (1) berkaitan
dengan pembangunan kawasan perdesaan baik yang dilakukan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota atau pihak ketiga mengikutsertakan pemerintah desa dan BPD; Kedelapan,
Pasal 216 yang mengisyaratkan bahwa pengaturan tentang desa yang akan
dituangkan dalam Perda wajib mengakui dan menghormati
hak, asasl-usul, dan adat istiadat desa Kemudian dengan
dikeluarkannya PP Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Penjelasan Umum PP
Nomor 72 Tahun 2005 yaang menyatakan bahwa prinsip dasar yang dianut, 1) keanekaragaman
yang memiliki makna bahwa desa dapat disesuaikan dengan asal-usul dan
kondisi sosial budaya masyarakat setempat; 2) Partispasi; 3) Otonomi asli;
4) Ddemokrasi; 5) Pemberdayaan masyarakat.
Satu hubungan kekuasaan yang direorganisasi melalui kedua UU tersebut
adalah penyelenggaraan pemerintahan secara desentralisasi yang berarti
penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat kepada pemerintah daerah
dengan berbagai harapan agar kebijakan yang dikeluarkan pemerintah daerah demi
kesejahteraan rakyat menjadi lebih sesuai dengan “hajat hidup rakyat”.
Otonomi seharusnya menempatkan masyarakat sebagai jantung
dari segala tujuan pembangunan. Apa yang dikatakan oleh Mohammad Hatta sebagaimana dimuat dalam
Majalah Keng Po, 27 April 1927, perlu dimaknai secara dalam. Beliau
menyatakan bahwa Otonomi masyarakat tak hanya melaksanakan
demokrasi, tetapi juga mendorong berkembangnya prakarsa dalam bentuk
pelaksanaan kebijakan untuk kepentingan masyarakat lokal. Termasuk dalam
hal ini adalah regulasi (tataran normatif) dan/atau kebijakan (tataran implementasi)
yang bagaimana serta hal-hal apa yang akan dilakukan Pemerintah Kab/Kota
dalam mengelola kekayaan daerah, dan/atau Pemerintah Desa dalam
mengelola kekayaan Desa, khususnya tanah kas desa. Lalu bagaimana
realisasinya ?.
2.
Dasar Hukum Pengelolaan Tanah
(Kas) Desa
Secara garis besar dasar hukum pengelolaan tanah (kas) desa, berdasarkan
hirarkhi peraturan perundang-undangan, didasarkan pada: Pertama,
UU Pemerintahan Daerah (UU Nomor 32 Tahun 2004, khususnya pada Pasal
212-216 ayat (1) tentang Keuangan Desa yang menyatakan bahwa Keuangan
desa adalah semua hak dan kewajiban desa yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan
milik desa berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban. Kedua,
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Peraturan Pemerintah
ini merupakan tindak lanjut dari UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. PP Nomor 72 Tahun 2005. PP ini menggantikan
keberadaan PP Nomor 76 Tahun 2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa
sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 Pada Pasal 68 PP
Nomor 72 Tahun 2005 tersebut menyatakan bahwa Sumber Pendapatan asli desa,
terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan
partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah.
Dstnya.. Selanjutnya dalam Pasal 69 lebih ditegaskan lagi bahwa kekayaan desa
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a menyebutkan: kekayaan desa
terdiri atas, tanah kas desa, pasar desa, pasar hewan, tambatan
perahu, bangunan desa, pelelangan ikan yang dikelola oleh desa, dan lain-lain
kekayaan milik desa. Lebih lanjut dalam Pasal 106 ayat (2) PP tersebut
memerintahkan kepada Menteri (Dalam Negeri) mengatur mengenai
Pedoman Penetapan dan Penegasan Batas Desa, Administrasi Desa, Tata Naskah
Dinas di Lingkungan Pemerintah Desa, Asosiasi/Paguyuban/Forum Komunikasi Badan
Permusyawaratan Desa, dan Pemerintah Desa, serta tanah kas desa.
Ketiga, Peratutan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007
tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa yang mulai berlaku pada tanggal 31
Januari 2007. Keempat, dengan memperhatikan ketentuan Pasal 16
PMDN Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Tanah Kas Desa, maka
seharusnya tata cara pengelolaan kekayaan desa diatur/dituangkan dalam produk
hukum berbentuk Peraturan Bupati/Walikota.
3.
Istilah Tanah Kas Desa
Jika kita telusuri secara seksama, dalam peraturan perundang-undangan yang
menjadi dasar hukum pengelolaan tanah (kas) desa sebagaimana telah uraikan di
atas, maka diketemukan istilah “tanah kas desa”. Peraturan perundang-undangan
tersebut menggunakan sebutan “tanah kas desa” sebagai bagian dari
kekayaan desa yang berupa benda tidak begerak, yaitu tanah.
Kekayaan desa adalah barang milik Desa yang berasal dari
kekayaan asli Desa, dibeli atau diperoleh atas beban Anggaran
Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) atau perolehan hak lainnya
yang sah (Pasal 1 butir 9 PMDN Nomor 4 Tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Kekayaan Desa. Tanah kas desa merupakan bagian dari “tanah desa” yang
penggunaan atau pemanfaatannya digunakan untuk pembiayaan kelangsungan
pelaksanaan pemerintahan desa.
Pendapat lain dikemukakan oleh Gunawan Wiradi dalam kaitannya dengan bentuk
atau status penguasaan tanah tradisional, yang terdiri atas: a. tanah yasan,
yasa, atau yoso, yaitu tanah di mana hak seseorang atas tanah itu berasal
dari kenyataan bahwa dia atau leluhurnya yang pertama-tama membuka atau
mengerjakan tanah tersebut. Hak atas tanah ini memperoleh status yuridis dalam
UUPA (UU Nomor 5 Tahun 1960) dikonversi menjadi tanah milik; b. Tanah
norowito, gogolan, pekulen, pelayangan, kesikepan, dan sejenisnya adalah
tanah pertanian milik bersama, yang daripadanya para warga desa dapat
memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap,
dengan syarat-syarat teretntu. Untuk memperoileh hak garap ini, pada umunya
diperlukan syarat bahwa si calon itu statusnya menjadi tanah milik bagi penggarapnya
yang terakhir. Hal ini dalam Ketentuan UUPA dikonversi menjadi Hak Pakai untuk
tanah yang sifatnya bergiliran, dan yang sifatnya tetap menjadi hak milik;
c. Tanah Titisoro, bondo deso, kas desa, adalah tanah milik desa
yang biasanya disewakan, diskapkan, dengan cara dilelang kepada siapa yang mau
menggarapnya. Hasilnya dipergunakan sebagai anggaran rutin ataupun pemeliharaan
desa, seperti memperbaiki jalan, jembatan, masjid, dll. Hal yang sama berlaku
juga untuk tanah sanggan, yaitu berupa tanah sawah di Jawa milik/kepunyaan Desa
yang hasilnya untuk memperkuat Kas Desa. Seorang yang menggunakan tanah dengan
Hak Sanggan mempunyai wewenang pemilikan yang sifatnya sementara, misalnya
menyewa dari Desa. Sesuai ketentuan UUPA, hak seseorang tersebut dikonversi
menjadi Hak Pakai; d. Tanah bengkok, yaitu tanah yang diperuntukan bagi
pejabat desa terutama lurah, yang hasilnya dianggap sebagai gaji selama mereka
menduduki jabatan itu.
Pengertian tanah pada huruf d, yang berupa bengkok tersebut sejalan dengan
pengertian tanah desa sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 butir 10 yang
menyebutkan bahwa Tanah Desa adalah barang milik desa berupa tanah bengkok,
kuburan, dan titisoro. Dari beberapa pengertian penguasaan tanah secra
tradisional sebagaimana dikemukakan oleh Sdr. Gunawan Wiradi tersebut, maka
tanah (milik) desa dapat dikelompokan men jadi 2 (dua) jenis, Pertama,
yaitu tanah kas desa atau biada disingkat dengan sebuitan TKD; Kedua,
yaitu Tanah Bengkok.
Tanah Kas Desa (TKD) berdasarkan Instruksi Mendagri No. 12 Tahun 1996
tentang Pengelolaan dan Pengembangan Tanah Kas Desa, adalah suatu lahan yang
dimiliki oleh Pemerintah Desa dan dikelola untuk kegiatan usaha desa, sehingga
menjadi salah satu sumber pendapatan desa yang bersangkutan. Dengan pengertian
itu dapat disimpulkan bahwa TKD adalah merupakan kekayaan desa dan juga
merupakan sumber pendapatan asli desa di samping sumber-sumber pendapatan
lainnya.
Pengertian tanah kas desa dapat juga diketemukan rumusannya dalam SKB
Nomor 157 Tahun 1997/2 Tahun 1997 antara Mendagri dengan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN tentang Pengurusan Hak Dan Penyelesaian Sertipikat Tanah Kas
Desa. Pada Pasal 1 huruf b, disebutkan bahwa Tanah Kas Desa adalah
suatu bidang tanah yang dimiliki oleh Pemerintahan Desa dan dikelola untuk
kegiatan usaha desa sehingga menjadi salah satu sumber pendapatan Desa yang
bersangkutan.
Tanah Kas Desa (TKD) secara umum diketemukan di Pulau Jawa, namun ada juga
di daerah-daerah tertentu, seperti di Bali. Menurut Darmayuda sesuai ketentuan
UUPA tanah TKD dikenal dengan sebutan tanah druwe desa. Tanah druwe desa
terdiri dari: a. tanah kas desa; b. tanah laba pura, tanah ini adalah tanah
untuk kepentingan Pura dan sesuai SK Mendagri Nomor SK. 555/DJA/1986 tentang
Penunjukan Pura sebagai Badan Hukum Keagamaan yang dapat mempunyai Hak Milik
Atas tanah ; c. tanah pekarangan desa (PKD); d. tanah ayahan desa (AYD).
Secara garis besar tanah PKD dan AYD merupakan tanah milik desa yang telah
dikuasai oleh anggota desa dan telah disertipikatkan menjadi milik pribadi.
C.
PROSPEK BADAN USAHA MILIK DESA
(BUMDes) SEBAGAI LOKOMOTIF EKONOMI DESA
Badan Usaha
Milik Desa (BUMDes) sebagai lembaga ekonomi desa lahir ketika negeri ini
memasuki era reformasi. Hadirnya lembaga ini bersamaan dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Di mana disebutkan, desa dapat
memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Diketahui, keberadaan desa-desa di
Indonesia, kini bukan lagi sebagai unsur pelaksana daerah, tetapi sudah menjadi
kesatuan masyarakat hukum, di mana dengan undang-undang tersebut, telah
memberikan keleluasaan bagi desa-desa di Indonesia untuk mengatur kehidupan
masyarakatnya dengan semangat desentrali-sasi.
Dalam hal
lembaga ekonomi desa, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 melakukan perubahan
mendasar, seperti yang dinyatakan pada Pasal 213 ayat (1) bahwa desa dapat
mendirikan badan usaha milik desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa.
Dapat dimaknai bahwa badan usaha yang didirikan di desa merupakan milik bersama
antara pemerintah desa dan masyarakat (bersifat komunal), bukan dimiliki oleh
orang perorangan atau pribadi. BUMDes lebih mencerminkan unsur kebersamaan
dalam menjalankan usaha, karena lebih sesuai untuk kehidupan masyarakat di
pedesaan yang umumnya memiliki kultur, gotong royong, persaudaraan, rasa sosial
yang tinggi, dan tidak sekedar memuja kehidupan kebendaan (materialism). Oleh
karenanya, BUMDes sebagai lembaga ekonomi desa, dapat diartikan sebagai lembaga
ekonomi alternatif untuk meningkatkan kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat
perdesaan.
1.
BUMDes Sesuai Kebutuhan
Pendirian BUMDes sebagai suatu usaha
yang mencari keuntungan, harus didasarkan pada kebutuhan obyektif di lapangan.
Artinya, inisiasi pendirian BUMDes bisa dari siapapun. Namun, apakah BUMDes
perlu didirikan di suatu desa, harus didasarkan pada potensi usaha yang
prospektif di desa tersebut.
Makna potensi adalah terdapat
permintaan dari produk (barang atau jasa) yang akan ditawarkan melalui BUMDes.
Pendekatan pasar atau melihat dari sisi permintaan lebih disarankan dari pada
menciptakan pasar baru atau melihat dari sisi penawaran karena risikonya sangat
besar.
Dimaklumi bahwa BUMDes merupakan
lembaga ekonomi tergolong baru yang kemungkinan akan dijalankan dan dikelola
oleh orang-orang yang masih minim pengalaman (less sense of business) dalam menjalankan usaha yang berorientasi
mencari keuntungan. Oleh karena itu, informasi pasar perlu dicari dan
disepakati terlebih dahulu sebelum BUMDes didirikan. Dengan demikian, jawaban kapan
BUMDes didirikan adalah tergantung dari akurasi informasi pasar yang
menunjukkan adanya peluang usaha dalam melayani kebutuhan masyarakat terhadap
barang atau jasa. Jika memang belum ditemukan peluang usaha yang dapat
dijalankan BUMDes, maka pendiriannya perlu dipertanyakan. Melalui cara seperti
itu, BUMDes diharapkan akan mampu beroperasi secara mandiri dan kinerjanya
dapat dipertanggungjawabkan.
Sebagai suatu badan usaha yang
mencari keuntungan atas dasar orientasi pasar, perlu diciptakan permintaan yang
memungkinkan dapat dikelola BUMDes. Ini merupakan peluang (opportunity). Namun harus tetap memperhatikan sumberdaya yang
dimiliki, seperti permodalan, tenaga kerja, peralatan mesin, dan ketersediaan
bahan baku. Secara umum BUMDes dapat mengelola usaha antara lain di bidang
pertanian, perikanan, peternakan, perdagangan, dan jasa (persewaan,
transportasi, keuangan). Singkatnya, jenis usaha yang dapat dijalankan BUMDes
adalah didasarkan pada permintaan pasar dengan mempertimbangkan sumberdaya yang
dimiliki.
Namum, sistem pengelolaan BUMDes
tidak seharusnya mengadopsi begitu saja gaya manajemen bisnis di perkotaan yang
cenderung hanya mengejar maksimalisasi keuntungan dan meminimalkan biaya (costs). Sebab praktek bisnis seperti itu
seringkali mengabaikan nilai-nilai lokal demi pencapaian target penjualan.
Karena itu, wujud yang tampak paling dominan dari BUMDes adalah dimiliki desa
dan dikelola oleh masyarakat desa bersama tradisi dan budaya lokalnya. Untuk
menjadikan pengelolaan BUMDes terwarnai tradisi dan budaya lokal diperlukan “kesepakatan
bersama” banyak pihak untuk mencari titik temu dari berbagai kepentingan yang
ada selanjutnya dikemas menjadi satu nilai bersama (shared values). Hal ini menjadi sangat penting, karena kontribusi
mereka akan mengikat secara psikologis terhadap kesepakatan-kesepakatan yang
dibuat kemudian.
2.
BUMDes dan Budaya Lokal
Istilah budaya lokal atau apapun
namanya intinya adalah gambaran perilaku masyarakat yang berakar dari budaya
setempat yang merupakan ke khasan dari gaya hidup masyarakat desa yang dapat
dilihat, diketahui dan diterima bersama di kalangan mereka sebagai pedoman
dalam kehidupan bermasyarakat. Suatu falsafah bisnis yang berakar dari budaya
lokal adalah mengekspresikan prinsip dasar organisasi (core principles of organization) yang memberikan kepada pengelola
dan semua anggota pedoman yang jelas bagaimana seharusnya bersikap dan
berperilaku dalam kaitannya dengan usaha yang dijalankan. Dengan demikian,
budaya lokal yang mewarnai pengelolaan BUMDes akan bervariasi antara desa satu
dengan yang lain, terutama desa-desa di luar Pulau Jawa. Keragaman itu justru
akan menggambarkan kebhinnekaan dari kekayaan budaya bangsa Indonesia yang
diterima bersama sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat.
Pernyataan falsafah bisnis
menunjukkan bagian yang penting dan permanen dari organisasi. Setiap organisasi
kemungkinan akan menggunakan cara yang berbeda bagaimana mensosialisasikan
falsafah tersebut. Tidak ada satu metode yang dipandang terbaik yang terpenting
falsafah yang disepakati difahami dan dijadikan sebagai pedoman dalam bersikap
dan berperilaku.
Bentuk dari falsafah bisnis biasanya
adalah kata-kata yang sederhana (a few
simpel words), namun memiliki arti penting bagi pelaku-pelaku maupun
anggota organisasi. Kata-kata itu akan secara efektif menjadi landasan (cornerstone) dari suatu bangunan di mana
orang-orang bekerja dan memperoleh pelayanan. Kata-kata itu akan menjelaskan
kepada setiap orang apa yang diperlukan berkenaan dengan sikap dan perilakunya
dalam menjalankan organisasi dan berhubungan dengannya agar kelangsungan
hidupnya terjamin dan berkembang secara signifikan.
3.
Pengelolaan Aset Desa melalui BUMDes
BUMDes merupakan lembaga usaha yang
bergerak dalam bidang pengelolaan aset-aset dan sumberdaya ekonomi desa dalam
kerangka pemberdayaan masyarakat desa. Pengaturan BUMDes diatur didalam
pasal Pasal 213 ayat (1) UU No 32 Tahun 2004, bahwa Desa dapat mendirikan
Badan Usaha Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa. Selain itu
juga diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, yang
didalamnya mengatur tentang BUMDes, yaitu pada Pasal 78 – 81, Bagian Kelima
tentang Badan Usaha Milik Desa, serta yang terakhir dalam Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010 tentang Badan Usaha Milik Desa.
Tujuan BUMDes
yaitu mengoptimalkan pengelolaan aset-aset desa yang ada, memajukan
perekonomian desa, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Sifat
usaha BUMDes adalah berorientasi pada keuntungan. Sifat pengelolaan usahanya
adalah keterbukaan, kejujuran, partisipasif dan berkeadilan. Dan fungsi BUMDes
adalah : sebagai motor penggerak perekonomian desa, sebagai lembaga usaha yang
menghasilkan Pendapatan Asli Desa (PADes), serta sebagai sarana untuk mendorong
percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat desa.
Sebenarnya secara tersirat semangat
untuk melembagakan BUMDes telah di amanatkan dan dipayungi dengan terbitnya
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagaimana diamanatkan dalam Bab VII
bagian Kelima yang menyatakan Pemerintah Desa dapat mendirikan Badan Usaha
Milik Desa sesuai dengan kebutuhan dan potensi desa dengan harapan dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat dan desa.
Sebagai tindak lanjut dari
pelaksanaan pendirian BUMDes, maka berdasarkan pasal 78 PP 72 Tahun 2005
Tentang Desa, dijelaskan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota perlu menetapkan
Peraturan Daerah (PERDA) Tentang Tata Cara Pembentukan dan Pengelolaan Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes).
Ketentuan mana
meskipun agak terlambat juga diakomodir dalam peraturan teknis yang dikeluarkan
oleh Menteri Dalam Negeri melalui pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 39 Tahun 2010. Namun kenyataannya niat baik dari amanat
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah maupun pengaturan secara teknis melalui
Permendagri tersebut belum disambut baik oleh Pemerintah kabupaten/Kota dengan
indikasi belum adanya Perda yang mengatur tentang Tata Cara Pembentukan dan
Pengelolaan, kalaupun sudah ada Perda tersebut seringkali belum mengacu pada
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 39 Tahun 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar