Oleh: Drs. Alexander Koroh, MPM
Pendahuluan
Belajar adalah suatu aktivitas
konstruktif yang dibutuhkan oleh individu, kelompok, organisasi dan masyarakat
bahkan negara dalam rangka mencapai berbagai tujuan strategis. Tujuan-tujuan
dimaksud sejatinya bermuara pada kemampuan untuk mengelola berbagai sumber daya
untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.
Walaupun demikian, tidak semua
organisasi baik pada sektor publik, swasta, dan nirlaba memandang bahwa hal
belajar (pembelaran) adalah penting. Ada yang memandang bahwa hal belajar
adalah bodoh dan tidak relevan karena membuang banyak waktu dan dana. Ada pula
yang melihat bahwa pembelajaran adalah menarik tetapi tidak layak/perlu untuk
dilaksanakan. Yang terakhir, ada pandangan yang memandang bahwa pembelajaran
perlu dilaksanakan karena akan sangat bermanfaat bagi pengembangan dan kemajuan
organisasi (Cunningham, 1994, hal.).
Mungkin dapat dikatakan bahwa kedua
pandangan pertama adalah bersifat negatif terhadap pembelajaran itu sendiri.
Bila suatu organisasi memiliki pandangan dimaksud apalagi pandangan pertama,
maka akan sulit bagi organisasai untuk dapat mengembangkan kapasitasnya dengan
baik sehingga dapat memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan/cliennya. Pada
saat yang sama, lingkungan di mana sebuah organisasi berada terus berubah
dengan cepat dan sulit diprediksi. Oleh karena itu, sejatinya pembelajaran bagi
setiap organisasi adalah penting dan harus dilaksanakan, sehingga ia dapat
mengikuti perkembangan terkini di dalam mengelola dengan cara terbaik. Di
sinilah, pembelajaran orang dewasa menjadi relevan karena sejatinya setiap
anggota organisasi adalah orang dewasa, yang memerlukan pendekatan dan iklim
khusus dalam proses pembelajarannya.
Iklim
Pembelajaran Orang Dewasa
Andragog (pakar dalam pembelejaran orang
dewasa) meyakini bahwa keberhasilan pembelajaran orang dewasa membutuhkan iklim
tertentu. Atmosphere dimaksud merupakan prasyarat bagi terciptanya suasana yang kondusif .
Menurut Knowels (1999, hal. 259) setidak-tidaknya ada dua aspek besar yang
perlu dipertimbangkan yakni, iklim institusional dan iklim dari situasi
belajar. Kedua iklim ini perlu tercipta terlebih dahulu agar proses
pembelajaran orang dewasa dapat berlangsung dengan baik dan mencapai
tujuan-tujuannya.Oleh karenanya, pengetahuan dan pemahaman tentang iklim
pembelajaran dimaksud adalah penting. Hal ini krusial tidak hanya bagi
widyaiswara, fasilitator, pengelola pendidikan orang dewasa, tetapi juga bagi
pembelajar itu sendiri.
a.
Iklim
institusional
Iklim dalam ranah ini berkaitan dengan
beberapa hal krusial yang sesungguhnya merupakan landasan bagi terwujudnya
iklim situasi pembelajaran yang kondusif. Hal-hal penting dimaksud antara lain,
statemen kebijakan lembaga yang mengandung suatu komitmen mendalam yang menghargai pengembangan sumberdaya
manusia dalam mencapai misi dari lembaga tertentu. Seiring dengan itu,
ketersediaan dana yang memadai adalah vital untuk mendukung upaya-upaya
pengembangan kapasitas SDM. Keterlibatan staf SDM pada proses pengambilan
keputusan sebagai individu yang memahami kebijakan dan program pengembangan
SDM, sangat diperlukan. Ketersediaan fasilitas fisik untuk penyelenggaraan
berbagai kegiatan pembelajaran juga tak dapat diabaikan. Akhirnya system
pemberian penghargaan pada prestasi pribadi yang bertumbuh pada individu dan supervisor
juga akan berkontribusi signifikan bagi iklim lembaga pembelajaran yang sehat. (Knowles
1999, hal. 259).
b.
Iklim
pembelajaran kondusif orang dewasa
Menurut Knowles ada 6 (enam) elemen penting yang dapat membentuk atmosfir
pembelajaran orang dewasa yang kondusif. Elemen-elemen dimaksud antara lain:
·
Iklim saling menghargai. Orang cenderung akan terbuka
terhadap suatu pembelajaran jika mereka merasa dihormati. Perasaan dihormati
biasanya menempatkan orang pada suatu posisi untuk segera menyerap pengetahuan,
keterampilan, dan keahlian yang akan disampaikan. Jika mereka merasa
sebaliknya, diremehkan, dikecilkan, dan tertekan, maka akan banyak energi yang
perlu mereka gunakan untuk menghilangkan perasaan yang tak mengenakan tersebut.
·
Iklim kerjasama ketimbang persaingan. Kondisi kolaborativ
menempatkan fasilitator dengan perserta, perserta dengan peserta akan memandang
diri mereka sebagai sesama penolong ketimbang pesaing. Dalam berbagai ranah
pembelajaran orang dewasa sumber kekayaan pengetahuan, pengalaman dan
pengetahuan ada pada sesama peserta pembelaran, karena itu adalah penting untuk
merangsang peserta agar selau menyediakan sumber dimaksud dan membagikannya
bagi rekan-rekannya.
·
Iklim yang mendukung ketimbang yang menghakimi/menguji.
Suasana mendukung pertama-tama harus terlihat dari tutur kata dan perilaku
fasilitator. Para peserta pembelajaran harus dapat melihat dan merasakannya.
Jika hal ini terjadi, maka mereka kemudian akan menularkannya dalam relasi
pembelajaran antara mereka.
·
Iklim saling percaya. Fasilitator lebih baik
memperkenalkan dirinya sebagai seorang manusia biasa ketimbang sebagai seorang
ahli, karena dapat menyebabkan rasa curiga dan kurang percaya peserta,
sebagaimana reaksi orang kepada pihak yang berwenang (guru, dosen, dan pakar).
Adalah cukup baik apabila mereka dapat memanggil nama fasilitator dengan nama
depan saja. Tidak perlu dipanggil guru, widyaiswara, professor dan sebagainya.
·
Iklim yang menyenangkan (lucu, gembira). Pembelajaran
mesti menjadi sesuatu yang sangat menggembirakan bagi kita. Oleh karena itu,
fasilitator perlu membuatnya menjadi suatu kegembiraan yang dapat dinikmati
setiap peserta. Adalah baik apabila fasilitator dapat membuat humor yang
spontan, bukan yang menyinggung dan kurang sopan.
·
Iklim yang manusiawi. Pembelajaran adalah suatu aktifitas
manusiawi; pelatihan adalah untuk binatang seperti anjing dan kuda. Oleh karena
itu, fasilitator harus membangun iklim dimana peserta merasa diperlakukan sebagai manusia, bukan sebagai objek.
Fasilitator perlu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan mereka sebagai manusia
seperti: tempat duduk yang nyaman, frekwensi istrahat yang cukup, ventilasi dan
pencahayaan yang baik, ketersediaan minuman dingin dan teh/kopi, dan lain-lain
(1996, hal. 259-260).
Problematika
dalam Penerapan
Pemahaman dan pengetahuan tentang iklim pembelajaran perlu dimiliki oleh
tidak hanya widyaiswara tetapi juga oleh para peserta. Dengan demikian iklim
pembelajaran orang dewasa dapat dibangun sebagai landasan bagi proses
pembelajaran yang berhasil. Jika hal ini gagal dilakukan maka proses
pembelajaran orang dewasa tidak akan pernah mencapi tujuan pembelajarannya.
Iklim
Institusional
Iklim institusional adalah penting dalam setiap proses pembelajaran.
Pengabaian dan penyepelean iklim ini akan memberikan konsekwensi pada rendahnya
mutu pembelajaran. Komitmen pemerintah daerah terhadap nilai-nilai pengembangan
sumber daya manusia harus sangat kuat dan relevan dengan kebutuhan terkini. Bersamaan
dengan itu komitmen penyelenggara Kediklatan juga harus kuat. Dengan demikian
jenis Kediklatan yang disediakan tidak yang itu lagi itu lagi tetapi harus
diinovasi, dimodifikasi, sesuai dengan misi pemerintah daerah dalam menjawab
kebutuhan dan kepuasan publik. Oleh karena itu dukungan dana yang memadai untuk
setiap Kediklatan sesuai kebutuhan masing-masing pemerintah daerah harus selalu
tersedia. Mungkin kedua elemen iklim institusional yakni komitmen dan
ketersediaan dana masih belum memadai. Hal ini tampak pada terselenggaranya
beberapa Diklat Pim. IV dan Prajab di beberapa Kabupaten bukannya di BP4D
Provinsi NTT.
Hal yang buruk dari pelaksanaan Diklat di Kabupaten adalah
penyelenggaraannya tidak optimal karena berbagai keterbatasan. Antara lain,
jumlah widyaiswara yang memfasilitasi mata ajar pada Diklat dimaksud maksimal
hanya 4 (empat) orang karena keterbatasan Pemerintah Daerah untuk membiayai
widyaiswara. Empat widyaiswara tersebut kemudian harus memfasilitasi 18 hingga
24 mata ajar. Oleh karenanya muncul istilah sinisme yang mengatakan
“widyaiswara M.Si” artinya widyaiswara master segala ilmu. Terselenggaranya
Kediklatan seperti ini tentunya akan berujung pada hasil Diklat yang
asal-asalan atau seadanya. Dengan kata lain, penyelenggaraan Diklat hanyalah
formalitas belaka, yang penting memperoleh sertifikat, mutu dikorbankan. Hal
ini harus diperbaiki jika kita ingin menghasilkan aparatur yang handal dan
berkualitas.
Selanjutnya, elemen iklim institusional yakni keterlibatan staff Diklat dan
widyaiswara dalam keseluruhan proses pengambilan keputusan Kediklatan mesti
menjadi suatu realita. Yang terjadi selama ini, ada pengabaian terhadap
widyaiswara dalam penyusunan program dan kegiatan Kediklatan yang sejatinya
merupakan bagian dari pengambilan keputusan Kediklatan. Ada tendensi dan
pretensi unsur struktural Kediklatan untuk menyusun kegiatan dengan menggunakan
nara sumber dari Jakarta sambil mengabaikan widyaiswara lokal. Dengan melakukan
hal ini, ada kesempatan bagi pejabat struktural Diklat untuk pergi ke Jakarta
dalam mengatur segala sesuatu terkait dengan kehadiran narasumber. Padahal pola
ini sangat mahal, karena cukup banyak dana yang digunakan untuk membiayai tidak
hanya perjalanan dinas pejabat struktural, tetapi juga honor narasumber. Jika
memanfaatkan widyaiswara lokal maka efesiensi anggaran terjadi dan juga
mendorong widyaiswara untuk lebih memacu diri untuk maju. Paling kurang
kegiatan Kediklatan yang dilaksanakan oleh Bidang selain Pengembangan harus
lebih mengutamakan widyaiswara lokal dan 1 (satu), 2 (dua) narasumber luar
sebagai pelengkap. Menurut penulis hal ini lebih fair.
Elemen iklim institusional lainnya yakni, ketersediaan fasilitas Kediklatan
yang memadai, masih menjadi pergumulan tersendiri. Masalah kurangnya
ketersediaan air bersih, kamar mandi dan toilet yang buruk, fentilasi dan
sirkulasi udara yang jelek, serta sound
systemyang juga buruk masih menjadi masalah klasik yang berulang dari tahun
ke tahun. Realitanya masalah-masalah tadi cukup mengganggu para peserta, banyak
peserta yang akhirnya meninggalkan kampus Diklat hanya untuk menumpang mandi di
rumahnya sendiri atau di rumah keluarga jika mereka datang dari luar Kota
Kupang.
Unsur lainnya yakni,system pemberian penghargaan pada prestasi pribadi yang
bertumbuh pada individu dan supervisor juga perlu diimplementasikan dengan
baik. Faktanya BP4D Provinsi NTT telah melakukan peringkingan 10 besar untuk
setiap Kediklatan yang diselenggarakan. Akan tetapi keakurasian perangkingan
dimaksud juga menuai banyak pertanyaan. Ada yang meragakunnya karena biasanya
yang mendapat rangking adalah mereka yang menjadi pengurus kelas dan mereka
yang terlibat sebagai presenter, moderator dan pencatat pada saat seminar
kelempok, kelas dan angkatan. Seiring dengan itu, rekomendasi BP4D Prov. NTT
agar mereka yang masuk dalam rangking 10 besar untuk dipromosikan pada jabatan
yang lebih tinggi biasanya tidak mendapat perhatin serius dari Tim Baperjakat.
Seiring dengan itu juga belum pernah dilakukan pemberian penghargaan bagi
widyaiswara, supervisor, belum dilakukan sama sekali.
Hemat penulis, mungkin dapat dikatakan bahwa iklim institusional Kediklatan
di BP4D Provinsi NTT masih buruk. Oleh karenanya, harapan untuk mewujudkan
keluaran Kediklatan yang bermutu sulit diwujudkan. Akan tetapi jika ada
komitmen yang kuat dari Pemerintah Provinsi dan BP4D Provinsi NTT untuk secara
sistematis dan komprehensif memperbaiki berbagai kelemahan di atas maka niscaya
peningkatan kinerja instansi ini dapat meningkat secara signifikan.
Iklim
Pembelajaran yang Kondusif
Pemikiran yang masih menempatkan widyaiswara/fasilitator pada posisi yang
tidak sederajat dengan para peserta pembelajaran adalah tidak tepat. Kerendahan
hati (bukan rendah diri) harus menjadi ciri dasar yang harus ditampilkan
widyaiswara begitu memulai proses pembelajaran. Tentunya, karakter luhur
dimaksud tidak hanya ditampilkan widyaiswara ketika menyampaikan materi tetapi
di mana saja ia berada. Mewujudnyatakan perilaku yang rendah hati tidaklah
mudah, karena pola pikir kebanyakan widyaiswara masih sangat struktural-minded.
Hal ini tampak pada misalnya, meskipun seorang widyaiswara memiliki kompetensi
untuk menyampaikan suatu materi pada Kediklatan di atas level widyaiswaranya ia
tak akan dapat melakukannya jika ia belum pernah duduk pada eselon tertentu;
jika seorang widyaiswara belum pernah mengikuti Diklat Pim. III maka ia tidak
dapat memfasilitasi mata ajar tertentu pada Diklat Pim.III.
Seiring dengan itu, jika seorang widyaiswara tadinya berlatarbelakang
eselon III jika ia memfasilitasi mata ajar tertentu pada Diklat Pim. IV, maka
ia cenderung memandang peserta sebagai bawahannya karena mereka masih eselon
IV. Tentunya ini merupakan pandangan yang keliru yang harus segera diperbaiki.
Oleh karena itu adalah tidak tepat pula bila, widyaiswara menghukum peserta
dengan mengusir para peserta untuk mengikuti kegiatan kelas karena terlambat.
Menurut penulis hal menyampaikan penghormatan dan laporan (ala militer) di
dalam kelas sebelum dan sesudah proses pembelajaran tidak tepat. Alasannya
karena pola penghormatan tadi cenderung menciptakan ketegangan dan relasi yang
tidak sederajat. Dengan kata lain kegiatan ini menciptakan rintangan psikologis
yang tidak nyaman bagi peserta pembelajaran, yang pada gilirannya akan
berdampak pada pelaksanaan pembelajaran yang kurang mencair, mengalir dan
lancar serta menyenangkan. Tak ayal lagi jika hal ini terjadi maka tujuan
pembelajaran tidak akan tercapai.
Bersamaan dengan itu posisi duduk sebaiknya melingkar atau oval sehingga tidak membentuk suasana belajar pedagogi
dimana ada pemberi dan penerima, atau guru dan murid. Dengan posisi duduk
melingkar maka akan tercipta kondisi belajar yang sederajat dan siap berbagi.
Dengan kata lain, posisi duduk dimaksud menempatkan widyaiswara pada level yang
elegan dan sederajat dengan peserta shingga rintangan struktural yang mungkin
tercipta akibat posisi duduk pedagogi tidak akan terjadi. Dengan demikian
pengayaan pengetahuan dan pengalaman fasilitator dan peserta akan berkembang
secara dinamis dan konstruktif. Hal ini tidak hanya menguntungkan bagi peserta
tetapi juga fasilitator karena terus dapat memutakhirkan dan terus bersentuhan
dengan hal-hal praktis terkini yang relevan dengan konsep dan teori yang sedang
disampaikan.
Merujuk pada penjelasan di atas kelihatannya, perbaikan internal BP4D
Provinsi NTT perlu dilakukan sesegera mungkin. Perubahan pola pikir widyaiswara
dan pejabat struktural BP4D untuk dapat berpikir dan berperilaku keluar dari
kepentingan dirinya untuk dapat memenuhi kebutuhan pelanggannya dengan baik
ketimbang kepentingannya sendiri. Disinilah tampak adanya kedewasaan pemangku
kepentingan utama pengelola Kediklatan. Hal ini sangat penting, karena hanya
dengan mengimplementasikannya barulah kebermaknaan institusi Kediklatan ini
dapat menjadi suati realitas.
Secara eksternal, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota di NTT
sangat perlu memiliki pola pikir yang tepat tentang pembelajaran yang sehat
dalam Kediklatan aparatur. Pemahaman yang setengah-setengah hanya akan bermuara
pada persetujuan pelaksanaan Diklat yang asal jadi dan tak bermutu.
Kesimpulan
Keberhasilan suatu kegiatan pembelajaran baru dapat terwujud apabila dua
iklim pembelajaran yakni, iklim institusional dan iklim pembelajaran yang
kondusif telah menjadi suatu realita.
Meskipun secara faktual terdapat banyak kelemahan dan kekurangan dalam
implementasi kedua iklim di atas, namun hal tersebut tidak boleh mematahkan
semangat dan kreativitas kita untuk memperbaikinya. Perbaikannya tidak boleh
setengah-setengah tetapi harus sistemik dan komprehensif.
Perbaikan kedua iklim dimaksud tidak akan berhasil apabila hanya dilakukan
oleh pihak pengelola Kediklatan tetapi juga pengguna, pelanggan, dan publik
sebagai penerima manfaat terakhir dari setiap kegiatan Kediklatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar