Problematika Pelayanan
Prima di NTT
Pemenuhan kebutuhan dan kepuasan warga/costumer/client
merupakan tujuan utama dari pelayanan prima. Dapat dikatakan bahwa frase
‘Pelayanan Prima’ diterjemahkan dari ‘Costumer Service Exellence’
(Pelayanan Terbaik bagi Pelanggan). Menurut Bill Gates dalam bukunya ‘Bussiness at the Speed of Thougt’“customer
service will become the competitive differentiator for all organizations in the
new digital age”. Secara bebas dapat diterjemahkan (Pelayanan terhadap
pelanggan akan menjadi pembeda persaingan bagi semua organisasai dalam era
digital). Hal ini berarti bahwa kepuasan pelanggan berada pada tempat utama
dari setiap pelayanan. Secara empiris Pelayanan Prima telah diimplementasikan
terlebih dahulu pada sektor sawasta yang kemudian diadopsi ke dalam organisasi
sektor publik.
Dalam konteks Pemerintah Daerah pelayanan prima adalah
pelayanan terbaik yang dapat diberikan instansi pemerintah di daerah kepada public
dan atau pelanggan. Dinas, Badan, Biro, Kantor, Bagian/Bidang/Seksi secara
substansial tidak hanya memiliki core business(inti urusan)yang jelas
tetapi juga pelangganyang pasti.Dengan demikian masing-masing instansi memiliki
kekhasan dan keterarahan dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggannya. Untuk
itu, mengetahui dan menetapkan jumlah pelanggan yang akan dilayani perlu
dilakukan secara tepat karena instansi memiliki keterbatasan sumber daya, baik
SDM, dana, waktu, dan perlengkapan pendukung.
Dukungan Etika dan Regulatif
Nilai stewardship (kepelayanan)
dan responsibilitas merupakanlandasan etis yang harus ditanamkan dan dipelihara dengan baik dalam
kalbu aparatur. Hal ini akan membantunya untuk memberikan pelayanan yang prima,
karena dapat melahirkan motivasi yang tulus, tutur kata, perilaku yang sopan
dan ramah dalam melayani. Keterbukaan hati dan senyum yang ramah akan membuat
pelanggan merasa nyaman dalam menerima pelayanan.Akan tetapi elemen etika saja
tidak cukup karena kecendrungan manusia (baca: aparatur) yang dapat berubah
sewaktu-waktu sehingga dapat menyebabkannya gagal memberikan pelayanan prima.
Untuk itu, elemen regulatif menjadi krusial dalam melaksanakan Pelayanan Prima karena
memiliki daya atur dan sanksi yang jelas
dan kuat. Hal ini tampak jelas pada empat regulasi yang mendukung implementasi
Pelayanan Prima. Regualsi dimaksud antara lain, Keputusan Menpanno.
63/kep/m.pan/7/2003 tentang Pedoman Umum
Penyelenggaraan Pelayanan Public, Peraturan Pemerintah no.55 Tahun 2005, tentang Pedoman
dan Penyusunan Standar Pelayanan Minimal (SPM), Peraturan Menpan no.
prf/20/m.pan/04/2006 tentangPedoman Penyusunan
Standar Pelayanan Publik dan Undang-Undang Pelayanan Publik No. 25 Tahun 2009.
Sayangnya hal ini tidak secara serta merta mendorong organisasi publik untuk
dapat menerapkannya, karena adanya banyak kendala dan kelemahan.
Seiring dengan penjelasan di atas, penetapan Standar
Pelayanan Minimum (SPM) juga membantu apraratur dan penerima layanan untuk
dapat menjaga standar mutu pelayanan. Hal ini penting sehingga kualitas layanan
dapat mencakup ranah yang luas dengan standar mutu yang sama. Artinya, pelayanan kesehatan di DKI Jakarta mesti
tidak ada kesenjangan dibandingkan dengan pelayanan kesehatan di Provinsi NTT.
Demikian pula halnya standar mutu pelayanan misalnya perijinan, pendidikan,
lingkungan hidup dan bidang pelayanan lainnya juga harus menampilkan standar
mutu pelayanan yang sama antara satu Kabupaten/Kota dengan yang lainnya.
Selain aspek etika, regulasi yang mengatur implementasi
pelayanan prima perlu ditegakkan, sehingga pelayanan prima dapat senantiasa
terwujud. Contohnya, di New Zealand, setelah seorang bidan begitu menyelesaikan
tugas pelayanannya, ia akan memberikan format evaluasi tentang kepuasan pasien
yang dilayani untuk dievaluasi pasien. Hasil evaluasi tersebut kemudian dikirim
ke pusat kebidanan via post yang akan dinilai secara objektif oleh evaluator.
Dengan demikian tutur kata, bahasa tubuh, tingkah laku penyedia layanan akan
diusahakan olehnya untuk senantiasa baik dari pada akan memperoleh sanksi jika
melakukan sebaliknya.Contoh lainnya di Jerman, agar tidak terjadi kesenjangan
antara aparatur dan penerima layanan, maka aparatur tidak berseragam, mereka
menggunakan pakaian bebas rapi, ide besarnya adalah dengan demikian ada
kesetaraan dan kesederajatan antara kedua pihak; pelanggan tidak merasa
terasing atau berbeda karena melihat seragam aparatur.
Pentingnya Memenuhi Harapan Pelanggan
Mungkin sebagian besar kita sepakat dengan Speller dan
Ghobadian, dalam bukunya “Managing Service Quality”(Mengelola
Kualitas Layanan) yang secara terang menggambarkan bahwa, ada ketidaksukaan
pada pemerintah dan masyarakat terhadap buruknya pelayanan publik karena secara
historis sudah sedemikian adanya. Oleh karena itu, ada tekanan yang intens
untuk membangun strategi yang lebih berorientasi kepada pelanggan ketimbang
pelayanan itu sendiri.
Pertanyaan mendasar muncul, mengapa organisasi sektor
publik harus menempatkan pelayanan pelanggan sebagai sesuatu yang penting?
Jawaban sederhananya adalah karena memang sudah seharusnya. Tekanan yang terus
meningkatkan ditujukan pada pemerintah pada setiap level untuk dapat memberikan
pelayanan yang efisien, efektif, prima, sederajat, dan memberdayakan. Hal ini
beriringan dengan regulasi di atas yang sejatinya merupakan penerapan dari
konsep The outcomes oriented government (Pemerintah yang berorientasi
pada hasil), yang pada hakekatnya pemerintah bersama-sama dengan stakeholder
berupaya memenuhi kebutuhan dan kepuasan individu dan masyarakat. Oleh karena
itu, tidaklah mengherankan dalam setiap penilaian terhadap kinerja pemerintah
selalu terdapat elemen kepuasan pelanggan sebagai salah satu aspek penting yang
dinilai. Agar supaya setiap instansi pemerintah dapat mengetahui tingkat
kepuasan pelanggan terhadap layanannya, maka perlu mendengar keluhan dan
pengaduan pelanggan serta melakukan survey terhadap kepuasan pelanggannya.
Misalnya, Dinas Pertamanan dan Tata Kota dapat menggunakan institusi survey
yang handal untuk melakukan survey kepuasan publik terhadap layanan taman kota
yang disediakan Pemerintah Kota. Jika hasil survey menunjukkan bahwa individu
dan masyarakat Kota Kupang puas dengan layanan dimaksud maka perlu
dipertahankan kinerjanya, jika sebaliknya perlu diupayakan perbaikan sesegera
mungkin.
Pelayanan Belum Prima
Kelihatannya pelayanan prima pada sebagian besar sektor
kehidupan di NTT, baik pada yurudiksi provinsi dan kabupaten/kota masih jauh
dari harapan. Pernyataan sinis yang menggambarkan pelayanan aparatur seperti
“kalau bisa dipersulit mengapa dipermudah” secara faktual masih menggambarkan
suasana pelayanan kita yang pada umumnya
masih jauh dari prima. Realita juga menunjukkan masih banyak pasien yang
mengeluh tentang pelayanan kesehatan di Puskesmas dan Rumah Sakit yang buruk.
Banyak pula pengguna jalan yang mengeluh tentang kondisi jalan yang berlubang
dan tergenang air di musim hujan. Contoh lainnya adalah, kondisi terminal bis
dan terminal pelabuhan laut yang tidak nyaman dan berbau, taman kota yang
sangat terbatas jumlahnya, kondisi toilet umum yang belum memenuhi persyaratan
kuantitas dan standar higenis, pelayanan air minum yang masih buruk, pasar yang
amburadul, menunjukkan bahwa pelayanan pemerintah belum dapat memenuhi
kebutuhan dan kepuasan individu dan masyarakat NTT.
Kondisi pelayanan yang buruk hendaknya tidak mematahkan
hasrat dan semangat aparatur untuk mewujudkan pelayanan prima. Etika dan
regulasi yang dijalankan dengan baik dapat membantu kita untuk mewujudkan
pelayanan prima. Terwujudnya pelayanan prima oleh aparatur dalam berbagai
sector kehidupan seperti pendidikan, kesehatan, perhubungan, pertanian dan
perkebunan, perikanan dan kelautan, tidak hanya akan mewujudkan rasa trust (percaya) masyarakat pada
pemerintah, tetapi lebih dari itu akan membantu mewujudkan kesejahteraan individu
dan masyarakat NTT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar