Pembangunan
Gedung Kantor Gubernur lagi, Relevankah?
Drs.
Alexander B. Koroh, MPM
Gedung kantor pemerintah padasetiap level adalah
sebagai tempat di mana berbagai aktivitas kepemerintahan digagas, direncanakan,
dilaksanakan, dikendalikan, diarsipkan,dan dievaluasi. Akan tetapi kadar
implementasi aktivitas kepemerintahan yang bersentuhan langsung dengan individu
dan masyarakat adalah berbeda antara masing-masing level. Misalnya, pada kantor
kementerian, kegiatan pemerintahan yang bersentuhan dengan individu dan
masyarakat relatif jarang terjadi. Yang ada adalah kegiatan pemerintahan yang
berlangsung antar aparatur baik aparatur antar kementrian, maupun antara
aparatur kementerian dan aparatur pemerintah daerah. Sebaliknya pada level
pemerintah daerah seperti Kabupaten dan Kota kebersentuhan individu dan
masyarakat dengan pemerintah seyogianya lebih tinggi. Pemerintah provinsi dalam
aktivitas kepemerintahannya intensitas kebersentuhan aparaturnya dengan
individu dan masyarakat lebih rendah dari pemerintah Kabupaten dan Kota. Besar
atau kecilnya gedung pemerintah ditujukan untuk mengakomodir semua kegiatan
kepemerintahan sesuai kebutuhan publik.
Gagasan di balik Pembangunan Gedung
Kantor Gubernur
Gedung Kantor Gubernur (yang terbakar bulan
Agustus 2013) dibangun pada akhir tahun 1970an dan kemudian mulai digunakakan
pada tahun 1980an. Pada saat itu, Pemerintah Provinsi sebagai Daerah Tingkat I
memiliki peran yang sangat kuat. Meskipun penyelenggarakan pemerintah daerah
didasarkan pada asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan tetapi
keberadaan Gubernur sebagai penguasa tunggal menunjukkan betapa nuansa
sentralisasi sangat kuat. Oleh karena itu, gedung kantor gubernur di jalan El
Tari dibangun dengan bentuk yang kokoh, besar, dan sangat menonjol di bilangan
jalan tersebut. Pada aras ini, bangunan Kantor Gubernur tersebut
merepresentasikan kekuasaan pemerintah yang menonjol dan kuat dalam relasinya
dengan pemerintah kabupaten, dan juga dengan masyarakat. Dengan demikian pada
era pemerintah di daerah (UU No. 5/ 1974), tidaklah mengherankan jika gedung
kantor Gubernur adalah bangunan yang lebih megah dan menonjol dibandingkan
dengan kantor-kantor Bupati se-NTT; karena Kabupaten adalah Daerah Tingkat II
di bawah Daerah Tingkat I.
Era di atas telah berakhir, dewasa ini beberapa
Gedung Kantor Bupati di NTT lebih besar dari Kantor Gubernur NTT, contohnya Kantor
Bupati Kupang, Bupati Sumba Barat Daya, Rote Ndao dan
lain-lain. Secara praktis kelihatannya pembangunan gedung Kantor Bupati yang
besar diharapkan untuk mengakomodir intensitas kebersentuhan individu dan
masyarakat yang tinggi dengan aparatur pemerintah kabupaten. Akan tetapi ada paradox, karena gedung yang
megah dan sangat besar tersebut dalam aktivitas sehari-hari justru sibuk dengan
urusan internalnya dengan intensitas kebersentuhan dengan individu dan
masyarakat yang rendah. Oleh karenanya, ada gedung kantor yang besarnya tidak sepadan
dengan jumlah pegawai. Contohnya, gedung
Bappeda Kabupaten Kupang yang besar tidak kompetibel dengan jumlah pegawai yang
relatif kecil. Dengan kata lain banyak ruang bangunan yang mubazir.Dengan
demikian dukungan dana yang besar dalam pembangunan gedung dimaksud tidak
mencapai hasil yang telah ditetapkan. Seiring dengan itu, tentunya juga
dibutuhkan dana dalam jumlah yang tidak sedikit untuk pemeliharaan gedung yang
besar. Singkatnya gedung yang besar dan megah tersebut pada akhirnya hanya
menjadi beban bagi pemerintah daerah.
Dewasa ini, kita sedang berada dalam era elektronik/digital.
Penyelenggaraan pemerintahan juga dijalankan secara elektronik. Itulah sebabnya
kita mendengar istilah e-government
(pemerintah elektronik) dan e-procurement
(pengadaan barang dan jasa secara elektronik). Dalam implementasinya, berbagai
aktivitas kepemerintahan termasuk pengelolaan data dan informasi secara digital. Era ini menunjukkan bahwa data
dan informasi tidak lagi diarsipkan/disimpan pada kertas atau secara manual,
atau dengan kata lain sangat sedikit menggunakan kertas (paperless) tetapi
disimpan secara elektronik pada disk. Hal ini juga berarti bahwa pemerintah
bisa beroperasi secara efisien dan ekonomis karena dapat mengurangi ongkos
pembelian kertas, tinta dan tip ex dalam jumlah yang signifikan. Hal ini juga
berarti, gedung pemerintah tidak perlu terlalu besar karena arsip manual sudah
jauh lebih sedikit.
Tidak perlu dibangun lagi
Merujuk pada penjelasan di atas, penulis berpikir
bahwa Pemerintah Provinsi NTT tidak perlu untuk membangun kembali Kantor
Gubernur di Jalan El Tari. Kantor Gubernur di Tingkat Satu yang kini sudah
ditempati beberapa SKPD dan masih diteruskan sisa pembangunannya sudah memadai.
Mengingat arus jaman yang bergerak ke arah organisasi sektor publik yang lebih
efisien, efektif, dan ekonomis. Artinya, ke depan struktur dalam organisasi
sektor publik akan diperkecil sesuai kebutuhan riil (downsizing and rightsizing)
bahkan jumlah dinas, badan, biro, kantor juga harus dikurangi. Sebagai
konsekwensi dari prospek organisasi sektor publik Pemerintah Provinsi NTT yang
kecil maka pembangunan Kantor Gubernur NTT yang terbakar tidak perlu dibangun
lagi. Karena gedung kantor Gubernur di Tingkat I sudah akan dapat
mengakomodirnya.
Pembangunan kantor tersebut jika dilakukan akan
menunjukkan ketidakberpihakkan Pemerintah Provinsi pada kebutuhan publik.
Karena sesungguhnya, individu dan masyarakat NTT masih mempunyai banyak
kebutuhan dasar publik yang belum terpenuhi. Sebab jika itu dilakukan akan
banyak dana publik yang digunakan untuk kegiatan dimaksud. Dengan kata lain,
Pemerintah Provinsi tidak memiliki kepekaan dan daya tanggap terhadap kebutuhan
publik. Hal ini berbahaya karena pemerintah sedang kehilangan maknanya yang pada
gilirannya publik akan berpikir bahwa mungkin mereka tidak memerlukan
pemerintah, sebab pemerintah tidak hadir untuk memecahkan masalah mereka,
tetapi hanya sibuk dengan kepentingannya sendiri.
Selaras dengan itu, Pemerintah melalui Kementerian
Dalam Negeri secara regulatif telah melarang Pemerintah Daerah untuk membangun
gedung-gedung kantor yang besar, megah, dan mewah. Secara substansial
pengabaian terhadap regulasi ini akan mendorong Pemerintah Daerah untuk
mengelola sumber daya finansialnya secara tidak pro publik.Oleh karena itu, adalah jauh lebih baik jika Pemerintah
Provinsi NTT mematuhi regulasi tadi untuk tidak membangun gedung kantor
Gubernur lagi. Dengan demikian akan terdapat penghematan dana publik yang besar
yang dapat diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan dasar publik yang masih
terabaikan. Kebutuhan dasar dimaksud sangat urgent untuk dipenuhi Pemerintah
Provinsi NTT.
Taman Warga
Bangunan yang sudah terbakar sebaiknya diratakan
kemudian dibangun taman kota. Sebagai Ibu Kota Provinsi dengan jumlah penduduk
di atas 400 jiwa, Kota ini masih sangat kekurangan ruang terbuka hijau.
Mengubah situs bangunan kantor Gubernur yang sudah terbakar menjadi taman kota
adalah suatu pilihan yang brilian dan futuristik. Karena akan memperluas tidak
hanya daerah resepan air di sekitar Oebufu yang sebagian besar arealnya telah
berubah menjadi bangunan, tetapi juga akan menjadikan areal yang rindang dan
nyaman karena adanya ketersediaan oksigen yang memadai. Hal ini akan bermanfaat bagi publik dan kelestarian
lingkungan hidup. Hemat penulis jika Pemerintah Provinsi melakukan hal ini,
maka tampak betapa Pemerintah Provinsi memiliki pandangan yang strategis dan
jauh ke depan. Tetapi jika sebaliknya, jika mengutamakan pembangunan gedung
kantor Gubernur yang telah terbakar maka tampak kepicikan wawasan yang hanya
mengutamakan kepentingan jangka pendek yang bertentangan dengan arus jaman dan
kepentingan publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar