Titik
Kristinawati, S.Pd.I, MA
Widyaiswara
pada BP4D Provinsi NTT
Tulisan ini berangkat
dari sebuah cerita diatas MRT (sebutan kereta api yang menjadi alat trasportasi
di Singapura), yang membawa kegelisahan penulis akan kesiapan masyarakat NTT
dalam menghadapi AEC (Asean Economic Community) 2015. Seorang anak laki-laki
berusia 13 tahun asal india sedang berada di dalam MRT, terlihat dia baru
pulang sekolah, seorang teman saya bertanya padanya, “ kamu berbicara bahasa
inggris sempurna, dimana kamu belajar?”. Anak tersebut menjawab,” saya belajar
bahasa inggris di sekolah saja. Saya belajar dengan keras, saya harus mampu
berbicara bahasa inggris dengan sempurna karena saya harus menjaga negara saya,
saya tidak mau negara saya diambil negara lain”. Jawaban tersebut sentak
menohok hati saya. Serta merta saya memikirkan bagaimana dengan masyarakat NTT,
dimana aku bekerja disana. Jika kita memaknainya, anak kecil tersebut telah
menyadari penuh bagaimana AEC (Asean Economic Community) atau lebih mudah
dikenal dengan perdagangan bebas di Asia Tenggara, mau tidak mau pada tahun 2015 harus dihadapi
semua orang di 10 negara Asean (Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina,
Singapura, Thailand, Vietnam, Laos, Myanmar dan Kamboja) serta negara-negara
lain yang telah menandatangani perjanjian bilateral (India, China, Jepang,
Korea, Australia dan Selandia Baru).
Pertanyaannya kemudian,
apakah masyarakat NTT secara keseluruhan mengetahui informasi terkait AEC?
Sungguh ironis memang, ketika saya bertanya pada salah satu mahasiswa di
Perguruan Tinggi ternama tentang AEC,
dan dia justru balik bertanya pada saya ,” apakah AEC itu ?”. Mahasiswa yang
notabene lebih dekat dengan arus informasi, dibanding masyarakat awam. Saat
ini, di daerah lain seperti Surabaya dan Jakarta, mulai membangun kesadaran
masyarakat, pemerintah serta para stakeholder dengan melaksanakan sosialisasi
baik melalui seminar, maupun publikasi media. Bahkan Pemkot Bandung sedang
mengkaji sebuah terobosan dalam mempersiapkan peningkatan SDM masyarakatnya,
yakni setiap kamis, mewajibkan warga untuk berbicara bahasa inggris.
Berbagai pihak mesti berbenah
menghadapi AEC. Berlakunya AEC di Indonesia pada tahun 2015, maka negara lain
di ASEAN memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan usaha atau Investasi
di daerah kita. Untuk menangkap peluang tersebut, warga harus siap. Jika tidak,
kita akan menjadi buruh di tanah kita sendiri. Kita harus membangun kesadaran
bersama, bahwasanya kita harus menjadi bos di tanah kita sendiri.
Membangun SDM yang
Berkualitas
Bangsa
yang sumberdaya manusianya berkualitas, menurut Soedijarto (2008), di bidang
ekonominya memiliki kemampuan untuk mengolah dan mengelola sumber daya alam,
mengembangkan teknologi, menghasilkan komoditas yang bermutu dan dapat bersaing
di pasar dunia, mampu mengelola modal dan mengelola perdagangan yang dapat
bertahan dan maju secara berkesinambungan.
Nusa
Tenggara Timur merupakan Provinsi yang memiliki Sumber daya alam yang tidak
kalah dengan daerah lain. Dari sisi geografis, NTT terdiri dari pulau-pulau,
dengan keindahan pantai dan lautnya. Pengembangan pariwisata boleh jadi
alternatif pilihan menjelang AEC 2015. Hal yang perlu dilakukan kemudian adalah
rangkaian penyiapan sumber daya manusia NTT yang terintegrasi. Sementara masih
banyak daftar panjang yang harus dilakukan, tentunya ini terkait dengan soft skill masyarakat NTT. Mendorong
mental dan kesanggupan bersaing, serta entrepreneurship.Masalah daya saing yang
semakin terbuka dalam pasar dunia merupakan tantangan yang tidak ringan. Tanpa
dibekali kemampuan dan keunggulan daya saing yang tinggi, niscaya tenaga kerja
kita tidak mampu menembus persaingan global. Dengan demikian, pada era
perberlakuan AEC (Asean Economic Community) 2015 sebagai bagian dari AFTA,
alokasi SDM NTT kekurangan para ahli untuk mengisi tuntutan globalisasi.
Dengan
begitu, seandainya kita tidak dapat menyesuaikan terhadap berbagai kondisi yang
tercipta akibat globalisasi, maka yang mungkin akan terjadi adalah gejala
menjual diri bangsa dengan hanya mengandalkan Sumber Daya alam yang tak terolah
dan buruh murah. Sehingga masalah kemiskinan, pengangguran dan kesenjangan
ekonomi semakin tajam dan tingkat ketergantungan pada negara maju semakin
berlipat. Menurut World Competitiveness
Report , Indonesia, dalam kancah persaingan global menempati urutan ke-45
alias terendah dari seluruh negara yang diteliti, dibawah Singapura yang
menempati urutan ke-8 , Malaysia pada urutan ke-34, Cina pada urutan ke-35 ,
Filipina ke-38 dan Thailand ke-40.
Oleh
karena itu, NTT yang kaya akan kekayaan sumber daya alam harus mampu
mengembalikan manfaat sumber kekayaan yang dimiliki kepada rakyat sembari
membenahi Sumber daya manusia yang kualified sesuai dengan basis sumber daya
alam yang dimiliki. Ini artinya, masing-masing daerah memiliki arah kebijakan
yang berbeda-beda sebagaimana pluralitas kedaerahannya. Dengan begitu, kita
telah mencoba memutus mata rantai ketergantungan pada pihak luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar