Alexander
B. Koroh
Anggota
Forum Instruktur Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi NTT.
Pemerintah menyelenggarakan berbagai core business (inti urusan) untuk mencapai berbagai tujuan strategis. Tujuan-tujuan
dimaksud memberikan sense of navigation
(rasa keterarahan) pada pemerintah dalam
mengelola berbagai sumber daya publik. Anggaran sebagai salah satu
elemen sumber daya publik ada untuk mendukung pelaksanaan inti urusan dalam
mencapai tujuan strategis. Oleh karena itu, Anggaran Berbasis Kinerja (ABK)
dipandang tepat untuk digunakan dalam pengelolaan keuagan pemerintah
karena dalam model ABK dana ada untuk
mendukung pencapaian output (keluaran) dan outcome
(hasil) yang merupakan penjabaran dari berbagi tujuan strategis. Tujuan-tujuan
strategis dimaksud termuat pada Rencana Strategis. Secara ringkas, model ABK
beroperasi di atas prinsip money follows functions (uang
mengikuti fungsi).
Makna ABK
Secara substansial Anggaran berbasis kinerja
sangat berbeda dengan metoda tradisionalatauitem line budget.
Karenapenyusunan item line budge ttidak didasarkan pada analisa rangkaian kegiatan yang harus dihubungkan dengan tujuan yang telah ditentukan, namun lebih dititik beratkan pada kebutuhan untuk belanja dan system pertanggungjawabannya tidak diperiksa dan diteliti apakah dana tersebut telah digunakan secara efektif dan efisien atau tidak. Tolok ukur keberhasilan hanya ditunjukkan dengan adanya keseimbangan anggaran antara pendapatan dan belanja namun jika anggaran tersebut deficit atau surplus berarti pelaksanaan anggaran tersebut gagal.
Definisi
yang relatif tegas disampaikan oleh Fielding Smith (1999) dalam tulisannya Public Budgeting and Finance. Ia mendefinisikan “performance-based
budgeting allocates resources based on the achievement of specific, measurable
outcomes.”( Anggaran berbasis kinerja mengalokasikan sumber daya (dana) didasarkan pada
pencapaian outcome (hasil) yang spesifik dan dapat diukur. Menurut Bank Dunia “definisi
ini menjanjikan suatu hubungan yang rasional dan mekanistik antara
ukuran-ukuran kinerja dan alokasi sumber daya , dengan kemampuan untuk
menetapkan tingkatan keluaran yang dapat dicapai dengan sejumlah sumber daya.” Oleh
karena itu dapat dikatakan bahwa dana/anggaran sebagai salah satu elemen dari
sumber daya publik bertujuan untuk mencapai keluaran dan hasil. Dengan kata
lain ada target tertentu yang pasti dan jelas yang akan dicapai dalam setiap
penggunaan keuangan pemerintah. Sejatinya output dan outcome yang akan dicapai
adalah untuk memenuhi kebutuhan publik/warga negara bukan untuk memenuhi
kebutuhan organisasi sektor publik.
Secara regulatifPP No.58/2005 tentang Pengelolaan Keuanga Daerah Pasal 38 ayat 2 mengatur bahwa “Penyusunan anggaran berdasarkan prestasi kerja dilakukan berdasarkan capaian
kinerja, indikator kinerja, analisis standar belanja, standar satuan harga, dan
standar pelayanan minimal”. Indikator kinerja yang
harus dicapai adalah sampai pada level indikatori kinerja outcome. Hal ini
adalah wajar karena pemerintah menggariskan dalam regualsi lainnya bahwa pemerintahan diselenggarakan dalam
paradigma outcome oriented government(pemerintah
yang berorientasi pada hasil). Artinya bahwa setiap program dan kegiatan yang
dijalankan pemerintah harus mencapai outcome yang telah ditetapkan. Oleh karena
itu pemerintah pada setiap aras perlu memahami dengan tepat konsep Managing for Outcomes(Pengelolaan untuk
Hasil) sehingga dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi setiap
kegiatan program dapat mencapai desired outcomes (hasil yang
diinginkan).
Pada tataran praktis, ABK tampak jelas pada
Rencana Kerja Anggaran SKPD 2.2.1. di mana capaian indikator kinerja ditentukan
terlebih dahulu pada bagian tabel bagian atas format tadi, lalu disusul oleh
pos-pos belanja yang mendukung pencapaian indikator kinerja. Indikator Kinerja adalah ukuran kuantitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, indicator kinerja harus merupakan suatu yang akan dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat tingkat kinerja baik dalam tahapan perencanaan, tahap pelaksanaan maupun tahap setelah kegiatan selesai da nbermanfaat (berfungsi).
Beberapa Permasalahan
Dalam implementasi ABK di Provinsi NTT masih
terdapat banyak kelemahan sehingga berbagai keunggulan metode penganggaran
belum tercapai. Menurut Bank Dunia dalam penganggaran terdapat bebarapa masalah
makro. Pertama, kualitas perencanaan yang rendah. Penyebabnya antara lain, ketersediaan
data yang tidak memadai/tidak valid; data tersedia tetapi tidak dijadikan
sebagai basis perencanaan; tidak didasarkan atas identifikasi isu/permasalahan.
Kedua, keterkaitan antara pembuatan kebijakan, perencanaan dan penganggaran
tidak jelas. Ketiga, kegiatan pengendalian pengeluaran masih lemah. Keempat,
pembiayaan untuk operasi dan pemeliharaan
kurang mencukupi. Keenam, laporan kinerja tidak memadai.
Dalam konteks NTT, secara lebih spesifik
permasalahan dalam pengelolaan ABK di Provinsi NTT meliputi beberapa hal.
Pertama, dalam perencanaan ABK pada umumnya SKPD cenderung mengabaikan RPJMD
dan Renstra, sehingga kaitan logis antara indikator kinerja output dan outcome
program/kegiatan dengan Indikator Kinerja Kunci (IKK) lemah. Kedua, jusifikasi pengusulan
program/kegiatan yang lemah. Hal ini terjadi karena, sebagian besar SKPD belum
membahas program/kegiatannya secara mendalam. Akibatnya dasar regulasi, kaitan
logis, dan landasan akademik program dan kegiatan lemah dan kurang jelas.
Mungkin karena para pejabat di SKPD banyak menghabiskan waktunya di luar
daerah, sehingga tidak punya cukup waktu dan energi untuk pembahasan internal
dimaksud. Keempat, dalam pembahasan RKA SKPD dengan Tim Anggaran Pemerintah
Daerah (TAPD) berlangsung secara mendadak dan tidak mendalam, karena draft RKA
baru diberikan pada TAPD saat pembahasan mulai dilaksanakan. Sebaiknya draft
RKA dimaksud telah diberikan kepada TAPD seminggu sebelum jadwal pembahasan,
shingga TAPD dapat menelaahnya secara mendalam. Dengan demikian, catatan
perbaikan akurat dan berbobot. Artinya dari segi keterkaitan logis antara indikator
kinerja program/kegiatan dan Renstra dan RPJM kuat dan jelas. Tambahan pula,
anggaran pada setiap kegiatan harus wajar dan sesuai dengan prinsip Analisis
Standar Belanja (ASB). ASB adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan.
Kelima,
rendahnya pemahaman pemerintah daerah terhadap konsep Managing for Outcome
(MFO) membuat penetapan indikator kinerja outcome dilakukan SKPD tanpa
keterlibatan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini ikut mempersulit tercapainya
indikator kinerja outcome kegiatan yang secara logis akan memberikan
konsekwensi pada ketidaktercapaian tujuan strategis di atasnya.
Akhirnya, dapat
dikatakan jika tidak ada upaya perbaikan serius terhdapa berbagai kelemahan
penerapan ABK di atas, maka penerapan ABK tidak akan memberikan dampak nyata
bagi pencapaian tujuan-tujuan strategis pemerintah daerah di NTT. Contohnya,
jika Pemerintah Provinsi NTT enggan memperbaiki kelemahan-kelemahan di atas,
sebagai konsekwensinya akan sulit bagi Pemerintah Provinsi untuk mewujudkan Provinsi
NTT sebagai provinsi jagung, ternak, cendana, koperasi dan pariwisata. Kalau
pada pencapaian 4 (empat) tekad pada periode 2008 s/d 2013 tidak jelas
hasilnya, tentunya kita tidak menginginkan hal yang sama terjadi pada 5 (lima)
tekad (+Pariwisata). Pepatah kuno mengingatkan kita, “Hanya keledai bodohlah
yang teraperosok pada lubang yang sama.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar