MENJADI PEMIMPIN YANG
DEMOKRATIS:
(SEBUAH
TRANSFORMASI KEKUASAAN YANG OTORITER MENURUT KONSEP MACHIAVELLI DAN REZIM ORDE
BARU MENUJU KEKUASAAN YANG DEMOKRATIS)
Oleh : Benediktus
Belang Niron.SS.M.Si
Widyaiswara Diklat propinsi NTT
DEMOKRASI
DAN KEKUASAAN YANG DEMOKRATIS DALAM NEGARA HUKUM
Istilah demokrasi dalam kamus umum bahasa indonesia
berarti: ”politik pemerintahan rakyat; (bentuk) pemerintahan negara yang
segenap rakyat serta memerintah dengan perantaraan wakil-wakilnya”.
Konsep dan pemahaman kita tentang demokrasi ini bisa
dirunut dari makna etiomologis kata demokrasi (demokrasi dibentuk dari dua kata
bahasa Yunani yakni demos artinya rakyat dan kratia artinya
pemerintahan)” Ketika menguraikan arti dan makna demokrasi, saya berusaha
mempersempit pembahasan tentang demokrasi ini dalam dua bidang bahasan. Pertama,
demokrasi sebagai sistem menegara yang mendasarkan diri pada esensi pentingnya
mekanisme kontrol terhadap kekuasaan. Kedua, demokrasi menyoroti prasyarat kualitas warga negara (rakyat) macam
mana yang dibutuhkan dan kendala budaya mana yang menghambatnya. ”Ketika
masyarakat yang bermartabat hendak mendirikan negara, persoalan sejarah yang
mereka hadapi adalah bagaimana negara itu tidak menjadi totaliter dan otoriter
sehingga menindas warga-warga dan bagaimana mekanisme kekuasaan bisa dikontrol
oleh para warganya?” Karena itu, logika berpikir yang diolah adalah penggarapan
mengenai berdaulatnya warga negara atau rakyat. Bila negara itu merupakan
perwujudan dari kehendak rakyat, maka bisa dijamin kesejahteraan bersama yang
menjadi cita-cita rakyat dalam bernegara. Di sini muncul pertanyaan; bagaimana
mekanismenya?
Dalam politik yang demokratis, kedaulatan rakyat menjadi
pengabsah berdirinya negara. Hemat saya, wewenang sebuah negara untuk
menjalankan sistem pemerintahan diberikan oleh rakyat, dengan tujuan menjaga
ketertiban bersama, kesejahteraan umum, dan hak-hak individual rakyat. Karena
itu, wewenang negara demokrasi itu terbatas, yaitu sejauh mandat diberikan
rakyat melalui pemilu dan sejauh praktis pencapaian kesejahteraan bersama menjadi tujuannya.
Bagaimana mekanisme rakyat untuk mengontrol pelaksanaan wewenang ini? Menurut
saya, wewenang atau kekuasaan ini dikontrol melalui mekanisme pembagian
kekuasaan antara eksekutif sebagai pelaksana harian kekuasaan, yudikatif
sebagai pelaksana peradilan yang taat asas untuk menyelesaikan konflik
kepentingan hukum secara adil, serta legislatif sebagai badan perwakilan rakyat
yang meminta pertanggungjawaban atas pelaksanaan kekuasaan. Dalam sistem
menegara yang demokratis, wewenang untuk ”mengatur hidup bersama masyarakat”
harus berdasarkan penugasan dan konsensus para warga masyarakat sendiri.36 Inilah visi rakyat yang berdaulat atau
kedaulatan rakyat.
Praktek sistem pemerintahan, baik yang dilakukan
eksekutif atau para menteri maupun lembaga-lembaga birokrasi pemerintahan,
berlangsung dan bisa dikontrol oleh masyarakat lewat media massa atau mekanisme
kritik sosial yang ada. Ini terjadi karena wewenang pemerintah berasal dari dan
bertindak atas nama warga masyarakat, maka seluruh masyarakat punya hak untuk
mengetahui apa yang dilakukan pemerintah. Persoalan menjadi kritis bila jalur
mekanisme kritik lewat media massa dihambat dalam menjalankan fungsi
kontrolnya.
Oleh karena yang dasariah
dari demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat dan untuk rakyat, dengan intinya
yang pokok yaitu mekanisme kontrol pemakaian kekuasaan, maka mesti ada
pembagian kekuasaan agar kekuasaan itu tidak absolut dan otoriter. Di sini
muncul hukum sebagai norma objektif yang mengikat rakyat dan pemerinta. Dalam
sistem hukum ini, ditegaskan kewajiban negara, wewenang yang dimandatkan
rakyat, dan sekaligus juga hak rakyat untuk meminta kembali wewenangnya bila
pertanggungjawaban praksis kekuasaan tidak adil. Hemat penulis, di sini ada
kaitan yang erat antara sistem menegara hukum dengan demokrasi, di mana
pemakaian wewenang kekuasaan hanya legitim atau absah bila berdasarkan
persetujuan warga masyarakat dan dapat dikontrol oleh mereka. Dan ini berarti
kekuasaan negara dijalankan secara legitim bila berdasar pada hukum dan dalam
batas-batas hukum. Dengan mekanisme kontrol hukum ini, kekuasaan yang totaliter
dan otoriter dapat dicegah.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa di satu pihak,
”sistem negara demokratis membutuhkan penataan kelembagaan sebagai mekanisme
pembagian kekuasaan demi kesejahteraan masyarakat. Di lain pihak, bila
mekanisme kelembagaan sudah dibuat dan terus berproses, jelas pula bahwa tidak
otomatis bisa dikatakan demokratis kalau tujuan rakyat mendirikan negara belum
tercapai”. Menurut saya, tujuan itu ialah kesejahteraan masyarakat, yang secara
hukum berarti terjaminnya hak hidup dan martabat masing-masing warga di negara
tersebut.
JENIS-JENIS
DEMOKRASI
Walaupun baru seusia bayi, namun demokrasi yang kita hidupi
di Indonesia dapat dibedakan atas beberapa jenis. Pertama, demokrasi
pinjaman. Hal ini terjadi bila ada suasana kebebasan, semua warga masyarakat
bebas berpendapat, berorganisasi, mengkritik dan lainnya. Semua ini bisa
terwujud bilah pemerintah telah kuat dan masyarakat sipil lemah. Pemerintah
akan membiarkan demokrasi bertumbuh, namun suatu saat bila kritiknya terlalu
keras dan mengancam pemerintah, demokrasi itu dapat ditarik kembali. Jadi,
demokrasi ini bersifat sementara. Kedua, demokrasi terbatas. Demokrasi
model ini bisa terjadi bila ada pluralisme di tingkat elite, misalnya terjadi
konflik di antara mereka. Kalau masyarakat mengkritik pihak yang satu, pasti
akan dibela oleh pihak yang lain. Demokrasi jenis ini juga bersifat sementara.
Dua jenis demokrasi ini adalah bentuk demokrasi yang semu, karena yang terjadi
adalah penguasa yang kuat berhadapan dengan masyarakat yang lemah. Ketiga,
demokrasi yang asli. Dalam demokrasi jenis ini masyarakat bersatu dan menjadi
kuat untuk kemudian dapat mengimbangi kekuasaan. Jadi, untuk memperjuangkan
demokrasi kita tidak perlu meminta-minta kepada penguasa. Straegi yang paling
tepat dalam memperjuangkan demokrasi adalah memperkuat civil society,
sehingga nantinya ada keseimbangan antara pemerintah dengan masyarakat sipil.
Pertanyan yang muncul adalah mengapa demokrasi yang
sebenarnya belum terjadi di Indonesia. Menurut saya, hal ini disebabkan karena
masyarakat sipil di Indonesia, khususnya pada kelas menengahnya, terpecah.
Alasannya, bahwa biasanya yang menjadi pilar kekuatan masyarakat sipil di suatu
negara adalah kelas menengah (oleh karena kekuatan ekonominya). Kalau kelas
menengah menjadi semakin kaya dan semakin kuat, maka ia bisa menjadi salah satu
pilar kekuatan dalam negara. Demokrasi yang didasarkan pada kekuatan kelas
menengah ini disebut ”demokrasi borjuis”. Di sisi lain, berkembang demokrasi
jenis lain yaitu ”demokrasi kerakyatan”. Demokrasi ini berakar pada rakyat
untuk memperjuangkan hak-hak rakyat, seperti hak-hak buruh, wanita, petani dan
sebagainya. Jika demokrasi borjuis dan demokrasi rakyat bersatu, maka
masyarakat sipil akan semakin kuat. Namun penulis menemukan bahwa yang terjadi
di Indonesia adalah kelas menengah terpecah-pecah, antara pribumi dan Cina.
Keduanya tidak bersatu; malah kelompok Cina cenderung menguat. Kalau keadaannya
seperti ini, sulit sekali berharap akan adanya perjuangan demokrasi dari kelas
menengah. Sebagai minoritas, orang cina pasti akan takut sekali berpolitik,
sebab bisa kehilangan perlindungan dari negara terhadap mayoritas pribumi.
Sehingga mereka lebih senang bila ada kekuatan otoriter yang dapat melindungi
mereka. Hal-hal seperti ini mengindikasikan bahwa penguatan civil society
membutuhkan waktu yang lama justru karena secara ke dalam belum terintegrasinya
kelompok-kelompok sipil dalam masyarakat.
MENJADI
PEMIMPIN YANG DEMOKRATIS
Locke berpendapat bahwa: ”terbentuknya dunia politik
atau negara didahului oleh keberadaan individu-individu yang memiliki hak-hak
kodrati atau keadaan alamiah”. Keadaan alamiah ini adalah keadaan kebebasan, tetapi
bukan keadaan di mana orang berbuat sekehendaknya. Individu tersebut terikat
oleh kewajiban kepada Allah dan diatur oleh ”hukum kodrat” Saya sependapat
dengan Locke bahwa kekuasaan tertinggi yaitu kedaulatan yang tetap menjadi milik
rakyat sedangkan negara absolut dan penggunaan kekuasaan penguasa yang
semena-mena tidak sesuai dengan tujuan masyarakat. Hemat saya, kewajiban
pemerintah dalam politik yang demokratis adalah memberlakukan hukum dan
ketertiban di dalam negara dan melindungi agresi dari luar. Apabila rakyat
bebas dari tirani, otoriter penguasa, maka rakyat bisa menikmati kekuasaan yang
memuaskan untuk mewujudkan kepentingan mereka sendiri, yaitu dengan usahanya
sendiri untuk memenuhi kebutuhan dan mengembangkan kemampuannya. Negara dalam
hal ini pemimpin perlu menjadi pengatur dan pelindung masyarakat.
Untuk
menjalankan tugas ini maka di sini saya menguraikan empat kewajiban dari
pemerintah yang harus dipegang untuk menjamin fungsi pemerintahan yang
demokratis demi kepentingan rakyat. Pertama, kekuasaan legislatif tidak
boleh digunakan untuk mengatur hidup dan nasib rakyat secara sembarangan. Hal
ini bisa terjadi demikian karena hukum kodrat menurut Locke masih berlaku. Kedua,
kekuasaan tidak boleh dijalankan tanpa pertimbangan. Artinya bahwa dalam
pelaksanaan politik pemerintah perlu membuat pertimbangan yang bijaksana dalam
pengambilan suatu keputusan menyangkut kepentingan bersama. Ketiga,
pemerintah tidak boleh mengambil hak milik orang tanpa persetujuan. Ini berarti
pemerintah perlu menghargai hak milik orang lain seperti orang lain menghargai
otoritas kepemimpinannya. Keempat, kekuasaan legislatif tidak dapat
dialihkan kepada orang lain dan harus tetap berada pada kelompok yang menjadi
wakil rakyat.
Pemimimpin
menjadi tidak sah karena melanggar kepercayaan masyarakat dan hukum kodrat yang
menjurus pada tirani dan otoriter, dengan akibat pemberontakan dan pembubaran
pemerintahan. Negara berhak membuat hukum (kekuasaan legislatif) dan untuk
membuatnya dilaksanakan (kekuasaan eksekutif). Batas-batas kekuasaan negara
ditetapkan ole hak-hak warga negar. Negara dibentuk untuk membela hak-hak itu.
Karena itu, warga negara juga berhak memberontak terhadap kekuasaan negara bila
negara bertindak otoriter dan bertentangan dengan tujuan pembentukannya.
Menurut saya, orang menjadi pemimpin yang demokratis
berawal dari kesediaan individu untuk bersedia dipilih oleh rakyat untuk masuk
dalam jaringan kekuasaan. Tugas utama pemimpin di sini adalah hadir dan ada
untuk mengatasnamakan perjuangan rakyat. Konsekuensinya, pemimpin yang
demokratis ini mesti bersuara, berkiblat komitmen dan melaksanakan sepak
terjangnya dengan mengandalkan senjata aspirasi rakyat. Menjadi pemimpin
demokratis yang berkualitas ini yang merupakan harapan dan kerinduan rakyat.
Kepercayaan rakyat terhadap pemimpin yang demokratis akan semakin tinggi jika
di dalam diri figur pemimpin itu tereksplisitasi jelas kriteria-kriteria ideal
masyarakat itu sendiri. Figur pemimpin demokratis ideal identik dengan konsep
politisi merakyat. Konsekuensinya, pemimpin yang demokratis ini harus bertarung
dalam kancah politik secara fair dan elegan dengan tetap beropsi untuk pro
kepentingan rakyat. Untuk tujuan ini, senjata yang bisa diandalkan adalah dunia
politik. Politik ini dapat membawa keteraturan. Tiada apapun yang berjalan
teratur dalam hidup manusia tanpa politk. Mustahil suatu kemajuan yang
signifikan dalam hidup manusia tanpa politik. ”Politiklah yang mengatur
berbagai dimensi hidup manusia. Maka makna dasar politik sebagai pengelolaan
negara dan masyarakat selalu dimengerti sebagai kepandaian, seni dan teknik
mengelola dan menyelenggarakan kehidupan bersama dalam masyarakat dan
kelompok.”
TRANSFORMASI
KEKUASAAN DARI YANG OTORITER MENUJU KEKUASAAN YANG DEMOKRATIS
Pada masa Orde Lama aliran
demokrasi ditandai oleh
tersentralisasinya kekuasaan pada elite-elite partai politik. Masyarakat berada
pada posisi terasing dan berada di pinggir arus garis proses politik. Situasi
ini membawa konsekuensi kehancuran serta memungkinkan terjadinya konflik dan
banyak perpecahan antarelite partai. Pertentangan ini merupakan sebuah langkah
strategis merebaknya pertentangan politik dan kepentingan yang tidak
dikendalikan lagi. Hal ini semakin diperkuat oleh sistem perpolitikan dalam
masa Orde Baru. Masa Orde Baru ditandai oleh monopoli kekuasaan para penguasa.
Partisipasi politik sebatas dilakukan oleh para elite dan militer. Negara
menunjukkan peranan yang dominan. Inisiatif dan
partisipasi rakyat tidak mendapat ruang pengekspresiannya yang terbuka. Strategi politik bertopang pada kekuatan
negara sementara itu rakyat ditempatkan sebagai instrumen dan objek politik.
Dalam masyarakat
majemuk dengan pembagian kekuasaan tertentu, konflik menjadi bagian yang tak
terpisahkan bila pembagian itu tidak mengedepankan asas keadilan. Pelbagai posisi yang ada di dalam masyarakat memiliki otoritas atau
kekuasaan dengan intensitas yang berbeda-beda. Kekuasaan atau otoritas itu
tidak terdapat secara intrinsik di dalam pribadi-pribadi melainkan dalam posisi
yang mereka tempati. Kekuasaan atau otoritas selalu mengandung dua unsur, yakni
penguasa dan orang yang dikuasai. Mereka yang menduduki posisi sebagai penguasa
sebenarnya bertugas mengontrol orang-orang yang dikuasai. Namun, Apabila kita
menoleh pada catatan sejarah, selama tiga dasawarsa, ”Indonesia bagaikan
kamar gelap di Asia Tenggara; penguasanya adalah diktator militer”. Begitu
pula dengan situasi politik Itali zaman machiavelli. Tiba-tiba pecah reformasi
dan terjadilah suatu transformasi yang baru. Hemat saya, Orde Baru telah
menciptakan pelbagai krisis dan problem dengan rezim Otoriternya Soeharto,
namun krisis ini tidak mampu bertahan lama karena ada perjuangan melawan
praktik politik yang demikian. Akan tetapi, karena kontrol dan kritik yang
diperjuangkan tidak pernah diberi tempat, maka keruntuhan system menjadi akut
lantaran pikiran-pikiran alternatif dan kritik-kritik transformatif untuk pembaharuan bermunculan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar