Reformasi Birokrasi Pemerintah
Provinsi NTT Menuju Kegagalan
Oleh:
Alexander B. Koroh dan Ondy
Siagian
Peluncuran road map (peta jalan) Reformasi Birokrasi
(RB) pemerintah Provinsi NTT yang telah diluncurkan oleh Gubernur NTT pada tanggal 28 Oktober 2013, sempat memberikan
secercah harapan terhadap perbaikan, perubahan signifikan pada organisasi
sektor publik dalam lingkup pemerintah Provinsi NTT. Alih-alih menunjukkan
adanya perbaikan dan perubahan yang signifikan yang terjadi justru sebaliknya.
Pemerintah Provinsi NTT melakukan organizing (pengorganisasian) organisasi
sektor publiknya ke arah yang bertentangan dengan arah reformasi birokrasi itu
sendiri. Hal ini tampak jelas pada profiliriasi beberapa agency (dinas, badan,biro)
seperti dimunculkannya kembali Dinas Pemuda dan Olah Raga, Badan Penelitian dan
Pengembangan, Badan Kepegawaian Daerah, Badan Pemberdayaan Perempuan, dan Biro
Humas. Seiring dengan itu, mutasi dan rotasi jabatan yang baru dilaksanakan
pada tanggal 31 Desember 2013 belum dilakukan dengan metode terbaik dalam pengembangan karir aparatur di
provinsi ini. Oleh karena itu, tidaklah
mengherankan muncul banyak komentar miring dan pergunjingan berkepanjangan
tentang hasil promosi dan mutasi jabatan yang baru dilakukan tadi.
Inkonsistensi
Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dalam sambutannya pada
Seminar Nasional di Yogyakarta tentang Tantangan dan Peluang Reformasi
Birokrasi di Indonesia (2/6/2012) mendefinisikan bahwa “Reformasi birokrasi merupakan perubahan besar dalam paradigm dan tata kelola pemerintahan Indonesia.” Selanjutnya ia
menegaskan
"Reformasi birokrasi juga bermakna sebagai sebuah pertaruhan besar bagi bangsa Indonesia dalam mengarungi abad ke-21."
Cendikiawan pada
managemen publik sepakat bahwa perubahan
paradigma pada organisasi publik biasanya terjadi dalam tiga paradigma. Yakni
paradigma Birokrasi Weber, New Public
Management (NPM), dan Governanceyang
dalam praktek terbaiknya disebut good
governance.Model Birokrasi Weber biasanya berorientasi pada input, NPM
berorientasi pada output dan Governance berorientasi pada outcome. Dalam konteks Indonesia pada umumnya terjadi campur aduk
elemen-elemen pada ketiga paradigma tadi plus penyakit birokrasi khas
Indonesia. Contohnya, Dinas, Badan, Biro, Kantor masih memiliki hirarki jabatan
struktural 3 sampai 4 level, hal ini merupakan ciri dari Model Birokrasi Weber.
Pada saat yang sama, agency tadi juga memiliki Rencana Strategis yang merupakan salah satu unsur penting dari
NPM, sembari menetapkan pencapain kinerja sampai pada indikator kinerja
outcome, yang sejatinya merupakan elemen dari Governance. Tambahan pula,
pertimbangan politik yang irasional menyebabkan terjadinya kerusakan
padapengelolaan organisasi sektor publik yang rasional dalam bingkai management
publik.
Diskripsi di
atas menunjukan ketidakkonsistenan pemerintah Provinsi NTT dalam melakukan RB
bila ditinjau dari sudut pandang grand
designnya. Kebijakandan program reformasi birokrasi yang tertuang dalam Grand Design dan
Road Map, antara lain, mencakup berbagai langkah perubahan di semua aspek manajemen pemerintahan dari aspek organisasi, tatalaksana,
sumber daya manusia aparatur, peraturan perundang-undangan,
pengawasan, akuntabilitas, pelayanan public dengan melakukan perubahan budaya kerja aparatur. Implementasi dari kebijakan dan program RB dilakukan melalui proses yang
terdesentralisasi, serentak, dan bertahap serta terkoordinasi (Sambutan
Menpan dan RB, Yogyakarta, 2/6/2012).
Secara faktual
agency pada organisasi sektor publik dalam lingkup Pemerintah Provinsi NTT
sudah terlalu banyak yakni di atas 40 SKPD. Dengan dilakukannya penambahan
beberapa SKPD baru maka kini jumlahnya semakin gemuk. Apapun alasan dibalik
pembentukkan SKPD-SKPD tadi secara rasional dan empiris harusnya yang dilakukan
oleh Pemerintah Provinsi NTT adalah perampingan atau meminjam istilah Osborn
adalah banashing bureaucracy
(pemangkasan birokrasi). Sedihnya, yang dilakukan Pemerintah Provinsi NTT
bertentangan dengan logika reformasi birokrasi.
Dengan demikian efisiensi, efektifitas, dan ekonomis sebagai tujuan yang
harus dicapai oleh organisasi sektor
publik tidak pernah tercapai karena
organisasi sektor publik telah menyerap anggaran terlalu banyak untuk
menghidupi dirinya sendiri ketimbang untuk kepentingan dan kebutuhan publik.
Sejatinya
pembentukkan suatu organisasi sektor publik tertentu didasarkan pada paling
kurang 2 (dua) hal besar. Pertama, didasarkan pada core business (urusan inti) pemerintah, yang oleh salah seorang
pakar pemerintahan Indonesia, Prof.DR. M. Ryaas Rasyid mendefinisikannya ke
dalam 7 (tujuh) tugas-tugas pokok pemerintahan. Dari 7 tugas-tugas pokok
dimaksud jika dijabarkan secara lebih luas dan dalam, sebut saja jika setiap
tugas pokok tadi dikalikan 5 tugas pokok sebagai uraiannya maka akan ada 35
tugas pokok pemerintahan. Agar tugas pokok pemerintahan tadi dapat dijalankan
dengan baik, terkendali dan mencapai hasil yang optimal maka dibentuk 35
organisasi sektor publik sesuai dengan tugas-tugas pokok yang ada. Pada titik
ini kita dapat melihat dengan jelas betapa profiliriasi atau pengembagbiakan
SKPD pada lingkup Pemerintah Provinsi sudah kebablasan, sudah sangat
berlebihan. Kedua organisasi sektor
publik dibentuk karena memang individu dan masyarakat (baca: publik)
membutuhkannya. Jika kita bertanya,
apakah publik membutuhkan Badan Kepegawaian Daerah (BKD) dan Badan Litbang
Provinsi NTT? Jawabanya menurut hemat saya, ‘tidak’. Alasannya keberadaan BKD tidak
untuk memenuhi kebutuhan publik, tetapi lebih untuk mengurus administrasi kepegawaian
para pegawai. Oleh karena itu, dengan posisinya pada level Biro (eselon II.B)
sudah memadai. Demikian pula halnya dengan Balitbang Pemerintah Provinsi NTT,
hemat saya agency ini tidak dibutuhkan oleh publik, karena ia lebih untuk
kepentingan para pengambil keputusan, namun sayangnya selama ini hampir semua
hasil penelitian bidang ini belum dimanfaatkan oleh Pemerintah Provinsi secara
optimal. Yang lebih penting lagi pemerintah provinsi dapat bekerja sama dengan
lembaga penelitian universitas di provinsi ini dan dapat menggunakannya. Oleh
karena itu dapat pula dikatakan, jika pertanyaan di atas disodorkan pada setiap
SKPD pemerintah provinsi NTT yang telah ada, maka kita dapat sampai pada
kesimpulan logis bahwa banyak SKPD yang tidak relevan dengan kebutuhan publik,
oleh karena itu harus ditiadakan.
Pada bagian
lain, promosi, mutasi, dan rotasi jabatan struktural yang baru diselenggarakan
pada akhir tahun lalu, metodenya sangat ketinggalan dan sudah kadaluwarsa.
Metode seleksi mekanisme tertutup yang dilakukan oleh Baperjakat dan disetujui
oleh Gubernur sangat tidak sejalan dengan semangat reformasi dan merit system
dalam pengembangan karir aparatur sipil negara. Metode seleksi saat ini
cenderung picik, otoriter, dan karena itu menempatkan aparatur yang jujur,
berkompetensi bagus selalu pada posisi yang diabaikan. Metode ini sangat rentan
pada pemenuhan kepentingan pribadi/kelompok pihak yang berkuasa ketimbang
kepentingan publik. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika hampir semua
orang Indonesia kagum dan bangga dengan metode ‘lelang jabatan’ yang dilakukan
oleh Jokowi karena metode ini dapat menghasilkan pejabat terbaik yang berguna
bagi pemenuhan kepentingan dan kebutuhan publik.
Merujuk pada penjelasan di atas, tampak
jelas apa yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi NTT terkait dengan pembentukan
beberapa SKPD baru dan promosi, mutasi dan rotasi jabatan yang baru lalu
bukanlah quick wins, tetapi suatu blunder yang dapat menjadi indikasi
gagalnya reformasi birokrasi pada level pemerintah provinsi NTT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar