ETIKA LINGKUNGAN:
SOLUSI PENCEGAHAN BENCANA BANJIR
Oleh : Gregorius
Mau Tae, S. Fil
(Widyaiswara Badan Diklat Provinsi
NTT)
Pendahuluan
Bulan Januari
2014 telah berlalu tetapi sulit dilupakan karena telah menyisakan kisah pilu
seputar bencana banjir. Kisah ini didasarkan pada kenyataan bahwa sepanjang
bulan Januari kita disuguhkan dengan berita tentang bencana banjir yang melanda Jakarta dan sekitarnya serta wilayah
lainnya di negeri ini. Koran dan televisi merupakan dua media yang paling santer memberitakan warta tragis
tersebut. Juga internet sebagai media online
senantiasa meng-update bencana yang satu
ini. Anehnya, barangkali lantaran telah dekat dengan pemilu pada April mendatang
sehingga banjir dijadikan ajang politik orang-orang atau partai tertentu. Ada
yang menjadikan banjir sebagai kesempatan untuk mengangkat nama dengan kemasan
sumbangan kepada para korban banjir, atau juga sebagai alat untuk menohok lawan
politik.
Terlepas dari
semua fakta tersebut, tiada seorang pun yang mendambakan banjir, tetapi bila
banjir datang, siapa yang bisa membendungnya. Satu yang pasti, orang akan
berharap moga-moga
banjir segera berhenti, dan semua orang bisa segera beraktivitas dengan normal
kembali. Misalnya, sebagai ibu kota negara, Jakarta memang sarat dengan berbagai
persoalan. Salah satu persoalan yang dari dulu sampai sekarang belum tertangani
dengan baik adalah masalah banjir. Hampir setiap tahun, terutama di musim penghujan pada
periode Oktober-Pebruari, warga Jakarta tidak pernah merasa tenang. Bencana ini selalu
datang meskipun tidak pernah diundang. Bagi masyarakat yang tinggal di pinggir
sungai-sungai yang membelah Jakarta, masalah banjir ini sudah menjadi agenda
rutin di musim penghujan. Dan kini banjir melanda wilayah lebih luas memasuki
jalan-jalan
utama. Menurut Dan satgas Banjir Korps
Marinir Mayor Afin Dudun dalam pernyataan tertulis di Jakarta, Sabtu (25/1), ada lima titik banjir di
Jakarta, yakni Kapuk Muara, Penjaringan, Teluk Gong,
Kampung Pulo dan Daan
Mogot arah Cengkareng. Meskipun belum ada korban jiwa, hingga hari Kamis, 30
Januari 2014 jumlah korban yang mengungsi di sejumlah posko mencapai 16.866
jiwa (metronews.com).
Di
Manado, Sulawesi Utara bencana banjir bandang terjadi di enam kabupaten/kota
(Kota Menado, Minahasa Utara, Kota Tomohon, Minahasa, Minahasa Selatan, dan
kepulauan Sangihe) secara bersamaan (regional.kompas.com). Menurut Sutopo P.
Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, bencana ini terjadi akibat bencana alam dan
antropogenetik yang memicu bencana banjir bandang dan longsor di Sulawesi
Utara, merenggut nyawa 13 orang, 2 orang hilang, 40.000 orang mengungsi.
Mengingat
curah hujan cukup tinggi, Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) lewat
Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi NTT mengeluarkan ultimatum
siaga banjir untuk beberapa kabupaten yang sering menjadi langganan banjir,
seperti Malaka, TTU, Sumba Barat dan Manggarai. Menurut beberapa media masa
lokal, seperti Pos Kupang, dan Timor Express, belum ada korban jiwa, namun banjir
telah menyebabkan ribuan hektar areal persawahan di NTT khususnya TTU gagal
tanam. Pemberitaan tersebut juga terangkum oleh metronews.com dan kompas.com,
bahwasanya banjir telah mengenangi rumah penduduk di Desa Ponu, Kabuapten Timor
Tengah Utara, dan menghanyutkan bus jurusan Kefa-Oepoli yang berpenumpang 30
orang.
Perlunya Pergeseran Paradigma
Berdasarkan
fakta empiris di atas, upaya penanggulangan harus dilakukan. Mengingat bencana
banjir merupakan bencana tahunan yang terjadi setiap tahun, berbagai upaya
penanggulan telah dilakukan lewat pembenahan dan pembangunan infrastruktur.
Tetapi sejauhmanakah keberhasilan dari pembangunan tersebut? Bila belum
berhasil, lantas kita berpasrah pada nasib?
Hemat penulis, untuk mengatasi banjir tidak hanya sekedar melakukan
pembenahan infrastruktur. Persoalan banjir, dan
persoalan lingkungan (termasuk persoalan sosial) lainnya tidak bisa diatasi
dengan sains atau teknologi. Persoalan banjir di Jakarta dan daerah-daerah lain selalu coba diatasi dengan
teknologi: membuat banjir kanal, sodetan, ruang terbuka hijau, pengerukan,
penampung air bawah tanah, dan solusi teknologis lainnya. Terbukti sains dan
teknologi tidak menyelesaikan persoalan. Sudah saatnya kita, pengambil
kebijakan, dan masyarakat menggeser dominant social
paradigm, yang hanya mencari untung besar saja, menguras
kekayaan alam dan menyebabkan munculnya berbagai persoalan sosial seperti
kemiskinan, konflik sosial, diskriminasi, dan memunculkan berbagai persoalan
lingkungan seperti banjir, polusi dan lain sebagainya ke enviromental paradigm (paradigma lingkungan).
Sadar atau tidak, manusia sesungguhnya tidak memiliki hak untuk memodifikasi
lingkungan alam sesuai dengan kebutuhannya dan tanaman dan binatang sebaliknya
mempunyai hak untuk hidup seperti juga manusia. Kenyataannya,
perilaku masyarakat memberikan
kontribusi besar bagi masalah lingkungan. Perilaku-perilaku masyarakat tersebut tercermin
dalam:
1)
Perilaku tidak peduli lingkungan. Hal ini ditunjukkan
dengan pengelolaaan sampah yang buruk, sekedar memindahkan sampah dari rumahnya
ketempat penampungan sampah atau cara tercepat membuangnya ke sungai. Bila kita bandingkan dengan negara
terdekat kita, Singapura yang dengan konsep “Eco City” mendaur ulang seluruh
material sampah dan memetabolismenya dalam sistem ekologis. Singapura
amat didukung oleh sikap warganya yang patuh memilah dan memilih sampah, tetapi di negeri
ini nampaknya
ada
masyarakat
yang tidak patuh serta tidak peduli, seringkali bertindak hanya pada
level pribadi “semau gue”.
2)
Perilaku tamak dan rakus, dengan dalih pembangunan perkotaan berkonsep
Megapolitan. Dengan tujuan mensejajarkan diri dengan
kota-kota lain
di dunia,
para pengembang dan para perencana kota melahap begitu saja lahan-lahan yang semula dimanfaatkan untuk Ruang Hijau dan
Terbuka (RHT)
serta untuk resapan air. Meski mereka berdalih membuat hunian bernuansa alami
dengan sejuta pesona bunga atau hutan kota toh tetap mengurangi wilayah yang
diperuntukkan sebagai area konservasi air.
3)
Perilaku menghalalkan segala cara. Hal ini terjadi karena tekanan dan himpitan ekonomi
serta kompetisi yang cepat dalam meraih semua peluang maka masyarakat perkotaan punya dalih “terpaksa” mereka membangun gubuk-gubuk liar ataupun
bangunan permanen di sekitar bantaran sungai. Sesungguhnya mereka tahu konsekuensinya
tapi karena dalih keterpaksaan maka dilakukan juga.
4)
Perilaku arogan. Wacana relokasi warga dari sekitar
bantaran sungai akan memacu perlawanan dan bahkan perilaku anarkis lainnya
terhadap upaya penertiban. Warga akan bertahan dengan segala alasan mulai dari ganti
rugi, ekonomi, sosial ataupun jargon yang naïf sekalipun akan dilakukan
misalnya“bersahabat dengan banjir”.
5)
Sikap skeptis, terlalu lama berada dalam pusaran masalah banjir yang
berulang tiap tahun membuat warga bersikap pasrah “habis mau bagaimana lagi”.
Menyoal paradigma lingkungan, menurut Menteri Kehutanan (Menhut)
Zulkifli Hasan (metronews.com) saat membuka Jambore Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH)
se-Karesidenan Kediri di Waduk Wonorejo, Tulungagung, Jawa Timur, Senin (20/1/2014), bencana banjir di Jakarta
dan di Manado awal 2014 diakibatkan kurangnya pemenuhan kaidah lingkungan. Maka ia mengajak semua elemen
bangsa untuk lebih bijak dalam pengelolaan lingkungan khususnya hutan. Jika kita mengabaikan
kaidah-kaidah lingkungan, sekarang ini kita merasakan dampaknya terjadi bencana
banjir dan tanah longsor di mana-mana. Hutan merupakan salah satu sumber
kehidupan bagi seluruh makhluk hidup di muka bumi. Sumber daya hutan berperan
penting sebagai penyangga kehidupan sekaligus menyediakan barang dan jasa
lingkungan yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Keberadaan hutan yang baik sangat
menunjang kesejahteraan masyarakat. Hutan Indonesia juga sangat
berpengaruh terhadap kualitas kehidupan global, khususnya yang terkait dengan
mitigasi dan adaptasi perubahan iklim (climate
changes). Oleh karena itu, sejalan dengan amanat Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945, sudah sepatutnya sumber daya hutan diurus, dikelola, dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat Indonesia, baik generasi
sekarang maupun generasi yang akan datang.
Sebab itu, merupakan sebuah kewajiban dari pemerintah untuk
dapat menjaga kondisi hutan dari kerusakan, serta tetap dapat mensejahterakan rakyatnya.
Perum Perhutani memiliki sebuah program yang sangat baik yaitu Program
Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Di dalam program ini terjadi
kolaborasi yang bersinergi antara Perum Perhutani dan masyarakat desa hutan
atau para pihak yang berkepentingan dalam upaya mencapai keberlanjutan fungsi
dan manfaat sumber daya hutan yang optimal dan peningkatan Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) yang bersifat fleksibel, partisipatif dan akomodatif.
Jadi yang perlu dibenahi
bukan hanya sekedar infrastruktur saja tetapi bagaimana cara pandang masyarakat
terhadap lingkungannya. Masalah banjir menjadi masalah moral yang
penyelesaiannya harus dilandasi etik moral dalam hal ini etika lingkungan.
Etika Lingkungan: Refleksi Preventif Bencana Banjir
Tak dapat
dipungkiri, masyarakat sudah mengetahui betapa pentingnya
menjaga lingkungannya tetapi masih saja terjadi kerusakan atau masalah terkait
penurunan kualitas lingkungan. Mengapa? Apakah masyarakat sudah melupakan
hal ini atau sudah kehilangan rasa cinta pada lingkungannya, pada alamnya? Bagaimanakah sesungguhnya
masyarakat memahami lingkungan dan bagaimana cara menggunakannya? Perhatian pada isu
lingkungan ini juga memunculkan pertanyaan tentang bagaimana keterkaitan dan
hubungan dengan generasi yang akan datang? Bagaimana situasi alam atau
lingkungan di masa yang akan datang? Kita tidak akan pernah tahu secara pasti wujud
lingkungan di masa yang akan datang. Karenanya ada teori etika lingkungan yang secara khusus
memberi bobot pertimbangan pada kepentingan generasi mendatang dalam membahas
isu lingkungan ini.
Para penganut utilitirianisme, secara khusus memandang
generasi yang akan datang dipengaruhi oleh apa yang
dilakukan sekarang. Apapun yang dilakukan pada lingkungan akan mempengaruhi
generasi mendatang. Pernyataan ini turut memunculkan beberapa pandangan tentang etika
lingkungan dengan kekhususannya dalam pendekatannya terhadap alam dan
lingkungan. Sony Keraf dalam bukunya “Etika
Lingkungan” menjelaskan salah satu pendekatan terhadap lingkungan yang menekankan
bahwa lingkungan sebagai sarana untuk kepentingan manusia, yang bersifat antroposentris adalah etika ekologi dangkal. Etika ini biasanya diterapkan
pada filsafat rasionalisme dan humanisme serta ilmu pengetahuan
mekanistik yang kemudian diikuti dan dianut oleh banyak ahli lingkungan. Kebanyakan ahli lingkungan
ini memiliki pandangan bahwa alam bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia.
Etika ini dapat
digolongkan menjadi dua yaitu etika antroposentris yang menekankan segi
estetika dari alam dan etika antroposentris yang mengutamakan kepentingan generasi
penerus. Etika ekologi dangkal yang berkaitan dengan kepentingan estetika
didukung oleh dua tokohnya yaitu Eugene
Hargrove dan Mark Sagoff. Menurut
mereka etika lingkungan harus dicari pada aneka kepentingan manusia, secara khusus
kepentingan estetika. Sedangkan etika antroposentris yang
mementingkan kesejahteraan generasi penerus mendasarkan pada perlindungan atau
konservasi alam yang ditujukan untuk generasi penerus manusia atau
keberlanjutannya.
Masyarakat punya pilihan apakah
akan memasukkan etika lingkungan dalam memahami perilakunya
terhadap lingkungan bahkan lebih jauh memasukkan unsur lingkungan
pada ekonomi di mana lingkungan merupakan suatu ekosistem yang terdiri dari
kesatuan sistem antara mahluk hidup, hewan, tumbuhan dan manusia serta faktor
abiotik sehingga dalam perilaku ekonominya mengambil dari lingkungan
sambil memelihara lingkungan akan tercipta suatu istilah yang dikemukakan Callicot “Ecosystem Health “.
Hal sederhana apa saja yang harus
dilakukan masyarakat khususnya di daerah perkotaan seperti Jakarta dalam mengembangkan
perilaku agar memenuhi etika lingkungan? Berikut ini beberapa solusi yang ditawarkan:
1)
Membuang sampah pada tempatnya dengan terlebih dahulu
memilih dan memilah sampah. Tempat sampah perlu disediakan di tiap titik
dari seluruh bagian perkota yang perlu di dukung dan diawasi bersama seluruh masyarakat.
2)
Mengurangi sampah, terutama untuk masyarakat yang tergolong
kaya karena dari catatan ditemukan sampah-sampah tersebut lebih banyak berasal
dari sampah orang kaya .Orang kaya perlu menahan diri dari perilaku memborong
dan berbelanja besar-besaran. Pengenaan pajak untuk orang kaya dengan kepemilikan
barang-barang
tertentu nampaknya perlu dilakukan untuk meredam ketamakan dan kerakusan.
3)
Perlu lebih banyak dikembangkan solidaritas dan gotong royong
seperti yang dilakukan warga Banjarsari di Kecamatan Cilandak Barat
Jakarta Selatan dengan mengorganisasi serta mendaur ulang sampah dengan baik
serta membuat sumur resapan ditiap rumah. Mereka memiliki slogan 4R yaitu: Reduce (mengurangi sampah), Reuse (menggunakan kembali),
Recycle (mendaur ulang) dan Replant (penanaman kembali)
diterapkan pada seluruh komunitas warga Banjarsari bahkan kini
kawasan ini menjadi kawasan wisata agro dari bisnis tanaman hias, obat, sekaligus memperkenalkan
konsep penataan kampung yang bersih, sehat, nyaman, indah serta berwawasan
ekologis.
4)
Bila hanya membebani lingkungan perkotaan dengan hidup di bantaran
sungai, kolong jembatan, lebih baik para pendatang pulang kampung, membangun desanya sendiri
secara mulia dan terhormat.
Pemerintah perlu membuat kajian etik tersendiri untuk mengubah paradigma
pendatang ke kota-kota besar seperti Jakarta.
Penutup
Tiada seorang
pun yang mendambakan bencana banjir, tetapi bila banjir datang, kita sulit membendungnya. Berdasarkan pengalaman,
berbagai upaya penanggulangan telah dilakukan tetapi setiap tahun banjir tetap
menjadi bencana yang menakutkan. Oleh karena itu mudah-mudahan pemahaman
tentang etika lingkungan dapat membuka cakrawala baru. Permenungan akan etika
lingkungan menghantar kita untuk melakukan suatu pergeseran paradigma dari dominant social paradigm ke enviromental paradigm.
Semestinya kita dapat
merenungkan konsep deep
ecology yang diperkenalkan Fritjof Capra. Dengan arif dia mengingatkan bahwa dunia ini bukanlah kumpulan
objek-objek yang terpisah, tetapi lebih merupakan satu kesatuan jaringan yang
saling berhubungan dan saling bergantung satu sama lain secara fundamental. Etika/Moral mendapatkan tempat istimewa, karena
sebagai sistem kendali, Etika/moral harus dapat menjadi barrier tangguh dari segala upaya penyimpangan peradaban. Perubahan
etika/moral ke arah yang
lebih baik akan menjamin perbaikan dan pembangunan dilaksanakan tanpa ada yang
dirugikan, baik manusia maupun alam. Usaha untuk kesejahteraan manusia
dijalankan secara berkelanjutan tanpa harus merusak alam. Kiranya bencana banjir menyadarkan kita tentang bagaimana hidup yang baik,
hidup saling menghargai, saling menghormati dan saling mengingatkan untuk
menjaga dan memelihara lingkungan,
serta dijauhkan dari ketamakan agar tak lagi membabati hutan-hutan di hulu
untuk dijadikan ajang bermegah-megah.
Daftar Pustaka
Baru, Kormensius,
(2010): Banjarsari, Pemukiman Hijau di
Tengah Kota, http://www.businessreview.co.id
Callicot, J Baird (1999) : Beyond the Land Ethic, More Essay in Environmental
Philosophy, State University of New York press, New York
Hargrove, Eugene C, (1989). Foundation
of Environmental Ethics, Prentice Hall, New Jersey
Keraf, Sony, (2010) Etika Lingkugan Hidup, Jakarta, Buku Kompas
Suseno,
F.M., 1991. Etika Sosial, Jakarta,
Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar