Layakkah Jokowi Maju Pada Pilpres 2014?
Alexander B. Koroh
Widyaiswara Diklat Prov. NTT
Pada bulan Mey tahun lalu, Ruhut Sitompul politisi partai
Demokrat dengan lantang mengatakan bahwa Jokowi tidak pantas maju dalam
Pemilihan Presiden (pilpres) tahun 2014. Menurut Ruhut, latar belakang Jokowi
sebagai pengusaha mebel dan Walikota di Kota Solo tidak memberikan bekal
pengetahuan dan pengalaman yang memadai baginya untuk menjadi RI.1, oleh karena
itu ia tidak layak menjadi calon presiden dalam pilpres 2014 (Jakarta Post, 24
May 2013). Tentunya, alasan ketidaklayakan Jokowi untuk maju dalam pilpres 2014
di atas berlebihan, tendensius, dan picik. Tulisan ini akan mengulas beberapa
potensi “keberlayakan” Jokowi untuk menjadi Presiden RI tahun 2014-2018,
ditinjau dari aspek demokrasi dan aspek kepemimpinan.
Aspek demokrasi
Sejak tahun 2006 hingga 2013, Freedom House masih
tetap memberikan skor yang rendah terhadap hak-hak politik dan dan kebebasan
sipil, bahkan untuk kebebasan sipil mengalami sedikit penurunan. Hal ini
mengindikasikan bahwa pertumbuhan demokrasi Indonesia mengalami stagnasi. Atau
dengan kata lain tranisisi demokrasi bangsa ini untuk masuk dalam suatu
demokrasi yang terkonsolidasi/matang/mantap belum terjadi. Bersamaan dengan itu
jumlah pemilih yang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam pemilu terus
meningkat dengan tajam. Seiring dengan itu, masalah kronis korupsi masih terus
menggurita pada semua level birokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, negeri ini
membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menyehatkan dan menguatkan demokrasi
bangsa ini, dan terbebas dari rintangan-rintangan peninggalan rezim Soeharto.
Pada tataran ini, Jokowi adalah sosok yang tepat karena
bebarap hal. Pertama, ia tidak terkait dengan rezim Soeharto, karena sejak ia
memasuki pentas politik lokal dan kepemimpinan pemerintahan serta bahkan dalam
pengembangan binis mebelnya ia terbebas dari pengaruh rezim Soeharto. Hal ini
sangat berbeda dengan Prabowo yang tidak saja pernah menjadi anak mantunya
Soeharto tetapi juga lebih dari itu karir militernya meroket pada era Soeharto.
Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa keterikatannya pada pola, pendekatan,
dan gaya Orde Baru yang otoritarian masih sangat kuat. Dengan demikian, jika
kita ingin menumbuhkembangkan nilai-nilai demokrasi secara sehat sehingga kita
dapat memasuki pada ranah demokrasi yang matang maka Jokowi adalah orang yang
tepat untuk mewujudkannya (Jakarta Post, 24 January 2014).
Kedua, Jokowi adalah satu-satunya Gubernur di Indonesia
yang telah melakukan salah satu elemen reformasi birokrasi yang krusial yakni
‘lelang jabatan terbuka’ pada birokrasi Pemerintah Provinsi DKI. Hal ini
tetntunya berangkat dari pemahamannya yang tepat mengenai pentingnya a
useable bureaucracy (suatu birokrasi yang dapat berguna) dalam
menjalankan berbagai program dan kegiatan yang dapat menjawab kebutuhan dan
kepuasan publik, sebagaiman ditegaskan oleh
Ilmuanilmupolitik Juan J. Linz dan Alfred
Stepan (1997) dalamtulisan mereka
“Toward
Consolidated Democracy” (menujudemokrasi yang mantap/terkonsilidasi). Hal ini sangat penting karena demokrasi dapat
kehilangan makna dikala organisasi sektor publik tidak dapat memenuhi kebutuhan
publik. Pada kondisi dapat terjadi ketidakpercayaan kepada demokrasi dan akan
muncul arus anti demokrasi yang dapat memukul dan melululantahkan demokrasi
yang telah terbangun.
Jika Jokowi terpilih menjadi presiden maka gelombang
reformasi birokrasi dapat berjalan dengan baik dan berlangsung secara massive
pada selurh level birokrasi. Tidak seperti pada saat ini, dalam era
kepemimpinan SBY dimana reformasi birokrasi hanya baru sebatas grand
design dan road map, mungkin ini salah satu titik lemah SBY, pada hal
ia telah menjabat selama 10 tahun, dan reformasi birokrasi sudah mulai
didengungkan beriringan dengan reformasi system politik bangsa ini.
Perspektif Kepemimpinan
Kepemimpinan sangat menentukan keberhasilan suatu
organisasi dalam mencapai tujuannya. Dalam konteks negara Presiden sebagai
pemimpin tertinggi harus memiliki kualitas kepemimpin yang mumpuni. Pendapat Ryaas
Rasyid tentang karakter/sifat dasar yang harus dimiliki seorang pemimpin
pemerintahan dapat membantu kita untuk menakar mutu kepemimpinan Jokowi.
Pertama, seorang pemimpin harus memiliki sensitivitas. Kepekaan adalah sifat
pemimpin yang secara dini memahami apa yang terjadi pada dan dialami oleh para
pengikutnya. Ia tidak hanya bersimpati tetapi juga berempati dengan tulus
terhadap suasana hati, perasaan, dan kehidupan pengikutnya kemudian memcahkan
berbagai masalah yang sedang dihadapi pengikutnya. Karakter kepemimpinan ini,
tampak jelas dimiliki oleh Jokowi. Kemampuannya untuk memindahkan para
pedagang/penjual pasar Klewer ke pasar baru dengan tanpa kekerasan di Solo
adalah salah satu bukti nyata ia memiliki kepekaan yang sangat baik. Demikian
pula, keberhasilannya membuat pasar Tanah Abang menjadi aman dan nyaman,
memulihkan daerah aliran sungai kemudian memindahkan penduduk di areal bantaran
sungai ke rumah susun yang telah disiapkan pemerintah Provinsi DKI, adalah
hasil nyata yang patut diapresiasi. Hemat penulis, kualitas Jokowi dalam hal
kepekaan ini, jauh lebih baik dibandingkan dengan kandidat lain seperti
Prabowo, Wiranto, Aburizal Bakrie dan kandidat lainnya.
Kedua, seorang pemimpin harus memiliki karakter
responsif. Karakter kepemipinan ini hampir sama dengan karatker sensitif.
Perbedaannya adalah, jika pada karater kepekaan, pemimpin lebih berinisiatif
dan kreatif dalam mengamati dinamika kehidupan pengikutnya kemudian memberikan
pemecahan terbaik terhadap berbagai permasalahan publik yang dihadapi, pada
karakter resoponsif pemimpin menempatkan diri sebagai pendengar yang baik. Ia
dengan rendah hati dan tulus mendengar semua keluh kesah dan permasalahan
pengikutnya. Kemudian menggunakan seluruh sumberdaya publik yang ada untuk
menjawab kebutuhan dan tuntutan pengikutnya. Aktivitas “blusukan”Jokowi yang
turun langsung bertemu dengan warga Jakarta adalah bentuk nyata
terinternalisasinya karakter ‘ketanggapan’ ini dalam dirinya. Hemat penulis,
dari tutur kata, mimik dan bahasa tubuh ketika ia melakukan setiap kunjungan pada
warganya tampak tidak dibuat-buat, dilakukan secara informaldan terkesan sederhana,
lugu dan apa adanya. Oleh karenanya adalah tidak tepat bila perkunjugan
dimaksud diklaim sebagi tindakan untuk ‘pencitraan’.
Masih menurut Rasyid, ada dua karakter kepemimpinan
lainnya yakni defensif dan represif. Kedua karakter ini bersifat negatif dan
destruktif yang akan melahirkan kepemimpinan pemerintahan yang otoriter bahkan
totaliter. Mungkin kita sepakat bahwa rekam jejak Jokowi tidak mengindikasikan
bahwa ia memiliki dua karakter buruk ini. Sebaliknya mungkin rekam jejak
kandidat lainnya mengindikasikan mereka memiliki karakter buruk dimaksud.
Kejadian Mei berdarah 1998, pertumpahan darah saat berpisahnya provinsi Timor
Timur dari Indonesia, dan kasus Lapindo, menunjukkan bahwa para kandidat
Presiden yang mewakilii kejadian-kejadian tersebut pernah memiliki salah satu
atau mungkin kedua-duanya karakter buruk di atas, yang mungkin akan muncul
kembali saat mereka menjadi Presiden. Tentunya hal tersebut sangat berbahaya
bagi demokratisasi bangsa Indonesia.
Merujuk pada analisa ringkas di atas, tampak jelas bahwa
pendapat tentang ‘ketidakberlayakan Jokowi’ untuk mengikuti pilperes 2014 adalah
tidak tepat. Bahkan bila ditinjau dari perspektif demokraratisasi dan
kepemimpinan pemerintahan di Indonesia, tampak jelas bahwa adalah baik bagi
bangsa Indonesia apabila ia menjadi Presiden RI paska pemerintahan SBY.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar