Oleh:
Katarina Nikmat, SE., M.A.P
Kupang, Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur, disebut
banyak kalangan terutama orang Jakarta, sebagai provinsi terbelakang dari berbagai
aspek, terutama ekonomi. Tetapi, dinamika para penghuni kota nyaris tidak kalah
dengan dinamika kota besar lainya di Indonesia.
Dalam transportasi lalu lintas di Kota Kupang, misalnya, tak beda jauh
dengan ingar bingar kota lain. Kesan semrawut dan tidak patuh pada aturan lalu
lintas menjadi pemandangan yang khas. Sikap disiplin para pengguna jalan dan
pengednara kendaraan sering ditentukan oleh pengatur lalu lintas. Dengan kata
lain, disiplin berlalu lintas tidak menjadi sikap mental para pengendara,
melainkan ditentukan oleh polisi lalu lintas. Hal ini tampak di beberapa jalur
utama di Kota Kupang. Para pengendara barulah akan disiplin jika lalu lintas
dikontrol Polisi Lalaulintas
Pemandangan ini tampak setiap Senin
hingga Jumat pukul 06.30 sampai 07.45 Waktu Indonesia Tengah (Wita). Hari Sabtu dan Minggu tidak ada kontrol
ketat serupa. Kontrol lalu lintas ini
memang efektif sehingga arus lalu lintas berjalan lancer dan para pengguna
jalan pun nyaman.
Umumnya, para pengguna jasa jalan pada kondisi macet itu adalah para anak sekolah Taman
Kanak-Kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Umum (SMU). Mereka ini adalah penerus
dan pewaris masa depan bangsa. Mereka mesti dididik untuk menjadi mandiri dan
bertanggung jawab terhadap diri sendiri, entah dimulai dari rumah dan juga di jalan
umum maupun di sekolah.
Di
beberapa jalur utama, yaitu perempatan
depan POLDA NTT, tepat di depan POLDA
NTT dan depan SD Bertingkat Naikoten, hingga
kini belum ada rambu lalu lintas yang memadai. Padahal dalam pengamatan penulis
kawasan ini salah satu jalur yang
dipakai para anak sekolah pejalan kaki saat masuk atau keluar sekolah.
Saya berpendapat, di kawasan lalu lintas pejalan
kaki ini diperlukan sedikitnya empat orang petugas lalu lintas untuk mengatur
kelancaran lalu lintas, nyebrang jalan pergi pulang. Hal serupa juga terjadi di jalur depan SD Santu Yosef naikoten, pintu
belakang kantor POLDA NTT. Di tempat ini pun setiap pagi dan jam pulang
sekolah macet. Memang di daerah ini, petugas
lalu lintas sigap mengatur arus bolak balik para anak sekolah hingga teratur.
Saya senang dan bangga melihat dan mendapatkan
pelayan para petugas lalu lintas di situ.
Para pengguna jalan taat aturan, taat pada aba-aba petugas lalu lintas. Meski demikian, saya melihat masih banyak
titik kemacetan tersebar di Kota Kupang, sebagaimana antara lain terjadi depan Kampus
Universitas katolik Widya Mandira. Meski di sana ada jembatan penyeberangan,
tetapi para siswa dan mahasiswa
cenderung tidak di manfaatkan fasilitas tersebut.
Mencerdaskan Pengguna Jalan:
Saya
berpandangan bahwa pengaturan, dan konsistensi serta kepatuhan berlalu lintas
baik para pengatur lalu lintas maupun para pengguna jalan mesti bermakna juga
sebagai media untuk mencerdasakan para pengguna jalan.
Saya, sudah dua tahun lebih sebagai pengguna jalan di jalur ramai ini. Tetapi
kerap saya temukan, para petugas lalu lintas absen. Akibatnya, kemacetan pun
terjadi. Sesama pengguna jalan tidak ada
yang mengalah. Keadaan ini
mengindikasikan bahwa pengguna jalan hanya siap diatur, tetapi tidak bisa
mengatur dirinya sendiri, pengguna jalan
tidak mandiri, sangat bergantung dengan Polisi Lalulintas.
Gejala ini berbahaya jika telah menjadi mentalitas
para pengguna jalan yang umumnya kaum terpelajar generasi penerus bangsa. Mereka tidak sanggup mengatur dirinya, mereka tidak mentaati rambu
rambu lalu lintas, sehingga kesan bahwa disiplin ditentukan oleh kehdairan para
petugas lalu lintas itu begitu kuat. Dengan kata lain disiplin bukan menjadi
nilai yang lahir dan tertanam dalam diri mereka, melainkan nilai yang
ditentukan dari luar.
Bagaimana
agar pengguna jalan terbiasa menggunakan rambu lalu lintas tanpa harus ada
control petugas? Salah satu cara yang paling mungkin dan gampang ialah
menanamkan nilai-nilai disiplin ini mulai dari rumah hingga sekolah ditambah
para petugas lalu lintas dari POLDA dan instansi terkait melakukan sosialisasi
di setiap sekolah. Cara ini, memiliki nilai edukatif untuk membentuk mentalitas
disiplin dari dalam diri sendiri.
Mengubah
Pendekatan Berlalu Lintas:
Kehadiran
aparatus Polisi Lalu Lintas pada jalur macet
di Kupang pada jam masuk dan
keluar sekolah sangatalah baik karena para petugas ikut menyeberangkan pejalan
kaki di tengah padat lalu lintas, meski terik dan panas sinar mentari.
Namun, sampai kapan kiranya pola ini berlaku? Tidakah
sebaiknya para pengguna jalan dilatih atau dididik agar mereka bisa mengatur
dirinya sendiri melalui pemahaman makna rambu lalu lintas? Orangtua murid
dibantu para guru dan aparat POLDA NTT
bersama pihak terkait lain perlu menanamkan
nilai-nilai disiplin ini kepada anak didik. Hal itu diperlukan agar mereka
mandiri.
Hal
ini harus menjadi prioritas, dan target
utama outcome-nya atau keluarannya
atau hasilnya bukan saja untuk mengatasi kemungkinan kemacetan lalu lintas,
tetapi yang utama ialah membangun pola
pikir atau mindset anak sebagai
penerus bangsa agar mandiri dan taat pada aturan.
Pendidikan Budi Pekerti yang dicanangkan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan yang dikemas dalam Kurikulum 2013 merupakan media yang tepat untuk merevolusi mental
calon penerus bangsa ini. Peran mulia
dari polisi lalu lintas akan tetap ada, tetapi dikemas lebih elegan melalui
kegiatan sosialisasi di sekolah-sekolah bersama dinas terkait seperti Dinas
Perhubungan Provinsi NTT dan Kota Kupang.
Sosialisasi Pembentukan Karakter
Mandiri:
Di
beberapa negara maju seperti Singapura dan New Zeland, hak pejalan kaki sangat diutamakan, mulai dari
lampu lalu lintas yang diatur khusus untuk penyeberang jalan sampai fasilitas
jembatan penyebrangan. Garis penyeberangan
benar-benar berfungsi baik.
Lima (5) meter sebelum garis penyeberangan (zebra cross) sudah
ditulis “STOP”, tandanya pengendara
kurangi kecepatan dan tepat di zebra
cross pengendara harus berhenti dan memberikan kesempatan bagi pejalan kaki
lewat. Para pejalan kaki nyaman. Aturan ditegakkan sejalan dengan peningkatan
sarana dan prasarana jalan raya.
Di Saudi Arabia misalnya, pengendara yang melanggar rambu lalu lintas
tidak ditilang tetapi surat izin mengemudinya (SIM) dimusnahkan/digunting saat
itu juga oleh Polisi Lalu Lintas. Hal
ini diterapkan agar memberikan efek jera. Di Negara tetangga Malaysia, SIM diberikan
hanya kepada pengendara yang memiliki kendaraan pribadi (kecuali kendaraan perusahaan) dan masa
percobaannya satu tahun. Jika selama satu tahun pengemudi melakukan
pelanggaran, maka SIM dicabut.
Hal ini diterapkan utuk ketertiban di jalan dan keselamatan
pengguna jalan. Di Kupang sangat mungkin diberlakukan hal yang sama seperti di Negara-negara
sebagaimana disebut di depan, mumpung penduduknya masih sedikit pula.
Di beberapa kota besar di Indonesia seperti Surabaya
dan Makasar, beberapa jalur padat lalu lintas sudah disiapkan
lampu merah yang hanya akan menyala jika pejalan kaki yang menekan
tombol berhenti, hal ini sederhana tetapi sangat memberikan efek mandiri kepada pengguna
jalan. Saya merasa di beberapa titik padat lalu lintas
di Kupang mesti dipasang rambu seperti
di atas.
Namun
perlu ditegaskan pejalan kaki hanya boleh menyeberang pada garis penyeberangan
saja (zebra cross). Hal ini mungkin
awalnya akan menjadi sangat tidak biasa, tetapi polisi lalu lintas dan instansi
terkait harus bersinergi, mulai dari mensosialisasikan ke sekolah-sekolah, membangun beberapa jembatan penyeberangan dan
garis penyeberangan lengkap dengan simbol simbolnya.
Kesadaran
masyarakat yang perlu dibangun dibantu sarana dan prasarana yang dibangun
pemerintah, dan juga yang tidak kalah penting adalah aturan yang jelas atas
pelanggaran di jalan raya mencerdaskan
kehidupan bangsa mulai dari hal kecil, dari diri sendiri dan dari anak usia
dini, karena kepada merekalah masa depan bangsa ini dipertaruhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar